Oleh Akhmad Zamroni
Sumber: Koleksi Zamroni
Dengan memperhatikan proses sosial yang berlangsung, kita
dapat menyaksikan berbagai bentuk interaksi sosial yang terjadi dalam kehidupan
manusia. Apa sajakah bentuk-bentuk interaksi sosial yang lazim terjadi? Para
ahli menggolongkan bentuk-bentuk interaksi sosial secara berbeda-beda.
Misalnya, Gillin dan Gillin (1954: 501) menggolongkan bentuk interaksi sosial
menjadi dua kelompok besar, yakni proses asosiatif (terdiri atas akomodasi,
asimilasi, dan akulturasi) dan proses disosiatif (terdiri atas persaingan, kontravensi, dan
pertentangan atau pertikaian). Young dan Mack (1959: 138) mengelompokkan bentuk
interaksi sosial menjadi tiga, yakni oposisi (mencakup persaingan dan
pertentangan atau pertikaian), kerja sama (menghasilkan akomodasi), dan
diferensiasi. Adapun Shibutani (dalam Soekanto, 2005: 71) membagi bentuk interaksi
sosial menjadi empat, yakni akomodasi dalam situasi rutin, ekspresi pertemuan
dan anjuran, interaksi strategis dalam pertentangan, serta pengembangan perilaku
massa.
Kendatipun penggolongan bentuk interaksi sosial oleh para
pakar tersebut berbeda-beda, di dalamnya tidak terdapat perbedaan yang
prinsipil atau fundamental. Secara garis besar, pembagian bentuk-bentuk
interaksi tersebut relatif hampir sama, terutama yang menyangkut hal-hal yang
bersifat pokok. Proses-proses interaksi yang pokok dapat dirangkum meliputi
proses asosiatif dan proses disosiatif, sebagaimana yang dikemukakan oleh
Gillin dan Gillin serta Soerjono Soekanto.
A. Proses asosiatif (Processes of Association)
Proses
asosiatif adalah proses sosial yang berkembang menuju terbentuknya persatuan
atau integrasi sosial serta mendorong terbentuknya pranata, lembaga, atau
organisasi sosial. Proses asosiatif dapat berlangsung dalam wujud kerja sama (cooperation), akomodasi (accomodation),
asimilasi (assimilation), dan akulturasi (aculturation). Berikut
ini penjelasannya yang lebih detail.
1. Kerja Sama (Cooperation)
Menurut beberapa sosiolog, kerja sama merupakan
bentuk interaksi sosial yang pokok. Sebagian sosiolog lain menilai bahwa kerja
sama merupakan proses sosial yang utama. Segala macam bentuk interaksi sosial
dianggap dapat dikembalikan pada kerja sama. Young dan Mack (1959: 143) bahkan
mencontohkan, jika, misalnya, dua orang berkelahi, mereka harus “bekerja sama”
untuk saling memukul.
Contoh yang dikemukakan Young dan Mack tersebut kiranya
mengambil ruang lingkup yang terlalu luas sehingga dapat mengaburkan makna
kerja sama itu sendiri. Kerja sama dalam hal ini tentunya tidaklah semacam itu.
Kerja sama yang dimaksud adalah usaha bersama yang dilakukan antarindividu, antarkelompok,
atau antara individu dan kelompok untuk mencapai tujuan bersama.
Menurut Cooley (dalam Soekanto, 2005: 73), kerja sama
timbul manakala orang menyadari bahwa mereka memiliki kepentingan-kepentingan
yang sama dan pada saat yang berbarengan memiliki cukup pengetahuan dan
pengendalian terhadap diri sendiri untuk memenuhi kepentingan-kepentingan yang
dimaksud. Kerja sama mendorong terbentuknya persatuan atau integrasi sosial.
Interaksi sosial dalam bentuk kerja sama lazim terjadi di semua lapisan
masyarakat serta meliputi semua aspek kehidupan manusia.
Mengapa orang merasa perlu bekerja sama? Sebagai pelajar,
Anda tidak akan dapat menimba ilmu sebagaimana mestinya jika Anda tidak melakukan
kerja sama dengan beberapa pihak lain, seperti guru, sekolah, dan teman
sekelas. Itulah sebabnya, Anda dan kita semua, perlu dan bahkan wajib melakukan
berbagai kerja sama untuk mencapai keinginan-keinginan serta memenuhi
kebutuhan-kebutuhan kita yang jumlahnya banyak sekali. Selain untuk menjaga dan
memperjuangkan kepentingan, kerja sama juga penting dilakukan dalam rangka menciptakan
kerukunan dan keharmonisan sosial.
Dalam kehidupan manusia secara umum,
kerja sama merupakan bagian yang normal dalam proses sosial. Akan tetapi, dalam
situasi dan kondisi tertentu, kerja sama dapat terbentuk secara lebih kuat.
Berikut ini beberapa sifat atau hal yang perlu kita perhatikan terkait dengan
kerja sama.
- Kesamaan
kepentingan, dorongan untuk memenuhi kebutuhan hidup, dan keinginan untuk
mengekspresikan seni akan merangsang individu dan kelompok untuk melakukan
kerja sama.
- Kerja sama
kemungkinan akan berlangsung lebih kuat jika ada musuh bersama atau muncul
bahaya yang mengancam dari luar atau ada tindakan-tindakan dari pihak luar yang
menyinggung kesetiaan yang secara tradisional atau institusional telah tertanam
dalam kelompok.
- Kerja
sama dapat bersifat agresif jika kelompok dalam waktu yang lama mengalami kekecewaan
dan perasaan tak puas karena keinginan-keinginan utamanya tak terpenuhi akibat
adanya rintangan-rintangan yang bersumber dari luar kelompok (pihak eksternal).
Dalam teori sosiologi, bentuk kerja
sama dibedakan menjadi kerja sama spontan (spontaneous cooperation),
kerja sama langsung (directed cooperation), kerja sama kontrak (contractual
cooperation), dan kerja sama tradisional (traditional cooperation).
Kerja sama spontan dilakukan secara serta merta, kerja sama langsung dilakukan
sebagai hasil perintah atasan atau penguasa, kerja sama kontrak dilakukan atas
dasar tertentu, dan kerja sama tradisional dilakukan sebagai bagian dari sistem
sosial. Adapun dari segi pelaksanaannya, kerja sama dilakukan dalam lima
bentuk, yakni kerukunan, bargaining, kooptasi, koalisi,
dan joint venture (Thompson dan McEwen dalam Soekanto, 2005: 74–75).
- Kerukunan
merupakan kerja sama yang meliputi gotong royong dan tolong-menolong.
- Bargaining
merupakan kerja sama sebagai pelaksanaan perjanjian mengenai pertukaran barang
dan jasa antara dua organisasi atau lebih.
- Kooptasi (cooptation)
adalah proses penerimaan unsur-unsur baru dalam kepemimpinan atau pelaksanaan
politik dalam suatu organisasi sebagai salah satu cara untuk menghindari
terjadinya keguncangan stabilitas organisasi.
- Koalisi (coalition)
merupakan kerja sama kombinasi antara dua organisasi atau lebih yang memiliki
tujuan yang sama.
- Joint
venture merupakan kerja sama dalam mengusahakan proyek-proyek tertentu, misalnya,
pengembangan jaringan telekomunikasi, pengeboran minyak lepas pantai, dan
pengadaan buku pelajaran sekolah.
2. Akomodasi
(Accomodation)
Istilah akomodasi
digunakan dalam dua pengertian, yaitu merujuk pada suatu keadaan dan merujuk
pada suatu proses. Akomodasi yang merujuk pada suatu keadaan mengarah pada
kese-imbangan interaksi antara orang-perorangan atau kelompok-kelompok terkait
dengan norma dan nilai sosial yang berlaku. Akomodasi sebagai suatu proses merujuk
pada usaha manusia meredakan atau menyelesaikan pertentangan untuk mencapai
kestabilan.
Akomodasi sesungguhnya merupakan
cara yang dikembangkan untuk mengatasi perten-tangan atau perselisihan tanpa
menghancurkan pihak lawan atau pesaing sehingga lawan atau pesaing tidak
kehilangan kepribadian. Akomodasi dapat dilakukan dengan tujuan yang berbeda-beda,
tergantung keadaan yang dihadapi. Tujuan akomodasi dapat dirumuskan sebagai
berikut:
- mengurangi
pertentangan antarindividu atau antarkelompok manusia akibat perbe-daan paham atau
aliran sehingga dapat dicapai titik temu yang menghasilkan suatu pola baru;
- mencegah atau meredam meledaknya perselisihan
untuk sementara waktu;
- membuka kemungkinan terbentuknya kerja sama
antarkelompok sosial yang hidup terpisah karena faktor sosial, budaya, dan
psikologis;
- mengusahakan peleburan atau penyatuan
antarkelompok sosial yang terpisah (misalnya, melalui perkawinan campuran atau
asimilasi dalam arti luas).
Sebagai sebuah proses, akomodasi,
antara lain, memiliki bentuk koersi (coercion), kompromi (compromise),
arbitrasi (arbitration), mediasi (mediation), konsiliasi (conciliation),
toleransi (tolerance), stalemate, ajudikasi (adjudication),
segregasi (segregation), dan eliminasi (elimination). Agar lebih
jelas, Anda dipersilakan mengikuti uraian berikut ini.
- Koersi (coercion)
adalah akomodasi yang prosesnya dilakukan melalui paksaan, baik secara fisik
maupun mental (psikis). Koersi dijalankan karena lazimnya ada pihak yang lemah
dan pihak yang kuat. Contohnya adalah penguasa/pemerintah di negara totaliter
yang memaksa rakyatnya untuk menjalankan kebijakan tertentu –– di negara
totaliter penguasa sangat kuat, sementara rakyat sangat lemah, sehingga
kebijakan penguasa selalu dapat diberlakukan dan dilaksanakan biarpun merugikan
rakyat.
- Kompromi (compromise)
adalah akomodasi berbentuk persetujuan atau kesepakatan dengan jalan damai yang
terjadi karena pihak-pihak yang bersengketa saling mengurangi tuntutannya.
Contohnya, dua negara yang mempersengketakan sebuah pulau, berkompromi untuk
tidak saling menyerang dan menguasai pulau tersebut sebelum ada keputusan berkekuatan
hukum dari badan internasional yang berwenang.
- Arbitrasi (arbitration)
adalah akomodasi yang dilakukan dengan memakai jasa pihak ketiga karena kedua
belah pihak yang berselisih tidak mampu menyelesaikan perselisihannya sendiri.
Perselisihan diselesaikan oleh pihak ketiga yang ditunjuk oleh kedua pihak yang
berselisih atau oleh sebuah lembaga berwenang yang berkedudukan lebih tinggi
daripada pihak yang berselisih. Contohnya, perselisihan antara direksi sebuah
perusahaan dengan para buruhnya penyelesaiannya difasilitasi oleh kementerian
tenaga kerja.
- Mediasi (mediation)
adalah bentuk akomodasi yang hampir sama dengan arbitrasi, hanya saja pihak
ketiga yang diminta untuk turut menyelesaikan sengketa memiliki posisi atau
kedudukan yang netral serta tidak berwenang untuk memberikan keputusan. Pihak
ketiga hanya mengusahakan solusi damai dengan memberikan nasihat atau konsultasi.
Contohnya, konflik di Filipina yang melibatkan pemerintah dan gerilyawan Moro
menyertakan Indonesia sebagai penengah (mediator) untuk mengusahakan
tercapainya perdaimaian.
- Konsiliasi (conciliation)
adalah upaya untuk mempertemukan keinginan dari pihak-pihak yang berselisih
untuk mencapai kesepakatan bersama. Konsiliasi membuka peluang bagi pihak-pihak
yang berselisih untuk saling menyesuaikan diri, saling mengurangi perbedaan,
serta saling menyamakan sikap dan tindakan untuk mencapai tujuan bersama.
Contohnya ialah wakil-wakil buruh, pemilik perusahaan, dan kementerian tenaga
kerja duduk bersama untuk menyelesaikan masalah perburuhan.
- Toleransi (tolerance),
atau sering disebut tolerant-participation, adalah bentuk akomodasi yang
dilakukan tanpa melalui persetujuan yang sifatnya formal (resmi). Toleransi
seringkali muncul secara spontan, tanpa disadari, dan tidak direncanakan akibat
reaksi alamiah individu atau kelompok untuk menghindarkan diri dari
perselisihan. Contohnya, demi menjaga ketenangan proses belajar-mengajar di
dalam kelas dan menghindari perselisahan dengan guru, para siswa dengan
kesadaran sendiri tidak melakukan keributan atau kegaduhan.
- Stalemate
adalah bentuk akomodasi yang ditandai oleh berhentinya pertentangan pada titik
tertentu akibat pihak-pihak yang terlibat pertikaian memiliki kekuatan yang
seimbang. Contohnya, ketegangan dan perselisihan pada masa Perang Dingin antara
Blok Barat (yang dipimpin Amerika Serikat) dan Blok Timur (dipimpin Uni Soviet)
tidak pernah berkembang menjadi perang dunia dan perang nuklir akibat keduanya
memiliki pasukan dan persenjataan yang seimbang.
- Ajudikasi (adjudication)
adalah akomodasi yang dilakukan dalam bentuk penyelesaian perkara atau sengketa
melalui lembaga peradilan. Contohnya adalah sengketa tanah antara warga suatu
desa dan sebuah perusahaan BUMN dirampungkan melalui sidang pengadilan.
- Segregasi (segregation)
adalah akomodasi yang berbentuk saling memisahkan dan menghindarkan diri oleh
masing-masing pihak yang bertikai dalam upaya mengurangi ketegangan dan
menghindarkan pertikaian lebih tajam. Contohnya adalah untuk menghindari
bentrokan fisik, demonstran mahasiswa dan aparat penjaga keamanan
berangsur-angsur saling mundur dan tidak melakukan provokasi.
- Eliminasi
adalah akomodasi yang terjadi akibat salah satu pihak yang bersengketa mengunduran diri sebagai cerminan sikap
mengalah. Contohnya ialah untuk menghadapi tuntutan kenaikan upah para buruh,
sebuah perusahaan menaikkan upah sesuai keinginan para buruh.
3. Asimilasi (Assimilation)
Asimilasi adalah upaya untuk mengurangi
perbedaan serta menyatukan sikap dan tindakan antara individu-individu atau
kelompok-kelompok guna menghasilkan kesepakatan berdasarkan kepentingan dan
tujuan bersama. Orang-orang yang melakukan asimilasi ke dalam suatu kelompok
masyarakat tidak lagi membedakan dirinya dengan kelompok sehingga tidak
dianggap sebagai orang asing. Mereka mengidentifikasikan dirinya dengan
kepentingan dan tujuan kelompok.
Manakala dua kelompok manusia melakukan asimilasi,
batas-batas antara kedua kelompok tersebut akan lenyap. Keduanya melebur menjadi
satu kelompok. Asimilasi ditandai dengan pengembangan sikap-sikap yang sama
dengan tujuan mencapai kesatuan atau, setidaknya, mencapai integrasi organisasi,
pikiran, dan tindakan.
Asimilasi terjadi pada masyarakat yang berbeda kebudayaan
sehingga terbentuk kebudayaan baru dalam waktu lama. Asimialsi terjadi setelah
melalui tahap kerja sama dan akomodasi. Koentjaraningrat (dalam Soekanto, 2005:
81) menyatakan bahwa asimilasi dapat terjadi manakala syarat-syarat berikut ini
terpenuhi.
- Terdapat
kelompok-kelompok manusia yang memiliki kebudayaan berbeda.
- Terjadi
pergaulan antarindividu sebagai warga kelompok secara langsung dan intensif
dalam waktu yang lama.
- Kebudayaan
masing-masing kelompok saling mengalami perubahan dan penyesuaian diri.
Dengan demikian, asimilasi sangat
terkait dengan pengembangan sikap, keinginan, dan tujuan yang sama. Terdapat
beberapa bentuk interaksi sosial yang memberi arah berlangsungnya proses
asimilasi. Bentuk-bentuk interaksi sosial yang dimaksud adalah sebagai berikut.
- Interaksi
sosial yang dilakukan pihak-pihak yang terlibat bersifat saling pendekatan.
Satu pihak berusaha melakukan pendekatan terhadap pihak lain, sementara pihak
lain juga melakukan hal yang sama.
- Interaksi sosial
yang dilakukan tidak mengalami kendala dalam bentuk halangan atau pembatasan.
Interaksi sosial yang mengarah ke asimilasi akan terhenti jika menemui halangan
atau pembatasan yang berat.
- Interaksi
sosial yang dilakukan bersifat langsung dan primer. Artinya, interaksi itu
dilakukan langsung menghadapkan dan melibatkan pihak pelaku, tanpa perantara.
- Interaksi
sosial yang dilakukan berlangsung dalam frekuensi yang tinggi, tetap, dan seimbang.
Artinya, upaya pendekatan dan pemberian tanggapan oleh para pelaku interaksi
sering dan ajek dilakukan serta ada keseimbangan antara pihak-pihak yang
dimaksud.
Asimilasi juga memerlukan faktor
pendukung. Faktor ini diperlukan agar asimilasi dapat berjalan seperti yang
diharapkan. Berikut ini faktor-faktor pendukung yang akan mempermudah dan
memperlancar proses asimilasi:
- toleransi antarindividu atau antarkelompok
yang berbeda kebudayaan,
- kesempatan yang seimbang dalam bidang
ekonomi,
- sikap menghargai dan menghormati orang lain
(asing) beserta kebudayaannya,
- sikap terbuka dari golongan yang berkuasa
dalam masyarakat,
- persamaan dalam unsur-unsur kebudayaan,
- terjadinya perkawinan campuran antarkelompok
yang berbeda budaya (amalga-mation),
- adanya
musuh bersama yang datang dari luar.
Di sisi lain, juga dijumpai hal-hal
tertentu yang menghambat terjadinya asimilasi. Hal ini dapat menggagalkan
proses asimilasi. Berikut ini beberapa faktor penghalang asimilasi:
- terisolasinya
kehidupan golongan tertentu dalam masyarakat, yang biasanya dialami oleh
golongan minoritas;
- kurangnya
pengetahuan tentang kebudayaan yang dihadapi;
- adanya
perasaan takut terhadap kekuatan kebudayaan lain yang dihadapi;
- adanya perasaan
bahwa kebudayaan kelompok tertentu lebih tinggi daripada kebudayaan kelompok
lain;
- adanya
perbedaan ciri-ciri fisik, seperti tinggi badan, warna kulit, dan warna rambut;
- adanya perasaan
keterikatan yang kuat dengan kebudayaan sendiri (in-group feeling);
- terganggunya golongan minoritas oleh golongan
mayoritas yang kuat dan berkuasa.
4. Akulturasi (Aculturation)
Akulturasi adalah hasil perpaduan antara dua
kebudayaan berbeda yang membentuk kebudayaan baru dengan tidak menghilangkan
ciri-ciri budaya masing-masing. Proses akulturasi lazim berlangsung dalam waktu
yang relatif lama. Sebagai contoh adalah punden berundak dalam kebudayaan Hindu
yang berpadu dengan masjid dalam kebudayaan Islam menghasilkan arsitektur masjid
Demak dengan atap yang bertingkat-tingkat.
B. Proses disosiatif
(Processes of Dissociation)
Proses sosial disosiatif seringkali disebut proses
oposisi (oppositional
processes). Proses
disosiatif dapat dikatakan saling berlawanan dengan proses asosiatif. Jika proses
asosiatif mengarah pada hubungan kooperatif yang menuju penyatuan, proses
disosiatif mengarah pada hubungan rivalitas yang menuju pemisahan, saling
berhadap-hadapan, dan bahkan saling berlawanan. Oleh sebab itu, proses sosial
disosiatif biasanya berlangsung dalam bentuk-bentuk yang cenderung bersifat
friktif dan konfrontatif. Proses sosial disosiatif dapat dikelompokkan menjadi
tiga bentuk, yaitu persaingan (competition), kontravensi (contravention),
dan konflik atau pertikaian (conflict).
1. Persaingan (Competition)
Persaingan merupakan suatu proses sosial yang ditandai
individu-individu atau kelompok-kelompok manusia berlomba untuk mendapatkan
keuntungan melalui bidang kehidupan yang menjadi pusat perhatian umum dengan
cara menarik perhatian publik atau mempertajam prasangka tanpa menggunakan
ancaman atau kekerasan (Gillin dan Gillin dalam Soekanto, 2005: 91). Persaingan
terjadi dalam dua bentuk, yakni persaingan pribadi dan persaingan kelompok.
Persaingan pribadi, misalnya, persaingan individual antarsiswa di dalam kelas
untuk mendapatkan nilai tertinggi dalam pelajaran matematika. Persaingan
kelompok, misalnya, persaingan antara dua perusahaan percetakan untuk
memenangkan tender pencetakan buku referensi yang diadakan pemerintah.
Persaingan terjadi, antara lain,
akibat terbatasnya sumber daya kehidupan, hasrat untuk menonjol, dan keharusan
sistem. Persaingan dapat berlangsung dalam berbagai bidang dan sendi kehidupan,
seperti dalam sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Berikut ini dijabarkan
lebih terperinci persaingan dalam keempat bidang yang dimaksud.
- Persaingan
dalam bidang sosial paling jelas tampak dalam persaingan meraih status dan
peran dalam kehidupan bermasyarakat. Persaingan sosial umumnya didorong oleh keinginan
untuk mendapatkan pengakuan status, derajat, dan peranan. Mereka yang dianggap
atau merasa dirinya berstatus rendah cenderung akan berusaha mendapatkan
kedudukan tertentu dalam masyarakat agar prestise dan peranannya menjadi lebih
terpandang dan dihargai.
- Persaingan
dalam ekonomi terjadi akibat terbatasnya persediaan (barang dan jasa)
dibandingkan dengan jumlah konsumen. Persaingan dimaksudkan untuk mengatur
produksi dan distribusi. Persaingan dalam bidang ekonomi akan menguntungkan masyarakat
karena produsen akan berlomba-lomba menghasilkan barang dan jasa dengan
kualitas yang baik sehingga masyarakat memiliki banyak pilihan dalam
menggunakan barang dan jasa.
- Persaingan
dalam politik dapat terjadi aki-bat sistem ketatatnegaraan multipartai yang
menuntut adanya pluralisme kelompok atau partai politik. Demokrasi adalah
sistem yang terutama mendorong terjadinya persaingan politik. Kelompok-kelompok
politik –– lazim terwadahi melalui partai politik –– bersaing dalam pemilihan
umum untuk memperebutkan suara rakyat guna menentukan para wakil rakyat di
parlemen dan mengisi jabatan di pemerintahan.
- Persaingan
dalam budaya dapat terjadi akibat munculnya keinginan untuk melakukan dominasi
budaya oleh bangsa atau komunitas tertentu terhadap kebudayaan bangsa dan
komunitas lain. Persaingan kebudayaan dapat terjadi dalam bidang keagamaan,
lembaga kemasyarakatan, bahasa, dan kesenian.
Apakah persaingan ada manfaat dan
fungsinya? Dalam batas-batas tertentu serta selama dilakukan secara fair
dan sehat, persaingan jelas dapat memberi manfaat dan fungsi yang positif.
Manfaat dan fungsi persaingan, antara lain, sebagai berikut.
- Persaingan
dapat menyalurkan hasrat kompetitif yang dimiliki individu dan kelompok untuk
meraih penghargaan-penghargaan yang tinggi.
- Persaingan
menjadi sarana seleksi untuk menentukan individu-individu terbaik serta menempatkannya
pada kedudukan dan peranan yang sesuai dengan kemampuannya masing-masing.
- Persaingan
menjadi alat untuk menyaring warga kalangan pekerja yang akan menghasilkan
pembagian kerja yang efektif.
- Persaingan
akan mendorong individu atau kelompok untuk belajar dan meningkatkan kompetensi
(kemampuan).
2. Kontravensi (Contravension)
Kontravensi adalah suatu proses sosial yang
berada di antara persaingan dan pertentangan atau konflik. Kontravensi ditandai
oleh gejala-gejala ketidakpastian diri seseorang, ketidakpastian suatu rencana,
perasaan tidak suka yang disembunyikan, dan kebencian atau keraguan terhadap
kepribadian seseorang. Dalam bentuknya yang murni, kontravensi
merupakan sikap yang tersembunyi terhadap orang lain atau unsur kebudayaan
kelompok tertentu. Sikap ini dapat menjelma menjadi kebencian, tetapi tidak
sampai menjadi pertentangan atau pertikaian. Contohnya, seseorang menaruh
kecurigaan terhadap orang lain yang seringkali dijumpai atau seseorang
meragukan manfaat sebuah kebijakan yang akan dilaksanakan oleh pemerintah.
Leopold von Wiese dan Howard Becker
(dalam Soekanto, 2005: 95) membagi kontravensi menjadi lima bentuk, yakni umum,
sederhana, intensif, rahasia, dan taktis. Berikut ini penjelasannya.
- Bentuk yang
umum, misalnya, penolakan, perlawanan, menghalang-halangi, protes, melakukan
gangguan, tindakan dengan kekerasan, serta mengacaukan rencana pihak lain.
- Bentuk yang
sederhana, misalnya, membantah pernyataan orang lain di depan umum, mencaci
maki dengan selebaran gelap, memfitnah, dan mencerca.
- Bentuk yang
intensif, misalnya, menghasut, menyebarkan isyu, dan membuat kecewa pihak lain.
- Bentuk yang
rahasia, misalnya, membocorkan rahasia lawan dan melakukan pengkhianatan.
- Bentuk
yang taktis, misalnya, mengejutkan lawan dan membingungkan pihak lain.
Selain menganalisis kontravensi dari
aspek bentuk, Leopold von Wiese dan Becker juga membahasnya dari segi tipe.
Menurut keduanya, terdapat tiga tipe umum kontravensi, yakni kontravensi
generasi masyarakat, kontravensi jenis kelamin (seks), dan kontravensi
parlementer (dalam Soekanto, 2005: 96–97). Berikut ini Anda diajak mengikuti
penjabarannya.
- Kontravensi
generasi dalam masyarakat lazim muncul saat di tengah masyarakat terjadi
perubahan-perubahan yang cepat. Akibat perubahan zaman, seringkali terjadi
keragu-raguan dan prasangka di kalangan generasi muda terhadap nilai-nilai yang
dianut dan ditanamkan generasi tua. Hal ini karena generasi muda umumnya
berpandangan lebih terbuka dan longgar akibat mereka dibentuk oleh pendidikan
dan kehidupan yang modern, sedangkan generasi tua biasanya lebih tertutup dan
kaku akibat mereka dibentuk oleh pendidikan dan pengalaman hidup yang
konservatif (kolot).
- Kontravensi
jenis kelamin (seksual) lazim terkait dengan hubungan dan peranan kaum pria dan
wanita baik dalam rumah tangga, dunia kerja, maupun kehidupan umum (publik).
Nilai-nilai masyarakat pada zaman modern saat ini umumnya sudah menempatkan kaum
pria dan wanita pada kedudukan yang sejajar (emansipasi). Akan tetapi, karena
faktor sejarah dan budaya (adat), banyak wanita dari kalangan tertentu masih
merasa bimbang dan gamang dengan posisi, kemampuan, dan peranannya, sedangkan
di pihak lain kaum pria pun seringkali menanggapinya dengan sikap ragu, apatis,
meremehkan, dan merasa tersaingi.
- Kontravensi
parlementer terjadi dalam relasi atau hubungan antara kelompok mayoritas dan
kelompok minoritas dalam lembaga legislatif, pendidikan, keagamaan, dan sebagainya.
Hubungan yang kadang kurang seimbang antara kelompok mayoritas dan kelompok
minoritas menyebabkan terpinggirkannya posisi dan peranan minorotas sehingga
memicu prasangka dan perasaan sentimen.
3. Pertikaian/Konflik (Conflict)
Pertikaian atau konflik adalah proses sosial yang ditandai adanya
individu atau kelompok yang berusaha mencapai tujuan dengan jalan menentang
pihak lain (lawan) dengan ancaman dan/atau kekerasan. Di dalam konflik, pihak-pihak
yang berhadapan (terlibat) berupaya saling menyerang untuk menghancurkan dan
membuat tak berdaya lawannya. Konflik dapat terjadi, antara lain, akibat perbedaan
antarindividu, perbedaan budaya, perbedaan kepentingan, dan perubahan sosial
(yang cepat). Perbedaan-perbedaan yang dapat memicu konflik selanjutnya dapat
diuraikan sebagai berikut.
- Perbedaan antarindividu
dapat muncul dalam bentuk perbedaan perasaan, pendapat, paham, dan sebagainya.
Perbedaan ini dapat berkembang menjadi tindakan saling serang dan saling
menyingkirkan.
- Perbedaan
budaya dapat menyebabkan perbedaan kepribadian. Kepribadian individu banyak
ditentukan oleh pola budaya yang melatarbelakangi perkembangan kepribadian.
Perbedaan ini dapat menyebabkan munculnya perbedaan pola pemikiran dan
pendirian yang selanjutnya dapat memicu terjadinya konflik.
- Perbedaan
kepentingan jelas sekali dapat menimbulkan konflik. Kepentingan individu dan
kelompok yang berbeda dalam berbagai bidang kehidupan –– ekonomi, politik, hukum,
dan sebagainya –– mudah mengarah pada konflik, terutama jika setiap individu
atau kelompok secara picik bersikeras hanya menonjolkan kepentingannya
masing-masing.
- Perubahan
sosial yang cepat dan drastis akan mengubah nilai-nilai dalam masyarakat.
Perubahan ini mendorong lahirnya individu dan kelompok yang berbeda pandangan,
paham, dan prinsip selain menyebabkan keguncangan psikologis. Hal ini
seringkali merangsang terjadinya konflik baik antarindividu maupun
antarkelompok.

Sumber: submitlist.info
Masyarakat umumnya menghendaki
konflik tidak terjadi pada kehidupan mereka. Namun, realitasnya, kehidupan
sosial sangat sulit untuk sepenuhnya bebas dari konflik. Konflik dalam
kehidupan sosial tetap saja muncul. Bentuk-bentuk konflik yang terjadi, antara
lain, konflik pribadi, konflik rasial, konflik kelas, konflik politik, dan
konflik internasional.
- Konflik
pribadi merupakan pertikaian antara dua pribadi karena hal tertentu. Konflik
ini dapat terjadi tidak hanya antara dua orang yang tidak saling mengenal,
melainkan juga antara dua orang yang sudah saling kenal atau teman. Misalnya,
dua orang karyawan sebuah perusahaan saling maki dan kemudian berkelahi akibat
kesalahpahaman.
- Konflik rasial
adalah pertikaian yang terjadi antara dua ras. Konflik ini dapat terjadi antara
ras mayoritas dan minoritas. Misalnya, pertikaian antara kaum kulit hitam dan
kulit putih di Afrika Selatan akibat pemberlakuan apartheid yang
menindas orang-orang kulit hitam.
- Konflik
antarkelas sosial adalah pertikaian yang terjadi antara dua kelompok sosial.
Contohnya adalah konflik antara majikan dan buruh akibat pemberlakuan jam kerja
dan upah yang tidak manusiawi.
- Konflik politik
adalah pertikaian yang terjadi antara kelompok politik satu dengan kelompok politik
yang lain. Contohnya, pertikaian antara dua partai politik menjelang pemilihan
umum karena penyimpangan kampanye.
- Konflik
internasional adalah pertikaian yang
terjadi dalam hubungan antarnegara di
dunia. Konflik internasional banyak disebabkan oleh perbedaan ideologi serta
kepentingan politik dan ekonomi. Misalnya, perang antara Amerika Serikat dan
Vietnam akibat perbedaan ideologi (Amerika Serikat menganut kapitalisme,
Vietnam menganut komunisme).
Lalu, dengan bentuknya yang cenderung menimbulkan
instabilitas dan ketidakharmonisan, apakah konflik sama sekali tak bermanfaat
dan harus dihindari? Demi ketenangan dan keserasian sosial, publik umumnya tak
menghendaki konflik, tetapi konflik tetap saja menjadi bagian dari proses
sosial yang mustahil untuk dihindari selamanya. Dalam masyarakat yang paling
harmonis sekalipun, konflik –– walaupun dalam skala kecil –– masih bisa muncul.
Apakah
suatu konflik dapat menimbulkan akibat-akibat yang positif atau negatif, tergantung
pada persoalan yang menjadi sumber konflik dan struktur sosial. Selama tak
bertentangan dengan pola-pola hubungan sosial dalam struktur sosial tertentu,
menurut Soerjono Soekanto (2005: 100), konflik justru akan bersifat positif.
Hal ini karena konflik semacam itu cenderung memungkinkan terjadinya penyesuaian
kembali norma dan hubungan sosial dalam kelompok sesuai dengan kebutuhan individu
dan bagian-bagian kelompok.
Sesungguhnya,
konflik merupakan hal yang wajar dan alamiah dalam proses sosial. Kehidupan
sosial manusia akan sering diwarnai konflik
–– dalam berbagai bentuk dan skala –– karena pembawaan setiap individu
manusia yang khas dan berbeda-beda akan menyebabkan perbedaan selera,
keinginan, pandangan, paham, prinsip, keyakinan, dan sebagainya yang semuanya
ini dapat mengakibatkan perselisihan dan pertikaian. Proses sosial tidak
mungkin sama sekali bebas dan steril dari konflik.
Menurut Soekanto (2005: 100), dalam kelompok yang
interaksi sosial antarwarganya tidak terlalu rapat, kemungkinan besar konflik
tidak akan menimbulkan akibat-akibat yang negatif. Dapat dikatakan, dalam
beberapa hal, konflik justru akan mendewasakan kehidupan individu dan kelompok
sosial. Konflik juga dapat memantapkan sendi-sendi kehidupan sosial manakala
dapat dikelola dengan tepat.
Konflik dipandang sebagai salah satu
jalan untuk memecah dan mengurangi ketegangan selama dapat dibatasi pada pokok
persoalan penyebabnya saja. Ketegangan yang berkurang akibat konflik akan
berdampak pada meningkatnya stabilitas dan integrasi. Selanjutnya, lebih detail,
konflik dapat menimbulkan beberapa konsekuensi positif sebagai berikut.
- Konflik dapat
menciptakan keseimbangan antara kekuatan-kekuatan yang terdapat dalam
masyarakat.
- Konflik dapat
membuka jalan untuk mengetahui sumber-sumber ketidakpuasan dalam kelompok dan
masyarakat.
- Konflik dapat
membuat individu dan masyarakat menjadi lebih bijaksana dan dewasa dalam
menghadapi perbedaan dan kemajemukan.
- Konflik dapat
membantu menemukan solusi yang jitu dalam mengatasi berbagai persoalan dalam
upaya menciptakan kerekatan dan keserasian sosial.
- Konflik dapat
membantu menghidupkan kembali norma-norma sosial atau menumbuhkan norma-norma
sosial baru sesuai dengan perkembangan masyarakat.
- Konflik dapat
mendorong individu dan kelompok untuk melakukan introspeksi dan perbaikan serta
sadar diri akan keadaan dan kedudukannya dalam masyarakat.