Minggu, 15 April 2018

Dari Sistem Demokrasi Terpimpin ke Sistem Demokrasi Pancasila


Oleh  Akhmad Zamroni

Sumber: belapendidikan.com

Pada tahun 1950-an, model atau sistem demokrasi yang dianut di Indonesia adalah demokrasi liberal atau demokrasi parlementer. Akibat belum memadainya infrastruktur politik dan sangat minimnya pengalaman berdemokrasi, pelaksanaan demokrasi liberal menimbulkan kekacauan dan ketidakstabilan kehidupan berbangsa dan bernegara yang berkepanjangan. Hal ini mengakibatkan Presiden Soekarno mengeluarkan Dekret Presiden 5 Juli 1959.
Isi Dekret Presiden 5 Juli 1959 adalah pembubaran Konstituante, pemberlakuan kembali UUD 1945 (untuk menggantikan UUDS 1950), serta pembentukan MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara) dan DPAS (Dewan Pertimbangan Agung Sementara). Dalam perkembangannya, Dekret 5 Juli 1959 menjadi penanda berakhirnya demokrasi liberal dalam sistem ketatanegaraan atau sistem politik di Indonesia. Setelah dekret itu berlaku, model demokrasi yang dijalankan oleh pemerintahan Presiden Soekarno adalah demokrasi terpimpin.
Sistem demokrasi terpimpin yang dijalankan Presiden Soekarno tidak membawa kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara Indonesia menjadi makin konstitusional, demokratis, adil, dan sejahtera. Hal ini terjadi karena sistem demokrasi terpimpin menyebabkan pemerintahan Presiden Soekarno justru mengabaikan nilai-nilai dan prinsip-prinsip demokrasi serta sebaliknya berubah menjadi otoriter dan antidemokrasi. Bahkan, sistem demokrasi terpimpin akhirnya menyebabkan terjadinya penumpukan dan tersentralisasinya kekuasaan (kedaulatan) negara di tangan presiden seorang diri.
Penumpukan dan tersentralisasinya kekuasaan di tangan presiden mengakibatkan terjadinya banyak sekali penyimpangan terhadap UUD 1945. Penyimpangan paling menonjol yang dilakukan oleh Presiden Soekarno adalah dikeluarkannya keputusan yang disebut “penetapan presiden” (atau penpres). Penpres dikeluarkan presiden tanpa melalui persetujuan DPR, tetapi dijadikan peraturan yang setara dengan undang-undang (UU).
Pemberlakuan penpres merupakan tindakan yang inkonstitusional karena penpres jelas sekali bertentangan dengan UUD 1945. Sebagai keputusan yang diberi kedudukan setingkat dengan undang-undang, penpres justru dibuat dan dikeluarkan presiden secara sepihak tanpa persetujuan DPR. Menurut ketentuan UUD 1945, undang-undang dibuat dan ditetapkan melalui persetujuan bersama antara presiden dan DPR. Dalam pada itu, penpres itu sendiri pun banyak yang di antaranya dikeluarkan untuk mengatur hal-hal yang berada di luar kewenangan presiden. Misalnya, dikeluarkan untuk membentuk MPRS (Penpres No. 2/1959), membentuk DPAS (Penpres No. 3/1959), membubarkan partai politik (Penpres No. 7/1959), dan membubarkan DPR (Penpres No. 3/1960).
Akibat terlalu besarnya kekuasaan dan otoriternya presiden, lembaga-lembaga tinggi negara –– terutama MPRS, DPR, dan DPAS –– juga mengalami krisis fungsi dan kedudukan. Pembentukan ketiga lembaga negara tersebut dilakukan dengan penpres serta keanggotaannya pun ditunjuk atau dipilih oleh presiden sehingga ketiganya praktis berada di bawah kendali presiden. Keputusan-keputusan ketiga lembaga tersebut juga lebih banyak dikeluarkan untuk mendukung kepentingan presiden serta memperkuat kedudukan presiden, bukan untuk memperjuangkan aspirasi dan kepentingan rakyat sebagai pemilik kedaulatan negara. Sebagai contoh, salah satu ketetapan MPRS (Tap No. III/MPRS/1963) dikeluarkan untuk mengangkat Soekarno sebagai presiden seumur hidup.
Penyimpangan-penyimpangan tersebut menunjukkan dengan gamblang bahwa demokrasi sebagai sistem ketatanegaraan sama sekali tidak berjalan serta pengelolaan pemerintahan berlangsung secara inkonstitusional. Akibatnya, kehidupan berbangsa dan bernegara mengalami kekacauan. Krisis politik, hukum, ekonomi, dan sosial pun kemudian tidak dapat dihindarkan. Dan akibat desakan rakyat yang dipelopori oleh mahasiswa dan pelajar, pada paruh kedua dasawarsa 1960-an, pemerintahan Presiden Soekarno –– yang populer dengan sebutan pemerintahan Orde Lama –– akhirnya runtuh. Sebagai gantinya, pemerintahan baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto tampil memegang tampuk kekuasaan.
Pemerintahan Presiden Soeharto meneruskan kendali kehidupan berbangsa dan bernegara dengan tekad melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 dengan murni dan konsekuen. Sebagai bagian yang tak terpisahkan dari konstitusi, demokrasi pun hendak kembali ditumbuhkembangkan sejalan dengan nilai-nilai dasar negara, Pancasila. Sebagai bentuk pelaksanaan kedaulatan rakyat, demokrasi hendak dijalankan dengan berlandaskan pada nilai-nilai yang terkandung dalam sila Pancasila. Maka, demokrasi yang kemudian hendak dilaksanakan itu mendapat sebutan “demokrasi Pancasila”.
Melalui Tap MPRS No. XXXVII/1968 dan diperkuat dengan Tap MPR No. I/1978, demokrasi Pancasila dijadikan sistem ketatanegaraan untuk menjalankan roda pemerintahan. Pemerintahan Presiden Soeharto –– yang mengklaim diri sebagai pemerintahan Orde Baru –– bertekad melaksanakan demokrasi Pancasila sebagai koreksi atas sistem demokrasi (terpimpin) yang dijalankan oleh pemerintahan Orde Lama. Demokrasi Pancasila dianggap lebih sesuai dengan dasar negara dan konstitusi sehingga lebih menjamin pelaksanaan kedaulatan rakyat.
Pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto sendiri akhirnya juga menjelma menjadi pemerintahan yang otoriter serta masif dalam melakukan korupsi dan pelanggaran berat hak asasi manusia. Namun, terlepas dari hal itu, sistem demokrasi Pancasila merupakan model demokrasi khas Indonesia yang lebih sesuai dengan karakteristik, kultur, ideologi, dan filosofi bangsa Indonesia. Substansi demokrasi Pancasila, selain berkorelasi dengan ideologi dan dasar negara (Pancasila) serta konstitusi negara (UUD 1945), juga berelevansi dengan kebudayaan dan kehidupan sosial masyarakat Indonesia jauh sebelum negara Indonesia terbentuk.
Pelaksanaan demokrasi Pancasila dilandasi oleh asas gotong royong dan kekeluargaan serta pengamalan sila-sila dalam Pancasila. Menurut sistem ini, pengambilan keputusan dilakukan semaksimal mungkin melalui musyawarah dalam upaya mencapai mufakat. Jika dengan cara ini keputusan tidak dapat diambil, dapat dilakukan pemungutan suara (voting) dengan keputusan akhir didasarkan pada suara terbanyak. Adapun keputusan yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan serta tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.
Demokrasi Pancasila menempatkan kepentingan bangsa dan negara serta hak warga negara pada kedudukan yang tinggi. Berdasarkan demokrasi Pancasila, kepentingan umum lebih diutamakan daripada kepentingan individu dan golongan. Pelaksanaan demokrasi Pancasila merupakan bentuk pengakuan terhadap hak asasi manusia sekaligus hak demokrasi warga negara (rakyat). Lebih khusus dan terperinci, demokrasi Pancasila memilili ciri-ciri sebagai berikut.
Sistem demokrasi Pancasila tidak jauh berbeda dengan sistem demokrasi pada umumnya dalam menempatkan rakyat. Demokrasi Pancasila tetap memposisikan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dalam negara. Aspirasi dan kepentingan rakyat menjadi dasar bagi pelaksanaan pemerintahan negara.
Demokrasi Pancasila menggunakan sistem perwakilan. Kedaulatan rakyat dilaksanakan melalui wakil-wakil rakyat yang duduk dalam lembaga perwakilan (MPR, DPR, dan DPD). Melalui para wakilnya di lembaga perwakilan, rakyat juga ikut serta dan mengawasi jalannya pemerintahan.
Dalam pengambilan keputusan, demokrasi Pancasila lebih mengutamakan musyawarah, sedangkan voting dijadikan jalan terakhir. Inilah ciri yang paling membedakan demokrasi Pancasila dengan sistem demokrasi pada umumnya. Musyawarah yang dilakukan dengan tenang, santun, argumentatif, dan dilandasi iktikad baik akan menghasilkan keputusan konkret dalam berbagai bentuk, seperti undang-undang, konsensus politik, dan umpan balik yang efektif. Keputusan seperti ini dapat menjadi masukan bagi pemerintah dalam penyempurnaan pelaksanaan undang-undang dan kebijakan lain serta bagi pemeliharaan kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih sehat, dinamis, dan bermartabat.
Bagaimanakah pula kaitan demokrasi Pancasila dengan nilai-nilai Pancasila?  Substansi atau inti demokrasi Pancasila diinspirasi oleh nilai-nilai Pancasila yang bersifat satu kesatuan yang tak terpisahkan. Itulah sebabnya, demokrasi Pancasila dilandasi prinsip-prinsip demokrasi yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat dan kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Berikut ini dijelaskan kaitan antara demokrasi Pancasila dengan sila-sila yang terdapat dalam Pancasila.
1.  Demokrasi Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
Sistem demokrasi Pancasila tidaklah bersifat ateistis (anti-Tuhan). Demokrasi Pancasila menganut mekanisme dimensi ganda pada manusia, yakni homo individualis  dan homo religius. Dimensi religius mengandung pengertian bahwa pelaksana demokrasi harus mampu mempertanggungjawabkan seluruh sikap dan perbuatannya kapada Tuhan. Dalam demokrasi Pancasila, sikap dan perilaku saling menghargai di antara umat beragama hendak diwujudkan.
2.  Demokrasi Berdasarkan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
Demokrasi Pancasila mengarahkan semua individu untuk memperlakukan sesama sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai manusia. Pemaksaan, penindasan, dan segala bentuk pelanggaran hak asasi yang lain hendak dihindarkan. Hal ini sejalan dengan prinsip dasar demokrasi umumnya yang memberi jaminan terhadap perlindungan dan penegakan hak asasi manusia.
3.  Demokrasi Berdasarkan Persatuan Indonesia
Demokrasi Pancasila mengarahkan semua warga negara untuk menjaga dan memperkuat persatuan di sisi satu serta menghindari pertentangan dan perpecahan di sisi lain. Pertentangan dan perpecahan dapat menyebabkan terjadinya penindasan. Dalam demokrasi Pancasila, desentralisasi diterapkan dengan prinsip dan bingkai kesatuan dan persatuan. Daerah-daerah tidak dibenarkan saling bertentangan, melainkan harus bersatu untuk mengusahakan tercapainya tujuan hidup bernegara.
4.  Demokrasi Berdasarkan Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan
Demokrasi Pancasila memiliki landasan utama kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Demokrasi Pancasila merupakan wujud kedaulatan rakyat, sedangkan pelaksanaan kedaulatan tersebut dilakukan melalui sistem perwakilan. Adapun melalui lembaga perwakilan selalu diutamakan adanya musyawarah (daripada voting) dalam setiap pengambilan keputusan.
5.  Demokrasi Berdasarkan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Pelaksanaan demokrasi Pancasila selalu diupayakan dengan memperhatikan kesejahteraan rakyat Indonesia. Sistem demokrasi Pancasila tidak hanya dilaksanakan melalui kampanye dan pemilihan umum. Pelaksanaan demokrasi Pancasila berorientasi pada dua fungsi, yakni menyejahterakan kehidupan politik dan kehidupan ekonomi.

Implementasi Demokrasi Liberal di Indonesia


Oleh  Akhmad Zamroni

Sumber: www.awaaznation.com

 Implementasi demokrasi di Indonesia berkembang dan berubah dari waktu ke waktu sejalan dengan perkembangan zaman dan kehidupan masyarakatnya. Setelah Indonesia merdeka dan secara resmi terbentuk menjadi negara, demokrasi mengalami transformasi. Demokrasi yang sebelumnya menjadi sistem kehidupan yang cenderung nonformal (tidak resmi) di kalangan masyarakat pedesaan, selanjutnya menjadi sistem yang digunakan secara resmi dalam kehidupan politik dan ketatanegaraan.
Ditetapkan dan disahkannya Undang-Undang Dasar Negarqa Reuplik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) oleh PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) sehari setelah diproklamasikannya kemerdekaan oleh Soekarno-Hatta menjadi tonggak paling jelas dan konkret perihal dianutnya sistem demokrasi secara resmi dan de jure dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di Indonesia. UUD 1945 menjadi penanda paling formal dan konkret mengenai dianutnya sistem demokrasi oleh negara Indonesia. Pernyataan UUD 1945 Pasal 1 bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dengan jelas menjadi klaim dan indikasi bahwa negara Indonesia adalah negara demokrasi.
Setelah kurang lebih selama lima tahun mengalami perang dan revolusi mempertahankan kemerdekaan serta dikacaukan oleh bentuk negara federasi (Republik Indonesia Serikat –– RIS), sejak tahun 1950 bangsa Indonesia memasuki era yang disebut demokrasi liberal –– sebagian ahli dan pengamat menyebutnya demokrasi parlementer. Penolakan kuat terhadap bentuk negara federasi (serikat) menyebabkan dicabutnya Konstitusi RIS 1949 dan digantikan dengan Undang-Undang Dasar Sementara 1950 (UUDS 1950). Dengan landasan UUDS 1950, Indonesia menganut sistem demokrasi liberal, sebuah model demokrasi yang sebelumnya sudah dipraktikkan di negara-negara Barat.
Karakteristik menonjol dari sistem demokrasi liberal yang saat itu dipraktikkan, antara lain, berlakunya sistem parlementer, adanya oposisi, marak dan terlibatnya banyak partai politik (multipartai), serta tumbuh suburnya politik aliran. Dalam situasi dan kondisi kehidupan yang sulit setelah lepas dari penjajahan panjang, para pemimpin bangsa dan negara Indonesia menjalankan demokrasi dengan gairah yang tinggi. Demokrasi dipraktikkan dengan semangat kebebasan dan persamaan yang meluap-luap.
Masalah kebebasan dan kesederajatan kiranya menjadi obsesi besar para tokoh dan masyarakat Indonesia akibat, sebelumnya, dalam waktu sangat lama hidup di bawah penjajahan bangsa asing. Masa kemerdekaan dirasakan oleh berbagai komponen bangsa Indonesia sebagai peluang besar untuk mengekspresikan semangat persamaan dan kebebasan. Selama ratusan tahun sebelumnya bangsa Indonesia praktis tidak mendapatkan persamaan dan kebebasan sebagaimana mestinya akibat hidup dalam penjajahan. Diproklamasikannya kemerdekaan di sisi satu serta dianutnya demokrasi sebagai sistem ketatanegaraan di sisi lain menyebabkan bangsa Indonesia dapat menikmati kembali prinsip-prinsip persamaan (kesederajatan) dan kebebasan.
Implementasi demokrasi di Indonesia pun kemudian berlangsung penuh dengan gairah dan ingar-bingar. Demokrasi dijalankan masyarakat dan bangsa Indonesia, khususnya kalangan tokoh, pemimpin, dan politisi, dengan penuh euforia. Banyak kalangan seperti mabuk demokrasi. Sebagai prinsip atau asas demokrasi, persamaan dan kebebasan dijunjung dan ditempatkan pada posisi yang tinggi.
Namun, tampaknya, Indonesia belum sepenuhnya siap untuk melakukan implementasi (pelaksanaan) demokrasi, khususnya demokrasi liberal, dalam sistem ketatanegaraan. Pada saat itu, Indonesia masih memiliki banyak kelemahan mendasar untuk melaksanakan sistem demokrasi dalam berpolitik dan bernegara. Sebagai negara baru, Indonesia belum berpengalaman menjalankan demokrasi dalam sistem ketatanegaraan, sedangkan infrastruktur yang tersedia juga jauh masih dari memadai untuk dikatakan memenuhi syarat kesiapan dan kemantapan.
Itulah sebabnya, meskipun kehidupan ketatanegaraan saat itu terlihat demokratis, tetap saja terjadi gejolak yang membuat kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara kacau. Berlakunya demokrasi liberal menyebabkan keadaan negara menjadi tidak stabil serta kabinet mengalami jatuh bangun akibat rongrongan oposisi yang (dapat) melakukan berbagai manuver dengan terlalu bebas (liberal). Para tokoh, pemimpin, dan masyarakat pun terbelah dan terkelompok-kelompok ke dalam ideologi dan politik aliran yang banyak di antaranya saling berkonfrontasi, selain muncul juga ideologi tertentu yang bertentangan dengan konstitusi (UUD 1945) dan dasar negara (Pancasila).
Sementara sistem demokrasi liberal terus bergulir sebagai sistem ketatanegaraan, situasi dan kondisi negara terus dilanda kekacauan akibat kemelut terus-menerus yang terjadi di dalam tubuh Konstituante (lembaga pembentuk undang-undang dasar) serta ketidakmampuan lembaga ini untuk menghasilkan undang-undang dasar baru sebagai pengganti UUDS 1950. Kegagalan Konstituante menghasilkan undang-undang dasar baru terutama disebabkan oleh perbedaan tajam pandangan dan kepentingan antarfaksi (akibat perbedaan aliran dan ideologi) yang sangat sulit dikompromikan. Terbentuknya Konstituante sebenarnya dapat dikatakan merupakan prestasi yang cemerlang karena dilahirkan dari pemilihan umum tahun 1955 yang berlangsung bebas dan demokratis. Namun, akibat polarisasi ideologi dan aliran serta terlalu bersemangat dan meluap-luapnya penggunaan kebebasan, Konstituante akhirnya justru menjadi sumber kekacauan dan ketidakstabilan.
Kekacauan dan ketidakstabilan yang tak kunjung dapat diatasi kemudian memicu lahirnya Dekret 5 Juli 1959 yang dikeluarkan oleh Presiden Soekarno. Isi dekret ini adalah pembubaran Konstituante, pemberlakuan kembali UUD 1945 (untuk menggantikan UUDS 1950), serta pembentukan MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara) dan DPAS (Dewan Pertimbangan Agung Sementara). Dalam perkembangan selanjutnya, Dekret 5 Juli 1959 menjadi penanda berakhirnya demokrasi liberal dalam sistem ketatanegaraan atau sistem politik di Indonesia. Praktis setelah dekret itu berlaku, model demokrasi yang kemudian dijalankan oleh pemerintah (Presiden Soekarno) adalah demokrasi terpimpin, sebuah jenis demokrasi yang secara sepihak diciptakan dan dijalankan oleh sang presiden.

Implementasi dan Implikasi Demokrasi Terpimpin di Indonesia


Oleh  Akhmad Zamroni

Sumber: www.medcom.id

Keputusan Presiden Soekarno untuk menerbitkan Dekret 5 Juli 1959 menyebabkan kendali pemerintahan negara perlahan-lahan mengerucut ke tangannya. Tidak hanya kekuasaan pemerintahan, kekuasaan negara kemudian berada di tangan presiden. Ini mengakibatkan terjadinya ironi ketatanegaraan: konstitusi negara kembali ke UUD 1945 yang jelas-jelas mengamanatkan sistem ketatanegaraan menganut demokrasi (kedaulatan negara berada di tangan rakyat), tetapi praktiknya kedaulatan negara berada di tangan presiden.
Presiden Soekarno secara sepihak mengklaim pemerintahan yang dipimpinnya menganut sistem yang ia sebut sebagai “demokrasi terpimpin”. Ada anggapan bahwa demokrasi di Indonesia –– yang saat itu memang sedang dilanda kemelut –– tidak dapat dibiarkan berjalan apa adanya, melainkan membutuhkan kepemimpinan. Dan pemimpin yang mampu mengendalikan demokrasi yang dimaksud tak lain adalah sang presiden sendiri.
Demokrasi terpimpin mengasumsikan pemimpin –– dalam hal ini presiden –– memiliki hak atau wewenang untuk mengambil keputusan. Keadaan ini terutama berlaku manakala dalam penyelesaian persoalan kehidupan berbangsa dan bernegara tidak dapat dicapai kata sepakat atau mufakat. Dalam situasi dan kondisi seperti ini, presiden sebagai pemimpin (kepala pemerintahan dan kepala negara) diberi kewenangan untuk membuat dan memberlakukan kebijakan yang diperlukan.
Akan tetapi, gaya dan cara kepemimpinan yang akhirnya dilakukan presiden untuk mengendalikan pemerintahan dan negara tidak menunjukkan nilai-nilai dan prinsip-prinsip demokrasi. Di bawah sistem demokrasi ciptaan presiden ini (demokrasi terpimpin), tidak berlaku kebebasan serta persamaan hak dan kewajiban di antara warga negara. Di tingkat organisasi pemerintahan pusat juga tidak terjadi pembagian kekuasaan (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) yang lazim dan berimbang.
Masa berlakunya demokrasi terpimpin menjadi salah satu masa suram bagi (implementasi) demokrasi di Indonesia. Dapat dikatakan, Indonesia memasuki era demokrasi semu selama demokrasi terpimpin berlaku. Demokrasi hanya menjadi jargon, sementara implementasi pemerintahan negara yang sesungguhnya berlangsung dalam sistem yang berlawanan dengan demokrasi, yakni otoritarianisme. Demokrasi telah disalahgunakan (abuse of democracy) untuk kepentingan kekuasaan sang presiden.
Sebagai implikasinya, demokrasi tidak hanya menjadi berwajah semu, melainkan juga berwajah garang. Demokrasi semu (pseudo democracy) hanya menjadikan demokrasi sebagai lip services untuk mengelabui publik atau masyarakat. Disengaja atau tidak disengaja, demokrasi terpimpin telah menyebabkan nilai-nilai dan prinsip-prinsip demokrasi tertindas oleh kepemimpinan otoriter presiden.
Sistem demokrasi terpimpin tidak berimplikasi pada pembagian kekuasaan yang merata dan berimbang antara lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif untuk memperjuangkan kepentingan dan kesejahteraan rakyat sebagai pemilik sejati kedaulatan/kekuasaan negara. Sistem demokrasi terpimpin yang menekankan aspek kepemimpinan presiden dalam menjalankan “demokrasi” justru menyebabkan terjadinya penumpukan dan tersentralisasinya kekuasaan (kedaulatan) negara di tangan presiden seorang diri. Hal ini mengakibatkan terjadinya rentetan penyimpangan terhadap Pancasila dan UUD 1945.

Dilema Implementasi Demokrasi: Antara Demokrasi Pancasila dan Demokrasi Liberal


Oleh  Akhmad Zamroni

Sumber: alidzakyalarief.com


Secara konstitusional Indonesia mendeklarasikan diri sebagai negara demokrasi –– hal ini dituangkan melalui UUD 1945 Pasal 1 Ayat (2) yang menyatakan bahwa kedaulatan negara Indonesia berada di tangan rakyat. Sebagaimana diklaim secara ideologis-politis, demokrasi yang dianut di Indonesia adalah demokrasi Pancasila. Sebagai sistem politik, sistem ketatanegaraan, atau sistem pemerintahan, demokrasi Pancasila relevan dengan kehidupan sosial, nilai-nilai budaya, dan sejarah bangsa Indonesia. Demokrasi Pancasila juga sejalan dengan karakter bangsa Indonesia yang lebih mengutamakan gotong royong, kekeluargaan, dan musyawarah.
Apabila nilai-nilai dan prinsip-prinsip demokrasi Pancasila secara konkret dan konsisten diimplementasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, tujuan hidup bernegara Indonesia akan dapat dicapai dengan baik. Akan tetapi, bagaimanakah pelaksanaan nilai-nilai dan prinsip-prinsip demokrasi Pancasila dalam sistem ketatanegaraan Indonesia selama penyelenggaraan negara dipegang oleh pemerintah yang berkuasa? Apakah demokrasi Pancasila benar-benar diimplementasikan rezim Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi secara konkret dan konsekuen sesuai dengan nilai-nilai dan prinsip-prinsip dasarnya?
Sebagaimana rezim Orde Lama, pemerintahan Orde Baru memperlakukan demokrasi hanya sebagai slogan demi kepentingan dirinya. Implementasi demokrasi Pancasila oleh rezim Orde Baru mengalami penyimpangan. Dapat dikatakan, demokrasi Pancasila telah disalahgunakan oleh rezim Orde Baru untuk melanggengkan kekuasaan serta dijadikan perisai dari kritik dan tuntutan rakyat.
Selama pemerintahan Orde Baru demokrasi Pancasila hanya dijalankan secara singkat pada masa-masa awal sang rezim berkuasa. Setelah itu, demokrasi Pancasila disalahgunakan untuk propaganda dan pembenaran (justifikasi). Orde Baru gencar mengampanyekan demokrasi Pancasila sebagai program nasional yang harus mendapat dukungan dari seluruh unsur bangsa Indonesia. Akan tetapi di sisi berbeda, sikap dan perilaku para pemimpin dan tokoh Orde Baru tidak mencerminkan prinsip-prinsip dan nilai-nilai demokrasi Pancasila. Mereka juga hampir tidak pernah memberikan teladan konkret dalam menjalankan demokrasi Pancasila dalam praktik pemerintahan. Impresi yang muncul adalah demokrasi Pancasila dipublikasikan hanya untuk membenarkan penyelenggaraan Negara yang dipraktikkan Orde Baru, sedangkan implementasinya oleh para elite di pemerintahan sangatlah minim.
Sebagaimana pada zaman Orde Lama, pada zaman Orde Baru demokrasi mengalami reduksi dan manipulasi serta kedaulatan rakyat terisisihkan oleh sifat otoriter dan diktator presiden dan pemerintah. Prinsip-prinsip kebebasan dan persamaan tidak mendapatkan tempat yang selayaknya. Hal yang barangkali membedakan masa pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru adalah pada masa Orde Baru pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat berlangsung lebih masif, korupsi terjadi lebih luas dan mendalam, serta penyelewengan pemilihan umum (pemilu) berlangsung lebih sistematis. Terkait pemilu, Orde Baru memanfaatkannya bukan sebagai mekanisme demokrasi dan implementasi kedaulatan rakyat, tetapi menyalahgunakannya sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan.
Berbagai peyimpangan yang dilakukan Orde Baru mengakibatkan negara tergiring menuju krisis. Penyimpangan yang terus-menerus terjadi membawa negara pada puncak krisis multidimensi (moral, politik, hukum, ekonomi, dan sebagainya) yang tak terhindarkan. Pada tahun 1998, rezim Orde Baru akhirnya tumbang oleh gerakan reformasi yang dipelopori oleh mahasiswa.
Indonesia kemudian memasuki babak baru, yakni babak reformasi (era Reformasi). Era ini menjadi era pembaruan (reformasi) terhadap semua sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, khususnya bidang politik, hukum, dan ekonomi, yang mengalami krisis hebat akibat penyelewengan panjang (selama sekitar 30-an tahun) yang dilakukan Orde Baru. Muncul harapan besar bagi tumbuhnya kembali demokrasi sejati (demokrasi substansial) di Indonesia setelah puluhan tahun –– sejak berkuasanya rezim Orde Lama hingga Orde Baru –– nyaris hilang dari bumi Indonesia.
Guna menyemai dan menumbuhkan kembali demokrasi, langkah permulaan yang dilakukan adalah membenahi regulasi (peraturan perundang-undangan, termasuk konstitusi). UUD 1945 diamendemen sebanyak empat kali (tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002) serta undang-undang antidemokrasi peninggalan Orde Baru dicabut dan serangkaian undang-undang baru yang diharapkan dapat memperkuat pelaksanaan demokrasi dibuat dan diberlakukan. Melalui pembaruan konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang terkait, keran kebebasan dibuka lebar-lebar dan semangat persamaan (kesederajatan) warga negara diperkuat. Dengan landasan undang-undang baru pula, pemilihan umum (1999, 2004, 2009) diselenggarakan dengan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Sebagai hasilnya, demokrasi kembali mekar dan tumbuh subur di Indonesia. Seperti zaman tahun 1950-an, demokrasi menggeliat kuat serta dipraktikkan dengan gairah yang tinggi. Demam dan euforia demokrasi pun kembali muncul di pelosok-pelosok tanah air.
Namun, demokrasi yang bermekaran kemudian memicu munculnya dilema dan banyak pertanyaan. Pergantian dari era Orde Baru ke era Reformasi tampaknya melahirkan masa transisi yang menyebabkan implementasi demokrasi mengalami dilema. Secara ideologis konstitusional, demokrasi yang seharusnya dilaksanakan di Indonesia adalah demokrasi Pancasila, tetapi besarnya tuntutan akan kebebasan pada era Reformasi (akibat pada era Orde Baru kebebasan tersumbat) mengakibatkan implementasi demokrasi berlangsung agak di luar kendali.
Demokrasi yang dijalankan pada era Reformasi banyak dianggap lebih mengarah pada demokrasi liberal sebagaimana yang dipraktikkan pada awal tahun 1950-an. Gelagat praktik demokrasi liberal pada era Reformasi, antara lain, tampak pada banyaknya partisipasi partai politik (multipartai) dalam pemilu serta adanya polarisasi antara partai pemegang pemerintahan dan oposisi. Sementara itu, dalam proses pengambilan keputusan  lebih sering dipilih mekanisme pemungutan suara (voting) daripada musyawarah untuk mencapai mufakat.
Pendapat lain menyatakan bahwa demokrasi era Reformasi memang tidak menunjukkan nilai-nilai dan prinsip-prinsip demokrasi Pancasila, tetapi juga tidak sepenuhnya berciri demokrasi liberal. Hal ini terutama karena demokrasi era Reformasi masih diimplementasikan dalam bingkai sistem pemerintahan presidensial, bukan parlementer. Tidak seperti dalam sistem parlementer, dalam sistem presidensial, ekspresi dan implementasi kebebasan oleh kekuatan-kekuatan politik –– terutama oposisi di parlemen –– dianggap lebih moderat dan terkendali sehingga relatif lebih terhindar dari penggunaan kebebasan yang berlebihan dan keadaan tidak stabil.
Apabila pendapat terakhir itu benar, barangkali dapat ditarik kesimpulan bahwa demokrasi era Reformasi bukanlah bercorak demokrasi Pancasila dan bukan pula demokrasi liberal, melainkan campuran atau kombinasi dari keduanya. Apakah ini merupakan bentuk kerancuan demokrasi? Apakah demokrasi yang demikian dapat dibenarkan atau ditoleransi? Terlepas dari rancu atau tidak rancu serta benar atau salah, (pelaksanaan) demokrasi di Indonesia hingga saat ini tampaknya belum menemukan bentuknya yang jelas, mantap, dan final.
Sebagaimana yang terjadi di banyak negara berkembang, demokrasi di Indonesia akan terus mengalami dinamika (dan juga dialektika) seiring dengan perkembangan kehidupan masyarakat dan bangsa serta perubahan zaman. Kemapanan demokrasi di suatu negara akan selalu berkorelasi dengan kedewasaan dan kematangan sosiologis-psikologis masyarakatnya, selain juga dengan kesiapan kultural dan kesejahteraan ekonomi. Di tengah kehidupan masyarakat dan bangsa kita yang masih terus berkembang, demokrasi pun akan turut tumbuh dan berkembang di belakangnya. Dapat dikatakan, masyarakat dan bangsa kita saat ini sedang dalam taraf pendewasaan berdemokrasi. Jika kedewasaan masyarakat dan bangsa sudah terbentuk serta kesiapan kultural dan kesejahteraan ekonomi terwujud, kita bisa berharap demokrasi di Indonesia dapat tegak dalam bentuknya yang jelas, mantap, dan final.