Minggu, 14 Mei 2017

Sejarah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia

Oleh Akhmad Zamroni

Sumber: IPPHOS
Bagiamana proses kejadian diproklamasikannya kemerdekaan bangsa kita? Mengapa bangsa kita memproklamasikan kemerdekaan? Apakah yang menyebabkan bangsa kita memproklamasikan kemerdekaan? Adakah hal-hal yang melatarbelakanginya? Apa pula makna yang terkandung dalam proklamasi kemerdekaan?
Proklamasi kemerdekaan bangsa kita tidak muncul dengan sendirinya, tetapi karena ada sebab-musababnya. Sebelum proklamasi kemerdekaan dikumandangkan, bangsa kita mengalami penjajahan dari bangsa asing yang menyengsarakan. Melalui proklamasi kemerdekaan, bangsa kita menyatakan bebas dari penindasan bangsa lain serta berdiri menjadi negara yang berdaulat.
Dengan begitu, bagi bangsa kita pada saat itu dan waktu-waktu selanjutnya hingga saat ini, proklamasi kemerdekaan memiliki makna yang mendalam. Hal ini karena proklamasi kemerdekaan menjadi penentu bebasnya bangsa kita dari penguasaan bangsa lain sekaligus penentu lahir, tegak, dan keberlangsungan Indonesia sebagai negara. Nah, untuk mengetahui makna proklamasi kemerdekaan itu sendiri, kita harus mengetahui kehidupan bangsa kita pada masa-masa sebelum proklamasi kemerdekaan dikumandangkan. Dengan kata lain, kita perlu mengetahui sejarah kehidupan bangsa kita sebelum dan saat kemerdekaan diproklamasikan.
A.   Masa Kolonialisme
Melalui pelajaran sejarah kita tahu bahwa bangsa kita pernah mengalami kolonialisme atau penjajahan dari bangsa asing. Masa kolonialisme itu berlangsung sangat panjang, yakni ratusan tahun (sekitar 350 tahun), sehingga sangat menyengsarakan kehidupan bangsa kita. Bangsa asing yang pernah mempraktikkan kolonialismenya terhadap bangsa kita adalah Portugis, Spanyol, Inggris, Belanda, dan Jepang.
     1.   Kolonialisme Bangsa Barat
Salah satu tujuan penting kedatangan bangsa Barat ke Indonesia ialah melakukan monopoli perdagangan hasil bumi, utamanya rempah-rempah. Bagi negara-negara Barat, rempah-rempah merupakan hasil bumi yang langka, tetapi sangat dibutuhkan. Itulah sebabnya, komoditas ini bernilai tinggi dan harganya mahal. Mereka sangat berambisi menguasai perdagangan rempah-rempah di mana pun mereka jumpai, termasuk di Indonesia.
Kedatangan dan kolonialisme bangsa Barat di Indonesia dimulai oleh bangsa Portugis, yang masuk ke Maluku pada tahun 1511. Pada akhir abad ke-16, posisi Portugis goyah akibat perlawanan dari rakyat di wilayah-wilayah yang didudukinya. Pada tahun 1521, Spanyol juga datang ke Maluku dengan maksud utama yang sama dengan Portugis, yakni memonopoli perdagangan rempah-rempah. Namun, karena kalah kuat, Spanyol tersisih dari persaingan untuk menguasai perdagangan rempah-rempah di Indonesia sejak tahun 1534. 
Selanjutnya, giliran Inggris datang ke Indonesia, lewat kongsi dagang EIC (East Indian Company). Sejak akhir abad ke-16, EIC menjalin hubungan dagang di berbagai daerah di Indonesia, seperti Aceh, Banjar, Maluku, dan Jayakarta. Akan tetapi, secara umum, Inggris gagal menanamkan pengaruhnya serta perlahan-lahan tersingkir dari persaingan dagang. Hal ini terjadi akibat sikap antipati rakyat setempat serta ketidakmampuan EIC bersaing dengan armada dagang Belanda.
Kehadiran Belanda memulai tumbuhnya kolonialisme yang kasar dan menindas di Indonesia. Sebuah sumber sejarah menyebutkan, Belanda masuk ke Indonesia pada tahun 1596 melalui Banten, tetapi tidak lama kemudian pergi lagi. Pada awal abad ke-17, Belanda kembali ke Indonesia dan kemudian pada tahun 1602 membentuk persekutuan kongsi dagang bernama VOC (Verenigde Oost-Indische Compagnie).

Sumber: 2.bp.blogspot.com

VOC menerapkan monopoli dagang di Indonesia. Dengan persenjataan lengkap, VOC juga melancarkan peperangan terhadap kerajaan-kerajaan di Indonesia. Strategi pecah belah divide et impera (pisah dan kuasai) diterapkan VOC untuk menguasai  wilayah-wilayah di Indonesia. Namun, akibat berbagai hal, VOC kemudian berangsur-angsur mengalami kemunduran dan akhirnya dibubarkan pada tahun 1799. Penyebab kehancuran VOC, antara lain, adanya perlawanan rakyat di berbagai wilayah Indonesia, rongrongan korupsi oleh para pegawai VOC sendiri, dan blokade Inggris (Matroji, 2004).
Begitu VOC dibubarkan, kekuasaan VOC di Indonesia diambil alih pemerintah Belanda. Perpindahan kendali ini tidak membuat nasib rakyat Indonesia menjadi lebih baik. Daendels, yang diangkat sebagai gubernur jenderal di Indonesia, bahkan menjalankan tugasnya dengan lebih bengis dengan, antara lain, menerapkan sistem kerja paksa (rodi) dan pengadilan sewenang-wenang terhadap rakyat Indonesia.
Kedudukan Daendels kemudian diganti dengan Jenderal Janssens pada tahun 1811. Pada masa itu, setelah memenangkan pertempuran melawan pasukan Jenssens, Inggris berhasil merebut Pulau Jawa, Madura, dan semua pelabuhan di luar Jawa dari tangan Belanda serta kemudian menugaskan Thomas Stamford Raffles sebagai penguasa baru  di bekas  wilayah Hindia Belanda. Sejak saat itu, tahun 1811, Inggris menguasai Indonesia (Hindia Belanda) sampai dengan tahun 1816. Melalui Perjanjian London, tanah jajahan Hindia Belanda diserahkan kembali kepada Belanda pada 19 Agustus 1816.
Belanda kembali berkuasa dengan mengangkat Van den Bosch sebagai gubernur jenderal di Indonesia. Kehidupan rakyat Indonesia pun kembali memburuk karena Van den Bosch menerapkan sistem tanam paksa (Cultuurstelsel) yang sangat menyengsarakan. Akibat sistem ini, kemiskinan dan kelaparan yang berakhir pada kematian massal rakyat terjadi di banyak tempat di Indonesia, antara lain, di Cirebon (1844), Demak (1848), dan Grobogan (1849).
Belanda sendiri mengakhiri penjajahannya di Indonesia pada tahun 1942 akibat kekalahan dari Jepang. Pada tanggal 8 Maret 1942, Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang yang masuk menyerbu Indonesia secara besar-besaran. Sejak saat itu, Indonesia menjadi wilayah pendudukan dan kolonialisme Jepang.
Selama kolonialisme bangsa-bangsa Barat, terutama Belanda, rakyat Indone-sia mengalami penindasan dan penderitaan dalam berbagai aspek kehidupan. Sumber daya alam berupa hasil bumi dikeruk secara besar-besaran untuk keuntungan kaum penjajah melalui monopoli dan tanam paksa. Potensi rakyat diperas melalui kerja paksa dan pemungutan pajak. Kehidupan politik diawasi secara ketat.  Kerekatan sosial juga  dipecah melalui pemisahan  penduduk kaya dan miskin serta kaum bangsawan dan rakyat jelata.
2.   Kolonialisme Jepang
Jepang datang ke Indonesia dengan mengaku sebagai saudara tua bangsa Indonesia. Pada saat Belanda menyerah kepada Jepang, rakyat ikut membantu mengusir Belanda dari Indonesia. Rakyat Indonesia percaya dan berharap bahwa Jepang akan mampu mendatangkan kemakmuran bersama seperti yang dikampanyekan Jepang di hadapan rakyat.
Namun, jangankan kemakmuran, penderitaan yang ditanggung rakyat Indonesia pada masa penjajahan Jepang justru lebih hebat dibandingkan dengan pada masa-masa penjajahan sebelumnya. Rakyat dilarang berkumpul dan berserikat (berorganisasi). Seluruh organisasi pergerakan nasional yang sudah dibentuk kaum pribumi dibubarkan. Kegiatan kaum nasionalis dikekang dan diawasi dengan sangat ketat.
Pada masa penjajahan Jepang, kehidupan ekonomi juga lumpuh. Barang-barang kebutuhan primer, yakni sandang dan pangan, langka karena terus-menerus mengalami penurunan produksi secara drastis. Rakyat yang mengalami kesulitan pangan dan sandang, banyak yang mengonsumsi makanan yang tidak layak serta mengenakan pakaian dari karung goni yang sama tidak layaknya. Kesengsaraan, kelaparan, dan kematian massal pun terjadi di banyak tempat.
Di tengah kesengsaraan rakyat Indonesia, Jepang masih mengeksploitasi rakyat untuk berbagai kepentingan kolonialismenya. Dan yang menjadi sasaran hampir selalu rakyat jelata dari kalangan bawah yang umumnya lemah dan miskin. Para nelayan diwajibkan menyetorkan hasil tangkapan ikannya. Para petani juga diharuskan untuk menyerahkan sebagian hasil panennya kepada pemerintah (Jepang) serta diwajibkan menanam tumbuhan tertentu.
Untuk membangun sarana dan prasarana militer demi kepentingan perangnya, Jepang mengerahkan ratusan ribu rakyat untuk menjadi romusha, yakni pekerja yang bekerja secara paksa. Para romusha bekerja tanpa diberi upah dan diberi makan dalam jumlah yang sangat terbatas. Mereka diharuskan bekerja keras dalam pengawasan tentara Jepang yang memberi komando dengan kejam dan sewenang-wenang. Menurut catatan sejarah, ratusan ribu tenaga romusha mati akibat berbagai perlakuan Jepang yang sewenang-wenang.
B.   Perlawanan Rakyat Indonesia
Kedatangan dan kolonialisme bangsa asing menimbulkan penderitaan hidup yang sangat berat pada rakyat Indonesia. Rakyat mengalami penindasan, kelaparan, wabah penyakit, kematian, serta cacat jiwa dan badan secara massal.  Selain itu, rakyat juga hidup dalam kebodohan dan kemiskinan.
Menghadpi kolonialisme yang menyengsarakan itu, bangsa Indonesia tidak tinggal diam. Sejak masa penjajahan Portugis hingga Jepang rakyat melakukan perlawanan yang gigih dan pantang menyerah. Perlawanan berkobar di mana-mana untuk. Namun, karena dilakukan secara terpisah-pisah (sporadis) dan tidak didukung  persenjataan  modern,  perlawanan itu umumnya dapat dipadamkan. Berikut ini dipaparkan beberapa contoh perlawanan bangsa kita dalam menghadapi penjajahan bangsa asing.
1.   Di bawah pimpinan Sultan Khairun kemudian diteruskan Sultan Baabullah (putra Sultan Khairun), rakyat Ternate melancarkan peperangan melawan Portugis. Setelah mengepung benteng Sao Paulo selama lima tahun (1570–1575) dan berhasil membuat pasukan Portugis (yang berada di dalam benteng) menyerah, rakyat Ternate berhasil mengusir keluar Portugis dari Ternate secara damai. Portugis kemudian menyingkir ke Ambon dan, setelah mendapat serangan dari Tidore, akhirnya menetap di Timor Timur.
2.   Dengan dipimpin Dipati Unus dan dibantu Kerajaan Palembang dan Aceh, pada tahun 1512 Kerajaan Demak menyerbu Portugis di Malaka, tetapi gagal. Setahun berikutnya, tahun 1513, mereka kembali menyerbu Malaka, tetapi gagal lagi. Demak akhirnya memusatkan kekuasaannya di wilayah Pulau Jawa untuk mencegah masuknya Portugis ke Jawa. Untuk memperkuat pertahanannya di Jawa, Kerajaan Demak memerintah panglima Fatahillah untuk menduduki kawasan pantai utara Jawa bagian barat. Daerah-daerah yang berhasil diduduki adalah Cirebon, Sunda Kelapa, dan Banten.
3.   Untuk memperoleh keuntungan melimpah dalam perdagangannya di Aceh, Portugis berupaya menanamkan kekuasaannya melalui monopoli. Namun, rakyat Aceh menentangnya. Akibatnya, terjadi perang darat dan laut antara Portugis dan Kerajaan Aceh yang dipimpin Sultan Iskandar Muda. Rakyat dan Kerajaan Aceh berhasil mempertahankan kedaulatannya. Ketangguhan dan kegigihan rakyat dan Kerajaan Aceh membuat Portugis gagal menanamkan pengaruh dan kekuasaannya di Aceh.
4.   Sultan Agung berupaya menyatukan Pulau Jawa ke dalam wilayah Kerajaan Mataram. Hal ini mengkhawatirkan VOC di Batavia, dan di bawah pimpinan J.P. Coen, VOC berusaha menghalanginya. Mengetahui hal itu, Sultan Agung bertekad menguasai Batavia. Pada tahun 1628, Sultan Agung mengirim pasukan Mataram untuk menyerang Batavia, tetapi gagal. Setahun berikutnya, 1629, serangan kedua ia lancarkan, tetapi kembali gagal walaupun berhasil menewaskan J.P. Coen. Akhirnya ia memutuskan untuk menjaga wilayah yang berbatasan dengan Batavia untuk mencegah masuknya VOC ke Mataram. Selama kepemimpinan Sultan Agung, Mataram tidak pernah berhasil dipengaruhi oleh VOC.

Sumber: wildanrenaldi.files.wordpress.com-i.ytimg.com

5.   Penyerangan dan penguasaan Sultan Hasanuddin dari Kerajaan Makassar terhadap Pulau Sumbawa membuat Belanda cemas dan tidak senang. Peperangan antara Makassar dan Belanda pun berkali-kali pecah, dan Belanda sering dibuat kedodoran. Belanda kemudian minta bantuan raja Bone, Aru Palaka, untuk menghadapi Hasanuddin. Kerajaan Makassar pun akhirnya mengalami kekalahan dan dipaksa menyetujui Perjanjian Bongaya (1667).
 6.  Bersama pasukannya, Sultan Nuku berhasil merebut kota Soa Siu dari tangan Belanda pada tanggal 20 Juni 1801. Setahun kemudian ia juga sukses merebut benteng Belanda di Ternate dan Tidore, serta berhasil menjadikan Maluku Utara masuk wilayah kekuasaannya (Tidore). Perlawanan selanjutnya dipimpin oleh Pattimura. Benteng Duurstede di Saparua berhasil direbut serta perlawanan terhadap Belanda meluas hingga ke Ambon dan Seram. Pattimura dan kawan-kawannya dapat ditangkap serta perlawanan rakyat melemah setelah Belanda mengerahkan kekuatan besar. Pattimura dan kawan-kawan dihukum mati Belanda pada 16 Desember 1817.
7.   Pengerahan pasukan Belanda untuk menguasai Sumatra Barat membuat kaum adat  dan paderi bersatu (1831) di bawah pimpinan Tuanku Imam Bonjol untuk melawan. Persenjataan Belanda yang lebih lengkap dan modern membuat pasukan Imam Bonjol kualahan dan akhirnya kalah. Imam Bonjol ditangkap dan dibuang ke Minahasa hingga wafat (1864).
8.   Pangeran Diponegoro, dengan dibantu Pangeran Mangkubumi, Kiai Mojo, dan Sentot Prawirodirdjo berperang melawan Belanda di beberapa daerah di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ribuan tentara Belanda tewas dan pasukan Diponegoro memperoleh kemenangan di beberapa tempat, seperti di Pacitan, Purwodadi, dan Kedu. Dengan persenjataan yang lebih lengkap dan modern disertai strategi benteng stelsel, Belanda dapat mengakhiri perlawanan Diponegoro dan kawan-kawan. Kiai Mojo dapat dibujuk untuk berunding, tetapi kemudian ditangkap dan dibuang ke Minahasa (1828). Pangeran Mangkubumi menghentikan perlawanannya karena usia tua (1829). Sentot juga terbujuk oleh Belanda untuk berhenti melawan. Pada 28 Maret 1830, Diponegoro ikut terbujuk untuk berunding, tetapi kemudian juga ditangkap dan dibuang ke Manado dan Makassar hingga wafat.

Sumber: http static.inilah.com
9.   Pada tahun 1886, pecah perang antara Belanda melawan Kerajaan Buleleng, Bali. Buleleng mendapat bantuan dari Karangasem, tetapi istana Buleleng dapat dikuasai Belanda. Belanda lalu melebarkan serangannya ke Kerajaan Badung, Klungkung, Gianyar, Tabanan, dan beberapa kerajaan lain di Bali. Serbuan Belanda selalu disambut dengan perang puputan oleh rakyat Bali sehingga kemudian muncul Perang Puputan Jagaraga (1849), Perang Puputan Badung (1906), Perang Puputan Tabanan (1906), Perang Puputan Klungkung (1908), dan Perang Puputan Kusamba (1908).                                 
10. Pada tahun 1859, dengan digerakkan Pangeran Antasari, meletus Perang Banjarmasin, di Kalimantan. Dengan dibantu Pangeran Hidayatullah, Pangeran Antasari mempimpin rakyat Kerajaan Banjarmasin berjuang melawan Belanda. Pangeran Hidayatullah ditangkap dan dibuang Belanda ke Cianjur (1862). Perang terus berkobar. Dalam sebuah pertempuran, Antasari mengalami luka parah dan akhirnya wafat (1862). Namun, perang tetap dilanjutkan lewat kepemimpinan putra-putra Pangeran Antasari.
11. Pada tahun 1894, dalam upaya menguasai daerah Batak, Belanda mengerahkan pasukan untuk menduduki Bakhara, pusat kekuasaan Sisingamangaraja XII. Pertempuran sengit antara Belanda dan pasukan Sisingamangaraja XII pecah di sekitar Pakpah-Dairi, sebelah barat Danau Toba. Sisingamangaraja gigih berjuang.  Namun, akhirnya ia gugur bersama seorang putri dan dua orang putranya dalam sebuah pertempuran.
12. Pada masa pendudukan Jepang, rakyat dilarang berkumpul dan berserikat serta organisasi pergerakan pun dibubarkan. Hal ini menyebabkan perlawanan terhadap Jepang dilakukan lewat gerakan bawah tanah (sembunyi-sembunyi/ilegal). Secara diam-diam, para pejuang di antaranya melakukan komunikasi untuk memelihara nasionalisme,  menyiapkan kekuatan untuk menyambut kemerdekaan, dan membangkitkan semangat dan kesiapan merdeka di kalangan rakyat. Tokoh-tokoh gerakan bawah tanah ini, antara lain, Chairul Saleh, Sutan Syahrir, Seokarni, Amir Syarifudin, dan Wikana.
13. Selain perlawanan diam-diam, muncul juga perlawanan terbuka bersenjata terhadap Jepang.  Perlawanan bersenjata terbesar dilakukan oleh tentara Peta (Pembela Tanah Air) pimpinan Supriyadi. Perlawanan ini berlangsung di Blitar pada tanggal 14 Februari 1945. Oleh karena dipersiapkan kurang matang, perlawanan dapat dipadamkan. Mereka yang dianggap sebagai tokoh perlawanan –– di antaranya, Muradi, Suparyono, Sunanto, Ismangil, dan Soedarmo –– ditangkap serta dihukum seumur hidup dan dihukum mati. Supriyadi sendiri tidak diketahui nasib dan keberadaannya. Namun, banyak orang menduga, ia sebenarnya telah ditangkap dan dihabisi oleh Jepang.
14. Perlawanan bersenjata terhadap Jepang juga muncul di Cot Plieng, Aceh (1942), dan Singaparna, Jawa Barat (1944). Perlawanan di Cot Plieng dipimpin Tengku Abdul Jalil, sedang di Singaparna dipimpin K.H. Zainal Mustofa. Oleh karena tidak seimbangnya persenjataan, kedua perlawanan ini dapat dipatahkan. Tengku Abdul Jalil gugur oleh tembakan Jepang saat menjalankan salat subuh, sementara Zainal Mustofa tertangkap dan dihukum mati.
C.   Bangkitnya Nasionalisme dan Semangat Kemerdekaan
Banyaknya kekalahan dan kegagalan yang dialami rakyat Indonesia dalam mengusir kaum penjajah menumbuhkan kesadaran untuk mengubah strategi perjuangan. Kesadaran seperti ini terutama muncul di kalangan kaum terpelajar dan pemuda pada awal abad ke-20. Mereka mulai menyadari pentingnya menggalang persatuan dan pembentukan organisasi dalam melakukan perlawanan. Kegagalan perlawanan rakyat sejauh itu telah disadari sebagai akibat perjuangan yang dilakukan masih bersifat fisik, lokal, sporadis, dan kurang terorganisasi secara baik.
Persatuan dan pembentukan organisasi adalah dua hal yang dipandang pen-ting dalam usaha melawan kolonialisme. Persatuan dan pembentukan organisasi saling melengkapi. Persatuan akan membuat perlawanan dalam berbagai bentuknya menjadi lebih sulit dipatahkan oleh pemerintah kolonial. Adapun organisasi sangat berguna untuk merapikan koordinasi perjuangan sekaligus sebagai alat perjuangan itu sendiri. Semangat persatuan sendiri juga menumbuhkan prakarsa di kalangan tertentu (terpelajar) untuk membentuk berbagai organisasi.
Dalam pada itu, tumbuhnya kesadaran untuk bersatu menunjukkan mulai tumbuhnya rasa kebangsaan. Hal ini dikarenakan persatuan yang akan digalang adalah persatuan sesama warga bangsa. Oleh sebab itu, bersamaan dengan tumbuhnya kesadaran untuk bersatu, tumbuh pula nasionalisme, yakni semangat kebangsaan.
Munculnya nasionalisme lebih jelas ditandai oleh pembentukan organisasi-organisasi pergerakan nasional. Budi Utomo yang didirikan pada 20 Mei 1908,  mengawali pembentukan  organisasi pergerakan nasional.  Kemudian berturut-turut berdiri Sarekat Islam (1911), Indische Partij (1912), Muhammadiyah (19-12), Perhimpunan Indonesia (1925), Partai Nasional Indonesia (1927), Persatuan Bangsa Indonesia (1930), dan Gabungan Politik Indonesia (1939).

Sumber: historia.id

Perhimpunan Indonesia, yang beranggotakan para mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di luar negeri –– antara lain, Mohammad Hatta dan Iwa Koesoema Soemantri –– adalah organisasi yang dianggap paling menonjol dari segi pencanangan  prinsip  dan tujuan pergerakan. Pada tahun 1925, organisasi ini mengeluarkan pernyataan penting. Pernyataan yang kemudian populer disebut Manifesto Politik itu berisi beberapa butir pemikiran sebagai berikut.
1.   Rakyat Indonesia sewajarnya dipimpin oleh pemerintah yang dipilih oleh mereka sendiri (rakyat Indonesia).
2.   Dalam memperjuangkan pemerintahan sendiri tersebut, tidak diperlukan bantuan (campur tangan) dari pihak mana pun.
3.   Tanpa persatuan yang kukuh dari berbagai unsur rakyat, tujuan perjuangan tersebut sulit dicapai.                                
Dalam ketiga pernyataan tersebut di atas, tercakup konsep penting tentang sebuah negara Indonesia, demokrasi, persatuan, dan kemerdekaan. Dengan kata lain, di dalamnya terangkum prinsip-prinsip nasionalisme, yang meliputi persatuan (unity), kebebasan (liberty), dan persamaan (equality). Dengan konsep tersebut, dasar gerakan nasional memiliki arah tujuan yang jelas (Kartodirdjo, 1999).
Tujuan pokok dari perjuangan yang ditempuh tidak lain adalah kemerdekaan  meski kata ini tidak disebut secara langsung. Namun, tujuan kemerdekaan sebenarnya kuat terasa sebab nama majalah yang diterbitkan oleh Perhimpunan Indonesia sendiri juga menyinggung kata tersebut, yakni Indonesia Merdeka. Apa yang disuarakan Perhimpunan Indonesia ini kemudian memberi pengaruh yang besar bagi pergerakan nasional selanjutnya.
Peristiwa besar yang tidak lepas dari pengaruh tersebut ialah Kongres Pemuda II yang digelar pada tanggal 27–28 Oktober 1928. Kongres ini melahirkan Sumpah Pemuda yang berisi pernyataan tentang tanah air, bangsa, dan bahasa yang satu: Indonesia. Melalui pernyataan ini, maka momentum persatuan dan, dengan sendirinya juga nasionalisme, pun makin kuat mencuat.
D.   Peristiwa Proklamasi Kemerdekaan
Anda sudah mengetahui bahwa ketika bangsa Indonesia masih dalam cengkeraman kolonial Belanda, nasionalisme dan keinginan merdeka sudah tumbuh di kalangan rakyat. Pada saat Belanda pergi dan Jepang datang, semangat dan keinginan itu tumbuh kian kuat. Hal ini, antara lain, tercermin dari makin kuatnya persatuan rakyat dan bertambah rapinya gerakan yang digalang biarpun semuanya itu dilakukan secara tersembunyi. Perlawanan yang dilancarkan pun sudah kian kuat mengarah ke langkah-langkah menuju kemerdekaan.
1.   Janji Kemerdekaan dari Jepang
Kedudukan Jepang sendiri dalam keseluruhan perangnya melawan Sekutu mulai terdesak. Pada tahun 1944, posisi Jepang dalam Perang Pasifik benar-benar sulit dan terancam. Jepang menderita kekalahan di banyak pertempuran.
Sejumlah fasilitas militer milik Jepang di Indonesia juga mengalami kerusakan akibat serangan udara pesawat-pesawat Sekutu. Moril bertempur pasukan Jepang  mengalami penurunan. Keadaan diperburuk oleh krisis ekonomi dan politik yang melanda kehidupan dalam negeri Jepang, sementara perlawanan rakyat Indonesia dalam berbagai bentuknya tidak pernah padam. Jepang pun berada dalam ancaman dan bayangan kekalahan.
Kemelut itu mengakibatkan Perdana Menteri Jepang, Hideki Tojo, meletakkan jabatan, pada 17 Juli 1944. Ia diganti Kuniaki Koiso. Koiso, tentu saja, menanggung beban yang berat karena harus memulihkan Jepang dari keterpurukan. Antara lain, ia harus memulihkan kewibawaan Jepang di mata bangsa-bangsa Asia. Koiso pun kemudian berjanji untuk memberikan kemerdekaan kepada sejumlah bangsa di Asia, termasuk Indonesia.
Pada tanggal 7 September 1944 (ada juga yang menyebut 9 September 1944), Koiso mengeluarkan janji untuk memberi kemerdekaan kepada Indonesia. Janji diberikan untuk melunakkan sikap rakyat Indonesia. Untuk menunjukkan keseriusan atas janjinya, Jepang memperbolehkan pengibaran bendera Merah-Putih di kantor-kantor, tetapi harus berdampingan dengan bendera mereka, Hinomaru.
Jepang makin kalut dan kondisinya kian kritis. Semua basis pertahanannya di Pasifik mulai jebol oleh serbuan Sekutu. Kedudukannya di beberapa kota Indonesia, seperti di Surabaya, Makassar, dan Ambon, juga mendapat serangan udara gencar dari Sekutu. Hal ini menyebabkan Jepang makin menunjukkan sikap lunak terhadap rakyat Indonesia.
Pada akhir April 1945, pemerintah pendudukan Jepang membentuk Dokuritsu Junbi Cosakai,  yakni Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Tujuan pembentukan badan ini ialah mempersiapkan kemerdekaan Indonesia. Setelah merumuskan dasar negara dan undang-undang dasar melalui dua kali sidang, BPUPKI dibubarkan. Sebagai gantinya, dibentuk  Dokuritsu Junbi Iinkai  atau Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Pembentukan PPKI dilakukan atas persetujuan dan perintah Panglima Pasukan Jepang di Asia Tenggara, Jenderal Terauchi. Tugas yang dibebankan kepada PPKI ialah menindaklanjuti keputusan-keputusan yang dihasilkan BPUPKI.
2.   Kekalahan Jepang
Kembali ke perang Jepang-Sekutu;  pada awal Agustus, Sekutu menyerang dua kota penting di Jepang. Pada 6 Agustus 1945, armada udara Sekutu menjatuhkan bom atom di Hiroshima. Tiga hari berikutnya, tanggal 9 Agustus 1945, Sekutu menjatuhkan bom yang sama di Nagasaki. Serangan hebat yang sangat mematikan ini benar-benar membuat Jepang tidak berdaya. Negeri Matahari Terbit ini akhirnya menyerah tanpa syarat kepada Sekutu pada tanggal 15 Agustus 1945.
Kendatipun dirahasiakan, berita kekalahan dan menyerahnya Jepang kepada Sekutu sampai juga ke telinga para tokoh pejuang dan pemuda Indonesia. Kekalahan dan menyerahnya Jepang menyebabkan terjadinya vacuum of power (kekosongan kekuasaan) di Indonesia. Berita ini kian memperkuat hasrat rakyat Indonesia untuk merdeka. Namun, berita yang sebenarnya menggembirakan itu sekaligus juga memicu timbulnya perbedaan pendapat di kalangan para pejuang –– yakni kalangan tua dan kalangan pemuda –– dalam menentukan hari proklamasi kemerdekaan.

Sumber: kebudayaan.kemdikbud.go.id

Untuk menindaklanjuti kekalahan dan penyerahan Jepang, kalangan pemuda yang terdiri atas mahasiswa dan anggota Peta serta dimotori tokoh-tokoh gerakan bawah tanah –– seperti Syahrir, Chairul Saleh, dan Wikana –– menghendaki agar kemerdekaan secepatnya diproklamasikan. Sebaliknya, kalangan tua yang umumnya merupakan para anggota PPKI dengan motor utama Soekarno dan Hatta, cenderung menginginkan hari pelaksanaan proklamasi kemerdekaan disesuaikan dengan ketentuan yang sudah dijanjikan Jepang, yakni tanggal 24 Agustus 1945.
Kalangan pemuda berpendapat, Jepang yang sudah kalah perang tidak punya alasan menghalangi rakyat Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaan. Adapun jika hari proklamasi dilakukan sesuai dengan hari atau tanggal yang dijanjikan Jepang, maka proklamasi itu menjadi kurang bermakna karena terkesan sebagai hadiah atau pemberian Jepang. Sebaliknya, jika proklamasi dilaksanakan pada hari yang ditentukan sendiri oleh rakyat, proklamasi itu benar-benar sebagai hasil perjuangan mandiri rakyat Indonesia yang bermakna dalam.
Namun, kalangan tua tidak berani melanggar ketentuan hari kemerdekaan yang dipilih Jepang. Hal ini, karena meski Jepang sudah kalah perang, mereka masih memiliki pasukan yang kuat di Indonesia. Jika ketentuan hari kemerdekaan dari Jepang dilanggar, kalangan tua khawatir akan terjadi pertumpahan darah di kalangan rakyat Indonesia sebab tentara Jepang yang terkenal sangat kejam dapat saja menyerang rakyat. Mereka berpendapat, bukan merupakan masalah yang penting apakah kemerdekaan itu pemberian Jepang atau tidak. Masalah yang penting dan mendesak adalah cara menghadapi Sekutu yang segera akan datang serta mempersiapkan kemerdekaan secara matang.
Perbedaan tersebut menimbulkan kritik tajam dari kalangan pemuda terhadap kalangan seniornya. Kalangan pemuda menilai kalangan tua terlalu lamban dan tunduk pada kemauan Jepang. Melalui sebuah rapat, mereka bertekad bulat mendesak kalangan tua untuk segera memproklamasikan kemerdekaan. Mereka mempercayakan pelaksanaan proklamasi kepada Soekarno dan Hatta, anggota kalangan tua yang dipandang berwibawa di mata rakyat. Namun, kalangan tua tetap bertahan pada pendiriannya.
3.   Peristiwa Rengasdengklok
Tiadanya titik temu dan kata sepakat akhirnya menyebabkan kalangan muda sampai pada keputusan untuk “mengevakuasi” Soekarno dan Hatta ke luar dari Jakarta. Hal ini dimaksudkan agar Soekarno dan Hatta lepas dari pengaruh Jepang sehingga mereka berani memproklamasikan kemerdekaan pada hari yang dikehendaki kalangan pemuda. Tempat yang dipilih untuk mengamankan mereka berdua adalah Rengasdengklok. Para pemuda pun memboyong Soekarno-Hatta  ke kota kecamatan  yang berada sekitar 20 km sebelah utara Karawang itu.

Sumber: IPPHOS
Sesampainya di Rengasdengklok, Soekarno dan Hatta menolak keinginan kalangan pemuda dan tetap bersikeras pada pendirian semula. Namun, setelah melalui ketegangan dan tarik ulur yang cukup alot, Soekarno akhirnya menyetujui untuk melaksanakan proklamasi kemerdekaan. Lewat perundingan kalangan tua dan kalangan pemuda di Jakarta disepakati: proklamasi akan dilakukan pada tanggal 17 Agustus 1945 sebelum pukul 12.00 WIB.
Tekad Soekarno dan Hatta untuk melaksanakan proklamasi lepas dari hari yang ditentukan Jepang akhirnya bertambah kuat. Hal ini terjadi setelah mereka berdua bertemu dan berunding dengan Mayor Jenderal Nishimura, kepala pemerintahan umum Jepang. Dikatahui bahwa Nishimura  melarang dilakukannya segala bentuk kegiatan oleh rakyat, termasuk proklamasi kemerdekaan yang sebelumnya dijanjikan Jepang. 
4.   Perumusan dan Pembacaan Naskah Proklamasi
Maka, mulailah dilakukan upaya konkret untuk melaksanakan proklamasi kemerdekaan. Soekarno dan Hatta bergegas ke kediaman Laksamana Tadashi Maeda, kepala perwakilan angkatan laut Jepang yang bersimpati pada perjuangan rakyat Indonesia. Di rumah yang kini beralamat di Jalan Imam Bonjol No. 1, Jakarta, ini naskah proklamasi kemerdekaan kemudian dirumuskan bersama oleh Soekarno, Hatta, dan Achmad Soebardjo, dengan disaksikan Soekarni, B.M. Diah, dan Soediro.
Setelah selesai ditulis, naskah proklamasi  dirapatkan untuk dibahas. Naskah yang masih berupa tulisan tangan itu disetujui dengan sedikit perubahan. Setelah terjadi sedikit perselisihan mengenai siapa yang harus menandatangani naskah,  akhirnya disepakati hanya  Soekarno dan Hatta  yang membubuhkan tanda tangan, dengan pertimbangan mereka berdua telah diakui sebagai tokoh utama rakyat Indonesia. Naskah proklamasi kemudian diketik oleh Sayuti Melik serta ditandatangani oleh Soekarno dan Hatta. Praktis, tanggal 17 Agustus 1945 dini hari itu, naskah proklamasi kemerdekaan secara keseluruhan telah selesai dirumuskan dan siap untuk dibacakan.
Sumber: IPPHOS
Tanggal 17 Agustus 1945 pagi hari, upacara proklamasi kemerdekaan dipersiapkan. Semula upacara akan digelar di lapangan Ikada, Jakarta, tetapi kemudian dipindahkan ke tempat lain. Alasan pemindahan ialah jika dilakukan di lapangan Ikada, dikhawatirkan akan memicu terjadinya  bentrokan antara rakyat dan pasukan Jepang.
Rumah Soekarno di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta, kemudian dipilih sebagai tempat upacara. Dengan persiapan serba mendadak dan spontan, sekitar pukul 10.00 WIB naskah proklamasi kemerdekaan pun akhirnya dibacakan Soekarno dengan didampingi Mohammad Hatta. Usai pembacaan naskah proklamasi, bendera Merah-Putih dikibarkan dengan diiringi lagu “Indonesia Raya” oleh hadirin.

Upacara berlangsung sekitar satu jam, amat sederhana, dan tanpa protokoler. Namun, hal itu tidak mengurangi kekhidmatan dan kebesaran makna yang dikandungnya. Peristiwa ini membawa  perubahan besar bagi bangsa Indonesia. Peristiwa yang sangat bersejarah ini menandai lahirnya bangsa dan negara Indonesia yang merdeka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar