Ilustrasi pengertian Asesmen nasional (AN) (Sumber: Balitbang, Kemendikbud) |
Pada tahun 2021 mendatang, Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) akan menyelenggarakan asesmen nasional
yang terdiri atas asesmen kompetensi minimum (AKM), survei karakter (SK), dan
survei lingkungan belajar (SLB). Asesmen tidak dilakukan berdasarkan mata
pelajaran atau penguasaan materi kurikulum seperti yang selama ini diterapkan
dalam ujian nasional (UN), melainkan melakukan pemetaan terhadap dua kompetensi
minimum siswa, yakni dalam literasi dan numerasi.
Seperti diketahui, salah satu
indikator yang menjadi acuan di Kemendikbud adalah Programme for International
Student Assessment (PISA). Sebagai metode penilaian internasional, PISA merupakan
indikator untuk mengukur kompetensi siswa Indonesia di tingkat global.
Organisasi untuk Kerja Sama
Ekonomi dan Pembangunan (OECD) mencatat, peringkat nilai PISA Indonesia berdasarkan
survei tahun 2018 adalah Membaca (peringkat 72 dari 77 negara), Matematika
(Peringkat 72 dari 78 negara), dan Sains
(peringkat 70 dari 78 negara). Nilai PISA Indonesia juga cenderung stagnan
dalam 10-15 tahun terakhir. Hal inilah yang menjadi salah satu alasan
penggantian Ujian Nasional (UN) menjadi Asesmen Kompetensi Minimum (AKM), yang
nantinya akan berfokus pada literasi, numerasi, dan pendidikan karakter.
“Literasi
di sini bukan hanya kemampuan membaca, tetapi kemampuan menganalisis suatu
bacaan, dan memahami konsep di balik tulisan tersebut. Sedangkan kompetensi
numerasi berarti kemampuan menganalisis menggunakan angka. Dua hal ini yang
akan menyederhanakan asesmen kompetensi minimum yang akan dimulai tahun 2021.
Jadi, bukan berdasarkan mata pelajaran dan penguasaan materi. Ini kompetensi
minimum atau kompetensi dasar yang dibutuhkan murid-murid untuk bisa belajar,” tutur
Mendikbud, Nadiem Makarim.
Persiapan
Apa sajakah hal-hal yang harus
disiapkan guru dan tenaga kependidikan terkait upaya untuk memfokuskan literasi
dan numerasi?
“Yang
paling penting, menurut saya, adalah cara berpikir yang tidak terikat pada satu
pola atau satu disiplin; ini yang paling penting. Karena fokus pada literasi,
numerasi, karakter ini sebenarnya ujung-ujungnya adalah interdisipliner, dan
itulah arah pendidikan pada saat ini dan realitas dunia yang kita hadapi,” demikian
dikatakan Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (Dirjen GTK) Kemendikbud,
Iwan Syahril dalam wawancara telekonferensi, Rabu (3/6/2020).
“Banyak sekali inovasi terjadi
karena lintas disiplin saling ngobrol,
saling kemudian melakukan project dan nanti ke depannya juga kita tidak bisa survive dengan menguasai disiplin,
konten. Kita harus menguasai fleksibilitas secara kognitif dan soft skills sehingga kita bisa bergerak dari satu bidang
ke bidang lain,” tambahnya.
Ilustrasi instrumen Asesmen Nasional (Sumber: Balitbang, Kemendikbud) |
Iwan mengungkapkan, visi
Asesmen Kompetensi Minimum merupakan upaya menjawab tantangan zaman dan
mempersiapkan peserta didik menghadapi masa depan.
“Di masa depan tidak bisa kita
hanya, bahkan masa sekarang juga ya, bekerja hanya pada satu bidang. Kita nanti
bidangnya sudah enggak ini lagi nih,
diambil sama teknologi dan lain-lain, lebih efisien. Ternyata ilmu kita sudah
tidak relevan lagi sehingga harus pindah atau mencari keterampilan lain dan
sebagainya,” urai Iwan.
Pada
masa depan, para lulusan sekolah (siswa) diharapkan dapat memiliki keterampilan
yang multibidang serta mampu berpindah-pindah bidang karena banyak bidang
mengalami die out akibat digantikan oleh teknologi
“Prediksinya
‘kan ke depan itu siswa yang tamat tahun sekarang bisa sampai pindah 4-5 bidang
pekerjaannya di masa depan. Betul-betul pindah bidang karena bidangnya sudah die out, teknologi sudah bisa menggantikan,” tandas
Iwan.
(Sumber:
http://pgdikmen.kemdikbud.go.id/read-news/bersiap-menuju-asesmen-kompetensi-minimum;
dengan penyesuaian seperlunya)