Kamis, 13 September 2018

Uang dan Harta Bukan Bagian dari Potensi

Uang bukan bagian dari potensi (Suimber: www.kumitukonsultan.com)


Memang benar, uang dan harta memiliki peran dan fungsi penting dalam hidup kita. Namun, kesadaran akan pentingnya peran dan fungsi uang dan harta jangan sampai membuat kita menempatkan keduanya pada posisi dan kedudukan yang keliru. Tak ada yang membantah, uang dan harta memang penting, tetapi keduanya sejatinya hanyalah media (alat) saja, termasuk jika keduanya dikaitkan dengan keberadaan potensi yang dimiliki manusia.
Dalam melihat dan mengembangkan potensi, masyarakat tidak jarang terpancang pada peran uang dan harta. Sebagian masyarakat bahkan menggolongkan uang dan harta sebagai bagian dari potensi; atau beranggapan, uang dan harta merupakan potensi manusia dalam bentuk yang lain. Uang dan harta dipandang dapat menutupi kelemahan potensi. Seseorang yang tak memiliki potensi tertentu, asalkan dia punya uang dan harta, ia dapat “membeli” atau “menebus” potensi yang tak dimilikinya itu melalui cara-cara negatif, seperti suap dan rekayasa, sehingga potensi yang sebenarnya tidak ia miliki secara instant dan mendadak menjadi ia “punyai”.
Peristiwa ironis, menyedihkan, sekaligus memalukan semacam itu banyak terjadi dalam rekrutmen pegawai atau karyawan baru terutama di instansi-instansi milik pemerintah/negara –– kadang-kadang juga di perusahaan BUMN dan swasta. Para calon pegawai/karyawan yang tidak memiliki kualifikasi dan kompetensi (potensi) yang dibutuhkan secara mulus dapat diterima menjadi pegawai/karyawan dengan membayar sejumlah uang tertentu atau memberikan gratifikasi tertentu (menyuap). Hal ini tidak jarang dilakukan secara sengaja dengan menyingkirkan calon-calon lain yang lebih memiliki kualifikasi dan kompetensi yang dibutuhkan. Hanya karena pertimbangan uang semata, orang yang tidak memiliki kualifikasi dan kompetensi menjelma menjadi orang yang (seolah-olah) unggul dan potensial, dan sebaliknya orang yang sebenarnya memiliki kualifikasi dan kompetensi secara tidak fair tercampak menjadi orang yang (seakan-akan) lemah dan tak punya potensi.
Penyimpangan seperti itu terjadi akibat penyelewengan terhadap peran uang dan harta di sisi satu serta nilai potensi manusia di sisi lain. Uang dan harta yang hakikatnya hanya alat disalahgunakan menjadi segala-galanya, sementara potensi manusia yang seharusnya dihormati dan dihargai dengan lebih dari sekadar uang –– karena hal ini menyangkut kehormatan dan martabat manusia –– justru diperlakukan dan ditempatkan lebih rendah daripada uang dan harta. Uang yang sebenarnya hanya alat pembayaran jual beli barang dan jasa bertambah fungsi menjadi alat untuk memperjualbelikan kehormatan manusia serta menghancurkan potensi manusia. Hal ini terjadi selama puluhan tahun dalam sejarah modern Indonesia. Peristiwanya berlangsung lebih masif, sistematis, dan mendalam pada era pemerintahan Orde Baru (selama sekitar 32 tahun) sehingga saat zaman telah memasuki era reformasi seperti sekarang ini pun kebiasaan buruk itu masih sulit sekali dibasmi.
Itulah “sulapan” yang menimbulkan banyak ironi dan tragedi di tengah masyarakat kita akibat sikap dan perilaku yang tidak semestinya diambil dalam memperlakukan uang dan harta di sisi satu dan memandang potensi manusia di sisi lain. Akibat penyelewengan terhadap peran uang dan harta, potensi manusia menjadi bernilai seperti barang atau jasa; begitu gampangnya diperjualbelikan. Akibat potensi dapat diperjualbelikan, potensi menjadi tidak penting untuk dihargai dan dihormati sebagai “harta” milik manusia yang sangat berharga, yang senantiasa harus dijaga, dipertahankan, dan ditingkatkan keberadaannya.
Akibat lanjutannya, orang menjadi tidak peduli dan apatis dengan potensi –– baik yang dimiliki diri sendiri maupun orang lain –– serta malas atau tidak merasa perlu untuk mengembangkan potensi. Pertimbangannya, tentu saja, untuk apa membuang tenaga, pikiran, dan waktu demi mengembangkan potensi jika toh nanti akhirnya potensi dapat diperjualbelikan? Untuk apa repot-repot mengasah potensi diri hingga terbentuk kompetensi tinggi jika hal itu akhirnya akan tersisihkan oleh kekuatan uang dan harta? Untuk apa mengerahkan segala daya demi menggenjot potensi supaya dapat memiliki kualifikasi dan prestasi tinggi jika dengan sejumlah uang tertentu kualifikasi dan prestasi tinggi itu bisa dibeli?
Begitulah tragis dan bahayanya jika kebiasaan buruk dalam memperlakukan uang dan harta di tengah keberadaan potensi seperti itu terus dipelihara. Jika demikian terus keadaannya, maka sepanjang hidupnya orang akan cenderung lebih memburu uang dan harta daripada memperhatikan, mengembangkan, dan meningkatkan potensinya. Dan jika upaya memburu uang dan harta itu dilakukan tanpa potensi (kualifikasi dan kompetensi) yang memadai, orang jelas akan mengalami banyak kesulitan, sehingga mudah tergoda untuk menghalalkan segala cara. Maka, yang terjadi kemudian, di tengah kegairahan besar perburuan uang dan harta banyak sekali terjadi kecurangan dan kejahatan: pencurian, penjambretan, perampokan, manipulasi, dan korupsi terjadi di mana-mana.
Oleh karena itu, di tengah arus dan kebiasaan yang menyesatkan dan tidak sehat itu, marilah kita kembalikan uang-harta di sisi satu dan potensi di sisi lain pada peran, fungsi, dan kedudukannya masing-masing yang semestinya. Bagaimanapun juga, uang dan harta bukanlah segala-galanya. Uang dan harta bukanlah bagian inheren dari potensi. Uang dan harta hanyalah bagian dari alat atau sarana untuk mengembangkan potensi.
Bagi manusia, potensi jelas lebih penting dan lebih tinggi kedudukannya daripada uang dan harta. Potensi menjadi bagian inheren manusia yang secara langsung menentukan nasib dan hidup manusia. Pertama-tama dan yang utama, manusia menjalani dan mempertahankan kehidupannya dengan potensi yang dimilikinya, bukan dengan uang dan hartanya. Tanpa uang dan harta pun, selama bisa mengembangkan dan menggunakan potensinya dengan baik dan benar, manusia akan mampu mendapatkan berbagai sarana untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, termasuk tentunya uang dan harta. Sebaliknya, dengan uang dan harta seberapa pun banyaknya, tetapi tak punya potensi yang memadai atau punya potensi tetapi tidak mampu mendayagunakan dan memanfaatkannya dengan benar, cepat atau lambat, manusia akan kehabisan uang dan hartanya untuk kemudian hidup miskin dan menderita.
Dengan segala potensi yang dimilikinya serta memanfaatkannya secara baik dan benar, manusia relatif berkesempatan dan berpeluang dapat meraih semua hal yang diidamkannya atau setidaknya sebagian besar keinginannya. Kendatipun awalnya tidak memiliki uang dan harta, selama memiliki potensi yang memadai dan menggunakannya secara semestinya, manusia akan mampu mendapatkan uang dan harta. Sebaliknya, dengan uang dan harta seberapa pun banyaknya, manusia tidak akan pernah dapat membeli potensi, kecuali dengan cara-cara menyimpang yang melanggar hukum, etika, dan agama. Potensi dapat dikembangkan menjadi kompetensi dan kualifikasi hanya dengan belajar dan berlatih yang tak kenal lelah dan menyerah. Potensi tak ada kaitannya langsung dengan uang dan harta. Sebagai alat untuk menunjang pengembangan potensi, uang dan harta kadang-kadang diperlukan sebatas untuk menutup biaya saja, selebihnya yang paling penting adalah kesadaran, kemauan, dan tekat untuk belajar dan berlatih yang tak kenal lelah dan putus asa sembari terus berdoa.
Dalam melihat dan mengembangkan potensi, janganlah kita tergantung pada uang dan harta. Jika tergantung pada uang dan harta, sebagian besar dari kita sangat mungkin akan menyerah sebelum bertanding dalam mengembangkan potensi: karena tak punya uang dan harta, baru pada tahap akan melangkah untuk mengawali ikhtiar saja kita akan loyo dan tak berdaya. Akibat terlalu terpancang dan fokus pada uang dan harta, ketiadaan atau sedikitnya uang dan harta akan melemahkan semangat untuk berusaha. Ketiadaan atau sedikitnya uang dan harta, disadari atau tidak, menjadi penghambat dan penghalang untuk dan dalam mengembangkan potensi.
Sikap yang tepat dalam melihat dan mengembangkan potensi adalah tergantung pada potensi itu sendiri. Sikap ini akan membebaskan kita dari pengaruh dan perangkap uang dan harta –– juga faktor pendukung lain yang sifatnya fisik dan material –– sehingga dalam mengembangkan potensi kita akan lebih fokus pada upaya-upaya konkret untuk menggenjot potensi menjadi kompetensi dan kualifikasi. Dengan bebas dari pengaruh dan bayang-bayang uang dan harta, kita akan benar-benar berpikir dan bertindak untuk kepentingan dan kebaikan potensi yang kita miliki.
Akan tetapi, dapatkah kita lepas dari bayang-bayang uang dan harta dalam mengembangkan potensi? Tentu saja bisa. Tidak sedikit orang miskin menjadi tokoh besar dan sukses yang memulai usaha pengembangan potensinya tanpa uang dan harta atau dengan uang dan harta dalam jumlah yang sedikit sekali. Bagaimana mereka mengembangkan potensi dengan tergantung dan bergelimang uang dan harta, sedangkan untuk makan sehari-hari saja mereka hampir tak bisa karena tidak punya uang?
Sekali lagi, uang dan harta bukanlah bagian dari potensi. Dalam mengembangkan potensi, kita tidak semestinya terpancang dan tergantung pada uang dan harta. Jika kita terpancang dan tergantung pada uang dan harta, potensi kita akan berkembang mengikuti gerakan liar uang dan harta yang tak menentu arahnya untuk kemudian potensi itu, sangat mungkin, akan redup dan mati. Namun, dengan tetap fokus dan tergantung pada potensi itu sendiri, potensi akan berkembang menjadi kompetensi dan kualifikasi sehingga ada harapan besar kesuksesan akan datang mengiringi. Dan jika kesuksesan sudah dalam genggaman, maka uang dan harta akan “datang” dengan sendiri menghampiri kita.

Efektivitas dan Efisiensi dalam Pengembangan Potensi

Efektivitas dan efisiensi pengembangan potensi menjadi salah satu kunci sukses (Sumber: de.123rf.com)


Dalam banyak kasus, potensi seperti misteri atau teka-teki. Kita percaya bahwa semua orang memiliki potensi, tetapi seringkali kita sendiri bahkan tidak tahu apa potensi sejati atau potensi sesungguhnya yang kita miliki atau yang ada pada diri kita sendiri. Potensi sungguh misterius; kehadirannya dapat dirasakan, tetapi wujud atau bentuknya kerapkali tak tertangkap penglihatan sehingga senantiasa menyebabkan penasaran.
Tidak sedikit orang yang selama hidupnya tak pernah mengetahui secara pasti apa potensi yang mereka miliki walaupun hidup mereka sendiri sebenarnya juga tidak gagal. Bahkan kita juga tidak tahu, apakah orang-orang hebat, seperti Ibnu Khaldun, Aristoteles, Isaac Newton, Leonardo da Vinci, Leo Tolstoy, William Shakespeare, Amadeus Mozart, Napoleon Bonaparte, Thomas Jefferson, Mahatma Gandi, Albert Einstein, Ernest Hemingway, Mohammad Hatta, Pele, Muhammad Ali, Steve Job, dan Bill Gate, mengetahui potensi mereka masing-masing. Untuk menjadi sukses, besar, dan legendaris seperti itu, apakah mereka telah melakukan upaya pengembangan potensi sesuai dengan potensinya aslinya masing-masing? Apakah Aristoteles sadar betul bahwa bakat terbesarnya memang benar-benar dalam bidang filsafat atau Muhammad Ali sepenuhnya paham bahwa bakat terbesarnya memang sungguh-sungguh dalam olahraga tinju? Jangan-jangan Aristoteles memiliki bakat besar juga dalam menyanyi sehingga jika dia mengembangkan potensinya ini dengan benar serta keadaan zaman saat itu mendukung, selain akan menjadi filsuf besar dia juga akan menjadi penyanyi dunia papan atas. Jangan-jangan Muhammad Ali juga memiliki bakat besar dalam melukis sehingga manakala dia mengembangkannya dengan optimal, selain menjadi juara dunia tinju, ia juga akan dikenal sebagai seorang pelukis yang sejajar dengan Pablo Picasso dan Rembrandt.
Sejarah memang membuktikan, tokoh-tokoh besar dan sukses tidak selalu lahir dari sinkronnya antara usaha pengembangan potensi di sisi satu dan potensi itu sendiri (potensi yang ada) di sisi lain. Artinya, lahirnya tokoh-tokoh sukses tidak selalu atau tidak selamanya ditentukan oleh kesesuaian antara potensi yang dimiliki para tokoh dengan usaha yang mereka lakukan untuk mengembangkan potensi-potensi tersebut. Bisa saja seorang tokoh tertartik dan berminat untuk menghasilkan karya elektronika serta berkat kerja keras dan keuletannya ia sukses menjadi pengusaha elektronika terkemuka dan terkaya, padahal sebenarnya ia memiliki bakat besar dalam bidang musik atau sastra.
Namun, tentu saja, keajaiban atau keanehan semacam itu tidak serta merta bisa kita jadikan alasan untuk meremehkan arti pentingnya mengetahui dan memastikan potensi sebagai titik tolak untuk mengembangkan dan mengoptimalkan potensi dalam upaya meraih kesuksesan. Bagaimanapun juga, untuk sebagian besar manusia, mengetahui potensi diri serta mengembangkannya menjadi kompetensi atau kualifikasi yang dapat membawa kesuksesan lebih penting dan lebih diperlukan daripada melakukan upaya ngawur dalam meraih kesuksesan hidup. Artinya, segala upaya yang kita lakukan untuk meraih kesuksesan, bagaimanapun, perlu dan penting untuk disesuaikan dengan potensi kita masing-masing. Keajaiban, keanehan, atau keunikan memang dapat terjadi –– seperti yang diilustrasikan di depan tadi –– tetapi itu bersifat perkecualian serta hanya bisa dilakukan oleh orang-orang dengan kemampuan yang luar biasa serta tekat, semangat, kerja keras, dan dukungan lingkungan yang tidak biasa pula.
Dalam kehidupan modern saat ini, kesuksesan sulit diraih dengan cara-cara yang boros waktu, tenaga, pikiran, dan biaya. Di tengah makin banyaknya jumlah penduduk, meningkatnya kesadaran untuk hidup sukses, ketatnya persaingan, kencangnya globalisasi, terbatasnya berbagai sumber daya, serta majunya ilmu pengetahuan dan teknologi, kesuksesan harus diraih dengan cara-cara yang efektif dan efisien. Nah, efektivitas dan efisiensi dalam meraih kesuksesan hanya dapat dicapai jika upaya pengembangan potensi kita lakukan berdasarkan pengenalan dan pengetahuan yang tepat mengenai potensi asli yang kita miliki. Makin kita tepat dalam mengenali dan mengetahui potensi yang kita miliki untuk kita kembangkan menjadi kompetensi dan kualifikasi, maka makin efektif dan efisienlah usaha yang kita lakukan dalam mencapai kesuksesan.
Dengan mengenali dan mengetahui potensi diri secara tepat, kita telah melakukan penghematan waktu, biaya, tenaga, dan pikiran secara besar-besaran. Hal ini karena kita tidak terus-menerus berkutat dan disibukkan oleh upaya-upaya yang tak terencana, tak jelas, dan tak terarah, yang menghabiskan sumber daya (uang, tenaga, pikiran, waktu, dan sebagainya) yang besar sekali. Bayangkan, berapa waktu, biaya, tenaga, dan pikiran yang kita hambur-hamburkan dengan percuma jika kita salah dalam mengenali dan mengetahui potensi? Betapa besarnya pemborosan yang kita lakukan jika selama bertahun-tahun kita kerja keras belajar dan berlatih, tetapi ternyata apa yang kita latih tidak sesuai dengan potensi sejati yang kita miliki? Betapa sayangnya jika bakat kita, misalnya, dalam bidang seni, tetapi yang kita genjot terus kemampuan kita dalam bidang olahraga, atau sebaliknya?
Dengan demikian, efektivitas dan efisiensi pengembangan potensi menjadi bagian dari faktor yang menentukan dalam meraih prestasi dan kesuksesan. Prestasi dan kesuksesan tidak dapat diraih dengan jalan pengembangan potensi yang dilakukan secara spekulatif (untung-untungan). Pengembangan potensi yang dilakukan secara spekulatif tidak hanya akan mengakibatkan pemborosan banyak hal, melainkan juga menyebabkan upaya meraih prestasi dan sukses sangat sulit dilakukan atau bahkan mudah sekali menemui kegagalan.