Oleh Akhmad Zamroni
Sumber: IPPHOS
Bagiamana
proses kejadian diproklamasikannya kemerdekaan bangsa kita? Mengapa bangsa kita
memproklamasikan kemerdekaan? Apakah yang menyebabkan bangsa kita
memproklamasikan kemerdekaan? Adakah hal-hal yang melatarbelakanginya? Apa pula
makna yang terkandung dalam proklamasi kemerdekaan?
Proklamasi
kemerdekaan bangsa kita tidak muncul dengan sendirinya, tetapi karena ada
sebab-musababnya. Sebelum proklamasi kemerdekaan dikumandangkan, bangsa kita
mengalami penjajahan dari bangsa asing yang menyengsarakan. Melalui proklamasi
kemerdekaan, bangsa kita menyatakan bebas dari penindasan bangsa lain serta
berdiri menjadi negara yang berdaulat.
Dengan
begitu, bagi bangsa kita pada saat itu dan waktu-waktu selanjutnya hingga saat
ini, proklamasi kemerdekaan memiliki makna yang mendalam. Hal ini karena proklamasi
kemerdekaan menjadi penentu bebasnya bangsa kita dari penguasaan bangsa lain
sekaligus penentu lahir, tegak, dan keberlangsungan Indonesia sebagai negara.
Nah, untuk mengetahui makna proklamasi kemerdekaan itu sendiri, kita harus mengetahui kehidupan bangsa kita pada masa-masa sebelum proklamasi
kemerdekaan dikumandangkan. Dengan kata lain, kita perlu mengetahui sejarah
kehidupan bangsa kita sebelum dan saat kemerdekaan diproklamasikan.
A. Masa Kolonialisme
Melalui
pelajaran sejarah kita tahu bahwa bangsa kita pernah mengalami kolonialisme
atau penjajahan dari bangsa asing. Masa kolonialisme itu berlangsung sangat
panjang, yakni ratusan tahun (sekitar 350 tahun), sehingga sangat
menyengsarakan kehidupan bangsa kita. Bangsa asing yang pernah mempraktikkan
kolonialismenya terhadap bangsa kita adalah Portugis, Spanyol, Inggris,
Belanda, dan Jepang.
1. Kolonialisme
Bangsa Barat
Salah satu tujuan penting kedatangan bangsa
Barat ke Indonesia ialah melakukan monopoli perdagangan hasil bumi, utamanya
rempah-rempah. Bagi negara-negara Barat, rempah-rempah merupakan hasil bumi
yang langka, tetapi sangat dibutuhkan. Itulah sebabnya, komoditas ini bernilai
tinggi dan harganya mahal. Mereka sangat berambisi menguasai perdagangan
rempah-rempah di mana pun mereka jumpai, termasuk di Indonesia.
Kedatangan dan kolonialisme bangsa Barat di
Indonesia dimulai oleh bangsa Portugis, yang masuk ke Maluku pada tahun 1511.
Pada akhir abad ke-16, posisi Portugis goyah akibat perlawanan dari rakyat di
wilayah-wilayah yang didudukinya. Pada tahun 1521, Spanyol juga datang ke
Maluku dengan maksud utama yang sama dengan Portugis, yakni memonopoli
perdagangan rempah-rempah. Namun, karena kalah kuat, Spanyol tersisih dari
persaingan untuk menguasai perdagangan rempah-rempah di Indonesia sejak tahun
1534.
Selanjutnya, giliran Inggris datang ke
Indonesia, lewat kongsi dagang EIC (East Indian Company). Sejak akhir
abad ke-16, EIC menjalin hubungan dagang di berbagai daerah di Indonesia,
seperti Aceh, Banjar, Maluku, dan Jayakarta. Akan tetapi, secara umum, Inggris
gagal menanamkan pengaruhnya serta perlahan-lahan tersingkir dari persaingan
dagang. Hal ini terjadi akibat sikap antipati rakyat setempat serta
ketidakmampuan EIC bersaing dengan armada dagang Belanda.
Kehadiran Belanda memulai tumbuhnya kolonialisme
yang kasar dan menindas di Indonesia. Sebuah sumber sejarah menyebutkan,
Belanda masuk ke Indonesia pada tahun 1596 melalui Banten, tetapi tidak lama
kemudian pergi lagi. Pada awal abad ke-17, Belanda kembali ke Indonesia dan
kemudian pada tahun 1602 membentuk persekutuan kongsi dagang bernama VOC (Verenigde
Oost-Indische Compagnie).
Sumber: 2.bp.blogspot.com
VOC menerapkan monopoli dagang di Indonesia. Dengan persenjataan lengkap, VOC juga melancarkan peperangan terhadap kerajaan-kerajaan di Indonesia. Strategi pecah belah divide et impera (pisah dan kuasai) diterapkan VOC untuk menguasai wilayah-wilayah di Indonesia. Namun, akibat berbagai hal, VOC kemudian berangsur-angsur mengalami kemunduran dan akhirnya dibubarkan pada tahun 1799. Penyebab kehancuran VOC, antara lain, adanya perlawanan rakyat di berbagai wilayah Indonesia, rongrongan korupsi oleh para pegawai VOC sendiri, dan blokade Inggris (Matroji, 2004).
Begitu VOC dibubarkan, kekuasaan VOC di
Indonesia diambil alih pemerintah Belanda. Perpindahan kendali ini tidak
membuat nasib rakyat Indonesia menjadi lebih baik. Daendels, yang diangkat
sebagai gubernur jenderal di Indonesia, bahkan menjalankan tugasnya dengan
lebih bengis dengan, antara lain, menerapkan sistem kerja paksa (rodi) dan pengadilan
sewenang-wenang terhadap rakyat Indonesia.
Kedudukan Daendels kemudian diganti dengan
Jenderal Janssens pada tahun 1811. Pada masa itu, setelah memenangkan pertempuran
melawan pasukan Jenssens, Inggris berhasil merebut Pulau Jawa, Madura, dan
semua pelabuhan di luar Jawa dari tangan Belanda serta kemudian menugaskan
Thomas Stamford Raffles sebagai penguasa baru
di bekas wilayah Hindia Belanda.
Sejak saat itu, tahun 1811, Inggris menguasai Indonesia (Hindia Belanda) sampai
dengan tahun 1816. Melalui Perjanjian London, tanah jajahan Hindia Belanda
diserahkan kembali kepada Belanda pada 19 Agustus 1816.
Belanda kembali berkuasa dengan mengangkat Van
den Bosch sebagai gubernur jenderal di Indonesia. Kehidupan rakyat Indonesia
pun kembali memburuk karena Van den Bosch menerapkan sistem tanam paksa (Cultuurstelsel)
yang sangat menyengsarakan. Akibat sistem ini, kemiskinan dan kelaparan yang
berakhir pada kematian massal rakyat terjadi di banyak tempat di Indonesia,
antara lain, di Cirebon (1844), Demak (1848), dan Grobogan (1849).
Belanda sendiri mengakhiri penjajahannya di
Indonesia pada tahun 1942 akibat kekalahan dari Jepang. Pada tanggal 8 Maret
1942, Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang yang masuk menyerbu Indonesia
secara besar-besaran. Sejak saat itu, Indonesia menjadi wilayah pendudukan dan
kolonialisme Jepang.
Selama kolonialisme bangsa-bangsa Barat,
terutama Belanda, rakyat Indone-sia mengalami penindasan dan penderitaan dalam
berbagai aspek kehidupan. Sumber daya alam berupa hasil bumi dikeruk secara
besar-besaran untuk keuntungan kaum penjajah melalui monopoli dan tanam paksa.
Potensi rakyat diperas melalui kerja paksa dan pemungutan pajak. Kehidupan politik
diawasi secara ketat. Kerekatan sosial
juga dipecah melalui pemisahan penduduk kaya dan miskin serta kaum bangsawan
dan rakyat jelata.
2. Kolonialisme
Jepang
Jepang datang ke Indonesia dengan mengaku
sebagai saudara tua bangsa Indonesia. Pada saat Belanda menyerah kepada Jepang,
rakyat ikut membantu mengusir Belanda dari Indonesia. Rakyat Indonesia percaya
dan berharap bahwa Jepang akan mampu mendatangkan kemakmuran bersama seperti
yang dikampanyekan Jepang di hadapan rakyat.
Namun, jangankan kemakmuran, penderitaan yang
ditanggung rakyat Indonesia pada masa penjajahan Jepang justru lebih hebat
dibandingkan dengan pada masa-masa penjajahan sebelumnya. Rakyat dilarang
berkumpul dan berserikat (berorganisasi). Seluruh organisasi pergerakan
nasional yang sudah dibentuk kaum pribumi dibubarkan. Kegiatan kaum nasionalis
dikekang dan diawasi dengan sangat ketat.
Pada masa penjajahan Jepang, kehidupan ekonomi
juga lumpuh. Barang-barang kebutuhan primer, yakni sandang dan pangan, langka
karena terus-menerus mengalami penurunan produksi secara drastis. Rakyat yang
mengalami kesulitan pangan dan sandang, banyak yang mengonsumsi makanan yang
tidak layak serta mengenakan pakaian dari karung goni yang sama tidak layaknya.
Kesengsaraan, kelaparan, dan kematian massal pun terjadi di banyak tempat.
Di tengah kesengsaraan rakyat Indonesia, Jepang
masih mengeksploitasi rakyat untuk berbagai kepentingan kolonialismenya. Dan
yang menjadi sasaran hampir selalu rakyat jelata dari kalangan bawah yang
umumnya lemah dan miskin. Para nelayan diwajibkan menyetorkan hasil tangkapan
ikannya. Para petani juga diharuskan untuk menyerahkan sebagian hasil panennya
kepada pemerintah (Jepang) serta diwajibkan menanam tumbuhan tertentu.
Untuk membangun sarana dan prasarana militer
demi kepentingan perangnya, Jepang mengerahkan ratusan ribu rakyat untuk
menjadi romusha, yakni pekerja yang bekerja secara paksa. Para romusha
bekerja tanpa diberi upah dan diberi makan dalam jumlah yang sangat terbatas.
Mereka diharuskan bekerja keras dalam pengawasan tentara Jepang yang memberi
komando dengan kejam dan sewenang-wenang. Menurut catatan sejarah, ratusan ribu
tenaga romusha mati akibat berbagai perlakuan Jepang yang sewenang-wenang.
B. Perlawanan Rakyat Indonesia
Kedatangan
dan kolonialisme bangsa asing menimbulkan penderitaan hidup yang sangat berat
pada rakyat Indonesia. Rakyat mengalami penindasan, kelaparan, wabah penyakit,
kematian, serta cacat jiwa dan badan secara massal. Selain itu, rakyat juga hidup dalam kebodohan
dan kemiskinan.
Menghadpi
kolonialisme yang menyengsarakan itu, bangsa Indonesia tidak tinggal diam.
Sejak masa penjajahan Portugis hingga Jepang rakyat melakukan perlawanan yang
gigih dan pantang menyerah. Perlawanan berkobar di mana-mana untuk. Namun,
karena dilakukan secara terpisah-pisah (sporadis) dan tidak didukung persenjataan
modern, perlawanan itu umumnya
dapat dipadamkan. Berikut ini dipaparkan beberapa contoh perlawanan bangsa kita
dalam menghadapi penjajahan bangsa asing.
1. Di bawah pimpinan Sultan Khairun kemudian
diteruskan Sultan Baabullah (putra Sultan Khairun), rakyat Ternate melancarkan
peperangan melawan Portugis. Setelah mengepung benteng Sao Paulo selama lima
tahun (1570–1575) dan berhasil membuat pasukan Portugis (yang berada di dalam
benteng) menyerah, rakyat Ternate berhasil mengusir keluar Portugis dari
Ternate secara damai. Portugis kemudian menyingkir ke Ambon dan, setelah
mendapat serangan dari Tidore, akhirnya menetap di Timor Timur.
2. Dengan dipimpin Dipati Unus dan dibantu
Kerajaan Palembang dan Aceh, pada tahun 1512 Kerajaan Demak menyerbu Portugis
di Malaka, tetapi gagal. Setahun berikutnya, tahun 1513, mereka kembali
menyerbu Malaka, tetapi gagal lagi. Demak akhirnya memusatkan kekuasaannya di
wilayah Pulau Jawa untuk mencegah masuknya Portugis ke Jawa. Untuk memperkuat
pertahanannya di Jawa, Kerajaan Demak memerintah panglima Fatahillah untuk
menduduki kawasan pantai utara Jawa bagian barat. Daerah-daerah yang berhasil
diduduki adalah Cirebon, Sunda Kelapa, dan Banten.
3. Untuk memperoleh keuntungan melimpah dalam
perdagangannya di Aceh, Portugis berupaya menanamkan kekuasaannya melalui
monopoli. Namun, rakyat Aceh menentangnya. Akibatnya, terjadi perang darat dan
laut antara Portugis dan Kerajaan Aceh yang dipimpin Sultan Iskandar Muda. Rakyat
dan Kerajaan Aceh berhasil mempertahankan kedaulatannya. Ketangguhan dan
kegigihan rakyat dan Kerajaan Aceh membuat Portugis gagal menanamkan pengaruh
dan kekuasaannya di Aceh.
4. Sultan Agung berupaya menyatukan Pulau Jawa
ke dalam wilayah Kerajaan Mataram. Hal ini mengkhawatirkan VOC di Batavia, dan
di bawah pimpinan J.P. Coen, VOC berusaha menghalanginya. Mengetahui hal itu,
Sultan Agung bertekad menguasai Batavia. Pada tahun 1628, Sultan Agung mengirim
pasukan Mataram untuk menyerang Batavia, tetapi gagal. Setahun berikutnya,
1629, serangan kedua ia lancarkan, tetapi kembali gagal walaupun berhasil
menewaskan J.P. Coen. Akhirnya ia memutuskan untuk menjaga wilayah yang
berbatasan dengan Batavia untuk mencegah masuknya VOC ke Mataram. Selama
kepemimpinan Sultan Agung, Mataram tidak pernah berhasil dipengaruhi oleh VOC.
Sumber: wildanrenaldi.files.wordpress.com-i.ytimg.com |
5. Penyerangan dan penguasaan Sultan Hasanuddin dari Kerajaan Makassar terhadap Pulau Sumbawa membuat Belanda cemas dan tidak senang. Peperangan antara Makassar dan Belanda pun berkali-kali pecah, dan Belanda sering dibuat kedodoran. Belanda kemudian minta bantuan raja Bone, Aru Palaka, untuk menghadapi Hasanuddin. Kerajaan Makassar pun akhirnya mengalami kekalahan dan dipaksa menyetujui Perjanjian Bongaya (1667).
6. Bersama
pasukannya, Sultan Nuku berhasil merebut kota Soa Siu dari tangan Belanda pada
tanggal 20 Juni 1801. Setahun kemudian ia juga sukses merebut benteng Belanda
di Ternate dan Tidore, serta berhasil menjadikan Maluku Utara masuk wilayah
kekuasaannya (Tidore). Perlawanan selanjutnya dipimpin oleh Pattimura. Benteng
Duurstede di Saparua berhasil direbut serta perlawanan terhadap Belanda meluas
hingga ke Ambon dan Seram. Pattimura dan kawan-kawannya dapat ditangkap serta
perlawanan rakyat melemah setelah Belanda mengerahkan kekuatan besar. Pattimura
dan kawan-kawan dihukum mati Belanda pada 16 Desember 1817.
7. Pengerahan pasukan Belanda untuk menguasai
Sumatra Barat membuat kaum adat dan
paderi bersatu (1831) di bawah pimpinan Tuanku Imam Bonjol untuk melawan.
Persenjataan Belanda yang lebih lengkap dan modern membuat pasukan Imam Bonjol
kualahan dan akhirnya kalah. Imam Bonjol ditangkap dan dibuang ke Minahasa
hingga wafat (1864).
8. Pangeran Diponegoro, dengan dibantu Pangeran
Mangkubumi, Kiai Mojo, dan Sentot Prawirodirdjo berperang melawan Belanda di
beberapa daerah di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ribuan tentara Belanda tewas dan
pasukan Diponegoro memperoleh kemenangan di beberapa tempat, seperti di Pacitan,
Purwodadi, dan Kedu. Dengan persenjataan yang lebih lengkap dan modern disertai
strategi benteng stelsel, Belanda dapat mengakhiri perlawanan Diponegoro dan
kawan-kawan. Kiai Mojo dapat dibujuk untuk berunding, tetapi kemudian ditangkap
dan dibuang ke Minahasa (1828). Pangeran Mangkubumi menghentikan perlawanannya
karena usia tua (1829). Sentot juga terbujuk oleh Belanda untuk berhenti
melawan. Pada 28 Maret 1830, Diponegoro ikut terbujuk untuk berunding, tetapi
kemudian juga ditangkap dan dibuang ke Manado dan Makassar hingga wafat.
Sumber: http static.inilah.com |
9. Pada tahun 1886, pecah perang antara Belanda
melawan Kerajaan Buleleng, Bali. Buleleng mendapat bantuan dari Karangasem,
tetapi istana Buleleng dapat dikuasai Belanda. Belanda lalu melebarkan
serangannya ke Kerajaan Badung, Klungkung, Gianyar, Tabanan, dan beberapa
kerajaan lain di Bali. Serbuan Belanda selalu disambut dengan perang puputan
oleh rakyat Bali sehingga kemudian muncul Perang Puputan Jagaraga (1849),
Perang Puputan Badung (1906), Perang Puputan Tabanan (1906), Perang Puputan
Klungkung (1908), dan Perang Puputan Kusamba (1908).
10. Pada tahun 1859, dengan digerakkan Pangeran
Antasari, meletus Perang Banjarmasin, di Kalimantan. Dengan dibantu Pangeran
Hidayatullah, Pangeran Antasari mempimpin rakyat Kerajaan Banjarmasin berjuang
melawan Belanda. Pangeran Hidayatullah ditangkap dan dibuang Belanda ke Cianjur
(1862). Perang terus berkobar. Dalam sebuah pertempuran, Antasari mengalami
luka parah dan akhirnya wafat (1862). Namun, perang tetap dilanjutkan lewat
kepemimpinan putra-putra Pangeran Antasari.
11. Pada tahun 1894, dalam upaya menguasai daerah
Batak, Belanda mengerahkan pasukan untuk menduduki Bakhara, pusat kekuasaan
Sisingamangaraja XII. Pertempuran sengit antara Belanda dan pasukan
Sisingamangaraja XII pecah di sekitar Pakpah-Dairi, sebelah barat Danau Toba.
Sisingamangaraja gigih berjuang. Namun,
akhirnya ia gugur bersama seorang putri dan dua orang putranya dalam sebuah
pertempuran.
12. Pada masa pendudukan Jepang, rakyat dilarang
berkumpul dan berserikat serta organisasi pergerakan pun dibubarkan. Hal ini
menyebabkan perlawanan terhadap Jepang dilakukan lewat gerakan bawah tanah
(sembunyi-sembunyi/ilegal). Secara diam-diam, para pejuang di antaranya
melakukan komunikasi untuk memelihara nasionalisme, menyiapkan kekuatan untuk menyambut
kemerdekaan, dan membangkitkan semangat dan kesiapan merdeka di kalangan
rakyat. Tokoh-tokoh gerakan bawah tanah ini, antara lain, Chairul Saleh, Sutan
Syahrir, Seokarni, Amir Syarifudin, dan Wikana.
13. Selain perlawanan diam-diam, muncul juga
perlawanan terbuka bersenjata terhadap Jepang.
Perlawanan bersenjata terbesar dilakukan oleh tentara Peta (Pembela
Tanah Air) pimpinan Supriyadi. Perlawanan ini berlangsung di Blitar pada
tanggal 14 Februari 1945. Oleh karena dipersiapkan kurang matang, perlawanan
dapat dipadamkan. Mereka yang dianggap sebagai tokoh perlawanan –– di
antaranya, Muradi, Suparyono, Sunanto, Ismangil, dan Soedarmo –– ditangkap
serta dihukum seumur hidup dan dihukum mati. Supriyadi sendiri tidak diketahui
nasib dan keberadaannya. Namun, banyak orang menduga, ia sebenarnya telah
ditangkap dan dihabisi oleh Jepang.
14. Perlawanan bersenjata terhadap Jepang juga
muncul di Cot Plieng, Aceh (1942), dan Singaparna, Jawa Barat (1944).
Perlawanan di Cot Plieng dipimpin Tengku Abdul Jalil, sedang di Singaparna
dipimpin K.H. Zainal Mustofa. Oleh karena tidak seimbangnya persenjataan, kedua
perlawanan ini dapat dipatahkan. Tengku Abdul Jalil gugur oleh tembakan Jepang
saat menjalankan salat subuh, sementara Zainal Mustofa tertangkap dan dihukum
mati.
C. Bangkitnya Nasionalisme dan Semangat
Kemerdekaan
Banyaknya kekalahan dan
kegagalan yang dialami rakyat Indonesia dalam mengusir kaum penjajah
menumbuhkan kesadaran untuk mengubah strategi perjuangan. Kesadaran seperti ini
terutama muncul di kalangan kaum terpelajar dan pemuda pada awal abad ke-20.
Mereka mulai menyadari pentingnya menggalang persatuan dan pembentukan
organisasi dalam melakukan perlawanan. Kegagalan perlawanan rakyat sejauh itu
telah disadari sebagai akibat perjuangan yang dilakukan masih bersifat fisik,
lokal, sporadis, dan kurang terorganisasi secara baik.
Persatuan dan
pembentukan organisasi adalah dua hal yang dipandang pen-ting dalam usaha
melawan kolonialisme. Persatuan dan pembentukan organisasi saling melengkapi.
Persatuan akan membuat perlawanan dalam berbagai bentuknya menjadi lebih sulit
dipatahkan oleh pemerintah kolonial. Adapun organisasi sangat berguna untuk
merapikan koordinasi perjuangan sekaligus sebagai alat perjuangan itu sendiri.
Semangat persatuan sendiri juga menumbuhkan prakarsa di kalangan tertentu
(terpelajar) untuk membentuk berbagai organisasi.
Dalam pada itu,
tumbuhnya kesadaran untuk bersatu menunjukkan mulai tumbuhnya rasa kebangsaan.
Hal ini dikarenakan persatuan yang akan digalang adalah persatuan sesama warga
bangsa. Oleh sebab itu, bersamaan dengan tumbuhnya kesadaran untuk bersatu,
tumbuh pula nasionalisme, yakni semangat kebangsaan.
Munculnya nasionalisme
lebih jelas ditandai oleh pembentukan organisasi-organisasi pergerakan
nasional. Budi Utomo yang didirikan pada 20 Mei 1908, mengawali pembentukan organisasi pergerakan nasional. Kemudian berturut-turut berdiri Sarekat Islam
(1911), Indische Partij (1912), Muhammadiyah (19-12), Perhimpunan Indonesia
(1925), Partai Nasional Indonesia (1927), Persatuan Bangsa Indonesia (1930),
dan Gabungan Politik Indonesia (1939).
Sumber: historia.id |
Perhimpunan Indonesia, yang beranggotakan para mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di luar negeri –– antara lain, Mohammad Hatta dan Iwa Koesoema Soemantri –– adalah organisasi yang dianggap paling menonjol dari segi pencanangan prinsip dan tujuan pergerakan. Pada tahun 1925, organisasi ini mengeluarkan pernyataan penting. Pernyataan yang kemudian populer disebut Manifesto Politik itu berisi beberapa butir pemikiran sebagai berikut.
1. Rakyat
Indonesia sewajarnya dipimpin oleh pemerintah yang dipilih oleh mereka sendiri
(rakyat Indonesia).
2. Dalam
memperjuangkan pemerintahan sendiri tersebut, tidak diperlukan bantuan (campur
tangan) dari pihak mana pun.
3. Tanpa persatuan yang kukuh dari berbagai
unsur rakyat, tujuan perjuangan tersebut sulit dicapai.
Dalam ketiga pernyataan
tersebut di atas, tercakup konsep penting tentang sebuah negara Indonesia,
demokrasi, persatuan, dan kemerdekaan. Dengan kata lain, di dalamnya terangkum
prinsip-prinsip nasionalisme, yang meliputi persatuan (unity), kebebasan
(liberty), dan persamaan (equality). Dengan konsep tersebut,
dasar gerakan nasional memiliki arah tujuan yang jelas (Kartodirdjo, 1999).
Tujuan pokok dari
perjuangan yang ditempuh tidak lain adalah kemerdekaan meski kata ini tidak disebut secara langsung.
Namun, tujuan kemerdekaan sebenarnya kuat terasa sebab nama majalah yang diterbitkan
oleh Perhimpunan Indonesia sendiri juga menyinggung kata tersebut, yakni Indonesia
Merdeka. Apa yang disuarakan Perhimpunan Indonesia ini kemudian memberi
pengaruh yang besar bagi pergerakan nasional selanjutnya.
Peristiwa besar yang
tidak lepas dari pengaruh tersebut ialah Kongres Pemuda II yang digelar pada
tanggal 27–28 Oktober 1928. Kongres ini melahirkan Sumpah Pemuda yang berisi
pernyataan tentang tanah air, bangsa, dan bahasa yang satu: Indonesia. Melalui
pernyataan ini, maka momentum persatuan dan, dengan sendirinya juga
nasionalisme, pun makin kuat mencuat.
D. Peristiwa Proklamasi Kemerdekaan
Anda sudah mengetahui
bahwa ketika bangsa Indonesia masih dalam cengkeraman kolonial Belanda,
nasionalisme dan keinginan merdeka sudah tumbuh di kalangan rakyat. Pada saat
Belanda pergi dan Jepang datang, semangat dan keinginan itu tumbuh kian kuat.
Hal ini, antara lain, tercermin dari makin kuatnya persatuan rakyat dan
bertambah rapinya gerakan yang digalang biarpun semuanya itu dilakukan secara
tersembunyi. Perlawanan yang dilancarkan pun sudah kian kuat mengarah ke
langkah-langkah menuju kemerdekaan.
1. Janji Kemerdekaan dari Jepang
Kedudukan Jepang sendiri
dalam keseluruhan perangnya melawan Sekutu mulai terdesak. Pada tahun 1944,
posisi Jepang dalam Perang Pasifik benar-benar sulit dan terancam. Jepang menderita
kekalahan di banyak pertempuran.
Sejumlah fasilitas
militer milik Jepang di Indonesia juga mengalami kerusakan akibat serangan
udara pesawat-pesawat Sekutu. Moril bertempur pasukan Jepang mengalami penurunan. Keadaan diperburuk oleh
krisis ekonomi dan politik yang melanda kehidupan dalam negeri Jepang, sementara
perlawanan rakyat Indonesia dalam berbagai bentuknya tidak pernah padam. Jepang
pun berada dalam ancaman dan bayangan kekalahan.
Kemelut itu
mengakibatkan Perdana Menteri Jepang, Hideki Tojo, meletakkan jabatan, pada 17
Juli 1944. Ia diganti Kuniaki Koiso. Koiso, tentu saja, menanggung beban yang
berat karena harus memulihkan Jepang dari keterpurukan. Antara lain, ia harus
memulihkan kewibawaan Jepang di mata bangsa-bangsa Asia. Koiso pun kemudian
berjanji untuk memberikan kemerdekaan kepada sejumlah bangsa di Asia, termasuk
Indonesia.
Pada tanggal 7 September
1944 (ada juga yang menyebut 9 September 1944), Koiso mengeluarkan janji untuk
memberi kemerdekaan kepada Indonesia. Janji diberikan untuk melunakkan sikap
rakyat Indonesia. Untuk menunjukkan keseriusan atas janjinya, Jepang
memperbolehkan pengibaran bendera Merah-Putih di kantor-kantor, tetapi harus
berdampingan dengan bendera mereka, Hinomaru.
Jepang makin kalut dan
kondisinya kian kritis. Semua basis pertahanannya di Pasifik mulai jebol oleh
serbuan Sekutu. Kedudukannya di beberapa kota Indonesia, seperti di Surabaya,
Makassar, dan Ambon, juga mendapat serangan udara gencar dari Sekutu. Hal ini
menyebabkan Jepang makin menunjukkan sikap lunak terhadap rakyat Indonesia.
Pada akhir April 1945, pemerintah
pendudukan Jepang membentuk Dokuritsu Junbi Cosakai, yakni Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Tujuan pembentukan badan ini ialah
mempersiapkan kemerdekaan Indonesia. Setelah merumuskan dasar negara dan
undang-undang dasar melalui dua kali sidang, BPUPKI dibubarkan. Sebagai
gantinya, dibentuk Dokuritsu Junbi
Iinkai atau Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Pembentukan PPKI dilakukan atas persetujuan dan
perintah Panglima Pasukan Jepang di Asia Tenggara, Jenderal Terauchi. Tugas
yang dibebankan kepada PPKI ialah menindaklanjuti keputusan-keputusan yang
dihasilkan BPUPKI.
2. Kekalahan Jepang
Kembali ke perang
Jepang-Sekutu; pada awal Agustus, Sekutu
menyerang dua kota penting di Jepang. Pada 6 Agustus 1945, armada udara Sekutu
menjatuhkan bom atom di Hiroshima. Tiga hari berikutnya, tanggal 9 Agustus
1945, Sekutu menjatuhkan bom yang sama di Nagasaki. Serangan hebat yang sangat
mematikan ini benar-benar membuat Jepang tidak berdaya. Negeri Matahari Terbit
ini akhirnya menyerah tanpa syarat kepada Sekutu pada tanggal 15 Agustus 1945.
Kendatipun dirahasiakan,
berita kekalahan dan menyerahnya Jepang kepada Sekutu sampai juga ke telinga para
tokoh pejuang dan pemuda Indonesia. Kekalahan dan menyerahnya Jepang
menyebabkan terjadinya vacuum of power (kekosongan kekuasaan) di Indonesia.
Berita ini kian memperkuat hasrat rakyat Indonesia untuk merdeka. Namun, berita
yang sebenarnya menggembirakan itu sekaligus juga memicu timbulnya perbedaan
pendapat di kalangan para pejuang –– yakni kalangan tua dan kalangan pemuda ––
dalam menentukan hari proklamasi kemerdekaan.
Sumber: kebudayaan.kemdikbud.go.id |
Untuk menindaklanjuti kekalahan dan penyerahan Jepang, kalangan pemuda yang terdiri atas mahasiswa dan anggota Peta serta dimotori tokoh-tokoh gerakan bawah tanah –– seperti Syahrir, Chairul Saleh, dan Wikana –– menghendaki agar kemerdekaan secepatnya diproklamasikan. Sebaliknya, kalangan tua yang umumnya merupakan para anggota PPKI dengan motor utama Soekarno dan Hatta, cenderung menginginkan hari pelaksanaan proklamasi kemerdekaan disesuaikan dengan ketentuan yang sudah dijanjikan Jepang, yakni tanggal 24 Agustus 1945.
Kalangan pemuda
berpendapat, Jepang yang sudah kalah perang tidak punya alasan menghalangi
rakyat Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaan. Adapun jika hari
proklamasi dilakukan sesuai dengan hari atau tanggal yang dijanjikan Jepang,
maka proklamasi itu menjadi kurang bermakna karena terkesan sebagai hadiah atau
pemberian Jepang. Sebaliknya, jika proklamasi dilaksanakan pada hari yang
ditentukan sendiri oleh rakyat, proklamasi itu benar-benar sebagai hasil perjuangan
mandiri rakyat Indonesia yang bermakna dalam.
Namun, kalangan tua
tidak berani melanggar ketentuan hari kemerdekaan yang dipilih Jepang. Hal ini,
karena meski Jepang sudah kalah perang, mereka masih memiliki pasukan yang kuat
di Indonesia. Jika ketentuan hari kemerdekaan dari Jepang dilanggar, kalangan
tua khawatir akan terjadi pertumpahan darah di kalangan rakyat Indonesia sebab
tentara Jepang yang terkenal sangat kejam dapat saja menyerang rakyat. Mereka
berpendapat, bukan merupakan masalah yang penting apakah kemerdekaan itu
pemberian Jepang atau tidak. Masalah yang penting dan mendesak adalah cara
menghadapi Sekutu yang segera akan datang serta mempersiapkan kemerdekaan
secara matang.
Perbedaan tersebut
menimbulkan kritik tajam dari kalangan pemuda terhadap kalangan seniornya.
Kalangan pemuda menilai kalangan tua terlalu lamban dan tunduk pada kemauan
Jepang. Melalui sebuah rapat, mereka bertekad bulat mendesak kalangan tua untuk
segera memproklamasikan kemerdekaan. Mereka mempercayakan pelaksanaan
proklamasi kepada Soekarno dan Hatta, anggota kalangan tua yang dipandang
berwibawa di mata rakyat. Namun, kalangan tua tetap bertahan pada pendiriannya.
3. Peristiwa Rengasdengklok
Tiadanya titik temu dan
kata sepakat akhirnya menyebabkan kalangan muda sampai pada keputusan untuk
“mengevakuasi” Soekarno dan Hatta ke luar dari Jakarta. Hal ini dimaksudkan
agar Soekarno dan Hatta lepas dari pengaruh Jepang sehingga mereka berani
memproklamasikan kemerdekaan pada hari yang dikehendaki kalangan pemuda. Tempat
yang dipilih untuk mengamankan mereka berdua adalah Rengasdengklok. Para pemuda
pun memboyong Soekarno-Hatta ke kota
kecamatan yang berada sekitar 20 km
sebelah utara Karawang itu.
Sumber: IPPHOS |
Sesampainya di Rengasdengklok,
Soekarno dan Hatta menolak keinginan kalangan pemuda dan tetap bersikeras pada
pendirian semula. Namun, setelah melalui ketegangan dan tarik ulur yang cukup
alot, Soekarno akhirnya menyetujui untuk melaksanakan proklamasi kemerdekaan.
Lewat perundingan kalangan tua dan kalangan pemuda di Jakarta disepakati:
proklamasi akan dilakukan pada tanggal 17 Agustus 1945 sebelum pukul 12.00 WIB.
Tekad Soekarno dan Hatta
untuk melaksanakan proklamasi lepas dari hari yang ditentukan Jepang akhirnya
bertambah kuat. Hal ini terjadi setelah mereka berdua bertemu dan berunding
dengan Mayor Jenderal Nishimura, kepala pemerintahan umum Jepang. Dikatahui
bahwa Nishimura melarang dilakukannya
segala bentuk kegiatan oleh rakyat, termasuk proklamasi kemerdekaan yang
sebelumnya dijanjikan Jepang.
4. Perumusan dan Pembacaan Naskah Proklamasi
Maka, mulailah dilakukan
upaya konkret untuk melaksanakan proklamasi kemerdekaan. Soekarno dan Hatta
bergegas ke kediaman Laksamana Tadashi Maeda, kepala perwakilan angkatan laut
Jepang yang bersimpati pada perjuangan rakyat Indonesia. Di rumah yang kini
beralamat di Jalan Imam Bonjol No. 1, Jakarta, ini naskah proklamasi
kemerdekaan kemudian dirumuskan bersama oleh Soekarno, Hatta, dan Achmad
Soebardjo, dengan disaksikan Soekarni, B.M. Diah, dan Soediro.
Setelah selesai ditulis,
naskah proklamasi dirapatkan untuk
dibahas. Naskah yang masih berupa tulisan tangan itu disetujui dengan sedikit
perubahan. Setelah terjadi sedikit perselisihan mengenai siapa yang harus menandatangani
naskah, akhirnya disepakati hanya Soekarno dan Hatta yang membubuhkan tanda tangan, dengan
pertimbangan mereka berdua telah diakui sebagai tokoh utama rakyat Indonesia.
Naskah proklamasi kemudian diketik oleh Sayuti Melik serta ditandatangani oleh
Soekarno dan Hatta. Praktis, tanggal 17 Agustus 1945 dini hari itu, naskah
proklamasi kemerdekaan secara keseluruhan telah selesai dirumuskan dan siap
untuk dibacakan.
Sumber: IPPHOS |
Tanggal 17 Agustus 1945
pagi hari, upacara proklamasi kemerdekaan dipersiapkan. Semula upacara akan
digelar di lapangan Ikada, Jakarta, tetapi kemudian dipindahkan ke tempat lain.
Alasan pemindahan ialah jika dilakukan di lapangan Ikada, dikhawatirkan akan
memicu terjadinya bentrokan antara
rakyat dan pasukan Jepang.
Rumah Soekarno di Jalan
Pegangsaan Timur 56, Jakarta, kemudian dipilih sebagai tempat upacara. Dengan
persiapan serba mendadak dan spontan, sekitar pukul 10.00 WIB naskah proklamasi
kemerdekaan pun akhirnya dibacakan Soekarno dengan didampingi Mohammad Hatta.
Usai pembacaan naskah proklamasi, bendera Merah-Putih dikibarkan dengan
diiringi lagu “Indonesia Raya” oleh hadirin.
Upacara berlangsung
sekitar satu jam, amat sederhana, dan tanpa protokoler. Namun, hal itu tidak
mengurangi kekhidmatan dan kebesaran makna yang dikandungnya. Peristiwa ini
membawa perubahan besar bagi bangsa
Indonesia. Peristiwa yang sangat bersejarah ini menandai lahirnya bangsa dan
negara Indonesia yang merdeka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar