Senin, 25 September 2017

Gerakan Separatis: Organisasi Papua Merdeka (OPM)

Oleh Akhmad Zamroni    

Sumber: cdn.tmpo.co

Organisasi Papua Merdeka (OPM) lahir atau dibentuk pada tanggal 26 Juli 1965 di Kota Manokwari. Pembentukan OPM dilakukan sebagai upaya untuk memisahkan Provinsi Papua Barat (pada era Orde Baru disebut Irian Jaya) dari pemerintah RI dan NKRI serta menjadikannya sebagai negara yang merdeka. Lahirnya OPM ditandai dengan penyerangan orang-orang suku Arfak terhadap barak pasukan Batalion 751 (Brawijaya). Latar belakang yang mendorong munculnya OPM ketika itu, antara lain, (sebagaimana yang dikeluhan orang-orang Arfak) tingginya jumlah pengangguran dan terjadinya kekurangan pangan di kalangan suku Arfak.

Dari Manokwari, gerakan OPM merembet ke hampir seluruh daerah Kepala Burung. Tokoh pemimpin gerakan ini adalah Johan Ariks yang saat itu sudah berumur 75 tahun. Adapun tokoh-tokoh pemimpin militernya adalah dua bersaudara, Lodewijk Mandatjan dan Barends Mandatjan, serta dua bersaudara, Ferry Awom dan Perminas Awom.

Inti kekuatan tempur mereka adalah para bekas anggota PVK atau yang dikenal dengan sebutan Batalion Papua. Ariks dan Mandatjan bersaudara adalah tokoh-tokoh asli dari Pegunungan Arfak di Kabupaten Manokwari, sedangkan Awom bersaudara adalah migran suku Biak yang banyak terdapat di Manokwari. Sebelum melakukan pemberontakan bersenjata, Ariks adalah pemimpin partai politik Persatuan Orang New Guinea (PONG) yang berbasis di Manokwari serta terutama beranggotakan orang-orang Arfak. Tujuan PONG adalah mencapai kemerdekaan penuh bagi Papua Barat.


Sumber:http cdn1.spiegel.de

Pemberontakan OPM di daerah Kepala Burung dapat dipadamkan oleh pasukan elite RPKAD (sekarang Kopassus). Namun, pada tanggal 1 Juli 1971, muncul proklamasi OPM yang kedua. Peristiwa ini terjadi di Desa Waris, Kabupaten Jayapura, dekat perbatasan Papua Nugini. Pencetusnya juga berasal dari angkatan bersenjata, tetapi bukan bekas tentara didikan Belanda, melainkan seorang bekas bintara didikan Indonesia, Seth Jafet Rumkorem. Sebagaimana Ferry Awom yang memimpin OPM di daerah Kepala Burung, Rumkorem juga berasal dari suku Biak. Ironisnya, Rumkorem merupakan putra Lukas Rumkorem, seorang pejuang Merah Putih di Biak, yang pada bulan Oktober 1949 menandai berdirinya Partai Indonesia Merdeka (PIM).

Seth Jafet Rumkorem semula menyambut kedatangan pemerintah dan tentara Indonesia dengan tangan terbuka. Ia keluar dari pekerjaannya sebagai pegawai di kantor KLM di Biak dan masuk TNI AD yang membawanya mengikuti latihan militer di Cimahi, Jawa Barat, sebelum ditempatkan di Irian Jaya dengan pangkat letnan satu bidang intelijen. Namun, kekecewaannya melihat berbagai pelanggaran hak asasi manusia menjelang Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969, mendorong ia untuk bergabung dengan para aktivis OPM dari daerah Jayapura. Sebelumnya ia sudah membina hubungan dengan kelompok OPM pimpinan Herman Womsiwor, orang sesukunya yang tinggal di Belanda. Atas dorongan Womsiwor, pada 1 Juli 1971 ia membacakan teks proklamasi Republik Papua Barat dengan mengklaim sebagai Presiden Republik Papua Barat dengan memilih pangkat Brigadir Jenderal.


Sumber: i1.wp.com

Setelah proklamasi kedua OPM, masih muncul lagi pernyataan atau proklamasi kemerdekaan dari beberapa tokoh di berbagai daerah Papua. Proklamasi diserta dengan pengibaran bendera yang mereka jadikan simbol negara yang akan mereka didirkan –– bendera itu kemudian dikenal dengan sebutan “Bintang Kejora”. Namun, di sisi lain pemerintah RI (Orde Baru) juga tetap melakukan operasi penumpasan. Sejak Februari 1975, tokoh-tokoh OPM berikut gerakan-gerakan sempalannya ditangkap dan diadili.

Sebagaimana RMS, gerakan OPM masih tetap muncul secara seporadis. Sampai kemudian pemerintahan reformasi mengambil alih kepemimpinan dari rezim Orde Baru, hingga kini OPM sesekali masih melakukan penyerangan terhadap aparat keamanan serta melakukan pengibaran bendera Bintang Kejora di Papua. Beberapa orang dan negara asing diduga kuat turut menjadi simpatisan OPM serta secara terselubung seringkali memberikan dukungan dan melakukan provokasi terhadap masyarakat Papua untuk bergabung dengan OPM dan memisahkan diri dari NKRI.

Gerakan Separatis: Gerakan Aceh Merdeka (GAM)

Oleh Akhmad Zamroni

Sumber: http 2.bp.blogspot.com

Gerakan Aceh Merdeka (GAM) merupakan sebuah gerakan yang bertujuan memisahkan atau melepaskan Aceh dari NKRI. GAM juga dikenal dengan nama Aceh Sumatra National Liberation Front (ASN-LF). Pada masa awal dibentuknya GAM, nama resmi yang digunakan adalah AM (Aceh Merdeka). Oleh pemerintah Orde Baru periode tahun 1980–1990, GAM diberi sebutan GPK-AM (Gerakan Pengacau Keamanan Aceh Merdeka). 
GAM dipimpin oleh Hasan di Tiro. Tokoh-tokoh lainnya adalah Daud Paneuk, Zubir, Mukhtar, Ishak Daud, Hasan di Tiro dan kawan-kawan membentuk GAM adalah perasaan mendapat perlakuan yang kurang adil dalam banyak hal dari pemerintah pusat (Orde Baru). Di antaranya, mereka menganggap kekayaan alam Aceh dieksploitasi pemerintah Orde Baru tanpa sebagiannya digunakan secara layak untuk Abdullah Syafi’ie, dan Said Adnan. Pada tanggal 4 Desember 1976, di perbukitan Halimon, Kabupaten Pidie, Hasan di Tiro dan para pengikutnya mengeluarkan pernyataan perlawanan terhadap pemerintah RI. Salah satu hal yang menyebabkan meningkatkan kesejahteraan rakyat Aceh.
Sumber: www.asianews.it
Untuk mengekspresikan penentangannya terhadap pemerintahan Orde Baru, GAM melakukan perlawanan bersenjata. Gerakan tersebut mendapat reaksi keras dari pemerintah Orde Baru. Untuk mengatasi manuver-manuver GAM, rezim Orde Baru menggelar operasi militer dengan pemberlakuan DOM (Daerah Operasi Militer) di Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Operasi yang dijalankan sejak paruh kedua tahun 1980-an sampai dengan akhir 1990-an tersebut menyebabkan ribuan nyawa melayang (menurut Wikipedia sampai 15.000 jiwa), baik berasal dari pihak GAM, polisi dan tentara pemerintah, maupun warga masyarakat, sementara gerakan GAM sendiri tak kunjung dapat dipadamkan.
Pemberlakuan DOM membuat GAM terdesak serta menyebabkan sebagian tokoh dan pengikutnya melanjutkan gerakan separatis dari pengasingan (di luar negeri). Setelah pemerintahan Orde Baru tumbang oleh gerakan reformasi pada tahun 1998, GAM kembali bangkit dan melakukan gerakan lebih intensif. Sepeninggal rezim Orde Baru, pemerintahan baru yang terbentuk mencoba bertindak lebih lunak dan persuasif dengan mengutamakan jalan dialogis dalam memadamkan GAM. Namun, jalan dialogis juga gagal membuahkan solusi yang memuaskan sehingga kemudian pada tahun 2003 pemerintah memberlakukan status darurat militer di Provinsi Aceh.
Gempa bumi dan tsunami dahsyat pada tanggal 26 Desember 2004 yang membuat Kota Banda Aceh hancur serta mengakibatkan 200.000 lebih warga Aceh meninggal dunia kiranya membawa berkah. Bencana alam yang dampaknya sangat luar biasa ini tidak hanya mengguncang rasa kemanusiaan masyarakat Indonesia dan rakyat Aceh, melainkan juga menyadarkan dan mendorong baik pemerintah RI maupun GAM untuk mengambil cara-cara damai dalam menyelesaikan konflik. Hanya dua bulan setelah gempa dan tsunami itu, tepatnya tanggal 27 Februari 2005, atas inisiatif dan mediasi pihak internasional, GAM dan pemerintah RI akhirnya memulai perundingan damai di Vantaa, Helsinki, Finlandia. Perundingan difasilitasi oleh mantan presiden Finlandia, Martti Ahtisaari.
Sumber: theelders.org
Setelah perundingan berlangsung 25 hari, pada tanggal 17 Juli 2005 tim perunding pemerintah Indonesia berhasil mencapai kesepakatan damai dengan GAM. Penandatanganan nota kesepakatan damai dilakukan pada tanggal 15 Agustus 2005. Proses perdamaian lebih lanjut dipantau oleh tim Aceh Monitoring Mission (AMM) yang beranggotakan lima negara ASEAN dan beberapa negara anggota Uni Eropa. Di antara poin penting hasil perundingan adalah bahwa pemerintah Indonesia akan turut memfasilitasi pembentukan partai politik lokal di Aceh dan pemberian amnesti bagi para anggota GAM.

Tindak lanjut lainnya adalah pihak GAM melakukan pelucutan senjata yang dimilikinya secara sukarela. Pada tanggal 19 Desember 2005, seluruh senjata milik GAM yang mencapai 840 pucuk diserahkan kepada Aceh Monitoring Mission. Melalui juru bicaranya, Sofyan Dawood, pada tanggal 27 Desember 2005, GAM juga mengeluarkan pernyataan bahwa sayap militer mereka secara resmi telah dibubarkan.