Uang bukan bagian dari potensi (Suimber: www.kumitukonsultan.com) |
Memang
benar, uang dan harta memiliki peran dan fungsi penting dalam hidup kita.
Namun, kesadaran akan pentingnya peran dan fungsi uang dan harta jangan sampai
membuat kita menempatkan keduanya pada posisi dan kedudukan yang keliru. Tak
ada yang membantah, uang dan harta memang penting, tetapi keduanya sejatinya
hanyalah media (alat) saja, termasuk jika keduanya dikaitkan dengan keberadaan
potensi yang dimiliki manusia.
Dalam
melihat dan mengembangkan potensi, masyarakat tidak jarang terpancang pada
peran uang dan harta. Sebagian masyarakat bahkan menggolongkan uang dan harta
sebagai bagian dari potensi; atau beranggapan, uang dan harta merupakan potensi
manusia dalam bentuk yang lain. Uang dan harta dipandang dapat menutupi
kelemahan potensi. Seseorang yang tak memiliki potensi tertentu, asalkan dia
punya uang dan harta, ia dapat “membeli” atau “menebus” potensi yang tak
dimilikinya itu melalui cara-cara negatif, seperti suap dan rekayasa, sehingga
potensi yang sebenarnya tidak ia miliki secara instant dan mendadak menjadi ia “punyai”.
Peristiwa
ironis, menyedihkan, sekaligus memalukan semacam itu banyak terjadi dalam
rekrutmen pegawai atau karyawan baru terutama di instansi-instansi milik
pemerintah/negara –– kadang-kadang juga di perusahaan BUMN dan swasta. Para
calon pegawai/karyawan yang tidak memiliki kualifikasi dan kompetensi (potensi)
yang dibutuhkan secara mulus dapat diterima menjadi pegawai/karyawan dengan
membayar sejumlah uang tertentu atau memberikan gratifikasi tertentu (menyuap).
Hal ini tidak jarang dilakukan secara sengaja dengan menyingkirkan calon-calon
lain yang lebih memiliki kualifikasi dan kompetensi yang dibutuhkan. Hanya
karena pertimbangan uang semata, orang yang tidak memiliki kualifikasi dan kompetensi
menjelma menjadi orang yang (seolah-olah) unggul dan potensial, dan sebaliknya
orang yang sebenarnya memiliki kualifikasi dan kompetensi secara tidak fair tercampak menjadi orang yang
(seakan-akan) lemah dan tak punya potensi.
Penyimpangan
seperti itu terjadi akibat penyelewengan terhadap peran uang dan harta di sisi
satu serta nilai potensi manusia di sisi lain. Uang dan harta yang hakikatnya
hanya alat disalahgunakan menjadi segala-galanya, sementara potensi manusia
yang seharusnya dihormati dan dihargai dengan lebih dari sekadar uang –– karena
hal ini menyangkut kehormatan dan martabat manusia –– justru diperlakukan dan
ditempatkan lebih rendah daripada uang dan harta. Uang yang sebenarnya hanya
alat pembayaran jual beli barang dan jasa bertambah fungsi menjadi alat untuk
memperjualbelikan kehormatan manusia serta menghancurkan potensi manusia. Hal
ini terjadi selama puluhan tahun dalam sejarah modern Indonesia. Peristiwanya
berlangsung lebih masif, sistematis, dan mendalam pada era pemerintahan Orde
Baru (selama sekitar 32 tahun) sehingga saat zaman telah memasuki era reformasi
seperti sekarang ini pun kebiasaan buruk itu masih sulit sekali dibasmi.
Itulah
“sulapan” yang menimbulkan banyak ironi dan tragedi di tengah masyarakat kita
akibat sikap dan perilaku yang tidak semestinya diambil dalam memperlakukan
uang dan harta di sisi satu dan memandang potensi manusia di sisi lain. Akibat
penyelewengan terhadap peran uang dan harta, potensi manusia menjadi bernilai
seperti barang atau jasa; begitu gampangnya diperjualbelikan. Akibat potensi
dapat diperjualbelikan, potensi menjadi tidak penting untuk dihargai dan
dihormati sebagai “harta” milik manusia yang sangat berharga, yang senantiasa
harus dijaga, dipertahankan, dan ditingkatkan keberadaannya.
Akibat
lanjutannya, orang menjadi tidak peduli dan apatis dengan potensi –– baik yang
dimiliki diri sendiri maupun orang lain –– serta malas atau tidak merasa perlu
untuk mengembangkan potensi. Pertimbangannya, tentu saja, untuk apa membuang
tenaga, pikiran, dan waktu demi mengembangkan potensi jika toh nanti akhirnya
potensi dapat diperjualbelikan? Untuk apa repot-repot mengasah potensi diri
hingga terbentuk kompetensi tinggi jika hal itu akhirnya akan tersisihkan oleh
kekuatan uang dan harta? Untuk apa mengerahkan segala daya demi menggenjot
potensi supaya dapat memiliki kualifikasi dan prestasi tinggi jika dengan
sejumlah uang tertentu kualifikasi dan prestasi tinggi itu bisa dibeli?
Begitulah
tragis dan bahayanya jika kebiasaan buruk dalam memperlakukan uang dan harta di
tengah keberadaan potensi seperti itu terus dipelihara. Jika demikian terus
keadaannya, maka sepanjang hidupnya orang akan cenderung lebih memburu uang dan
harta daripada memperhatikan, mengembangkan, dan meningkatkan potensinya. Dan jika
upaya memburu uang dan harta itu dilakukan tanpa potensi (kualifikasi dan
kompetensi) yang memadai, orang jelas akan mengalami banyak kesulitan, sehingga
mudah tergoda untuk menghalalkan segala cara. Maka, yang terjadi kemudian, di
tengah kegairahan besar perburuan uang dan harta banyak sekali terjadi
kecurangan dan kejahatan: pencurian, penjambretan, perampokan, manipulasi, dan
korupsi terjadi di mana-mana.
Oleh
karena itu, di tengah arus dan kebiasaan yang menyesatkan dan tidak sehat itu,
marilah kita kembalikan uang-harta di sisi satu dan potensi di sisi lain pada
peran, fungsi, dan kedudukannya masing-masing yang semestinya. Bagaimanapun
juga, uang dan harta bukanlah segala-galanya. Uang dan harta bukanlah bagian
inheren dari potensi. Uang dan harta hanyalah bagian dari alat atau sarana
untuk mengembangkan potensi.
Bagi
manusia, potensi jelas lebih penting dan lebih tinggi kedudukannya daripada
uang dan harta. Potensi menjadi bagian inheren manusia yang secara langsung
menentukan nasib dan hidup manusia. Pertama-tama dan yang utama, manusia
menjalani dan mempertahankan kehidupannya dengan potensi yang dimilikinya,
bukan dengan uang dan hartanya. Tanpa uang dan harta pun, selama bisa
mengembangkan dan menggunakan potensinya dengan baik dan benar, manusia akan
mampu mendapatkan berbagai sarana untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, termasuk
tentunya uang dan harta. Sebaliknya, dengan uang dan harta seberapa pun
banyaknya, tetapi tak punya potensi yang memadai atau punya potensi tetapi
tidak mampu mendayagunakan dan memanfaatkannya dengan benar, cepat atau lambat,
manusia akan kehabisan uang dan hartanya untuk kemudian hidup miskin dan
menderita.
Dengan
segala potensi yang dimilikinya serta memanfaatkannya secara baik dan benar,
manusia relatif berkesempatan dan berpeluang dapat meraih semua hal yang
diidamkannya atau setidaknya sebagian besar keinginannya. Kendatipun awalnya
tidak memiliki uang dan harta, selama memiliki potensi yang memadai dan
menggunakannya secara semestinya, manusia akan mampu mendapatkan uang dan
harta. Sebaliknya, dengan uang dan harta seberapa pun banyaknya, manusia tidak
akan pernah dapat membeli potensi, kecuali dengan cara-cara menyimpang yang
melanggar hukum, etika, dan agama. Potensi dapat dikembangkan menjadi
kompetensi dan kualifikasi hanya dengan belajar dan berlatih yang tak kenal
lelah dan menyerah. Potensi tak ada kaitannya langsung dengan uang dan harta.
Sebagai alat untuk menunjang pengembangan potensi, uang dan harta kadang-kadang
diperlukan sebatas untuk menutup biaya saja, selebihnya yang paling penting
adalah kesadaran, kemauan, dan tekat untuk belajar dan berlatih yang tak kenal
lelah dan putus asa sembari terus berdoa.
Dalam
melihat dan mengembangkan potensi, janganlah kita tergantung pada uang dan
harta. Jika tergantung pada uang dan harta, sebagian besar dari kita sangat
mungkin akan menyerah sebelum bertanding dalam mengembangkan potensi: karena
tak punya uang dan harta, baru pada tahap akan melangkah untuk mengawali
ikhtiar saja kita akan loyo dan tak berdaya. Akibat terlalu terpancang dan
fokus pada uang dan harta, ketiadaan atau sedikitnya uang dan harta akan
melemahkan semangat untuk berusaha. Ketiadaan atau sedikitnya uang dan harta,
disadari atau tidak, menjadi penghambat dan penghalang untuk dan dalam
mengembangkan potensi.
Sikap
yang tepat dalam melihat dan mengembangkan potensi adalah tergantung pada
potensi itu sendiri. Sikap ini akan membebaskan kita dari pengaruh dan
perangkap uang dan harta –– juga faktor pendukung lain yang sifatnya fisik dan
material –– sehingga dalam mengembangkan potensi kita akan lebih fokus pada
upaya-upaya konkret untuk menggenjot potensi menjadi kompetensi dan
kualifikasi. Dengan bebas dari pengaruh dan bayang-bayang uang dan harta, kita
akan benar-benar berpikir dan bertindak untuk kepentingan dan kebaikan potensi
yang kita miliki.
Akan
tetapi, dapatkah kita lepas dari bayang-bayang uang dan harta dalam
mengembangkan potensi? Tentu saja bisa. Tidak sedikit orang miskin menjadi
tokoh besar dan sukses yang memulai usaha pengembangan potensinya tanpa uang
dan harta atau dengan uang dan harta dalam jumlah yang sedikit sekali.
Bagaimana mereka mengembangkan potensi dengan tergantung dan bergelimang uang
dan harta, sedangkan untuk makan sehari-hari saja mereka hampir tak bisa karena
tidak punya uang?
Sekali
lagi, uang dan harta bukanlah bagian dari potensi. Dalam mengembangkan potensi,
kita tidak semestinya terpancang dan tergantung pada uang dan harta. Jika kita
terpancang dan tergantung pada uang dan harta, potensi kita akan berkembang
mengikuti gerakan liar uang dan harta yang tak menentu arahnya untuk kemudian
potensi itu, sangat mungkin, akan redup dan mati. Namun, dengan tetap fokus dan
tergantung pada potensi itu sendiri, potensi akan berkembang menjadi kompetensi
dan kualifikasi sehingga ada harapan besar kesuksesan akan datang mengiringi.
Dan jika kesuksesan sudah dalam genggaman, maka uang dan harta akan “datang”
dengan sendiri menghampiri kita.
(Sumber: Sadah Siti, http://caraelok.blogspot.com/2017/01/uang-dan-harta-bukan-bagian-dari-potensi.html)