Rabu, 11 Desember 2019

IQ Tinggi Cenderung Menjerumuskan Orang pada Agnostisisme dan Ateisme


Oleh Akhmad Zamroni
Kecerdasan otak manusia
Sumber: Shutterstock

Salah satu ambisi besar para orang tua adalah memiliki anak yang cerdas dan pandai. Para orang tua umumnya berambisi dapat memiliki anak yang cerdas dan, jika memungkinkan, supercerdas alias jenius, karena anak yang demikian dianggap membanggakan serta akan mengharumkan nama keluarga dan orang tua.
Keinginan untuk memiliki anak yang cerdas secara intelektual sebenarnya hal yang lumrah dan manusiawi. Namun, kecerdasan intelektual (IQ) yang tinggi atau kejeniusan tanpa dibarengi bimbingan dan arahan agama yang benar (guna memberdayakan kecerdasan spiritual  atau SQ) cenderung menjerumuskan orang pada kesesatan yang mengerikan; yakni dapat mengakibatkan yang bersangkutan terseret menjadi pribadi yang agnostik (meragukan keberadaan Tuhan) atau bahkan ateis (sama sekali tidak percaya akan keberadaan Tuhan).
Orang Ber-IQ Tinggi Cenderung Tidak Mempercayai Tuhan
Hasil penelitian (studi) yang dilakukan Profesor Richard Lynn, guru besar psikologi dari Universitas Ulster, Inggris, menunjukkan bahwa orang-orang dengan IQ (intelegent quotient –– kecerdasan intelektual) lebih tinggi banyak yang tidak percaya kepada Tuhan. Menurut Richard Lynn, keyakinan beragama telah mengalami penurunan pada abad ke-20. Hal ini terjadi setidaknya di 137 negara di dunia.
Menurunnya keyakinan beragama itu terkait langsung dengan meningkatnya kecerdasan rata-rata. Dikatakan Lynn, kebanyakan anak SD percaya kepada Tuhan. Namun, begitu mereka menginjak dewasa dan kecerdasan mereka meningkat, banyak yang mulai meragukan keberadaan Tuhan.
Untuk mendukung hasil penelitiannya, Lynn menyinggung hasil survei yang dilakukan terhadap organisasi yang anggotanya merupakan orang-orang yang ber-IQ tinggi, seperti Royal Society (di Inggris) dan American National Academy of Sciences (Amerika Serikat). Survei terhadap para anggota Royal Society menunjukkan bahwa hanya 3,3 persen anggotanya yang percaya pada Tuhan (sisanya yang 96,7% meragukan atau tidak mempercayai Tuhan). Adapun survei terhadap para anggota American National Academy of Sciences memperlihatkan bahwa hanya 7 persen dari anggota organisasi ini yang percaya pada Tuhan.
Hasil riset lain oleh Miron Zuckerman dan Jordan Silberman (Universitas Rochester, New York) serta Judith Hall (Universitas Northeastern, Boston) juga menunjukkan bahwa makin cerdas seseorang, maka kepercayaannya kepada Tuhan makin sedikit (rendah). “Mereka menemukan, ateisme tersebar luas di kalangan orang-orang pintar,” tulis surat kabar Daily Mail.
Hasil-hasil riset itu dikuatkan oleh penelitian Lewis Terman (Universitas Stanford) terhadap 1.500 anak-anak berusia 10 tahun yang memiliki IQ lebih dari 135 di Amerika, Inggris, dan Kanada. Menurut riset yang hasilnya telah diperiksa Robin Sears (Universitas Columbia) dan Michael McCullough (Universitas Miami) ini, anak-anak cerdas ternyata kurang religius dibandingkan dengan anak yang IQ-nya lebih rendah.
Orang Sangat Cerdas dan Jenius Banyak yang Agnostik dan Ateis
Hasil-hasil riset tersebut kiranya bukan isapan jempol belaka. Fakta mengenai banyaknya tokoh berotak sangat cerdas dan supercerdas yang tidak mempercayai Tuhan turut mendukung hasil studi dan riset di atas. Beberapa tokoh sains dan teknologi legendaris dunia dikenal sebagai orang-orang yang meragukan keberadaan Tuhan dan sebagiannya lagi bahkan sama sekali tidak mempercayai adanya Tuhan.
Albert Einstein, misalnya, fisikawan jenius penemu teori relativitas, dikenal sebagai tokoh yang meragukan keberadaan Tuhan (agnostik). Einstein tidak pernah menyatakan secara langsung bahwa dirinya seorang ateis, sementara pernyataan-pernyataannya jelas menunjukkan bahwa ia kurang percaya dan kurang yakin akan keberadaan Tuhan. Saat ditanya apakah ia percaya pada kehidupan setelah mati, Einstein menjawab, "Tidak. Dan satu kehidupan sudah cukup bagi saya."
Carl Sagan, fisikawan dan astronom Amerika yang dikenal sangat cerdas dan pintar, kurang lebih juga sama dengan Einstein dalam soal kepercayaan terhadap Tuhan dan kehidupan akhirat. Sagan juga terkenal sebagai ilmuwan yang agnostik, yakni menganggap keberadaan Tuhan sebagai hal yang sulit untuk dibuktikan.
Kasus terbaru yang paling populer adalah Stephen Hawking. Fisikawan jenius asal Inggris yang meninggal dunia tanggal 14 Maret 2018 ini terang-terangan mengatakan bahwa dirinya adalah seorang ateis. Ia tidak mempercayai adanya Tuhan serta menganggap surga dan neraka hanyalah dongengan orang-orang yang takut akan kematian.
Masih ada sederet tokoh sains, filsafat, dan intelektual lain ber-IQ tinggi yang meragukan  Tuhan (agnostik) atau tidak percaya pada Tuhan (ateis). Charles Darwin (pencetus teori evolusi), Bertrand Russell (matematikawan dan filsuf Inggris), Rosalind Franklin (penemu sinar X), Emile Durkheim (sosiolog Prancis), dan Milton Friedman (ahli ekonom dan pemenang Hadiah Nobel Ekonomi) dikenal sebagai tokoh-tokoh cendekia yang agnostik. Adapun Richard Dawkins (ahli biologi evolusioner), James Watson (penemu struktur DNA), Daniel Dennett (filsuf Amerika), Samuel Harris (filsuf dan neuroscientist Amerika), dan Jean-Paul Sartre (sastrawan dan filsuf Pancis) merupakan tokoh-tokoh intelektual yang ateis.
Di luar daftar nama tokoh itu, masih ada nama-nama tokoh terkenal lain yang juga agnostik dan ateis, seperti Karl Marx (filsuf), Friedrich Nietzshe (filsuf), Ludwig Feuerbach (filsuf), Friedrich Engels (filsuf), Marie Curie (kimiawan), Sigmund Freud (pendiri psikoanalisis), Mark Twain (sastrawan), Warren Buffett (pengusaha), Larry King (selebritis), Sean Penn (aktor), Brad Pitt (aktor), Sting (musisi), Karl R. Popper (filsuf), Jawaharlal Nehru (politisi), Bob Hawke (politisi), Helen Clark (politisi), Thomas Henry Huxley (ahli biologi), dan Steve Wozniak (salah satu pendiri Apple Computer).
Kecerdasan yang Timpang
Keragu-raguan dan ketidakpercayaan orang-orang sangat cerdas dan jenius akan keberadaan Tuhan hampir selalu terjadi karena mereka terlalu terpaku pada penggunaan salah satu kecerdasan otak saja, yakni kecerdasan intelektual (IQ= intelegent quotient ). Kecerdasan intelektual luar biasa yang mereka miliki, sadar atau tidak sadar, mengakibatkan mereka menjadi saintis sentris, yakni terlalu memuja dan mengagung-agungkan sains dan ilmu pengetahuan.  
Sifat sains yang logis, empiris, serta menuntut pengujian dan pembuktian secara kasat (tampak) mata menyebabkan mereka dan para ilmuwan umumnya menuntut semua hal harus diperlakukan dengan cara yang sama, yakni harus dapat diuji dan dibuktikan melalui hubungan sebab-akibat secara fisik dan konkret (berwujud nyata). Hal ini juga berlaku saat mereka memandang dan menilai keberadaan Tuhan.
Ketika keberadaan Tuhan tidak bisa diuji dan dibuktikan secara fisik dan kasat mata (karena dengan cara dan upaya apa pun, Tuhan memang tidak dapat dilihat oleh indra mata manusia), maka mereka terjerumus pada kesimpulan (yang salah dan sesat) bahwa keberadaan Tuhan sangat sulit atau tidak dapat dipercaya sebab wujud keberadaan-Nya tidak bisa dibuktikan secara fisik dan nyata. Mereka pun membuat pembelaan dan pembenaran atas kesimpulannya (bahwa Tuhan tidak ada) sepenuhnya hanya dengan logika, metode, dan argumen sains yang sesungguhnya sangat terbatas dalam memahami dan menyadari keberadaan Tuhan.
Menguji dan membuktikan hal yang bersifat supernatural atau gaib (tak terlihat oleh mata) dengan sains, dengan demikian, dapat dikatakan sebagai usaha yang ‘tidak pada tempatnya’ dan, karena itu, sia-sia dan nihilis belaka. Sejenius apa pun otak manusia serta secanggih apa pun metodologi dan argumen sains, tidak akan mampu menjangkau dan membuktikan kebenaran hakiki yang bersifat supernatural atau gaib. Ketika sains tidak mampu membuktikannya, maka dibuat kesimpulan penuh keterpaksaan dan rekayasa bahwa kebenaran hakiki itu (keberadaan Tuhan) tidak ada atau tidak terbukti.
Lain halnya jika mereka (para ilmuwan dan saintis) mau dan mampu menggunakan kecerdasan spiritualnya (SQ= spiritual quotient). Dengan kecerdasan spiritual, orang akan berusaha mengetahui dan memahami hal-hal yang tak terlihat oleh mata (metafisika/supernatural/gaib), termasuk keberadaan Tuhan, bukan dengan logika dan akal sebab sehebat apa pun logika dan akal manusia tetap tidak akan dapat menjangkau dan memahami dengan jitu/tepat hal-hal yang bersifat supernatural atau gaib.

Jenis-jenis kecerdasan manusia
Sumber: www//rumahinspirasi.com

Dengan kecerdasan spiritual, orang akan tergerak untuk mendeteksi hal-hal yang supernatural/gaib dengan naluri, hati nurani, dan semangat menemukan nilai-nilai kebenaran secara rendah hati dan kesadaran akan adanya kekuatan dan kekuasaan mahabesar yang mengatasi kehidupan manusia, makhluk hidup, dan alam semesta. Melalui kecerdasan spiritual, manusia akan mampu merasakan, memahami, menyadari, dan akhirnya mempercayai keberadaan Tuhan dan hal-hal tak kasat mata lain yang masih terkait dengan-Nya (seperti kehidupan sesudah mati, alam kubur, surga, dan neraka).
Apakah kecerdasan spiritual hanya melulu terkait dengan kemampuan memahami hal-hal yang bersifat supernatural/gaib? Tentu saja tidak. Hal-hal konkret yang kasat mata, seperti makhluk hidup, alam semesta, dan manusia itu sendiri justru menjadi media yang menyadarkan manusia akan adanya kekuatan dan kekuasaan yang mahabesar. Kehidupan manusia dan makhluk hidup serta alam semesta yang berlangsung teratur, sistematis, dan sempurna, bagi orang yang mau dan mampu menggunakan kecerdasan spiritualnya, bukanlah hal yang kebetulan, melainkan merupakan hasil kreasi Zat Yang Maha Pencipta. Teraturnya kehidupan di alam semesta seisinya bukan semata-mata karena berlakunya hukum alam, tetapi hukum alam itu sendiri dapat berlangsung teratur karena dikreasi dan dikendalikan oleh Zat Yang Mahabesar, Mahakuasa, dan Mahasempurna, yakni Tuhan (Allah swt.).
Orang yang mampu menggunakan kecerdasan spiritualnya juga relatif tidak akan kesulitan dalam memahami keberadaan Tuhan melalui sejarah kehadiran agama dan kehidupan para nabi. Melalui kecerdasan spiritual, keberadaan Tuhan akan mudah dicerna dan dipercaya sebab kehadiran agama serta kesaksian dan pernyataan para nabi dengan gamblang menunjukkan keberadaan dan kekuasaan Tuhan. Dengan kecerdasan, kejujuran, serta perilaku dan akhlak mulianya yang tak terbantahkan, para nabi, seperti Nuh, Ibrahim, Ismail, Sulaiman, Harun, Musa, Isa, Muhammad, dan sebagainya dengan sangat jelas memberikan pernyataan bahwa keberadaan Tuhan merupakan hal yang benar, pasti, dan mutlak (absolut). Sebagaimana yang tercantum dalam sejarah dan kitab suci agama-agama samawi, tujuan utama kehadiran para nabi (rasul) di bumi tidak lain adalah membawa misi Tuhan guna mengajak manusia untuk percaya dan beribadah kepada Tuhan Yang Maha Esa (selain tentunya berbuat baik terhadap sesama manusia dan lingkungan hidup).
Mendayagunakan Kecerdasan Spiritual
Salah satu hal aneh dan menggelikan yang dijumpai pada pemikiran para tokoh jenius adalah mereka kadang memiliki kepercayaan berstandar ganda yang ambigu. Mereka tidak percaya pada Tuhan yang bersifat tak kasat mata, tetapi malah percaya pada figur tak kasat mata lain yang jauh lebih tidak masuk akal. Misalnya fisikawan Stephen Hawking, ia sama sekali tidak mempercayai adanya Tuhan, tetapi justru percaya pada keberadaan alien, semacam makhluk (yang dianggap berasal) dari luar angkasa atau dari luar bumi, padahal Hawking tak pernah melihat alien dengan matanya sendiri serta selama hidupnya tidak pernah pula mampu membuktikan keberadaan alien dengan sains yang diagung-agungkannya.
Tidak sedikit pula ilmuwan lain yang memiliki pandangan serupa dengan Stephen Hawking dalam menghadapi fenomena alien walaupun bukti-bukti ilmiah (sains) tidak pernah menunjukkan bahwa alien itu benar-benar ada ­­-- belakangan, tahun 2018 lalu, para ilmuwan dari Universitas Oxford justru membuat pernyataan bahwa “alien tidak ada”. Bagi sebagian besar orang normal, keberadaan Tuhan jelas jauh lebih masuk akal dibandingkan dengan alien. Alien lebih merupakan sosok fiktif hasil imajinasi pengarang cerita ilmiah (sciene fiction) atau rekaan para ilmuwan.
Tidak percaya pada keberadaan Tuhan di sisi satu dan percaya pada keberadaan alien di sisi lain menunjukkan subjektif dan kacau-balaunya pemikiran banyak ilmuwan dan pemuja sains akibat terlalu bersandar pada kecerdasan intelektual  (IQ) dan mengabaikan kecerdasan spiritual (SQ). Hal itu sekaligus juga memperlihatkan bahwa pendapat dan pernyataan mereka (dalam kontroversi Tuhan dan alien) cacat dan tidak bisa dipertanggungjawabkan sehingga tidak dapat dijadikan sandaran dan pegangan ilmiah.
Kontradiksi tersebut menjadi penanda tidak cukup dan tidak validnya kecerdasan intelektual (IQ) untuk menganalisis dan manilai keberadaan hal-hal yang bersifat metafisika, supernatural, atau gaib. Kecerdasan spiritual (SQ) menjadi pengganti yang lebih kredibel untuk keperluan itu. Kombinasi Kecerdasan spiritual (SQ) dan kecerdasan intelektual (IQ) akan menjadi solusi yang lebih jitu dan efektif dalam menilai dan menyimpulkan keberadaan hal-hal supernatural atau gaib (terutama Tuhan).  
Einstein, Sagan, Hawking, dan orang-orang jenius lain yang meragukan dan tidak percaya pada Tuhan telah meninggal dunia. Setelah “hidup” di alam baka atau kubur (barzakh), kini mereka pasti tahu persis bagaimana fakta yang sesungguhnya tentang Tuhan, kehidupan setelah mati, serta surga dan neraka karena mereka telah dipertemukan dengan kehidupan sejati (hakiki) yang sebenar-benarnya. Terlepas dari jasa-jasa besar mereka terhadap ilmu pengetahuan dan kehidupan manusia, mereka juga akhirnya paham bahwa kecerdasan luar biasa dan kejeniusan mereka menjadi kurang bermakna dan bahkan menjadi malapetaka yang tak terperikan bagi diri mereka sendiri akibat kejeniusan itu menjerumuskan mereka pada ketidakpercayaan terhadap Zat Mahabesar dan Mahakuasa yang menciptakan mereka.
Sumber Rujukan
2.      https://id.wikipedia.org/wiki/Indonesian_Atheists
7.      https://www.merdeka.com/dunia/penelitian-sebut-ateis-lebih-cerdas-ketimbang-orang-beragama.html
9.      https://www.merdeka.com/khas/kumpulan-penolak-tuhan-komunitas-ateis-2.html



Efek Samping dan Bahaya Memiliki IQ Tinggi

Oleh  Akhmad Zamroni

Otak manusia
Sumber: https://intisari.grid.id


Memiliki anak yang berotak sangat cerdas dan apalagi supercerdas (jenius) tentu sangat menyenangkan. Itu merupakan keajaiban yang tidak dimiliki setiap orang atau keluarga. Anak cerdas dan supercerdas dapat menghasilkan banyak prestasi besar yang fenomenal sehingga dapat melambungkan orang tua dan keluarga ke puncak kebanggaan.

 Namun, perlu diketahui, anak sangat cerdas dan apalagi supercerdas juga dapat membawa efek samping yang tidak diduga-duga dan berbahaya. Apa efek samping itu? Hasil-hasil riset mutakhir terhadap anak-anak cerdas dan supercerdas serta fakta kehidupan para tokoh sangat cerdas dan jenius menunjukkan bahwa kecerdasan luar biasa cenderung menyeret pemiliknya pada sikap keragu-raguan dan ketidakpercayaan terhadap keberadaan Tuhan.

Saat ini, sejalan dengan bertambah baiknya tingkat gizi, kian majunya teknologi medis dan informatika, serta makin banyaknya pernikahan antaretnik dan antarras, anak-anak Indonesia tidak sedikit yang memiliki kecerdasan berlevel tinggi; sebagian bahkan dianggap jenius atau mendekati jenius. Ini berarti, jika pendidikan dan bimbingan (terutama pengajaran agama) yang diberikan kepada mereka salah atau tidak tepat, dapat terjadi bencana kemanusiaan dan keagamaan yang menyedihkan, yakni setelah dewasa mereka dapat tersesat menjadi orang-orang yang meragukan atau bahkan tidak percaya akan keberadaan Tuhan.

Sebagai catatan, saat ini di Indonesia sudah berdiri (secara terselubung) beberapa kelompok atau komunitas orang-orang agnostik  (meragukan keberadaan Tuhan) dan ateis (tidak mempercayai keberadaan Tuhan sama sekali). Mereka lebih banyak bergerak dan berdiskusi melalui media sosial Internet (terutama Facebook). Komunitas itu, misalnya, Indonesian Atheists (IA) yang beranggotakan para ateis dan agnostik di Indonesia. Menurut Wikipedia, saat ini komunitas Indonesian Atheists telah memiliki anggota sekitar 1.400 orang.

Ada juga komunitas anonim yang beranggotakan orang-orang agnostik dan ateis, selain orang-orang beragama yang liberal dan moderat. Mereka tidak berani menyebut nama komunitasnya, tetapi mereka menyebut dirinya Free Thinker (orang-orang yang berpikir bebas dan independen). Masih ada juga forum komunikasi dan komunitas yang disebut ABAM, singkatan dari Anda Bertanya Ateis Menjawab, yang pengasuh atau administratornya merupakan orang-orang ateis. Sama seperti Indonesian Atheists, Free Thinker dan ABAM juga banyak bergerak melalui media sosial di Internet (terutama Facebook).

Menurut salah seorang aktivis LSM, jumlah orang agnostik dan ateis di Indonesia saat ini diperkirakan telah mencapai sekitar 10.000 hingga 15.000 orang. Itu baru jumlah perkiraan yang terhimpun dalam komunitas (organisasi), sedangkan yang tersebar di luar dan tidak tergabung dalam komunitas kemungkinan juga masih banyak.

Perlu dicatat pula bahwa para anggota Indonesian Atheists dan Free Thinker serta aktivis ABAM banyak di antaranya merupakan anak-anak muda berusia di bawah 40 tahun. Pendiri Indonesian Atheists, yakni pria bernama Karl Karnadi, merupakan pemuda yang berusia 35 tahun dan saat mendirikan Indonesian Atheists pada 1 Oktober 2008 ia baru berusia sekitar 24 tahun.

Para anggota Indonesian Atheists dan Free Thinker serta pengasuh ABAM awalnya adalah anak-anak muda yang mempercayai keberadaan Tuhan. Sebelum menjadi agnostik dan ateis, mereka menganut agama resmi (Islam, Kristen, Katolik, dan sebagainya) serta taat beribadah berdasarkan ajaran agamanya masing-masing.

Hingga kini belum diketahui dengan pasti tingkat kecerdasan intelektual (IQ) para anggota Indonesian Atheists dan Free Thinker serta pengasuh ABAM. Namun, berdasarkan pembicaraan di internet, mereka konon merupakan anak-anak muda yang cerdas, kritis, dan gemar membaca buku (terutama bertema sains, politik, dan filsafat).

Dengan demikian, secara sepintas dapat terdeteksi pula bahwa kemunculan komunitas-komunitas agnostik dan ateis tersebut terkait dengan tingkat kecerdasan para anggotanya. Artinya, para anggota komunitas itu menjadi agnostik dan ateis sedikit banyak karena dipengaruhi atau ditentukan oleh kecerdasan yang mereka miliki.

 Fenomena kecerdasan tinggi yang dapat menjerumuskan seseorang pada agnotisisme dan ateisme di sisi satu serta mulai bermunculannya komunitas orang-orang agnostik dan ateis di Indonesia di sisi lain tentu menjadi kekhawatiran banyak kalangan. Masyarakat Indonesia yang umumnya religius dan masih menjadikan agama sebagai pedoman utama hidup menganggap sikap agnostik dan ateis sebagai aib yang harus dihindari dan dijauhi karena merupakan bentuk dosa besar.

Dari segi hidup berbangsa dan bernegara, agnostisisme dan ateisme juga (dianggap) bertentangan dengan dasar negara, Pancasila, dan konstitusi negara, UUD 1945. Baik Pancasila maupun UUD 1945 menyatakan bahwa negara Indonesia berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini mengandung instruksi bahwa setiap warga negara Indonesia wajib percaya pada keberadaan Tuhan Yang Mahakuasa dan Maha Pencipta serta menganut salah satu agama yang diakui di Indonesia.

Sumber Rujukan

Senin, 23 September 2019

Dekonstruksi Ilegal terhadap KPK


Oleh Akhmad Zamroni
Aksi menolak revisi UU KPK (Sumber: https://news.detik.com)


       DPR kembali membuat kontroversi dengan mengeluarkan kebijakan yang tidak prorakyat, tidak pro penegakan hukum, dan tidak pro pemberantasan korupsi. Menjelang berakhirnya masa tugas bulan Oktober 2019, DPR periode 2014-2019 membuat keputusan yang menyimpang terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada awal September 2019. Setidaknya lembaga rakyat ini membuat dua keputusan yang substansinya terasa sekali sebagai upaya mendekonstruksi KPK sebagai lembaga negara sekaligus lembaga pemberantasan korupsi.

Dua keputusan itu sebagai berikut. Pertama, DPR memutuskan untuk melakukan revisi terhadap undang-undang tentang KPK (UU Nomor 30 Tahun 2002). Kedua, DPR mengharuskan para calon pimpinan KPK untuk menandatangani kontrak politik guna menyetujui revisi terhadap undang-undang KPK saat menggelar fit and proper test  untuk memilih pimpinan KPK periode 2019-2023.
Dari segi regulasi dan administrasi hukum ketatanegaraan serta etika politik, kedua langkah DPR tersebut sangat bermasalah atau bahkan mengalami cacat. Baik keputusan untuk merevisi UU KPK maupun memberlakukan kontrak politik untuk calon pimpinan KPK secara eksplisit cenderung dilakukan untuk kepentingan diri sendiri DPR (dan partai politik) serta secara implisit mengandung agenda terselubung yang gelap, eksklusif, dan jauh dari kepentingan masyarakat banyak (rakyat).

       Regulasi dan administrasi ketatanegaraan serta etika politik pertama yang dilanggar DPR terlihat jelas saat mereka mengambil keputusan untuk merevisi UU KPK melalui prosedur yang cepat, minimalis, dan kontra-akomodatif. Keputusan untuk merevisi UU KPK diambil melalui rapat paripurna yang berlangsung sangat cepat dan hanya dihadiri 77 anggota (sekitar 13,7 persen) dari 560 anggota DPR.    

Aksi mendukung KPK (Sumber: https://tirto.id)

       
Pelanggaran kedua, DPR tidak memasukkan rencana revisi UU KPK dalam program legislasi nasional (prolegnas) maupun prolegnas prioritas. Sebagai konsekuensinya, rencana revisi UU KPK tidak memiliki kelayakan urgensi dan kematangan legislasi karena tidak mendapat persetujuan masyarakat luas melalui sosialisasi dan penjaringan aspirasi.


 Pelanggaran ketiga, DPR memberlakukan kontrak politik secara sepihak kepada calon pimpinan lembaga negara (KPK) untuk urusan dan kepentingan diri DPR sendiri. Tanpa melalui koordinasi dan persetujuan masyarakat luas, DPR memberlakukan kontrak politik semata-mata untuk menyukseskan agenda sempit politiknya (merevisi UU KPK). Hal ini menyebabkan personel-personel yang terpilih menjadi pemimpin KPK cenderung yang mengikuti kehendak dan kepentingan DPR, bukan yang memiliki integritas serta memiliki idealisme dan agenda baku upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.
Ilegalitas yang Telanjang
Semua langkah yang dilakukan DPR dalam upaya merevisi UU KPK terlihat jelas sebagai kebijakan yang tidak sah yang diambil secara terbuka di hadapan masyarakat melalui prosedur ketatanegaraan yang tidak baku dan tidak benar. Tidak bisa lain, impresi yang mencuat dari keputusan atau kebijakan itu adalah ilegalitas yang telanjang sehingga mendapatkan penolakan kuat dari masyarakat luas.
Dengan mempertimbangkan bahwa substansi revisi terhadap UU KPK yang direncanakan DPR sendiri ternyata tidak bersifat memperkuat independensi dan kewenangan KPK, melainkan justru melucuti, memperlemah, dan mengooptasinya, maka kian kuat dan membesarlah penolakan terhadap langkah-langkah yang diambil DPR. Publik yang kian cerdik serta makin melek konstitusi dan politik, sebagaimana yang dapat kita saksikan sepekan terakhir ini, dapat merasakan adanya upaya mendekonstruksi KPK secara sengaja melalui cara-cara di luar prosedur yang sah. 

Kritik terhadap Presiden Joko Widodo yang mendukung revisi UU KPK
(Sumber: https://www.republika.co.id)

        
Apa yang dilakukan DPR itu merupakan anomali dan absurditas dalam ketatanegaraan kita umumnya dan upaya pemberantasan korupsi khususnya. Anomali dan absurditas ketatanegaraan dan upaya pemberantasan korupsi tidak akan menghasilkan apa-apa, kecuali kekacauan dan, cepat atau lambat, kehancuran sistem ketatanegaraan serta akan memperparah perilaku dan kebiasaan korupsi itu sendiri.

       Ikhtiar ilegal yang dilandasi kepentingan sempit dan picik untuk memperbaiki upaya pemberantasan korupsi dan lembaga pengembannya (KPK) tidak akan pernah mampu menekan dan mengurangi korupsi, melainkan akan menambah dan menyuburkannya. Hal itu akan menyebabkan rusaknya regulasi, administrasi, dan lembaga antikorupsi di sisi satu serta menambah munculnya kantong-kantong korupsi baru dan memperkuat perilaku koruptif di sisi lain sehingga upaya pemberantasan korupsi tidak hanya akan sia-sia, melainkan juga akan terasa seperti memakan dirinya sendiri.




Minggu, 08 September 2019

De Tjolomadoe, Penampilannya Masa Kini Semanis Prestasinya pada Masa Lalu


Oleh Akhmad Zamroni
De Tjolomadoe tampak depan (Sumber: https://www.archdaily.com)

Mesin-mesin giling bergerigi raksasa dilengkapi tabung penampungan berukuran besar mendominasi pemandangan di dalam bangunan yang megah dan bersejarah. Mesin-mesin dari baja yang masih tampak kokoh dengan balutan cat baru warna abu-abu dan keemasan itu dipajang di ruang bangunan kuno dengan langit-langit menjulang tinggi yang telah direnovasi. Mesin berikut bangunan yang yang dibuat dan didirikan pada pertengahan abad ke-19 itu kini tampak lebih baru dan modern, apalagi sebagian ruangannya telah diubah menjadi cafe, toko suvenir, dan gedung pertunjukan.

Di luar bangunan utama terhampar pelataran dan lapangan parkir yang luas, taman bunga dan rumput yang tersebar sporadis, dan sedikit pohon. Beberapa bangunan kantor dan pendapa terlihat di beberapa sudut. Lampu-lampu taman yang tersebar di beberapa titik melengkapi panorama terbuka di kompleks bekas pabrik gula yang kini menjelma destinasi wisata.

Pabrik Gula Colomadu sebelum direnovasi (Sumber: nasional.tempo.co)

Itulah gambaran sepintas De Tjolomadoe, objek wisata baru di Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Semula merupakan pabrik gula (PG), kini kompleks pabrik yang beralamat di Jalan Adi Sucipto Nomor 1, Desa Malangjiwan, Kecamatan Colomadu, itu telah direvitalisasi menjadi bangunan megah yang multifungsi. Revitalisasi mengubahnya dari salah satu pusat industri penghasil gula menjadi salah satu pusat destinasi wisata, edukasi sejarah, dan kesenian di kawasan Solo Raya.

Pabrik Gula Colomadu didirikan oleh Mangkunegara IV Surakarta pada tahun 1861. Pernah menyandang predikat sebagai perusahaan penghasil gula terbesar di Asia dan terbesar kedua di dunia –– pada 1928, bahkan pernah menjadi eksportir gula terbesar di dunia –– PG Colomadu akhirnya berhenti beroperasi pada tahun 1997. Setelah kurang terurus selama sekitar 20 tahun, pada tahun 2017 PG Colomadu direnovasi dan direvitalisasi oleh gabungan (konsorsium) beberapa BUMN –– di bawah koordinasi Kementerian BUMN –– menjadi tempat wisata yang khas dan multiguna.

Namanya kemudian diganti menjadi “De Tjolomadoe”. Dapat dikatakan, De Tjolomadoe kini menjadi satu-satunya tempat wisata di Indonesia yang menggabungkan situs sejarah pabrik gula dengan gaya dan impresi wisata modern yang memiliki kelas tersendiri. Sempat menjadi sorotan dan mendapat kritik tajam karena usaha revitalisasinya dianggap kurang memperhatikan nilai budaya dan sejarah, De Tjolomadoe tidak hanya menjadi tempat wisata biasa yang bernuansa historis, melainkan juga menjadi pusat heritage, kesenian, edukasi (sejarah), dan perdagangan (bisnis). De Tjolomadoe kini dikelola oleh PT Sinergi Colomadu.
Stasiun dan Mesin
Bangunan pabrik tetap dipertahankan dengan polesan renovasi masa kini. Cerobong asap yang menjulang tinggi masih tetap berdiri. Mesin-mesin produksi yang terbagi menjadi beberapa stasiun yang dahulu digunakan untuk memproduksi gula dipertahankan sebagai benda cagar budaya yang bahkan menjadi pajangan dan andalan utama De Tjolomadoe sebagai tujuan wisata. Stasiun dengan mesin-mesinnya yang kini sudah dicat dengan warna dominan abu-abu menjadi perhatian dan fokus utama para pengunjung.

Stasiun Gilingan (Sumber: Zamroni-Sadah-Shida)

Untuk masyarakat masa kini yang tidak atau kurang familiar dengan peralatan produksi gula, stasiun dan mesin penghasil gula di De Tjolomadoe jelas terasa unik, eksotis, dan istimewa, apalagi itu berasal dari masa satu setengah abad silam. Terlihat masih sangat kokoh dan gagah –– meski  tidak lagi dengan warna aslinya –– stasiun dan mesin itu menjadi pemandangan yang indah dan cukup menakjubkan. Dibuat saat manusia belum mengenal teknologi digital seperti saat ini, benda-benda itu tampak tak lekang oleh perkembangan zaman.

Stasiun dan mesin dari baja itu, tentu saja, sudah tidak lagi difungsikan untuk memproduksi gula, melainkan untuk memberikan atraksi wisata dan kenyamanan kepada pengunjung. Stasiun terbagi menjadi beberapa bagian dan nama dengan yang paling menonjol adalah Stasiun Gilingan yang difungsikan sebagai museum. Stasiun Gilingan berada di bagian paling depan yang dapat disaksikan oleh pengunjung begitu masuk ke dalam bangunan utama De Tjolomadoe.

Stasiun Penguapan (Sumber: Zamroni-Sadah-Shida)

Ada juga Stasiun Ketelan yang difungsikan untuk restoran dan tempat pameran. Stasiun Penguapan diubah menjadi lorong yang di sisi kanan dan kirinya berjajar kios pakaian dan kuliner. Stasiun Karbonatasi dikhususkan sebagai tempat penjualan kerajinan tangan. Adapun bengkel (besalen) telah difungsikan menjadi kafe.
Pertunjukan Kelas Dunia
Di bagian belakang bangunan utama De Tjolomadoe juga tersedia dua ruangan besar yang dapat digunakan (disewa) oleh masyarakat umum dan korporasi luar. Keduanya masih berada dalam satu ruangan dengan stasiun-stasiun, tetapi terletak di sebelah selatannya dengan disekat dinding khusus. Kedua ruangan itu masing-masing bernama Tjolomadoe Hall dan Sarkara Hall.

Tjolomadoe Hall (Sumber: kompas.com-Kristianto Purnomo)

Tjolomadoe Hall merupakan gedung pertunjukan yang ukuran dan fasilitasnya di atas rata-rata dengan daya tampung 2.500 orang, sedangkan Sarkara Hall merupakan gedung untuk pertemuan dan pernikahan yang berkapasitas 1.500 orang. Tjolomadoe Hall diklaim sebagai gedung pertunjukan atau konser seni yang berkelas dunia. Pertunjukan beberapa artis dunia dan nasional pernah digelar di gedung multifungsi (multifunction hall) ini. Artis yang pernah manggung  di Tjolomadoe Hall, antara lain, David Foster, Brian McKnight, Anggun C. Sasmi, Dira Sugandi, Sandy Sandhoro, dan Yura Yunita.

Tjolomadoe Hall dan Sarkara Hall melengkapi keberadaan De Tjolomadoe sebagai destinasi wisata yang multievent  dan memiliki jangkauan global. Seperti dikemukakan Menteri BUMN, Rini Suwandi, dalam “Hitman David Foster and Friends” 24 Maret 2018, De Tjolomadoe diharapkan dapat menjadi concert hall  terkenal di dunia melalui pengembangan Tjolomadoe Hall.
Semanis Masa Lalu
Pengunjung yang datang dan berkeliling di De Tjolomadoe akan mendapatkan suguhan lanskap sejarah yang dipadukan dengan pernik dan kronika modern. Menyaksikan mesin produksi penghasil gula yang berasal dari masa kolonial Belanda sembari menikmati sajian dan pelayanan modern masa kini akan menjadi atraksi pariwisata khas yang langka. Dengan harga tiket yang tidak terlalu mahal (Rp25.000,00), pengunjung dapat menikmati De Tjolomadoe dengan kemegahan, kesejarahan, dan keunikannya.

Pengunjung umum pasti akan mendapatkan pengalaman baru. Adapun pengunjung dari kalangan pendidikan (pelajar, mahasiswa, guru, dan sebagainya) juga akan mendapat tambahan pengetahuan sejarah baru karena akan memperoleh penjelasan historis seputar PG Colomadu dari pemandu khusus yang disediakan pihak pengelola untuk pengunjung dari kalangan pendidikan.

Panorama De Tjolomadoe dari atas (Sumber: Diskominfo Karanganyar).jpg)

Sebelum direnovasi, bekas pabrik ini sempat terlihat kotor dan kumuh akibat tak terurus sejak berhenti beroperasi tahun 1997 hingga tahun 2017. Masa lalunya yang manis sebagai salah satu raksasa penghasil gula di Asia dan dunia, pada saat itu seolah-olah pudar terkikis oleh waktu dan zaman.
Namun, renovasi yang berbiaya mahal mampu mengubahnya menjadi tempat baru yang elegan, nyaman, dan memiliki kelas tersendiri. Terlepas dari segala kekurangannya dalam proses renovasi, PG Colomadu telah bertransformasi dan menjelma menjadi ikon pariwisata baru yang terlihat cukup manis, semanis prestasi masa lalunya sebagai ikon penghasil gula kelas dunia.


Selasa, 23 Juli 2019

Oposisi untuk Demokrasi


Oleh Akhmad Zamroni

Oposisi (Sumber: https://bit.ly/2YQZhn)

Seusai Mahkamah Konstitusi (MK) menolak seluruh gugatan kubu pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno (27 Juni 2019) terkait perselisihan hasil pemilihan presiden 2019, langsung merebak pernyataan dari berbagai pihak mengenai pentingnya rekonsiliasi serta dibentuknya koalisi yang menyertakan kubu Prabowo-Sandi dan Jokowi-Amin dalam pemerintahan baru periode 2019­-2024.

Keinginan dan harapan terbentuknya koalisi besar yang, terutama dapat menggabungkan PDI-P dan Gerindra dalam pemerintahan, makin berembus kuat setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU) secara resmi menetapkan Joko Widodo-Ma’ruf Amin sebagai calon presiden dan wakil presiden terpilih yang sah untuk periode 2019-2024 (30 Juni 2019).

Dalam pidatonya sesaat setelah penetapan oleh KPU itu, Jokowi sendiri secara eksplisit juga mengajak Prabowo-Sandi untuk bersama-sama (Jokowi-Amin) membangun Indonesia. Sebelum dan sesudahnya, Jokowi juga beberapa kali memberikan isyarat kepada kubu Prabowo-Sandi untuk melakukan rekonsiliasi guna mencairkan ketegangan serta bersatu untuk memperbaiki dan memajukan Indonesia.

Beberapa politisi baik dari kubu Jokowi-Amin maupun Prabowo-Sandi menanggapi positif harapan, keinginan, dan ajakan dibentuknya koalisi yang menggabungkan kekuatan-kekuatan besar di kubu 01 (Jokowi-Amin) dan kubu 02 (Prabowo-Sandi) demi mengakhiri ketegangan dan keterbelahan bangsa serta terwujudnya rekonsiliasi dan persatuan untuk kepentingan bangsa dan negara.

Menjadi oposisi (Sumber: lamanberita.co)

Kemungkinan dan peluang terbentuknya koalisi besar tersebut kian terbuka lebar setelah Jokowi dan Prabowo bertemu dan berbicara langsung secara nonformal di stasiun MRT Lebak Bulus, Jakarta. Sinyal-sinyal terjalinnya rekonsiliasi dan pembentukan koalisi pun makin hari frekuensinya makin kuat dan konstan.

Seperti layaknya momentum politik, setelah kontestasi pemilihan presiden berakhir, para politisi berhamburan keluar untuk melakukan manuver dan negosiasi. Kepentingan, dari yang pragmatis hingga yang idealis, akhirnya menggiring para kontestan dan kompetitor untuk saling melakukan kompromi.

Manuver, negosiasi, dan kompromi yang dilakukan atas nama kepentingan sering sekali menyebabkan tak terselesaikan dan tak tuntasnya sejumlah pekerjaan penting seusai digelarnya pesta demokrasi. Salah satunya yang krusial adalah menjaga kesinambungan demokrasi dengan mempertahankan mekanisme checks and balances  sistem pemerintahan (ketatanegaraan) dengan memelihara dan merawat oposisi.

Rekonsiliasi untuk menjaga keutuhan dan kondusivitas serta koalisi untuk menciptakan pemerintahan (eksekutif) yang kuat, kredibel, dan stabil memang penting. Namun, mewujudkan oposisi yang berintegritas di parlemen serta secara konsisten mampu mengawasi dan mengontrol pemerintahan juga sama pentingnya.

Pemerintahan yang dijalankan tanpa oposisi yang memadai dapat menyebabkan demokrasi mengalami anomali: memicu lahirnya kebijakan publik yang mengabaikan aspirasi dan kepentingan rakyat (tidak prorakyat), merangsang terjadinya kesewenang-wenangan (otoritarianisme), mendorong munculnya pelanggaran hak asasi manusia, menyuburkan tumbuhnya KKN (kolusi, korupsi, dan nepotisme), serta memicu munculnya sederet dampak destruktif lainnya.


Karikatur oposisi (Sumber: https://www.ilmudefinisi.com)

Sistem ketatanegaraan yang digerakkan tanpa oposisi yang mumpuni menyebabkan pemerintah (eksekutif) tidak memiliki mitra sejajar (legislatif) yang akan mengingatkan mengenai pentingnya pelaksanaan pemerintahan yang tidak bertentangan dengan Pancasila, konstitusi, undang-undang, serta kepentingan bangsa dan negara. Tanpa oposisi yang mencukupi, pemerintah dapat mengalami “amnesia” sekaligus “paranoia”: lalai akan tugas, tanggung jawab, dan kewajibannya dalam memajukan dan menyejahterakan bangsa dan negara serta dihantui ketakutan terhadap koreksi dan kritik akibat tak terbiasa menghadapi peringatan (warning) dan tekanan (pressure).

Tanpa oposisi, pemerintah merasa semua kebijakannya sudah benar serta sesuai dengan undang-undang dan konstitusi karena tak ada yang mengingatkan dan mengoreksi. Ketiadaan oposisi yang sepadan menyebabkan terjadinya kekosongan umpan balik (feedback) sebagai bahan koreksi dan revisi bagi kebijakan-kebijakan pemerintah yang keliru, tidak prorakyat, serta merugikan kehidupan bangsa dan negara.

Oposisi merupakan prasyarat tak tergantikan bagi demokrasi. Sistem demokrasi akan berjalan sesuai dengan prinsip dasarnya (dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat) jika pemerintahan (apa pun pola atau formatnya: presidensial maupun parlementer) berjalan di bawah kawalan, pengawasan, dan kontrol oposisi yang sepadan di parlemen.

Oposisi sama sekali tak disinggung secara eksplisit dalam konstitusi. Namun, konstitusi kita (UUD 1945 Pasal 1 Ayat [2]) dengan jelas menetapkan bahwa Indonesia merupakan negara demokrasi. Selama kita mengambil bentuk demokrasi, apa pun sistem pemerintahannya: parlementer atau presidensial, oposisi menjadi salah satu komponen inti dari implemetasi demokrasi.

Oposisi akan menyebabkan parlemen (lembaga perwakilan rakyat) tidak berwajah, berhaluan, dan berpendirian seragam: pro kekuatan politik yang tengah berkuasa (pemerintah). Oposisi menjadikan parlemen (legislatif) tidak hanya menjadi “tukang stempel”, melainkan menjadi “tukang kawal” dan “tukang koreksi” bagi semua kebijakan dan sepak terjang pemerintah (eksekutif) sehingga parlemen akan senantiasa bersikap kritis dan korektif terhadap pemerintah.

Dengan parlemen yang kritis dan korektif, rakyat menjadi terwakili keberadaannya serta terwadahi hak-haknya sebagai pemegang sah kedaulatan negara. Rakyat tetap memiliki saluran di parlemen untuk mengartikulasikan aspirasi-aspirasi dan kepentingan-kepentingannya. Dan itulah urgensi oposisi bagi demokrasi: implementasi prinsip dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat dapat berjalan sebagaimana mestinya karena parlemen dapat memainkan tugas dan fungsi dasarnya dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara.