Minggu, 24 September 2017

Gerakan Separatis: Organisasi Papua Merdeka (OPM)

Oleh Akhmad Zamroni    

Sumber: cdn.tmpo.co

Organisasi Papua Merdeka (OPM) lahir atau dibentuk pada tanggal 26 Juli 1965 di Kota Manokwari. Pembentukan OPM dilakukan sebagai upaya untuk memisahkan Provinsi Papua Barat (pada era Orde Baru disebut Irian Jaya) dari pemerintah RI dan NKRI serta menjadikannya sebagai negara yang merdeka. Lahirnya OPM ditandai dengan penyerangan orang-orang suku Arfak terhadap barak pasukan Batalion 751 (Brawijaya). Latar belakang yang mendorong munculnya OPM ketika itu, antara lain, (sebagaimana yang dikeluhan orang-orang Arfak) tingginya jumlah pengangguran dan terjadinya kekurangan pangan di kalangan suku Arfak.

Dari Manokwari, gerakan OPM merembet ke hampir seluruh daerah Kepala Burung. Tokoh pemimpin gerakan ini adalah Johan Ariks yang saat itu sudah berumur 75 tahun. Adapun tokoh-tokoh pemimpin militernya adalah dua bersaudara, Lodewijk Mandatjan dan Barends Mandatjan, serta dua bersaudara, Ferry Awom dan Perminas Awom.

Inti kekuatan tempur mereka adalah para bekas anggota PVK atau yang dikenal dengan sebutan Batalion Papua. Ariks dan Mandatjan bersaudara adalah tokoh-tokoh asli dari Pegunungan Arfak di Kabupaten Manokwari, sedangkan Awom bersaudara adalah migran suku Biak yang banyak terdapat di Manokwari. Sebelum melakukan pemberontakan bersenjata, Ariks adalah pemimpin partai politik Persatuan Orang New Guinea (PONG) yang berbasis di Manokwari serta terutama beranggotakan orang-orang Arfak. Tujuan PONG adalah mencapai kemerdekaan penuh bagi Papua Barat.


Sumber:http cdn1.spiegel.de

Pemberontakan OPM di daerah Kepala Burung dapat dipadamkan oleh pasukan elite RPKAD (sekarang Kopassus). Namun, pada tanggal 1 Juli 1971, muncul proklamasi OPM yang kedua. Peristiwa ini terjadi di Desa Waris, Kabupaten Jayapura, dekat perbatasan Papua Nugini. Pencetusnya juga berasal dari angkatan bersenjata, tetapi bukan bekas tentara didikan Belanda, melainkan seorang bekas bintara didikan Indonesia, Seth Jafet Rumkorem. Sebagaimana Ferry Awom yang memimpin OPM di daerah Kepala Burung, Rumkorem juga berasal dari suku Biak. Ironisnya, Rumkorem merupakan putra Lukas Rumkorem, seorang pejuang Merah Putih di Biak, yang pada bulan Oktober 1949 menandai berdirinya Partai Indonesia Merdeka (PIM).

Seth Jafet Rumkorem semula menyambut kedatangan pemerintah dan tentara Indonesia dengan tangan terbuka. Ia keluar dari pekerjaannya sebagai pegawai di kantor KLM di Biak dan masuk TNI AD yang membawanya mengikuti latihan militer di Cimahi, Jawa Barat, sebelum ditempatkan di Irian Jaya dengan pangkat letnan satu bidang intelijen. Namun, kekecewaannya melihat berbagai pelanggaran hak asasi manusia menjelang Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969, mendorong ia untuk bergabung dengan para aktivis OPM dari daerah Jayapura. Sebelumnya ia sudah membina hubungan dengan kelompok OPM pimpinan Herman Womsiwor, orang sesukunya yang tinggal di Belanda. Atas dorongan Womsiwor, pada 1 Juli 1971 ia membacakan teks proklamasi Republik Papua Barat dengan mengklaim sebagai Presiden Republik Papua Barat dengan memilih pangkat Brigadir Jenderal.


Sumber: i1.wp.com

Setelah proklamasi kedua OPM, masih muncul lagi pernyataan atau proklamasi kemerdekaan dari beberapa tokoh di berbagai daerah Papua. Proklamasi diserta dengan pengibaran bendera yang mereka jadikan simbol negara yang akan mereka didirkan –– bendera itu kemudian dikenal dengan sebutan “Bintang Kejora”. Namun, di sisi lain pemerintah RI (Orde Baru) juga tetap melakukan operasi penumpasan. Sejak Februari 1975, tokoh-tokoh OPM berikut gerakan-gerakan sempalannya ditangkap dan diadili.

Sebagaimana RMS, gerakan OPM masih tetap muncul secara seporadis. Sampai kemudian pemerintahan reformasi mengambil alih kepemimpinan dari rezim Orde Baru, hingga kini OPM sesekali masih melakukan penyerangan terhadap aparat keamanan serta melakukan pengibaran bendera Bintang Kejora di Papua. Beberapa orang dan negara asing diduga kuat turut menjadi simpatisan OPM serta secara terselubung seringkali memberikan dukungan dan melakukan provokasi terhadap masyarakat Papua untuk bergabung dengan OPM dan memisahkan diri dari NKRI.

Gerakan Separatis: Gerakan Aceh Merdeka (GAM)

Oleh Akhmad Zamroni

Sumber: http 2.bp.blogspot.com

Gerakan Aceh Merdeka (GAM) merupakan sebuah gerakan yang bertujuan memisahkan atau melepaskan Aceh dari NKRI. GAM juga dikenal dengan nama Aceh Sumatra National Liberation Front (ASN-LF). Pada masa awal dibentuknya GAM, nama resmi yang digunakan adalah AM (Aceh Merdeka). Oleh pemerintah Orde Baru periode tahun 1980–1990, GAM diberi sebutan GPK-AM (Gerakan Pengacau Keamanan Aceh Merdeka). 
GAM dipimpin oleh Hasan di Tiro. Tokoh-tokoh lainnya adalah Daud Paneuk, Zubir, Mukhtar, Ishak Daud, Hasan di Tiro dan kawan-kawan membentuk GAM adalah perasaan mendapat perlakuan yang kurang adil dalam banyak hal dari pemerintah pusat (Orde Baru). Di antaranya, mereka menganggap kekayaan alam Aceh dieksploitasi pemerintah Orde Baru tanpa sebagiannya digunakan secara layak untuk Abdullah Syafi’ie, dan Said Adnan. Pada tanggal 4 Desember 1976, di perbukitan Halimon, Kabupaten Pidie, Hasan di Tiro dan para pengikutnya mengeluarkan pernyataan perlawanan terhadap pemerintah RI. Salah satu hal yang menyebabkan meningkatkan kesejahteraan rakyat Aceh.
Sumber: www.asianews.it
Untuk mengekspresikan penentangannya terhadap pemerintahan Orde Baru, GAM melakukan perlawanan bersenjata. Gerakan tersebut mendapat reaksi keras dari pemerintah Orde Baru. Untuk mengatasi manuver-manuver GAM, rezim Orde Baru menggelar operasi militer dengan pemberlakuan DOM (Daerah Operasi Militer) di Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Operasi yang dijalankan sejak paruh kedua tahun 1980-an sampai dengan akhir 1990-an tersebut menyebabkan ribuan nyawa melayang (menurut Wikipedia sampai 15.000 jiwa), baik berasal dari pihak GAM, polisi dan tentara pemerintah, maupun warga masyarakat, sementara gerakan GAM sendiri tak kunjung dapat dipadamkan.
Pemberlakuan DOM membuat GAM terdesak serta menyebabkan sebagian tokoh dan pengikutnya melanjutkan gerakan separatis dari pengasingan (di luar negeri). Setelah pemerintahan Orde Baru tumbang oleh gerakan reformasi pada tahun 1998, GAM kembali bangkit dan melakukan gerakan lebih intensif. Sepeninggal rezim Orde Baru, pemerintahan baru yang terbentuk mencoba bertindak lebih lunak dan persuasif dengan mengutamakan jalan dialogis dalam memadamkan GAM. Namun, jalan dialogis juga gagal membuahkan solusi yang memuaskan sehingga kemudian pada tahun 2003 pemerintah memberlakukan status darurat militer di Provinsi Aceh.
Gempa bumi dan tsunami dahsyat pada tanggal 26 Desember 2004 yang membuat Kota Banda Aceh hancur serta mengakibatkan 200.000 lebih warga Aceh meninggal dunia kiranya membawa berkah. Bencana alam yang dampaknya sangat luar biasa ini tidak hanya mengguncang rasa kemanusiaan masyarakat Indonesia dan rakyat Aceh, melainkan juga menyadarkan dan mendorong baik pemerintah RI maupun GAM untuk mengambil cara-cara damai dalam menyelesaikan konflik. Hanya dua bulan setelah gempa dan tsunami itu, tepatnya tanggal 27 Februari 2005, atas inisiatif dan mediasi pihak internasional, GAM dan pemerintah RI akhirnya memulai perundingan damai di Vantaa, Helsinki, Finlandia. Perundingan difasilitasi oleh mantan presiden Finlandia, Martti Ahtisaari.
Sumber: theelders.org
Setelah perundingan berlangsung 25 hari, pada tanggal 17 Juli 2005 tim perunding pemerintah Indonesia berhasil mencapai kesepakatan damai dengan GAM. Penandatanganan nota kesepakatan damai dilakukan pada tanggal 15 Agustus 2005. Proses perdamaian lebih lanjut dipantau oleh tim Aceh Monitoring Mission (AMM) yang beranggotakan lima negara ASEAN dan beberapa negara anggota Uni Eropa. Di antara poin penting hasil perundingan adalah bahwa pemerintah Indonesia akan turut memfasilitasi pembentukan partai politik lokal di Aceh dan pemberian amnesti bagi para anggota GAM.

Tindak lanjut lainnya adalah pihak GAM melakukan pelucutan senjata yang dimilikinya secara sukarela. Pada tanggal 19 Desember 2005, seluruh senjata milik GAM yang mencapai 840 pucuk diserahkan kepada Aceh Monitoring Mission. Melalui juru bicaranya, Sofyan Dawood, pada tanggal 27 Desember 2005, GAM juga mengeluarkan pernyataan bahwa sayap militer mereka secara resmi telah dibubarkan.

Gerakan Separatis: Republik Maluku Selatan (RMS)

Oleh Akhmad Zamroni

Sumber: image.slidesharecdn.com

Gerakan Republik
Maluku Selatan (RMS) diprakarsai dan dipimpin oleh mantan Jaksa Agung Negara Indonesia Timur, Christian Robert Steven Soumokil. Bersama para pengikutnya, Soumokil memproklamasikan kemerdekaan RMS pada tanggal 25 April 1950. Untuk mendapatkan dukungan dan pengikut, Soumokil, antara lain, menghasut para kepala desa (rajapati) untuk menyetujui pembentukan RMS melalui rapat umum yang diadakan di Ambon pada tanggal 18 April 1950.
Gerakan RMS dilakukan sebagai upaya untuk memisahkan diri dari Negara Indonesia Timur. Pada saat itu Indonesia masih menganut bentuk negara serikat atau federasi dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS), sedangkan Negara Indonesia Timur (NIT) merupakan salah satu negara bagian. Soumokil tidak menyetujui kembalinya Indonesia ke bentuk negara kesatuan (NKRI/Negara Kesatuan Republik Indonesia) serta menolak penggabungan daerah-daerah Negara Indonesia Timur ke dalam wilayah NKRI. Soumokil bersama para pengikutnya berusaha melepaskan wilayah Maluku Tengah dari Negara Indonesia Timur dengan mendirikan Republik Maluku Selatan.
Pemerintah pusat menganggap RMS sebagai gerakan pemberontakan sehingga merasa perlu untuk segera mengambil tindakan. Upaya pertama yang dilakukan adalah menempuh jalan damai. Namun, upaya ini gagal membuahkan hasil positif sehingga pemerintah kemudian memutuskan untuk melakukan penumpasan melalui operasi militer. Soumokil yang bersama para pengikutnya sempat menyingkir ke Pulau Seram untuk memimpin perlawanan bergerilya, akhirnya dapat ditangkap dan kemudian dijatuhi hukuman mati pada tanggal 12 April 1966.
Sumber: http 1.bp.blogspot.com
Walaupun pemimpin dan penggeraknya telah dieksekusi, gerakan RMS tidak dengan sendirinya ikut mati. Sepeninggal Soumokil, para pengikutnya yang lolos dari operasi militer pemerintah Indonesia, melarikan diri keluar negeri dan berusaha melanjutkan gerakan separatis dengan membentuk pemerintahan RMS di pengasingan (Belanda). Mereka yang memimpin gerakan RMS dari pengasingan, antara lain, Johan Alvarez Manusama, Frans Tutuhatunewa, dan John Wattilete.

Mereka terus melakukan aksi-aksi separatisnya hingga saat ini. Dari luar negeri mereka masih sering melakukan kegiatan propaganda dan upaya pengacauan di Maluku, terutama di Ambon dan sekitarnya. Kerusuhan sosial dan konflik agama yang pecah di Ambon dan sekitarnya pada tahun 1999–2004 diduga kuat merupakan hasil provokasi dan propaganda para elite dan anasir RMS di luar negeri. Kasus Ambon yang memakan banyak korban jiwa tersebut juga dimanfaatkan mereka untuk menggalang dukungan masyarakat Ambon dan Maluku bagi kelanjutan gerakan RMS walaupun upaya itu kenyataannya gagal.

Ancaman Terhadap Sistem Pertahanan dan Keamanan: Separatisme

Oleh Akhmad Zamroni

Sumber:  Grafis Zamroni

Kata ‘separatisme’ berasal dari bahasa Inggris, separate, yang berarti terpisah atau tersendiri. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002: 1042), separatisme berarti paham atau gerakan untuk memisahkan diri atau mendirikan negara sendiri. Separatisme merupakan gerakan yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat untuk menyempal atau memisahkan diri dari negara (lama) yang sudah ada guna membentuk atau mendirikan negara sendiri (yang merdeka dan berdaulat).
Sekelompok masyarakat yang melakukan gerakan separatis dapat berasal dari daerah/provinsi tertentu, etnik tertentu, atau komunitas/golongan tertentu. Hal yang memotivasi mereka untuk memisahkan diri dan mendirikan negara tersendiri bisa berupa kesamaan nasib, visi, misi, dan sebagainya. Perasaan kecewa dan tidak puas akibat berbagai perlakuan diskriminatif dan pembagian hasil pengelolaan sumber daya alam yang timpang (dari pemerintah pusat) juga dapat mendorong sekelompok masyarakat untuk melakukan separatisme.
Sejak merdeka, Indonesia berkali-kali merasakan pahitnya separatisme. Pada masa-masa awal kemerdekaan, beberapa gerakan separatis muncul di beberapa daerah. Sebagian gerakan makar dan subversif seperti yang sudah disinggung sebenarnya juga bersifat separatis karena dimaksudkan untuk memisahkan diri dari NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Sebagian besar gerakan tersebut dapat dipadamkan, tetapi ada yang tetap bertahan hingga abad ke-21 saat ini –– sebagaimana diperlihatkan oleh gerakan RMS (Republik Maluku Selatan) dan OPM (Organisasi Papua Merdeka).
Sumber: jogja.tribunnews.com
Pada masa krisis multidimensi dan kebangkitan gerakan reformasi sekitar tahun 1997–2000, gerakan separatis muncul di beberapa daerah. Masyarakat beberapa provinsi yang kaya sumber daya alam, seperti Aceh, Riau, dan Kalimantan Timur, sempat hendak memisahkan diri dari NKRI akibat merasa mendapat perlakuan tidak adil dari pemerintah Orde Baru dalam pembagian hasil pengelolaan sumber daya alam. Namun, tanpa diwarnai aksi kekerasan serta melalui tindakan persuasi, mereka dapat disadarkan oleh pemerintahan pasca-Orde Baru untuk tetap bergabung dengan NKRI.

Separatisme merupakan gerakan yang berbahaya. Jika tidak diatasi dengan kebijakan yang tepat, separatisme dapat menyebabkan terjadinya disintegrasi bangsa dan negara, sebagaimana yang dialami Uni Soviet dan Yugoslavia pada awal tahun 1990-an. Separatisme dapat diantisipasi serta dicegah dan ditanggulangi dengan cara memberikan perlakuan yang adil dan merata dalam segala hal kepada semua etnik, suku, dan masyarakat di setiap provinsi atau daerah. Di negara kita, hingga saat ini separatisme ternyata belum sepenuhnya padam. Oleh sebab itu, dibutuhkan kewaspadaan serta ketepatan sikap dan kebijakan –– terutama dari pemerintah beserta aparat keamanan –– dalam menghadapi dan mengatasinya. 

Ancaman terhadap Sistem Pertahanan dan Keamanan: Terorisme

Oleh Akhmad Zamroni

Sumber: damailahindonesiaku.com

Terorisme adalah upaya penyerangan terencana dan terkoordinasi dengan maksud untuk menimbulkan rasa khawatir, cemas, dan takut pada sekelompok masyarakat. Terorisme juga seringkali diartikan sebagai serang-serangan yang dilakukan secara tidak berperikemanusiaan dan tanpa alasan hukum yang benar sehingga para pelakunya (teroris) dianggap layak untuk mendapatkan hukuman yang berat (hukuman mati). Aksi terorisme umumnya dilakukan secara mendadak atau tiba-tiba dengan target acak. Namun, adakalanya, sasaran gerakan terorisme juga mengarah pada pihak tertentu yang dianggap sebagai musuh atau penghalang.

Terorisme mempunyai tujuan membuat masyarakat merasa ketakutan sehingga dapat menarik perhatian masyarakat, kelompok tertentu, atau bangsa dan negara tertentu. Biasanya cara teror digunakan jika sudah tidak ada jalan lain yang dapat ditempuh untuk mewujudkan kehendak. Terorisme digunakan sebagai senjata psikologis untuk menciptakan suasana panik, tidak menentu, dan menciptakan ketidakpercayaan masyarakat terhadap (kemampuan) pemerintah dan memaksa masyarakat atau kelompok tertentu untuk mengikuti kehendak pelaku teror. Terorisme seringkali tidak ditujukan langsung kepada lawan, tetapi dilakukan di mana saja dan terhadap siapa saja. Hal yang lebih utama adalah agar perbuatan teror yang mereka lakukan mendapat perhatian yang serius.
Gerakan terorisme di Indonesia banyak dilakukan dengan mengatasnamakan agama (terutama Islam). Hal ini terutama terjadi sejak tumbangnya pemerintahan Orde Baru oleh gerakan reformasi pada tahun 1998. Para aktivis teororisme seringkali mengklaim aksinya sebagai gerakan jihad untuk memerangi kezaliman. Mereka juga tidak jarang menganggap aksi-aksinya sebagai pembalasan terhadap serangan dan kekejaman yang dilakukan oleh negara-negara Barat (terutama Amerika Serikat) terhadap negara dan penduduk muslim di berbagai negara (seperti Irak, Afghanistan, dan Pakistan). 
Sumber: pixabay.com
Oleh sebab itu, serangan terorisme di Indonesia (juga di berbagai belahan dunia lain) banyak ditujukan pada kepentingan Amerika Serikat (AS) khususnya dan negara-negara Barat umumnya. Seperti diketahui, AS dan negara-negara Barat memang melakukan invasi besar-besaran ke Irak dan Afghanistan dengan alasan untuk menumbangkan rezim Saddam Hussein yang otoriter (di Irak) serta menumpas Alqaeda (kelompok yang dikategorikan AS sebagai teroris) yang telah menyerang gedung WTC (World Trade Centre) dan Pentagon. Serangan AS dan sekutunya ke Irak dan Afghanistan selain telah menghancurkan kedua negara itu, juga menimbulkan kematian puluhan ribu (atau bahkan ratusan ribu) penduduk muslim di kedua negara. AS dan negara-negara Barat dalam konflik Palestina-Israel juga cenderung berpihak pada Israel yang dengan aksi-aksi kejinya telah menyebabkan ratusan ribu penduduk Palestina meninggal dunia.
Menurut aparat keamanan Indonesia, aksi terorisme di Indonesia banyak terkait dengan gerakan Alqaeda pimpinan Osama bin Laden di Timur Tengah. Target utama mereka sebenarnya adalah kepentingan AS dan negara-negara Barat. Namun, yang banyak menjadi korban di antaranya adalah masyarakat Indonesia serta sarana dan prasarana milik masyarakat dan pemerintah Indonesia. Sejauh ini, puluhan warga Indonesia meninggal dunia serta mengalami luka-luka dan cacat serta berbagai bangunan dan fasilitas umum mengalami kerusakan akibat tindak terorisme di Indonesia.
Sumber: http assets-a1.kompasiana.com
Aksi terorisme di negara kita dilakukan dengan berbagai cara, tetapi setidaknya dalam sepuluh tahun terakhir ini hampir selalu dilakukan dengan meledakkan bom di tempat-tempat umum yang padat manusia. Sejak tahun 2000 lalu, beberapa wilayah –– di antaranya Jakarta, Bali, Ambon, Solo, Aceh, Maluku, dan Sulawesi Tengah (terutama Poso) –– berkali-kali dilanda teror pengeboman. Tidak sedikit mereka yang dianggap dan didakwa sebagai pelaku teror ditangkap atau ditembak mati. Mereka yang tertangkap sebagian dijatuhi hukuman mati, dihukum seumur hidup, dan dihukum belasan tahun.

Terorisme tidak dapat diremehkan begitu saja. Di Indonesia terorisme telah dikategorikan sebagai kejahatan yang luar biasa (extraordinary crime) karena bahaya dan dampak yang ditimbulkannya sangat serius. Pemerintah dan masyarakat Indonesia sangat dirugikan oleh terorisme. Terorisme yang muncul selama ini sangat mengganggu keamanan, kenyamanan, ketenteraman, dan ketenangan hidup masyarakat. Aksi terorisme juga sangat mengganggu iklim usaha dan investasi di Indonesia. Terorisme menimbulkan kekhawatiran akan keselamatan usaha sehingga menyebabkan para investor berupaya memindahkan usahanya keluar dari Indonesia serta para calon investor yang akan membuka usaha di Indonesia cenderung terdorong untuk membatalkan niatnya.