Tampilkan postingan dengan label Sosiologi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sosiologi. Tampilkan semua postingan

Kamis, 25 April 2019

Mengubah Etnosentrisme menjadi Nasionalisme

Oleh  Akhmad Zamroni

Nasionalisme (Sumber: assets-a2.kompasiana.com)


Primordialisme dan etnosentrisme merupakan dua dari sekian banyak potensi konflik yang dapat muncul akibat keberagaman suku, etnik, penganut agama, golongan, dan sebagainya. Namun, khusus untuk etnosentrisme, apakah paham ini selamanya menjadi potensi konflik yang membawa sifat negatif? Ternyata tidak demikian. Selain memiliki sisi negatif, etnosentrisme juga dapat mempunyai sisi positif. Dalam situasi dan kondisi tertentu, etnosentrisme dapat meningkatkan rasa nasionalisme dan patriotisme. Dengan kata lain, etnosentrisme dapat “dimanipulasi” menjadi nasionalisme dan patriotisme.
Secara hierarkis, etnosentrisme tampaknya justru menjadi cikal bakal lahirnya nasionalisme dan patriotisme. Jika dilihat cara dan urutan pembentukan sifatnya, nasionalisme dan patriotisme boleh jadi merupakan pengembangan lebih lanjut dari etnosentrisme. Bibit-bibit semangat kebangsaan dan cinta tanah air dalam nasionalisme dan patriotisme, sadar atau tidak sadar, merupakan hasil pengembangan dari sifat “menganggap diri lebih baik” yang terkandung dalam etnosentrisme.
Sifat yang terdapat dalam etnosentrisme memang mirip dengan yang ada dalam nasionalisme dan patriotisme. Ketiganya sama-sama cenderung bersifat “bangga akan diri sendiri”. Namun, jika etnosentrisme cenderung berlebihan sehingga menganggap rendah kelompok lain, nasionalisme dan patriotisme relatif proporsional dan terkontrol sehingga lebih santun dan berbudaya.
Konon, tumbuh dan berkembangnya nasionalisme dan patriotisme merupakan hasil akumulasi atau gabungan etnosentrisme yang bermunculan dari kelompok-kelompok suku, ras, golongan, penganut agama, dan sebagainya yang ada dalam sebuah negara. Dengan pola itu, etnosentrisme yang bermunculan mengerucut menjadi nasionalisme dan patriotisme. Oleh karena itu, saat hubungan antarkelompok menegang, etnosentrisme terpicu untuk menghadapi kelompok lain, tetapi saat negara dalam keadaan bahaya, etnosentrisme dari berbagai kelompok muncul membentuk kesatuan baru yang disebut nasionalisme dan patriotisme untuk menghadapi musuh negara.
Hubungan semacam itu menunjukkan bahwa etnosentrisme dapat dimanfaatkan untuk membangun nasionalisme dan patriotisme. Dan memang, etnosentrisme sebaiknya diakomodasi menjadi nasionalisme dan patriotisme. Namun, akomodasi dan pemanfaatannya harus dilakukan secara terkendali dan berbudaya sehingga nasionalisme dan patriotisme yang terbentuk tidak menjelma menjadi chauvinisme.


Kamis, 04 Mei 2017

Bentuk-Bentuk Interaksi Sosial

Oleh Akhmad Zamroni

Sumber: Koleksi Zamroni

Dengan memperhatikan proses sosial yang berlangsung, kita dapat menyaksikan berbagai bentuk interaksi sosial yang terjadi dalam kehidupan manusia. Apa sajakah bentuk-bentuk interaksi sosial yang lazim terjadi? Para ahli menggolongkan bentuk-bentuk interaksi sosial secara berbeda-beda. Misalnya, Gillin dan Gillin (1954: 501) menggolongkan bentuk interaksi sosial menjadi dua kelompok besar, yakni proses asosiatif  (terdiri atas akomodasi, asimilasi, dan akulturasi) dan proses disosiatif  (terdiri atas persaingan, kontravensi, dan pertentangan atau pertikaian). Young dan Mack (1959: 138) mengelompokkan bentuk interaksi sosial menjadi tiga, yakni oposisi (mencakup persaingan dan pertentangan atau pertikaian), kerja sama (menghasilkan akomodasi), dan diferensiasi. Adapun Shibutani (dalam Soekanto, 2005: 71) membagi bentuk interaksi sosial menjadi empat, yakni akomodasi dalam situasi rutin, ekspresi pertemuan dan anjuran, interaksi strategis dalam pertentangan, serta pengembangan perilaku massa.

Kendatipun penggolongan bentuk interaksi sosial oleh para pakar tersebut berbeda-beda, di dalamnya tidak terdapat perbedaan yang prinsipil atau fundamental. Secara garis besar, pembagian bentuk-bentuk interaksi tersebut relatif hampir sama, terutama yang menyangkut hal-hal yang bersifat pokok. Proses-proses interaksi yang pokok dapat dirangkum meliputi proses asosiatif dan proses disosiatif, sebagaimana yang dikemukakan oleh Gillin dan Gillin serta Soerjono Soekanto.

A.   Proses asosiatif (Processes of Association)
Proses asosiatif adalah proses sosial yang berkembang menuju terbentuknya persatuan atau integrasi sosial serta mendorong terbentuknya pranata, lembaga, atau organisasi sosial. Proses asosiatif dapat berlangsung dalam wujud kerja sama (cooperation), akomodasi (accomodation), asimilasi (assimilation), dan akulturasi (aculturation). Berikut ini penjelasannya yang lebih detail.

1.    Kerja Sama (Cooperation)
Menurut beberapa sosiolog, kerja sama merupakan bentuk interaksi sosial yang pokok. Sebagian sosiolog lain menilai bahwa kerja sama merupakan proses sosial yang utama. Segala macam bentuk interaksi sosial dianggap dapat dikembalikan pada kerja sama. Young dan Mack (1959: 143) bahkan mencontohkan, jika, misalnya, dua orang berkelahi, mereka harus “bekerja sama” untuk saling memukul.

Contoh yang dikemukakan Young dan Mack tersebut kiranya mengambil ruang lingkup yang terlalu luas sehingga dapat mengaburkan makna kerja sama itu sendiri. Kerja sama dalam hal ini tentunya tidaklah semacam itu. Kerja sama yang dimaksud adalah usaha bersama yang dilakukan antarindividu, antarkelompok, atau antara individu dan kelompok untuk mencapai tujuan bersama.

Menurut Cooley (dalam Soekanto, 2005: 73), kerja sama timbul manakala orang menyadari bahwa mereka memiliki kepentingan-kepentingan yang sama dan pada saat yang berbarengan memiliki cukup pengetahuan dan pengendalian terhadap diri sendiri untuk memenuhi kepentingan-kepentingan yang dimaksud. Kerja sama mendorong terbentuknya persatuan atau integrasi sosial. Interaksi sosial dalam bentuk kerja sama lazim terjadi di semua lapisan masyarakat serta meliputi semua aspek kehidupan manusia.

Mengapa orang merasa perlu bekerja sama? Sebagai pelajar, Anda tidak akan dapat menimba ilmu sebagaimana mestinya jika Anda tidak melakukan kerja sama dengan beberapa pihak lain, seperti guru, sekolah, dan teman sekelas. Itulah sebabnya, Anda dan kita semua, perlu dan bahkan wajib melakukan berbagai kerja sama untuk mencapai keinginan-keinginan serta memenuhi kebutuhan-kebutuhan kita yang jumlahnya banyak sekali. Selain untuk menjaga dan memperjuangkan kepentingan, kerja sama juga penting dilakukan dalam rangka menciptakan kerukunan dan keharmonisan sosial.

Dalam kehidupan manusia secara umum, kerja sama merupakan bagian yang normal dalam proses sosial. Akan tetapi, dalam situasi dan kondisi tertentu, kerja sama dapat terbentuk secara lebih kuat. Berikut ini beberapa sifat atau hal yang perlu kita perhatikan terkait dengan kerja sama.
  • Kesamaan kepentingan, dorongan untuk memenuhi kebutuhan hidup, dan keinginan untuk mengekspresikan seni akan merangsang individu dan kelompok untuk melakukan kerja sama.
  • Kerja sama kemungkinan akan berlangsung lebih kuat jika ada musuh bersama atau muncul bahaya yang mengancam dari luar atau ada tindakan-tindakan dari pihak luar yang menyinggung kesetiaan yang secara tradisional atau institusional telah tertanam dalam kelompok.
  • Kerja sama dapat bersifat agresif jika kelompok dalam waktu yang lama mengalami kekecewaan dan perasaan tak puas karena keinginan-keinginan utamanya tak terpenuhi akibat adanya rintangan-rintangan yang bersumber dari luar kelompok (pihak eksternal).
Dalam teori sosiologi, bentuk kerja sama dibedakan menjadi kerja sama spontan (spontaneous cooperation), kerja sama langsung (directed cooperation), kerja sama kontrak (contractual cooperation), dan kerja sama tradisional (traditional cooperation). Kerja sama spontan dilakukan secara serta merta, kerja sama langsung dilakukan sebagai hasil perintah atasan atau penguasa, kerja sama kontrak dilakukan atas dasar tertentu, dan kerja sama tradisional dilakukan sebagai bagian dari sistem sosial. Adapun dari segi pelaksanaannya, kerja sama dilakukan dalam lima bentuk, yakni kerukunan, bargaining, kooptasi, koalisi, dan joint venture (Thompson dan McEwen dalam Soekanto, 2005: 74–75).
  • Kerukunan merupakan kerja sama yang meliputi gotong royong dan tolong-menolong.
  • Bargaining merupakan kerja sama sebagai pelaksanaan perjanjian mengenai pertukaran barang dan jasa antara dua organisasi atau lebih.
  • Kooptasi (cooptation) adalah proses penerimaan unsur-unsur baru dalam kepemimpinan atau pelaksanaan politik dalam suatu organisasi sebagai salah satu cara untuk menghindari terjadinya keguncangan stabilitas organisasi.
  • Koalisi (coalition) merupakan kerja sama kombinasi antara dua organisasi atau lebih yang memiliki tujuan yang sama.
  • Joint venture merupakan kerja sama dalam mengusahakan proyek-proyek tertentu, misalnya, pengembangan jaringan telekomunikasi, pengeboran minyak lepas pantai, dan pengadaan buku pelajaran sekolah.
2.    Akomodasi (Accomodation)
Istilah akomodasi digunakan dalam dua pengertian, yaitu merujuk pada suatu keadaan dan merujuk pada suatu proses. Akomodasi yang merujuk pada suatu keadaan mengarah pada kese-imbangan interaksi antara orang-perorangan atau kelompok-kelompok terkait dengan norma dan nilai sosial yang berlaku. Akomodasi sebagai suatu proses merujuk pada usaha manusia meredakan atau menyelesaikan pertentangan untuk mencapai kestabilan.

Akomodasi sesungguhnya merupakan cara yang dikembangkan untuk mengatasi perten-tangan atau perselisihan tanpa menghancurkan pihak lawan atau pesaing sehingga lawan atau pesaing tidak kehilangan kepribadian. Akomodasi dapat dilakukan dengan tujuan yang berbeda-beda, tergantung keadaan yang dihadapi. Tujuan akomodasi dapat dirumuskan sebagai berikut:
  • mengurangi pertentangan antarindividu atau antarkelompok manusia akibat perbe-daan paham atau aliran sehingga dapat dicapai titik temu yang menghasilkan suatu pola baru;
  • mencegah atau meredam meledaknya perselisihan untuk sementara waktu;
  • membuka kemungkinan terbentuknya kerja sama antarkelompok sosial yang hidup terpisah karena faktor sosial, budaya, dan psikologis;
  • mengusahakan peleburan atau penyatuan antarkelompok sosial yang terpisah (misalnya, melalui perkawinan campuran atau asimilasi dalam arti luas).
Sebagai sebuah proses, akomodasi, antara lain, memiliki bentuk koersi (coercion), kompromi (compromise), arbitrasi (arbitration), mediasi (mediation), konsiliasi (conciliation), toleransi (tolerance), stalemate, ajudikasi (adjudication), segregasi (segregation), dan eliminasi (elimination). Agar lebih jelas, Anda dipersilakan mengikuti uraian berikut ini.
  • Koersi (coercion) adalah akomodasi yang prosesnya dilakukan melalui paksaan, baik secara fisik maupun mental (psikis). Koersi dijalankan karena lazimnya ada pihak yang lemah dan pihak yang kuat. Contohnya adalah penguasa/pemerintah di negara totaliter yang memaksa rakyatnya untuk menjalankan kebijakan tertentu –– di negara totaliter penguasa sangat kuat, sementara rakyat sangat lemah, sehingga kebijakan penguasa selalu dapat diberlakukan dan dilaksanakan biarpun merugikan rakyat.
  • Kompromi (compromise) adalah akomodasi berbentuk persetujuan atau kesepakatan dengan jalan damai yang terjadi karena pihak-pihak yang bersengketa saling mengurangi tuntutannya. Contohnya, dua negara yang mempersengketakan sebuah pulau, berkompromi untuk tidak saling menyerang dan menguasai pulau tersebut sebelum ada keputusan berkekuatan hukum dari badan internasional yang berwenang.
  • Arbitrasi (arbitration) adalah akomodasi yang dilakukan dengan memakai jasa pihak ketiga karena kedua belah pihak yang berselisih tidak mampu menyelesaikan perselisihannya sendiri. Perselisihan diselesaikan oleh pihak ketiga yang ditunjuk oleh kedua pihak yang berselisih atau oleh sebuah lembaga berwenang yang berkedudukan lebih tinggi daripada pihak yang berselisih. Contohnya, perselisihan antara direksi sebuah perusahaan dengan para buruhnya penyelesaiannya difasilitasi oleh kementerian tenaga kerja.
  • Mediasi (mediation) adalah bentuk akomodasi yang hampir sama dengan arbitrasi, hanya saja pihak ketiga yang diminta untuk turut menyelesaikan sengketa memiliki posisi atau kedudukan yang netral serta tidak berwenang untuk memberikan keputusan. Pihak ketiga hanya mengusahakan solusi damai dengan memberikan nasihat atau konsultasi. Contohnya, konflik di Filipina yang melibatkan pemerintah dan gerilyawan Moro menyertakan Indonesia sebagai penengah (mediator) untuk mengusahakan tercapainya perdaimaian.
  • Konsiliasi (conciliation) adalah upaya untuk mempertemukan keinginan dari pihak-pihak yang berselisih untuk mencapai kesepakatan bersama. Konsiliasi membuka peluang bagi pihak-pihak yang berselisih untuk saling menyesuaikan diri, saling mengurangi perbedaan, serta saling menyamakan sikap dan tindakan untuk mencapai tujuan bersama. Contohnya ialah wakil-wakil buruh, pemilik perusahaan, dan kementerian tenaga kerja duduk bersama untuk menyelesaikan masalah perburuhan.
  • Toleransi (tolerance), atau sering disebut tolerant-participation, adalah bentuk akomodasi yang dilakukan tanpa melalui persetujuan yang sifatnya formal (resmi). Toleransi seringkali muncul secara spontan, tanpa disadari, dan tidak direncanakan akibat reaksi alamiah individu atau kelompok untuk menghindarkan diri dari perselisihan. Contohnya, demi menjaga ketenangan proses belajar-mengajar di dalam kelas dan menghindari perselisahan dengan guru, para siswa dengan kesadaran sendiri tidak melakukan keributan atau kegaduhan.
  • Stalemate adalah bentuk akomodasi yang ditandai oleh berhentinya pertentangan pada titik tertentu akibat pihak-pihak yang terlibat pertikaian memiliki kekuatan yang seimbang. Contohnya, ketegangan dan perselisihan pada masa Perang Dingin antara Blok Barat (yang dipimpin Amerika Serikat) dan Blok Timur (dipimpin Uni Soviet) tidak pernah berkembang menjadi perang dunia dan perang nuklir akibat keduanya memiliki pasukan dan persenjataan yang seimbang.
  • Ajudikasi (adjudication) adalah akomodasi yang dilakukan dalam bentuk penyelesaian perkara atau sengketa melalui lembaga peradilan. Contohnya adalah sengketa tanah antara warga suatu desa dan sebuah perusahaan BUMN dirampungkan melalui sidang pengadilan.
  • Segregasi (segregation) adalah akomodasi yang berbentuk saling memisahkan dan menghindarkan diri oleh masing-masing pihak yang bertikai dalam upaya mengurangi ketegangan dan menghindarkan pertikaian lebih tajam. Contohnya adalah untuk menghindari bentrokan fisik, demonstran mahasiswa dan aparat penjaga keamanan berangsur-angsur saling mundur dan tidak melakukan provokasi.
  • Eliminasi adalah akomodasi yang terjadi akibat salah satu pihak yang bersengketa  mengunduran diri sebagai cerminan sikap mengalah. Contohnya ialah untuk menghadapi tuntutan kenaikan upah para buruh, sebuah perusahaan menaikkan upah sesuai keinginan para buruh.


3.    Asimilasi (Assimilation)
Asimilasi adalah upaya untuk mengurangi perbedaan serta menyatukan sikap dan tindakan antara individu-individu atau kelompok-kelompok guna menghasilkan kesepakatan berdasarkan kepentingan dan tujuan bersama. Orang-orang yang melakukan asimilasi ke dalam suatu kelompok masyarakat tidak lagi membedakan dirinya dengan kelompok sehingga tidak dianggap sebagai orang asing. Mereka mengidentifikasikan dirinya dengan kepentingan dan tujuan kelompok.

Manakala dua kelompok manusia melakukan asimilasi, batas-batas antara kedua kelompok tersebut akan lenyap. Keduanya melebur menjadi satu kelompok. Asimilasi ditandai dengan pengembangan sikap-sikap yang sama dengan tujuan mencapai kesatuan atau, setidaknya, mencapai integrasi organisasi, pikiran, dan tindakan.

Asimilasi terjadi pada masyarakat yang berbeda kebudayaan sehingga terbentuk kebudayaan baru dalam waktu lama. Asimialsi terjadi setelah melalui tahap kerja sama dan akomodasi. Koentjaraningrat (dalam Soekanto, 2005: 81) menyatakan bahwa asimilasi dapat terjadi manakala syarat-syarat berikut ini terpenuhi.
  • Terdapat kelompok-kelompok manusia yang memiliki kebudayaan berbeda.
  • Terjadi pergaulan antarindividu sebagai warga kelompok secara langsung dan intensif dalam waktu yang lama.
  • Kebudayaan masing-masing kelompok saling mengalami perubahan dan penyesuaian diri.
Dengan demikian, asimilasi sangat terkait dengan pengembangan sikap, keinginan, dan tujuan yang sama. Terdapat beberapa bentuk interaksi sosial yang memberi arah berlangsungnya proses asimilasi. Bentuk-bentuk interaksi sosial yang dimaksud adalah sebagai berikut.
  • Interaksi sosial yang dilakukan pihak-pihak yang terlibat bersifat saling pendekatan. Satu pihak berusaha melakukan pendekatan terhadap pihak lain, sementara pihak lain juga melakukan hal yang sama.
  • Interaksi sosial yang dilakukan tidak mengalami kendala dalam bentuk halangan atau pembatasan. Interaksi sosial yang mengarah ke asimilasi akan terhenti jika menemui halangan atau pembatasan yang berat.
  • Interaksi sosial yang dilakukan bersifat langsung dan primer. Artinya, interaksi itu dilakukan langsung menghadapkan dan melibatkan pihak pelaku, tanpa perantara.
  • Interaksi sosial yang dilakukan berlangsung dalam frekuensi yang tinggi, tetap, dan seimbang. Artinya, upaya pendekatan dan pemberian tanggapan oleh para pelaku interaksi sering dan ajek dilakukan serta ada keseimbangan antara pihak-pihak yang dimaksud.
Asimilasi juga memerlukan faktor pendukung. Faktor ini diperlukan agar asimilasi dapat berjalan seperti yang diharapkan. Berikut ini faktor-faktor pendukung yang akan mempermudah dan memperlancar proses asimilasi:
  • toleransi antarindividu atau antarkelompok yang berbeda kebudayaan,
  • kesempatan yang seimbang dalam bidang ekonomi,
  • sikap menghargai dan menghormati orang lain (asing) beserta kebudayaannya,
  • sikap terbuka dari golongan yang berkuasa dalam masyarakat,
  • persamaan dalam unsur-unsur kebudayaan,
  • terjadinya perkawinan campuran antarkelompok yang berbeda budaya (amalga-mation),
  • adanya musuh bersama yang datang dari luar.
Di sisi lain, juga dijumpai hal-hal tertentu yang menghambat terjadinya asimilasi. Hal ini dapat menggagalkan proses asimilasi. Berikut ini beberapa faktor penghalang asimilasi:
  • terisolasinya kehidupan golongan tertentu dalam masyarakat, yang biasanya dialami oleh golongan minoritas;
  • kurangnya pengetahuan tentang kebudayaan yang dihadapi;
  • adanya perasaan takut terhadap kekuatan kebudayaan lain yang dihadapi;
  • adanya perasaan bahwa kebudayaan kelompok tertentu lebih tinggi daripada kebudayaan kelompok lain;
  • adanya perbedaan ciri-ciri fisik, seperti tinggi badan, warna kulit, dan warna rambut;
  • adanya perasaan keterikatan yang kuat dengan kebudayaan sendiri (in-group feeling);
  • terganggunya golongan minoritas oleh golongan mayoritas yang kuat dan berkuasa.
4.    Akulturasi (Aculturation)
Akulturasi adalah hasil perpaduan antara dua kebudayaan berbeda yang membentuk kebudayaan baru dengan tidak menghilangkan ciri-ciri budaya masing-masing. Proses akulturasi lazim berlangsung dalam waktu yang relatif lama. Sebagai contoh adalah punden berundak dalam kebudayaan Hindu yang berpadu dengan masjid dalam kebudayaan Islam menghasilkan arsitektur masjid Demak dengan atap yang bertingkat-tingkat.



B.   Proses disosiatif (Processes of Dissociation)
Proses sosial disosiatif seringkali disebut proses oposisi (oppositional processes). Proses disosiatif dapat dikatakan saling berlawanan dengan proses asosiatif. Jika proses asosiatif mengarah pada hubungan kooperatif yang menuju penyatuan, proses disosiatif mengarah pada hubungan rivalitas yang menuju pemisahan, saling berhadap-hadapan, dan bahkan saling berlawanan. Oleh sebab itu, proses sosial disosiatif biasanya berlangsung dalam bentuk-bentuk yang cenderung bersifat friktif dan konfrontatif. Proses sosial disosiatif dapat dikelompokkan menjadi tiga bentuk, yaitu persaingan (competition), kontravensi (contravention), dan konflik atau pertikaian (conflict).

1.    Persaingan (Competition)
Persaingan merupakan suatu proses sosial yang ditandai individu-individu atau kelompok-kelompok manusia berlomba untuk mendapatkan keuntungan melalui bidang kehidupan yang menjadi pusat perhatian umum dengan cara menarik perhatian publik atau mempertajam prasangka tanpa menggunakan ancaman atau kekerasan (Gillin dan Gillin dalam Soekanto, 2005: 91). Persaingan terjadi dalam dua bentuk, yakni persaingan pribadi dan persaingan kelompok. Persaingan pribadi, misalnya, persaingan individual antarsiswa di dalam kelas untuk mendapatkan nilai tertinggi dalam pelajaran matematika. Persaingan kelompok, misalnya, persaingan antara dua perusahaan percetakan untuk memenangkan tender pencetakan buku referensi yang diadakan pemerintah.

Persaingan terjadi, antara lain, akibat terbatasnya sumber daya kehidupan, hasrat untuk menonjol, dan keharusan sistem. Persaingan dapat berlangsung dalam berbagai bidang dan sendi kehidupan, seperti dalam sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Berikut ini dijabarkan lebih terperinci persaingan dalam keempat bidang yang dimaksud.
  • Persaingan dalam bidang sosial paling jelas tampak dalam persaingan meraih status dan peran dalam kehidupan bermasyarakat. Persaingan sosial umumnya didorong oleh keinginan untuk mendapatkan pengakuan status, derajat, dan peranan. Mereka yang dianggap atau merasa dirinya berstatus rendah cenderung akan berusaha mendapatkan kedudukan tertentu dalam masyarakat agar prestise dan peranannya menjadi lebih terpandang dan dihargai.
  • Persaingan dalam ekonomi terjadi akibat terbatasnya persediaan (barang dan jasa) dibandingkan dengan jumlah konsumen. Persaingan dimaksudkan untuk mengatur produksi dan distribusi. Persaingan dalam bidang ekonomi akan menguntungkan masyarakat karena produsen akan berlomba-lomba menghasilkan barang dan jasa dengan kualitas yang baik sehingga masyarakat memiliki banyak pilihan dalam menggunakan barang dan jasa.
  • Persaingan dalam politik dapat terjadi aki-bat sistem ketatatnegaraan multipartai yang menuntut adanya pluralisme kelompok atau partai politik. Demokrasi adalah sistem yang terutama mendorong terjadinya persaingan politik. Kelompok-kelompok politik –– lazim terwadahi melalui partai politik –– bersaing dalam pemilihan umum untuk memperebutkan suara rakyat guna menentukan para wakil rakyat di parlemen dan mengisi jabatan di pemerintahan.
  • Persaingan dalam budaya dapat terjadi akibat munculnya keinginan untuk melakukan dominasi budaya oleh bangsa atau komunitas tertentu terhadap kebudayaan bangsa dan komunitas lain. Persaingan kebudayaan dapat terjadi dalam bidang keagamaan, lembaga kemasyarakatan, bahasa, dan kesenian.
Apakah persaingan ada manfaat dan fungsinya? Dalam batas-batas tertentu serta selama dilakukan secara fair dan sehat, persaingan jelas dapat memberi manfaat dan fungsi yang positif. Manfaat dan fungsi persaingan, antara lain, sebagai berikut.
  • Persaingan dapat menyalurkan hasrat kompetitif yang dimiliki individu dan kelompok untuk meraih penghargaan-penghargaan yang tinggi.
  • Persaingan menjadi sarana seleksi untuk menentukan individu-individu terbaik serta menempatkannya pada kedudukan dan peranan yang sesuai dengan kemampuannya masing-masing.
  • Persaingan menjadi alat untuk menyaring warga kalangan pekerja yang akan menghasilkan pembagian kerja yang efektif.
  • Persaingan akan mendorong individu atau kelompok untuk belajar dan meningkatkan kompetensi (kemampuan).
2.    Kontravensi (Contravension)
Kontravensi adalah suatu proses sosial yang berada di antara persaingan dan pertentangan atau konflik. Kontravensi ditandai oleh gejala-gejala ketidakpastian diri seseorang, ketidakpastian suatu rencana, perasaan tidak suka yang disembunyikan, dan kebencian atau keraguan terhadap kepribadian seseorang. Dalam bentuknya yang murni, kontravensi merupakan sikap yang tersembunyi terhadap orang lain atau unsur kebudayaan kelompok tertentu. Sikap ini dapat menjelma menjadi kebencian, tetapi tidak sampai menjadi pertentangan atau pertikaian. Contohnya, seseorang menaruh kecurigaan terhadap orang lain yang seringkali dijumpai atau seseorang meragukan manfaat sebuah kebijakan yang akan dilaksanakan oleh pemerintah.

Leopold von Wiese dan Howard Becker (dalam Soekanto, 2005: 95) membagi kontravensi menjadi lima bentuk, yakni umum, sederhana, intensif, rahasia, dan taktis. Berikut ini penjelasannya.
  • Bentuk yang umum, misalnya, penolakan, perlawanan, menghalang-halangi, protes, melakukan gangguan, tindakan dengan kekerasan, serta mengacaukan rencana pihak lain.
  • Bentuk yang sederhana, misalnya, membantah pernyataan orang lain di depan umum, mencaci maki dengan selebaran gelap, memfitnah, dan mencerca.
  • Bentuk yang intensif, misalnya, menghasut, menyebarkan isyu, dan membuat kecewa pihak lain.
  • Bentuk yang rahasia, misalnya, membocorkan rahasia lawan dan melakukan pengkhianatan.
  • Bentuk yang taktis, misalnya, mengejutkan lawan dan membingungkan pihak lain.
Selain menganalisis kontravensi dari aspek bentuk, Leopold von Wiese dan Becker juga membahasnya dari segi tipe. Menurut keduanya, terdapat tiga tipe umum kontravensi, yakni kontravensi generasi masyarakat, kontravensi jenis kelamin (seks), dan kontravensi parlementer (dalam Soekanto, 2005: 96–97). Berikut ini Anda diajak mengikuti penjabarannya.
  • Kontravensi generasi dalam masyarakat lazim muncul saat di tengah masyarakat terjadi perubahan-perubahan yang cepat. Akibat perubahan zaman, seringkali terjadi keragu-raguan dan prasangka di kalangan generasi muda terhadap nilai-nilai yang dianut dan ditanamkan generasi tua. Hal ini karena generasi muda umumnya berpandangan lebih terbuka dan longgar akibat mereka dibentuk oleh pendidikan dan kehidupan yang modern, sedangkan generasi tua biasanya lebih tertutup dan kaku akibat mereka dibentuk oleh pendidikan dan pengalaman hidup yang konservatif (kolot).
  • Kontravensi jenis kelamin (seksual) lazim terkait dengan hubungan dan peranan kaum pria dan wanita baik dalam rumah tangga, dunia kerja, maupun kehidupan umum (publik). Nilai-nilai masyarakat pada zaman modern saat ini umumnya sudah menempatkan kaum pria dan wanita pada kedudukan yang sejajar (emansipasi). Akan tetapi, karena faktor sejarah dan budaya (adat), banyak wanita dari kalangan tertentu masih merasa bimbang dan gamang dengan posisi, kemampuan, dan peranannya, sedangkan di pihak lain kaum pria pun seringkali menanggapinya dengan sikap ragu, apatis, meremehkan, dan merasa tersaingi.
  • Kontravensi parlementer terjadi dalam relasi atau hubungan antara kelompok mayoritas dan kelompok minoritas dalam lembaga legislatif, pendidikan, keagamaan, dan sebagainya. Hubungan yang kadang kurang seimbang antara kelompok mayoritas dan kelompok minoritas menyebabkan terpinggirkannya posisi dan peranan minorotas sehingga memicu prasangka dan perasaan sentimen.
3.    Pertikaian/Konflik (Conflict)
Pertikaian atau konflik adalah proses sosial yang ditandai adanya individu atau kelompok yang berusaha mencapai tujuan dengan jalan menentang pihak lain (lawan) dengan ancaman dan/atau kekerasan. Di dalam konflik, pihak-pihak yang berhadapan (terlibat) berupaya saling menyerang untuk menghancurkan dan membuat tak berdaya lawannya. Konflik dapat terjadi, antara lain, akibat perbedaan antarindividu, perbedaan budaya, perbedaan kepentingan, dan perubahan sosial (yang cepat). Perbedaan-perbedaan yang dapat memicu konflik selanjutnya dapat diuraikan sebagai berikut.
  • Perbedaan antarindividu dapat muncul dalam bentuk perbedaan perasaan, pendapat, paham, dan sebagainya. Perbedaan ini dapat berkembang menjadi tindakan saling serang dan saling menyingkirkan.
  • Perbedaan budaya dapat menyebabkan perbedaan kepribadian. Kepribadian individu banyak ditentukan oleh pola budaya yang melatarbelakangi perkembangan kepribadian. Perbedaan ini dapat menyebabkan munculnya perbedaan pola pemikiran dan pendirian yang selanjutnya dapat memicu terjadinya konflik.
  • Perbedaan kepentingan jelas sekali dapat menimbulkan konflik. Kepentingan individu dan kelompok yang berbeda dalam berbagai bidang kehidupan –– ekonomi, politik, hukum, dan sebagainya –– mudah mengarah pada konflik, terutama jika setiap individu atau kelompok secara picik bersikeras hanya menonjolkan kepentingannya masing-masing.
  • Perubahan sosial yang cepat dan drastis akan mengubah nilai-nilai dalam masyarakat. Perubahan ini mendorong lahirnya individu dan kelompok yang berbeda pandangan, paham, dan prinsip selain menyebabkan keguncangan psikologis. Hal ini seringkali merangsang terjadinya konflik baik antarindividu maupun antarkelompok.

                                                                    Sumber: submitlist.info

Masyarakat umumnya menghendaki konflik tidak terjadi pada kehidupan mereka. Namun, realitasnya, kehidupan sosial sangat sulit untuk sepenuhnya bebas dari konflik. Konflik dalam kehidupan sosial tetap saja muncul. Bentuk-bentuk konflik yang terjadi, antara lain, konflik pribadi, konflik rasial, konflik kelas, konflik politik, dan konflik internasional.
  • Konflik pribadi merupakan pertikaian antara dua pribadi karena hal tertentu. Konflik ini dapat terjadi tidak hanya antara dua orang yang tidak saling mengenal, melainkan juga antara dua orang yang sudah saling kenal atau teman. Misalnya, dua orang karyawan sebuah perusahaan saling maki dan kemudian berkelahi akibat kesalahpahaman.
  • Konflik rasial adalah pertikaian yang terjadi antara dua ras. Konflik ini dapat terjadi antara ras mayoritas dan minoritas. Misalnya, pertikaian antara kaum kulit hitam dan kulit putih di Afrika Selatan akibat pemberlakuan apartheid yang menindas orang-orang kulit hitam.
  • Konflik antarkelas sosial adalah pertikaian yang terjadi antara dua kelompok sosial. Contohnya adalah konflik antara majikan dan buruh akibat pemberlakuan jam kerja dan upah yang tidak manusiawi.
  • Konflik politik adalah pertikaian yang terjadi antara kelompok politik satu dengan kelompok politik yang lain. Contohnya, pertikaian antara dua partai politik menjelang pemilihan umum karena penyimpangan kampanye.
  • Konflik internasional adalah pertikaian  yang terjadi dalam hubungan antarnegara   di dunia. Konflik internasional banyak disebabkan oleh perbedaan ideologi serta kepentingan politik dan ekonomi. Misalnya, perang antara Amerika Serikat dan Vietnam akibat perbedaan ideologi (Amerika Serikat menganut kapitalisme, Vietnam menganut komunisme).
Lalu, dengan bentuknya yang cenderung menimbulkan instabilitas dan ketidakharmonisan, apakah konflik sama sekali tak bermanfaat dan harus dihindari? Demi ketenangan dan keserasian sosial, publik umumnya tak menghendaki konflik, tetapi konflik tetap saja menjadi bagian dari proses sosial yang mustahil untuk dihindari selamanya. Dalam masyarakat yang paling harmonis sekalipun, konflik –– walaupun dalam skala kecil –– masih bisa muncul.

Apakah suatu konflik dapat menimbulkan akibat-akibat yang positif atau negatif, tergantung pada persoalan yang menjadi sumber konflik dan struktur sosial. Selama tak bertentangan dengan pola-pola hubungan sosial dalam struktur sosial tertentu, menurut Soerjono Soekanto (2005: 100), konflik justru akan bersifat positif. Hal ini karena konflik semacam itu cenderung memungkinkan terjadinya penyesuaian kembali norma dan hubungan sosial dalam kelompok sesuai dengan kebutuhan individu dan bagian-bagian kelompok.

Sesungguhnya, konflik merupakan hal yang wajar dan alamiah dalam proses sosial. Kehidupan sosial manusia akan sering diwarnai konflik   –– dalam berbagai bentuk dan skala –– karena pembawaan setiap individu manusia yang khas dan berbeda-beda akan menyebabkan perbedaan selera, keinginan, pandangan, paham, prinsip, keyakinan, dan sebagainya yang semuanya ini dapat mengakibatkan perselisihan dan pertikaian. Proses sosial tidak mungkin sama sekali bebas dan steril dari konflik.

Menurut Soekanto (2005: 100), dalam kelompok yang interaksi sosial antarwarganya tidak terlalu rapat, kemungkinan besar konflik tidak akan menimbulkan akibat-akibat yang negatif. Dapat dikatakan, dalam beberapa hal, konflik justru akan mendewasakan kehidupan individu dan kelompok sosial. Konflik juga dapat memantapkan sendi-sendi kehidupan sosial manakala dapat dikelola dengan tepat.

Konflik dipandang sebagai salah satu jalan untuk memecah dan mengurangi ketegangan selama dapat dibatasi pada pokok persoalan penyebabnya saja. Ketegangan yang berkurang akibat konflik akan berdampak pada meningkatnya stabilitas dan integrasi. Selanjutnya, lebih detail, konflik dapat menimbulkan beberapa konsekuensi positif sebagai berikut.
  • Konflik dapat menciptakan keseimbangan antara kekuatan-kekuatan yang terdapat dalam masyarakat.
  • Konflik dapat membuka jalan untuk mengetahui sumber-sumber ketidakpuasan dalam kelompok dan masyarakat.
  • Konflik dapat membuat individu dan masyarakat menjadi lebih bijaksana dan dewasa dalam menghadapi perbedaan dan kemajemukan.
  • Konflik dapat membantu menemukan solusi yang jitu dalam mengatasi berbagai persoalan dalam upaya menciptakan kerekatan dan keserasian sosial.
  • Konflik dapat membantu menghidupkan kembali norma-norma sosial atau menumbuhkan norma-norma sosial baru sesuai dengan perkembangan masyarakat.
  • Konflik dapat mendorong individu dan kelompok untuk melakukan introspeksi dan perbaikan serta sadar diri akan keadaan dan kedudukannya dalam masyarakat.

Rabu, 03 Mei 2017

Faktor Pendorong Interaksi Sosial

Oleh Akhmad Zamroni

Sumber: Koleksi Zamroni

Mengapa interaksi sosial terjadi?  Faktor apa saja yang menjadi pendorong interaksi sosial? Faktor paling mendasar yang kiranya menyebabkan terjadinya interaksi sosial dalam kehidupan manusia tidak lain adalah sifat kodrati atau alamiah manusia sebagai makhluk sosial. Sifat ini membawa manusia pada kehidupan berkelompok serta menjalin hubungan dengan sesama untuk mempertahankan keberadaannya. Dengan kata lain, sadar atau tidak sadar, sengaja atau tidak sengaja, dan suka atau tidak suka, manusia akan terdorong untuk melakukan interaksi demi kepentingan survival dan eksistensinya.
Masih terkait dengan faktor sifat alamiah sebagai makhluk sosial adalah bahwa manusia terdorong untuk melakukan interaksi karena mereka memiliki banyak sekali kebutuhan. Kebutuhan manusia, terutama kebutuhan pokok –– makan-minum, pakaian, dan tempat tinggal –– wajib dipenuhi sebagai upaya untuk mempertahankan hidup. Namun, mampukah seorang manusia memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya tanpa bekerja sama dengan manusia lain? Tentu saja tidak mungkin, sehingga manusia harus melakukan interaksi: melakukan kontak, komunikasi, dan kerja sama dengan sesamanya.
Faktor lain pendorong terjadinya interaksi sosial adalah imitasi, sugesti, identifikasi, dan simpati. Keempat faktor ini dapat muncul baik secara terpisah-pisah (sendiri-sendiri) maupun secara gabungan dan kombinasi dalam mendorong terjadinya interaksi. Lalu, apakah yang disebut imitasi, sugesti, identifikasi, dan simpati? Berikut ini Anda diajak mempelajari keempat faktor tersebut.
A.   Imitasi
Imitasi adalah perbuatan/tindakan meniru sikap, perilaku, atau penampilan seseorang. Hal yang diti-ru, meliputi cara berbicara, gaya berpakaian, style menata rambut, pola mengonsumsi makanan, dan  sebagainya. Imitasi terjadi manakala ada minat atau ketertarikan terhadap objek tertentu. Dengan kata lain, seseorang melakukan peniruan terhadap sikap, perilaku, atau penampilan orang lain karena ia merasa tertarik, terpesona, atau terpukau terhadap sosok yang ditirunya. Dalam banyak kasus di kalangan remaja dan anak muda, peniruan terhadap tingkah laku atau gaya hidup artis-artis tertentu, misalnya, terjadi karena adanya unsur pengidolaan yang kadang terasa kurang masuk akal.
Imitasi membawa implikasi atau dampak yang positif jika yang ditiru adalah sikap, perilaku, atau gaya hidup yang baik dan kondusif menurut norma, moral, etika, atau peraturan yang berlaku di tengah masyarkat. Contohnya, gaya hidup seorang mubalig kondang yang sehari-hari banyak menyantuni kaum lemah dan fakir ditiru oleh para pelajar. Sebaliknya, imitasi berimplikasi atau berpengaruh negatif jika sikap, perilaku, atau penampilan yang ditiru bertentangan dengan peraturan atau nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat. Contohnya, perilaku seorang artis yang gemar mengonsumsi narkotika dan hidup penuh hura-hura ditiru oleh kalangan anak muda tanpa dipertimbangkan segi baik buruknya.
Dalam pada itu, secara umum imitasi seringkali dipersepsikan sebagai tindakan yang tidak mencerminkan kemadirian serta kurangnya kemantapan jatidiri dan kreativitas. Orang yang suka meniru, yang umumnya memang dilakukan oleh para remaja, sering dianggap kurang mandiri dan memiliki kepribadian yang labil. Orang yang gemar meniru juga menunjukkan bahwa dirinya tidak memiliki kreativitas dan jiwa inovasi.
B.   Sugesti
Sugesti adalah pandangan atau sikap yang diterima oleh seseorang atau sekelompok orang akibat pengaruh-pengaruh tertentu. Penerimaan terhadap pandangan dan sikap tersebut kadang terjadi akibat tidak stabilnya emosi (perasaan) hingga menghambat atau menyulitkan seseorang untuk berpikir rasional. Pandangan atau sikap tersebut dapat diterima seseorang atau sekelompok orang karena berasal dari orang yang kharismatik (memiliki wibawa besar), dari pemimpin yang otoriter dan diktator, atau dari kalangan mayoritas.
C.   Identifikasi
Identifikasi adalah kecenderungan atau keinginan seseorang untuk menjadi sama dengan orang lain. Orang lain yang hendak dipersamakan dengan dirinya ini biasanya adalah orang yang dikaguminya. Identifikasi seringkali terjadi dalam masa pertumbuhan dan perkembangan sehingga identifikasi dapat membentuk kepribadian seseorang. Dalam masa pertubumbuhan dan perkembangan, orang tidak jarang memerlukan tipe ideal yang perlu dibayangkan dan ditiru tingkah lakunya sebelum kepribadiannya terbentuk secara mantap.
Kendatipun mirip dengan imitasi, identifikasi bersifat lebih mendalam karena identifikasi lebih merasuk serta mempengaruhi dan membentuk kepribadian seseorang. Proses identifikasi dapat berlangsung dengan sendirinya (secara tidak sadar) atau dengan sengaja dalam proses kehidupan. Identifikasi berlangsung dalam keadaan seseorang mengenal pihak lain yang diidealkannya sehingga pandangan, sikap, atau kaidah-kaidah yang ada pada pihak lain tersebut dapat melembaga atau bahkan menjiwainya. Menurut Soerjono Soekanto (2005: 64), identifikasi mengakibatkan terjadinya pengaruh-pengaruh yang lebih mendalam ketimbang proses imitasi dan sugesti biarpun terdapat kemungkinan bahwa identifikasi pada mulanya dimulai dengan imitasi dan sugesti.
D.   Simpati
Simpati adalah perasaan tertarik seseorang kepada pihak lain. Rasa tertarik di sini merujuk pada keinginan untuk memahami (perasaan dan pikiran) serta bekerja sama. Namun, dalam simpati, perasaan memegang peranan yang sangat penting.
Itulah perbedaan utama simpati dengan identifikasi. Jika identifikasi didorong oleh keinginan untuk belajar dari pihak lain yang kedudukannya lebih tinggi dan harus dihormati karena memiliki kelebihan-kelebihan tertentu yang patut dicontoh, maka simpati didorong keinginan untuk memahami dan bekerja sama. Simpati dapat berkembang dalam keadaan sikap saling pengertian dan memahami terjamin dengan baik.


Demikianlah keempat hal di atas –– imitasi, sugesti, identifikasi, dan simpati –– menjadi faktor minimal yang mendasari berlangsungnya interaksi sosial. Keempat faktor tersebut dalam kenyataan (interaksi sosial) berproses secara kompleks sehingga sulit dibeda-bedakan secara tegas. Dapat dikatakan bahwa imitasi dan sugesti terjadi lebih cepat, tetapi pengaruhnya kurang mendalam dibandingkan dengan identifikasi dan simpati yang proses berlangsungnya relatif agak lambat (Soekanto,   2005: 64).

Syarat Interaksi Sosial

Oleh Akhmad Zamroni

Sumber: Koleksi Keluarga Pak Muryadi

Tidak semua pertemuan antarindividu atau antarkelompok disebut interaksi. Pertemuan, kontak, atau hubungan antara dua pihak yang memenuhi syarat tertentu saja yang digolongkan sebagai interaksi. Hal ini menunjukkan, interaksi sosial membutuhkan sejumlah persyaratan tertentu.

Interaksi sosial tidak akan terjadi manakala tak terpenuhi dua syarat. Menurut Soerjono Soekanto (2005: 64), dua syarat bagi terjadinya interaksi sosial tersebut adalah adanya kontak sosial (social contact) dan komunikasi (communication). Dua syarat ini se-lanjutnya akan dibahas lebih terperinci.

A.   Kontak Sosial (Social Contact)
Apakah yang disebut kontak sosial? Peristiwa yang bagaimanakah yang digolongkan sebagai kontak sosial? Apa saja sifat kontak sosial itu? Apa dan bagaimana kontak sosial yang pernah atau sering Anda lakukan?
Kata kontak berasal dari bahasa Latin, con atau cum dan tango. Kata con atau cum ber-arti ‘bersama-sama’, sedangkan tango berarti ‘menyentuh’. Dengan demikian, secara harfiah, kontak berarti ‘bersama-sama menyentuh’.
Secara fisik, kontak akan terjadi jika ada hubungan fisik atau hubungan badaniah. Akan tetapi, sebagai gejala sosial, kontak tidak harus dan tidak selalu berarti ‘bersentuhan secara fisik’, seperti berjabat tangan, bergandengan tangan, berangkulan, berpelukan, bergumulan, berkelahi, atau adu jotos. Dalam konteks interaksi sosial, kontak dapat juga berarti melakukan hubungan dalam bentuk ‘tidak bersentuhan langsung secara fisik’. Aktivitas tanpa bersentuhan secara fisik, seperti bercakap-cakap melalui telepon dan bertukar pikiran melalui pesan singkat (SMS) HP, juga dapat termasuk kontak. Bahkan, menurut Kingsley Davis (dalam Soekanto, 2005: 65), sentuhan fisik tidak perlu menjadi syarat utama terjadinya kontak.
Dengan demikian, kontak sosial dapat terjadi dengan atau tanpa hubungan fisik. Kontak sosial dalam bentuk hubungan fisik, misalnya, dua orang yang bertemu saling menyapa dan berjabat tangan. Kontak sosial dalam bentuk tanpa hubungan fisik, misalnya, dua orang melakukan komunikasi melalui surat via pos atau surat elektronik (e-mail) di internet.
Berdasarkan pelakunya, kontak sosial dapat dibedakan menjadi kontak antarindividu, kontak antara individu dan kelompok, serta kontak antarkelompok.
  • Contoh kontak sosial antarindividu adalah seorang siswa SMK berbicara dengan salah seorang gurunya.
  • Contoh kontak sosial antara individu dan kelompok adalah seorang direktur perusahaan berbicara di mimbar untuk memberikan motivasi kerja kepada para karyawan bawahannya.
  • Contoh kontak sosial antarkelompok adalah sebuah perusahaan penerbitan buku memberikan order pekerjaan mencetak buku kepada sebuah perusahaan percetakan.

Adapun kontak sosial sendiri memiliki beberapa sifat. Kontak sosial dapat bersifat positif dan negatif, juga dapat bersifat primer dan sekunder. Berikut ini penjelasan lebih lanjut dari keempat sifat yang dimaksud.
  • Kontak sosial  bersifat positif  manakala menghasilkan kerja sama (cooperation). Contohnya, OSIS dari dua SMA mengadakan kegiatan bakti sosial bersama di daerah  yang dilanda bencana alam.
  • Kontak sosial  bersifat negatif  manakala menghasilkan konflik (conflict). Contohnya, sejumlah buruh sebuah perusahaan garmen melakukan mogok kerja dan mengadukan direksi perusahaan tempat mereka bekerja kepada kementerian tenaga kerja akibat rendahnya upah bulanan yang mereka terima serta kesewenang-wenangan dan ketidakmanusiawian pihak direksi dalam memberlakukan jam kerja.
  • Kontak sosial  bersifat primer  jika dalam melakukan kontak, para pelaku bertemu muka secara langsung (face to face). Contohnya, seorang pembicara melakukan presentasi dan tanya jawab di hadapan hadirin dalam sebuah seminar.
  • Kontak sosial bersifat sekunder  jika dalam melakukan kontak, para pelaku mengguna-kan perantara tertentu. Contohnya, seorang direktur bank bertukar pikiran dengan salah satu manajernya melalui telepon untuk meningkatkan pelayanan kepada nasabah.

Dari pengertian berikut contoh-contoh kontak yang dipaparkan menjadi jelas bahwa kontak sosial menjadi syarat bagi terjadinya interaksi sosial. Tanpa kontak, interaksi sosial tidak akan terjadi. Apabila sebuah hubungan dua individu atau dua kelompok tidak ditandai oleh adanya tindakan timbal balik yang saling mempengaruhi –– dalam arti tidak ada kontak –– maka hubungan itu tidak mengarah atau tidak termasuk interaksi sosial.

B.   Komunikasi (Communication)
Dari segi bahasa, komunikasi  berarti pengiriman dan penerimaan pesan antara dua orang atau lebih sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2002: 585). Adapun secara sosiologis, komunikasi diartikan sebagai proses penyampaian pesan, ide, atau keinginan dari satu pihak kepada pihak lain sehingga terbentuk pengertian bersama (Purwito, 2005: 56). Substansi komunikasi, baik secara semantik dan linguistik maupun secara sosiologis, adalah pengiriman atau penyampaian pesan antara dua pihak yang menyebabkan keduanya memperoleh pengertian yang relatif sama atas suatu hal.

Secara sederhana, komunikasi juga dapat diartikan hubungan atau perhubungan. Di dalam komunikasi terdapat lima unsur penentu, yakni komunikator, komunikan, pesan, media, dan efek. Penjelasan dari kelimanya adalah sebagai berikut.
  • Komunikator adalah orang atau sekelompok orang yang menyampaikan atau mengirimkan pesan, perasaan, pendapat, gagasan, atau pikiran kepada orang atau kelompok lain.
  • Komunikan adalah orang atau sekelompok orang yang menerima pesan, perasaan, pendapat, atau pikiran dari pihak lain.
  • Pesan adalah hal atau sesuatu yang disampaikan oleh komunikator. Pesan dapat berupa data, informasi, instruksi, pikiran, perasaan, dan gagasan.
  • Media merupakan sarana atau alat yang digunakan untuk menyampaikan pesan. Media komunikasi dapat berupa lisan, tulisan, gambar, koran, telepon, dan sebagainya.
  • efek adalah perubahan yang terjadi pada komunikan setelah mendapat pesan dari komunikator.

Komunikasi menjadi syarat terjadinya interaksi sosial karena komunikasi sangat menentukan munculnya hubungan-hubungan antara pribadi dan pribadi, antara pribadi dan kelompok, atau antara kelompok dan kelompok dalam kehidupan masyarakat. Komunikasi memungkinkan adanya penyampaian dan penerimaan pesan sehingga terjadi percakapan, dialog, diskusi, pertukaran informasi, pertukaran pikiran, dan sejeninsnya. Dari sini muncullah kemudian berbagai hubungan timbal balik antara dua atau beberapa pihak dalam berbagai bentuk.

Komunikasi menjadi pelengkap kontak bagi terjadinya interaksi sosial. Tanpa komunikasi, kontak tidak akan mengarah pada interaksi sosial. Dua orang bisa saja melakukan kontak, tetapi jika mereka berdua tidak melengkapinya dengan komunikasi, mereka dapat dikatakan belum melakukan interaksi. Sebagai contoh, seorang wanita Indonesia bertemu dan berjabat tangan dengan seorang wanita Jepang, kemudian si wanita Indonesia menyapa dan berbicara dengan bahasa Indonesia, padahal si wanita Jepang sama sekali tidak mengerti bahasa Indonesia sehingga ia tak memahami pesan (perasaan, pikiran, atau informasi) yang disampaikan si wanita Indonesia. Dalam contoh ini, kontak (sebagai syarat pertama interaksi) telah terjadi, tetapi karena salah satu pihak tak memahami pembicaraan pasangannya, tidak berlangsung komunikasi sehingga interaksi sosial pun tidak terjadi.

Dari uraian dan contoh tersebut tampaklah bahwa komunikasi memegang peranan yang krusial dalam interaksi sosial. Dengan komunikasi, perasaan, pikiran, keinginan, sikap, atau gagasan seseorang atau kelompok dapat diketahui oleh orang atau kelompok lain. Hal ini kemudian menjadi bahan untuk menentukan reaksi, tanggapan, atau tindakan yang akan dan perlu dilakukan untuk memberikan balasan.

Sebagai penentu terjadinya interaksi sosial, komunikasi dapat berlangsung dalam berbagai bentuk atau model.  Setidaknya, terdapat empat model komunikasi yang biasa terjadi dalam interaksi sosial. Keempat bentuk atau model komunikasi tersebut adalah komunikasi searah, komunikasi dua arah, komunikasi langsung, dan komunikasi tidak langsung.
  • Komunikasi searah atau satu arah adalah komunikasi yang berlangsung hanya dari komunikator kepada komunikan; dalam arti, komunikator aktif memegang penuh pembicaraan, sementara komunikan hanya pasif menerima (mendengarkan) tanpa memberikan balikan. Contohnya, seorang kiai memberikan khotbah di depan sejumlah umat Islam dalam majelis salat Jumat atau seorang pejabat negara berpidato di depan rakyat melalui televisi.
  • Komunikasi dua arah adalah komunikasi yang di dalamnya baik komunikator maupun komunikan sama-sama aktif serta saling memberi dan menanggapi pesan. Contohnya, tawar-menawar harga antara seorang penjual dan pembeli di pasar tradisional atau dialog antara seorang narasumber dengan petani dalam sebuah kegiatan temu muka yang membahas persoalan tingginya harga pupuk.
  • Komunikasi langsung adalah komunikasi yang di dalamnya komunikator dan komunikan melakukan komunikasi secara langsung, baik dengan tatap muka atau berhadap-hadapan langsung (face to face) maupun secara berjauhan dengan menggunakan alat atau media kemunikasi (telepon, handphone, teleconference, HT, internet, dan sebagainya). Contohnya, dua orang mahasiswa berbicara membahas rencana pengerjaan tugas yang diberikan dosen atau seorang pedagang eceran memesan barang kepada pedagang grosir melalui telepon.
  • Komunikasi tidak langsung adalah komunikasi yang di dalamnya penyampaian dan penerimaan pesan serta tanggapan terhadap pesan oleh komunikator dan komunikan dilakukan melalui perantara pihak ketiga. Contohnya, perselisihan antara dewan direksi suatu perusahaan dengan karyawan/buruh diselesaikan melalui dialog yang diprakarsai dan dijembatani oleh kementerian tenaga kerja atau dua orang remaja saling berkirim salam melalui seorang remaja lain sebagai pihak ketiga.

Selasa, 02 Mei 2017

Pengertian dan Ciri-Ciri Interaksi Sosial

Oleh Akhmad Zamroni

Sumber: Koleksi Zamroni

Dalam kehidupan rutin sehari-hari, interaksi sebenarnya bukanlah hal yang asing bagi sebagian besar dari kita. Kata ini seringkali digunakan dalam berbagai kesempatan. Namun, interaksi yang sedang kita bahas atau pelajari, memiliki pengertian yang spesifik. Sebelum dikemukakan pengertian interaksi sosial, coba Anda perhatikan dua contoh berikut ini.
Suatu saat seorang siswa baru sebuah SMK bernama Raka pada hari pertama masuk sekolah bertemu dengan siswa baru lain bernama Hari. Saat bertemu, keduanya berkenalan dengan berjabat tangan, saling menanyakan alamat, dan bertukar nomor handphone. Keesokan harinya, mereka terlibat berbagai pembicaraan seputar pelajaran dan kegiatan sekolah yang akan mereka ikuti. Pada hari-hari berikutnya, mereka makin akrab hingga kemudian menjadi sahabat karib yang sering melakukan kegiatan bersama, seperti mengerjakan tugas guru, melakukan praktikum, mengikuti kegiatan ekstrakurikuler, aktif dalam klub olahraga, dan menonton pertunjukan seni.

Sementara itu, di tempat lain, karena prestasi kerjanya yang cemerlang, Bu Yanti diangkat menjadi manajer bagian produksi di sebuah perusahaan. Sebagai manajer baru, Bu Yanti secara rutin memberikan tugas dan instruksi kepada anak buahnya, sementara para anak buahnya secara berkala juga memberikan laporan mengenai hasil kerjanya kepada Bu Yanti. Bu Yanti sendiri seminggu sekali mengikuti meeting (rapat) rutin dengan jajaran pimpinan (direksi) perusahaan serta memberikan laporan kepada manajer umum (general manager).
Dari dua contoh tersebut, dapatkah Anda membuat rumusan mengenai pengertian ‘interaksi’? Dari kejadian dalam dua contoh itu, manakah yang sesungguhnya disebut ‘interaksi’? Apakah setiap tindakan orang dapat disebut ‘interaksi’?

Jika Anda perhatikan dengan saksama perbuatan yang dilakukan Raka, Hari, dan Bu Yanti, Anda akan memperoleh gambaran lebih jelas tentang interaksi. Dan memang, tindakan Raka, Hari, dan Bu Yanti dalam contoh tersebut merupakan tindakan yang disebut interaksi. Perkenalan Raka dan Hari sampai keduanya menjadi pasangan sahabat merupakan interaksi. Demikian pun dengan tindakan yang dilakukan Bu Yanti serta anak buah dan atasannya, juga merupakan interaksi.

Lalu, bagaimana pengertian konkret tentang interaksi itu sendiri? Dari contoh tersebut, dapat dirumuskan bahwa interaksi adalah hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi yang terjadi antara individu satu dengan individu lain, antara kelompok satu dengan kelompok lain, atau antara individu dengan kelompok. Pada dua contoh di muka dapat dilihat, para pelaku melakukan hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi. Raka dan Hari saling berkenalan, bertukar alamat, berbicara, hingga melakukan banyak kegiatan bersama. Adapun Bu Yanti secara rutin memberi tugas dan instruksi, sementara para anak buahnya menjalankannya serta memberikan pula laporan kepadanya.

Secara etimologis, interaksi berasal dari kata inter- dan aksi.  Inter-  berarti ‘berbalas-balasan’, sedangkan aksi  berarti ‘tindakan’ atau ‘perbuatan’. Dengan demikian, interaksi berarti tindakan atau perbuatan yang dilakukan atau terjadi antara dua pihak secara berbalas-balasan.

Kimball Young dan Raymond W. Mack (dalam Soekanto, 2005: 61) mengatakan bahwa interaksi adalah hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antarindividu, antara individu dan kelompok, atau antarkelompok. Jika dua orang bertemu, interaksi sosial mulai terjadi. Interaksi ditandai dengan saling bertemu, bertegur sapa, berjabat tangan, saling berbicara, dan bekerja sama.

Hubungan yang disebut interaksi tidak selalu dan tidak harus berakhir dengan positif. Dua orang atau dua kelompok yang berjumpa, berkenalan, berbicara, tukar-menukar informasi, dan kemudian bahkan saling berbaku hantam karena kesalahpahaman pun dapat digolongkan sebagai interaksi. Hal ini menunjukkan bahwa interaksi dapat bersifat positif dan negatif.

Bahkan menurut Soerjono Soekanto (2005: 61), jika dua orang atau dua kelompok bertemu, tetapi tidak saling bertegur sapa atau tukar-menukar tanda, interaksi sosial telah terjadi. Hal itu tetap merupakan interaksi jika masing-masing pihak sadar akan adanya pihak lain yang menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan pada perasaan atau saraf pada mereka yang disebabkan oleh bau keringat, aroma minyak wangi, suara langkah kaki, dan sebagainya. Kesemuanya itu menimbulkan kesan pada pikiran mereka hingga kemudian turut menentukan bentuk tindakan yang akan dilakukan selanjutnya.

Interaksi sosial merupakan bentuk umum dari proses sosial karena interaksi sosial merupakan syarat utama terjadinya berbagai aktivitas sosial. Aktivitas sosial hanya dapat berlangsung manakala di dalam kehidupan masyarakat, baik antarindividu maupun antarkelompok, terjadi interaksi. Menurut Kimball Young dan Raymond W. Mack (1959: 137), interaksi sosial adalah kunci dari semua kehidupan sosial karena, tanpa interaksi sosial, tidak akan mungkin ada kehidupan bersama.

Bertemunya individu atau kelompok secara badaniah semata tak akan menghasilkan pergaulan hidup dalam masyarakat. Pergaulan hidup yang dimaksud baru akan terjadi jika antarindividu dan/atau antarkelompok saling bertemu, berbicara, bekerja sama, bersaing, bertikai, dan sebagainya. Oleh sebab itu, dapat dikatakan, interaksi sosial adalah dasar dari proses sosial.

Dari pengertian interaksi yang sudah dikemukakan di atas, Anda tentunya dapat menyebutkan ciri-ciri interaksi sosial atau, setidaknya, Anda dapat mengenali ciri-ciri interaksi sosial. Menurut analisis Anda, apa saja ciri-ciri interaksi sosial itu? Terkait dengan hal apa saja ciri-ciri yang dimaksud?

Dari beberapa contoh dan definisi interaksi sosial yang telah dibahas, kita dapat menemukan beberapa ciri atau karakteristik interaksi sosial. Ciri-ciri tersebut, antara lain, sebagai berikut:
  • melibatkan lebih dari satu pihak (baik secara individual maupun secara kelompok);
  • ada kesadaran akan kehadiran pihak lain;
  • hubungan yang terjadi bersifat timbal balik;
  • ada aksi (tindakan) dan reaksi (tanggapan);
  • ada perubahan perasaan atau sikap;
  • muncul keinginan atau inisiatif untuk melakukan tindakan lebih lanjut; serta
  • seringkali diikuti tindakan dalam bentuk kerja sama, pertemanan, persaingan, atau mungkin konflik (perselisihan, pertengkaran, perkelahian, dan sejenisnya).

Dalam pada itu, Charles P. Loomis (dalam Purwito, 2007: 53) berpendapat bahwa interaksi sosial memiliki empat ciri pokok. Keempat ciri tersebut adalah sebagai berikut.
  • Jumlah pelaku lebih dari saru orang.
  • Komunikasi antarpelaku berlangsung dalam dua arah.
  • Terdapat dimensi waktu masa lalu, masa kini, dan masa mendatang.
  • Terdapat tujuan tertentu yang hendak dicapai.