Oleh Akhmad Zamroni
|
Sumber: http assets.kompas.com |
Dari
empat undang-undang yang
secara khusus mengatur peradilan di Indonesia (peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha
negara), UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer
merupakan undang-undang yang
memiliki napas paling panjang; dalam pengertian paling lama bertahan. Tiga undang-undang tentang peradilan lain –– yakni peradilan umum, peradilan agama, dan peradilan tata usaha
negara –– masing-masing telah mengalami dua kali perubahan/perbaikan, sedangkan
undang-undang peradilan militer sejak
pertama diberlakukan pada tahun 1997, belum satu kali pun mengalami revisi atau
perubahan. Oleh sebab itu, dalam beberapa tahun terakhir ini muncul wacana
tentang perlunya upaya untuk melakukan perbaikan terhadap UU No. 31 Tahun 1997
tentang Peradilan Militer.
Akan
tetapi, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, UU No. 31 Tahun 1997
masih tetap memiliki legalitas dan keabsahan sebagai landasan penyelenggaraan peradilan militer. UU No. 31 Tahun 1997,
antara lain, mengatur hal-hal sebagai berikut.
·
Dalam
Bab I (Ketentuan Umum), antara lain, dijelaskan pengertian tentang oditurat
militer, oditurat militer tinggi, oditurat
jenderal angkatan bersenjata, oditurat militer pertempuran, pejabat tata usaha
angkatan bersenjata, hakim militer, atasan yang berhak
menghukum, perwira penyerah perkara, penyidik angkatan bersenjata,
sengketa tata usaha angkatan bersenjata, dan prajurit angkatan bersenjata.
·
Dalam
Bab II (Susunan dan Kekuasaan Pengadilan), antara lain, diatur
perihal pengadilan dalam lingkungan peradilan militer
sebagai badan pelaksana kekuasaan kehakiman, wewenang pengadilan dalam lingkungan peradilan militer,
susunan pengadilan dalam lingkungan
peradilan militer (terdiri atas pengadilan militer, pengadilan militer tinggi, pengadilan militer utama, dan pengadilan militer pertempuran],
tempat kedudukan pengadilan militer utama, serta
kepangkatan hakim ketua dalam persidangan pengadilan militer.
·
Dalam
Bab III (Susunan dan Kekuasaan Oditurat), di antaranya, diatur tentang
pembinaan teknis yustisial dan pengawasan bagi oditurat, susunan oditurat
(oditurat militer, oditurat militer tinggi, oditurat
jenderal, dan oditurat militer pertempuran),
pembentukan unit pelaksana teknis oditurat militer,
tempat kedudukan oditurat jenderal, mobilitas oditurat militer
pertempuran, persyaratan prajurit untuk diangkat menjadi oditur militer, sumpah
atau janji oditur dan oditur jenderal, pemberhentian dengan hormat dan dengan
tidak hormat oditur dan oditur jenderal, serta tugas dan wewenang oditurat militer.
·
Dalam
Bab IV (Hukum Acara Pidana Militer), antara
lain, diatur tentang penyidik dan penyidik pembantu, wewenang
penyidik, pembuatan berita acara, penyerahan berkas perkara kepada oditur,
wewenang yang dimiliki oleh atasan yang berhak menghukum, penangkapan terhadap tersangka,
jangka waktu penahanan tersangka, perpanjangan penahanan, penggeledahan dan penyitaan, benda-benda yang dikenai
penyitaan, pemeriksaan surat, pelaksanaan penyidikan, penyerahan perkara,
pemeriksaan dalam sidang pengadilan, pemeriksaan dan pembuktian, penuntutan dan pembelaan,
penggabungan perkara gugatan ganti rugi, musyawarah dan putusan, acara pemeriksaan koneksitas, acara pemeriksaan khusus, acara pemeriksaan cepat, bantuan hukum, pemerik-saan tingkat banding, pemeriksaan tingkat kasasi, upaya hukum luar biasa,
serta pelaksanaan putusan pengadilan.
·
Dalam
Bab V (Hukum Acara Tata Usaha Militer),
antara lain, diatur mengenai gugatan, pemeriksaan tingkat pertama, acara pemeriksaan cepat, pembuktian dan
putusan, pemeriksaan tingkat banding, pemeriksaan tingkat kasasi, pemeriksaan peninjauan kembali putusan yang sudah memperoleh
kekuatan hukum tetap, pelaksanaan putusan pengadilan, serta ganti rugi dan rehabilitasi.