Selasa, 07 Juli 2020

Pancasila dan Agenda-Agenda Negara yang Terbengkalai

Oleh Akhmad Zamroni

 

Pancasila (Sumber: https://nasional.republika.co.id) 


SEJATINYA, Pancasila sudah final sebagai dasar negara dan ideologi negara kita.  Sejak disahkan oleh PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada 18 Agustus 1945 sebagai bagian dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945), Pancasila telah disepakati secara bulat oleh seluruh komponen bangsa sebagai dasar negara. Tercantum dalam Pembukaan UUD NRI 1945 alinea keempat, rumusan Pancasila yang terdiri atas lima butir asas/sila selain telah menjadi konsensus nasional sebagai dasar negara, juga menjadi ideologi negara, sumber dari segala sumber hukum, pandangan hidup bangsa, kepribadian bangsa, perjanjian luhur bangsa, cita-cita dan tujuan bangsa, falsafah hidup bangsa, dan jiwa bangsa Indonesia.

Konsekuensi dari konsensus itu menjadi sangat jelas bahwa Pancasila merupakan landasan dan pedoman bagi rakyat Indonesia dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Semua sendi kehidupan bangsa dan negara harus dijalankan berdasarkan nilai-nilai yang terkandung dalam sila-sila Pancasila. Kegiatan politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan sebagainya baik yang dilakukan individu dan masyarakat maupun pemerintah sebagai penyelenggara negara harus sejalan dengan nilai-nilai Pancasila.

Melalui kelima silanya, Pancasila sudah benar-benar built-in  (siap pakai) sebagai pedoman dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara karena dirumuskan dengan klausul yang logis, komunikatif, dan implementatif. Tidak hanya pakar filsafat dan hukum tata negara, bahkan para pelajar sekolah pun sesungguhnya sudah paham akan inti (substansi) dari kelima sila Pancasila. Kita tak perlu membuka referensi untuk memahami, misalnya, makna kata-kata “Ketuhanan Yang Maha Esa” (sila pertama) atau “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” (sila kelima); demikian juga untuk memahami ketiga sila lainnya.

Dengan telah sahnya kedudukan dan fungsi Pancasila (sebagai dasar negara, ideologi negara, dan seterusnya) serta jelasnya makna dari setiap sila yang dikandungnya, maka hal yang paling urgen dan wajib dilakukan oleh seluruh bangsa Indonesia adalah menghayati dan mengamalkan nilai-nilainya dalam semua sendi kehidupan bangsa dan negara. Adapun hal yang harus dihindari adalah memasalahkan dan meredefinisi substansi Pancasila dengan rumusan baru yang subjektif dan eksklusif. Pedoman hidup yang orientasinya sudah gamblang sebagaimana Pancasila tidak membutuhkan perumusan ulang, melainkan implementasi (pelaksanaan) dengan tindakan konkret dalam kehidupan nyata.

Oleh sebab itu, upaya membuat regulasi sebagai petunjuk pelaksanaan nilai-nilai Pancasila secara eksplisit dalam praksis kehidupan menjadi bersifat artifisial dan cenderung dogmatis. Lahirnya RUU Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) yang memicu kontroversi dalam beberapa pekan terakhir mengindikasikan bagian dari semacam upaya dogmatisasi yang seharusnya tidak terjadi. Upaya untuk menginternalisasi (penghayatan) Pancasila dan memperkuat implemantasi nilai-nilainya dalam praktik kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara akan lebih tepat serta sesuai dengan nilai-nilai Pancasila itu sendiri (Pancasilais) jika dilakukan dengan pembuatan dan pemberlakuan regulasi (peraturan perundang-undangan) yang ketentuan-ketentuannya secara tidak langsung mencerminkan pelaksanaan nilai-nilai Pancasila, bukan regulasi yang ketentuan-ketentuannya secara eksplisit berkutat pada penafsiran-penafsiran terhadap Pancasila.

Jika praktik kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dirasakan belum menunjukkan implementasi nilai-nilai Pancasila atau bahkan justru banyak bertentangan dengannya, yang harus dipersoalkan adalah pelaksananya, bukan Pancasila sebagai landasan atau pedomannya. Yang salah dan wajib dibenahi adalah personel beserta seluruh kebijakan, sikap, dan perilakunya, bukan aturannya yang sudah baku dan disepakati sebagai dasar dan ideologi negara. Praktik bermasyarakat, berbangsa, dan bernegaralah yang wajib menyelaraskan diri dengan nilai-nilai Pancasila, bukan sebaliknya.

Selama ini, yang banyak terjadi adalah pelanggaran terhadap nilai-nilai Pancasila, bukan kesulitan menafsirkan dan mengimplementasikan nilai-nilainya. Pelanggaran terhadap Pancasila banyak terjadi akibat penyimpangan kebijakan dan perilaku yang didasari kepentingan pribadi dan kelompok, bukan akibat kekurangan atau ketidaklengkapan Pancasila sebagai dasar negara. Pada era Orde Lama dan Orde Baru, ironi pelanggaran terhadap Pancasila secara masif dilakukan oleh rezim penguasa (pemerintah), sedangkan pada era Reformasi didominasi oleh aparat negara dan penegak hukum yang kemudian menurun pada masyarakat luas sebagai bentuk peniruan.

Sejak memasuki era Reformasi (1998), seluruh regulasi dikoreksi dan direvisi agar tidak bertentangan dengan Pancasila (dan UUD 1945) serta dibuat regulasi baru untuk memperkuat implementasi nilai-nilai Pancasila. Namun, pelanggaran terhadap Pancasila dalam bentuk penyimpangan perilaku dan kebijakan masih tetap marak di mana-mana, terutama dalam birokrasi pemerintahan dan penegakan hukum. Kolusi, korupsi, penyalahgunaan hukum, serta ketidakadilan ekonomi — sebagai bentuk pelanggaran paling nyata dan ekstrem terhadap nilai-nilai Pancasila — masih terjadi secara masif hingga hari ini.

Cibvitas akademika UGM menolak revisi UU KPK (Sumber: https://ugm.ac.id) 

Sebagai konsekuensinya, banyak agenda pemerintah sebagai program dan penyelenggaraan negara menjadi terbengkalai. Upaya pemberantasan korupsi dan penyalahgunaan narkoba melalui penegakan hukum yang adil serta pemerataan ekonomi tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan. Yang terbaru, penanganan pandemi Covid-19 berlangsung lamban, tak terkoordinasi dengan baik, serta diwarnai banyak kesimpangsiuran.

Pemberantasan korupsi dan penegakan hukum menjadi agenda yang mengalami nasib paling mengenaskan. Implementasinya mengalami kemacetan atau diskriminasi akibat oligarki dan konflik kepentingan. Terbengkalainya kedua agenda ini, antara lain, ditandai oleh revisi undang-undang KPK yang menyebabkan teramputasinya kewenangan-kewenangan penting KPK (Komisi Pemberantasn Korupsi), penyelesaian hukum kasus Bank Century dan  kasus Harun Masiku, penyelesaian kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan, serta yang terbaru bebas dan berkeliarannya buron terpidana korupsi kelas kakap Djoko Tjandra tanpa terdeteksi Direktorat Imigrasi dan Kejaksaan Agung.

Terbengkalainya agenda negara, sadar atau tidak sadar, bermula dari diabaikannya Pancasila sebagai landasan hukum serta pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara yang paling penting dan utama. Meskipun sesungguhnya sangat jelas bahwa korupsi dan penyalahgunaan hukum merupakan perilaku yang melanggar Pancasila (terutama sila pertama dan kelima), keduanya tetap dipraktikkan akibat yang menjadi pertimbangan adalah ambisi serta kepentingan pribadi dan kelompok. Nilai-nilai Pancasila tidak dipedulikan sebagai norma utama dalam berbangsa dan bernegara sehingga apa yang terjadi sebenarnya adalah pelanggaran sekaligus pengkhianatan terhadap Pancasila. Hal ini merupakan pelanggaran yang paling serius dan berbahaya karena cepat atau lambat dapat menggoyahkan kelangsungan hidup bangsa dan negara kita.

Pada titik kulminasi ini menjadi makin jelas bahwa program  pembuatan peraturan perundang-undangan tentang Pancasila tidak akan menyelesaikan persoalan mendasar yang menyebabkan banyaknya terjadi pelanggaran terhadap Pancasila. Problematika pokoknya bukan terletak pada Pancasila, melainkan pada kesetiaan dan ketertundukan terhadap Pancasila di kalangan pejabat negara, anggota parlemen, pengusaha, dan aparat penegak hukum yang rendah dan kacau balau. Maka, program krusial yang harus segera dilaksanakan adalah menginternalisasikan nilai-nilai Pancasila ke dalam jiwa kalangan-kalangan tersebut melalui penegakan hukum yang konsisten dan tanpa pandang bulu.

Namun, mungkinkah hal itu dapat terwujud? Allahu a’lam bissawaab.


Senin, 06 Juli 2020

RUU HIP serta Bahaya Pancasila Menjadi Ideologi yang Statis dan Tertutup

Oleh Akhmad Zamroni

RUU Haluan Ideologi Pancasila yang kontroversial (Sumber: https://www.klikwarta.com)


Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) yang diusulkan DPR memicu reaksi keras dari banyak kalangan begitu di-floor-kan untuk dibahas dengan pemerintah. Dari ormas Islam (NU, Muhammadiyah, bahkan FPI), MUI, hingga para akademisi menyatakan penolakannya terhadap RUU HIP. Selain tidak urgen di tengah upaya mengatasi pandemi Covid-19, RUU ini juga dianggap bermasalah dari segi substansi.

Seorang akademisi hukum menilai pasal-pasal dalam RUU HIP tidak lazim karena banyak yang hanya bersifat pernyataan, definisi, dan political statement, padahal norma hukum (UU) biasanya mengatur perilaku dan kelembagaan. Seorang pakar hukum tata negara mempermasalahkan banyaknya pasal RUU HIP yang bersifat multitafsir serta pasal yang memungkinkan Pancasila diperas menjadi tiga sila kemudian diperas lagi hanya menjadi satu sila. Dari internal DPR, setidaknya ada dua fraksi yang keberatan terhadap RUU ini karena tidak menyertakan TAP XXV/MPRS/1966 sebagai konsiderans.

Sebagaimana tertera pada draf yang beredar, RUU HIP memuat beberapa hal kontroversial yang mengundang complain  dari banyak kalangan. Salah satu klausulnya menyatakan, ciri pokok Pancasila adalah trisila yang terdiri atas sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, serta ketuhanan yang berkebudayaan (Pasal 7 Ayat [2]). Adapun trisila masih dielaborasi lagi dengan pernyataan terkristalisasi dalam ekasila, yaitu gotong royong (Pasal 7 Ayat [3]).

Memeras atau mengkristalisasi Pancasila (yang sejatinya telah disepakati terdiri atas lima sila) menjadi tiga sila (trisila) dan kemudian memadatkannya lagi hanya menjadi satu sila (ekasila) dengan redaksional yang sangat singkat, yakni gotong royong, terasa bertentangan dengan logika dan prinsip-prinsip penyusunan dasar negara. Terlepas dari ihwal tokoh yang pertama mencetuskannya — gagasan “Trisila” dan "Ekasila" pertama disampaikan Bung Karno dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI) pada 1 Juni 1945 — ide itu tidak operasional dan tidak kompatibel sebagai klausul/deklarasi dasar negara. Frasa ‘gotong royong’ terlalu ringkas, ambigu, minimalis, dan multitafsir sebagai dasar negara.

Dengan substansi yang tidak operasional dan tidak kompatibel, ekasila (gotong royong) tidak memadai sebagai dasar negara yang mengemban banyak fungsi: sebagai sumber dari segala sumber hukum, pandangan hidup bangsa, kepribadian bangsa, ideologi bangsa, dan sebagainya. Frasa ‘gotong royong’ tidak akan dapat merepresentasikan dan merefleksikan beragamnya persoalan bangsa dan negara. Mustahil ekasila mampu mengakomodasi kompleksitas problematika bangsa dan negara kecuali dilakukan dengan jalan pemaksaan, manipulasi, dan tafsir-tafsir sepihak yang subjektif.

Di tangan penguasa yang otoriter, hal itu dapat berdampak pada terjadinya tafsir tunggal nilai-nilai Pancasila (versi kepentingan rezim) yang diintroduksi kepada warga negara dengan cara propaganda. Seperti banyak terjadi pada era Orde Lama dan Orde Baru, setiap penafsiran yang berbeda dengan versi rezim penguasa dicurigai dan distigmatisasi sebagai tindakan subversif dan berusaha mengganti dasar negara. Adapun tafsir tunggal itu sendiri pun banyak disalahgunakan untuk menjustifikasi tindakan represif terhadap perbedaan tafsir dan kritik.

Substansi dari tafsir tunggal nilai-nilai Pancasila akhirnya diinjeksikan ke dalam kesadaran warga negara (rakyat) melalui program indoktrinasi. Tujuannya untuk menanamkan citra palsu bahwa rezim penguasa merupakan penjaga dan pelestari Pancasila sebagai dasar negara. Jika hal ini sukses dilakukan, akan terbentuk ketertundukan dan kesetiaan warga negara terhadap rezim penguasa sehingga tujuan pokok dari proyek ini, yakni melanggengkan kekuasaan, akan tercapai.

Set Back

Ide kristalisasi Pancasila menjadi trisila dan ekasila merupakan bagian dari dinamika pemikiran para tokoh bangsa dalam merumuskan dasar negara bagi Indonesia sebagai negara yang akan dan baru merdeka. Gagasan yang kebetulan berasal dari Bung Karno itu muncul pada tahap-tahap awal sidang BPUPKI sekitar Mei­—Juni 1945 dalam pembentukan dasar negara. Ketika pada 18 Agustus 1945 dasar negara itu akhirnya disepakati terdiri atas lima sila (yang kemudian Bung Karno sendiri mempopulerkannya dengan nama “Pancasila”) dan disahkan PPKI dalam satu paket UUD 1945 sebagai konstitusi negara, maka dengan sendirinya trisila dan ekasila sudah gugur dan kedaluwarsa sebagai ide dasar negara.

Trisila dan ekasila sudah tidak berlaku lagi karena dasar negara yang kemudian menjadi konsensus para tokoh pendiri negara (termasuk di dalamnya, tentu saja, Bung Karno) terdiri atas ‘lima sila’ yang disebut Pancasila. Kelima sila secara legal sudah sah dan final sebagai dasar negara karena tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 yang berkedudukan sebagai staatsfundamentalnorm (norma hukum tertinggi yang menjadi dasar pembentukan konstitusi negara). Sebagai dasar negara, lima sila itu sudah singkat, padat, dan merupakan wujud dari kristalisasi ide-ide dalam pembentukan dasar negara, tetapi dianggap sudah representatif untuk menjadi landasan dan pedoman hidup berbangsa dan bernegara masyarakat Indonesia.

Pancasila sesungguhnya tidak membutuhkan kristalisasi ke dalam bentuk yang lebih padat lagi, melainkan justru memerlukan penjabaran lebih terperinci agar secara operasional dapat menjadi landasan dan pedoman hidup bangsa dan negara Indonesia. Oleh karenanya, secara terpisah dirumuskan batang tubuh UUD 1945 dalam bentuk pasal-pasal sebagai konstitusi negara. Lebih operasional lagi, pasal-pasal UUD 1945 dijabarkan ke dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang berada di bawahnya secara hierarkis sampai pada peraturan yang paling bawah.

Dengan demikian, setiap upaya untuk mengkristalisasi Pancasila ke dalam bentuk yang lebih singkat dan simpel — termasuk menjadikannya trisila dan ekasila — merupakan tindakan yang ekstrakonstitusional. Hal itu merupakan perbuatan yang ahistoris dan reduksi terhadap dasar negara yang sudah established, sah, dan final. Ironi ini dapat dikatakan sebagai langkah mundur (set back) serta pengkhianatan terhadap upaya para pendiri negara yang telah berjuang meraih kemerdekaan serta membentuk negara Indonesia beserta kelengkapan yang diperlukannya (dasar negara dan konstitusi).

Bahaya Menjadi Ideologi  yang Tertutup

Sebagaimana yang terefleksi dari kelima silanya, Pancasila memuat lima nilai substansial sebagai landasan dan pedoman hidup berbangsa dan bernegara. Kelimanya adalah ketuhanan (sila pertama), kemanusiaan (sila kedua), persatuan (sila ketiga), kerakyatan/demokrasi (sila keempat), dan keadilan sosial (sila kelima). Itulah bentuk paling ringkas atau padat hasil kristalisasi jika hal itu memang penting dilakukan sebagai penyederhanaan nilai-nlai Pancasila agar lebih operasional sebagai dasar dan ideologi negara.

Itulah upaya kristalisasi yang dilakukan secara linear menurut jumlah sila dan substansi yang terkandung dalam setiap sila Pancasila. Di dalamnya tidak terjadi peniadaan atau manipulasi kata kunci dengan pertimbangan dan kepentingan tertentu, melainkan murni dilakukan berdasarkan keruntutan logika dan common  sense. Kristalisasi yang meniadakan substansi dan kata kunci dari setiap sila dan apalagi dengan merumuskannya ulang dengan frasa atau kata kunci baru yang sama sekali berbeda dapat dikategorikan sebagai upaya subjektivikasi dan eksklusivikasi.

Ide kristalisasi Pancasila menjadi trisila dan ekasila selain tidak kongruen dengan nilai-nilai dasar Pancasila itu sendiri, juga akan mereduksi nilai-nilai Pancasila sehingga rumusannya menjadi keluar dari konteks kabur. Eksistensi nilai-nilai Pancasila pun kemudian menjadi sulit untuk diimplementasikan dalam praktik kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dalam kondisi demikian, Pancasila dapat jatuh menjadi ideologi yang beku, statis, dan tertutup.

Dalam ironi ini nilai-nilai Pancasila menjadi tidak mampu mengikuti dinamika kehidupan bangsa Indonesia dan perkembangan zaman. Hal ini menjadi kebalikan dari keadaan yang diidam-idamkan para pendiri negara dan diekspektasi bangsa Indonesia bahwa Pancasila dapat menjadi ideologi yang dinamis dan terbuka sehingga sampai kapan pun nilai-nilainya tetap sejalan dengan perkembangan zaman dan kehidupan bangsa Indonesia. Hal ini akan terasa sebagai musibah yang tragis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Allahu a’lam bissawaab.

Senjakala Adidaya dan Balada Amerika Menghadapi Serangan Virus Corona

Oleh Akhmad Zamroni


Presiden AS, Donald Trump, memberikan keterangan pers tentang Covid-19 (Sumber: AFP/Getty Images North America/Drew Angerer)

NEGARA adidaya (superpower) merupakan negara yang mempunyai kekuasaan dan pengaruh paling kuat dalam percaturan politik internasional. Negara adidaya memiliki kemampuan yang sangat besar dalam mempengaruhi negara-negara lain dan mengendalikan organisasi-organisasi internasional. Besarnya pengaruh dan kendali negara adidaya umumnya dikarenakan mereka menjadi kontributor dana terbesar bagi negara-negara lain dan lembaga-lembaga internasional serta memiliki kekuatan militer tidak tertandingi (terutama dari segi teknologi dan kuantitas senjata) yang sewaktu-waktu dapat mereka gunakan untuk menginvasi negara tertentu melalui keputusan sepihak.

Dengan kekuatan dan pengaruhnya yang sangat besar, negara adidaya seringkali mempelihatkan sikap jumawa dan seenaknya mengkooptasi atau bahkan menyerang negara lain, tak peduli ribuan nyawa manusia melayang serta infrastruktur di negara sasaran hancur lebur. Ibarat raksasa lapar yang gila dan bengis, mereka merasa bebas melakukan apa saja untuk mewujudkan ambisi dan memperjuangkan kepentingannya.

Dalam sejarah perpolitikan global ada beberapa negara adidaya yang sepak terjangnya memicu peperangan serta menimbulkan penindasan dan penderitaan pada banyak bangsa/negara lain. Pada era kuno ada Persia, Makedonia,Romawi, dan Mongolia. Pada era modern, antara lain, tercatat nama Prancis, Britania Raya, Uni Soviet, dan Amerika Serikat.

Negara adidaya muncul silih berganti dalam pergaulan internasional. Sejarah kehidupan bangsa-bangsa dan negara-negara di dunia yang telah berlangsung ribuan tahun menunjukkan, belum pernah ada satu pun bangsa/negara adidaya yang terus-menerus bertahan menjadi kekuatan hegemonial yang tak tergantikan. Persia yang perkasa dapat ditumbangkan dan digantikan oleh Makedonia, sementara nama terakhir ini kemudian dipecundangi dan digeser oleh Romawi. Prancis dan Britania Raya pada abad modern juga di-lengser-kan oleh Uni Soviet dan Amerika Serikat.

Uni Soviet dan Amerika Serikat pula yang, kelihatannya, untuk kali pertama dalam sejarah menjadi dua negara adidaya yang muncul secara bersamaan dan bersaing sama kuat. Seusai Perang Dunia II tahun 1945, keduanya tumbuh menjadi adidaya baru. Selama Perang Dunia II keduanya berada di kubu yang sama (Sekutu), tetapi setelah berakhirnya perang yang menelan korban 50-70 juta jiwa itu keduanya berbalik saling bermusuhan.


Perang Dunia II (Sumber: https://nationalinterest.org)


Mereka tidak lagi berkawan akibat berbeda ideologi. Amerika menganut liberalisme/kapitalisme, adapun Soviet berhaluan komunisme/marxisme. Keduanya memiliki negara-negara pengikut serta membentuk pakta militer: Amerika bersama sekutunya (Inggris, Prancis, Italia, Kanada, Jerman Barat, dan sebagainya) membentuk NATO, sedangkan Soviet bersama sekutunya (Polandia, Jerman Timur, Rumania, Hungaria, dan sebagainya) mendirikan Pakta Warsawa.

Selama sekitar setengah abad, kedua kubu saling bidik, memata-matai, bersitegang, dan berebut pengaruh hampir tanpa henti. Keduanya saling mengarahkan ribuan rudal nuklirnya ke kubu lawan dengan keadaan siap tembak. Hal ini memicu lahirnya ketegangan tingkat tinggi yang kemudian populer disebut sebagai “Perang Dingin”.

Perang Dingin menyebabkan penduduk bumi dihantui kekhawatiran akan terjadinya Perang Dunia III yang sangat mengerikan. Jika Perang Dingin menjelma menjadi perang terbuka yang menggunakan senjata nuklir, diramalkan akan terjadi “kiamat”, tidak akan ada pemenang perang (karena kedua kubu sama-sama hancur), serta seluruh atau sebagian besar negara di dunia akan turut binasa. Rudal-rudal nuklir yang ditembakkan oleh kedua kubu akan membuat kehancuran yang sangat luas di muka bumi karena pelor-pelor raksasa canggih itu memiliki jarak tembak hingga 10.000-12.000 km serta berdaya ledak hingga 70 megaton TNT (bandingkan dengan bom atom yang dijatuhkan Amerika di Hiroshima dan Nagasaki yang “hanya” berkekuatan 20 kiloton TNT).


Rudal SS-27 milik Uni Soviet yang mampu mencapai sasaran sejauh 10,500 km dengan membawa muatan senjata nuklir seberat 1 ton (Sumber: www.wikipedia.org)

Namun, malang dapat ditolak dan untung dapat diraih, Perang Dingin akhirnya hanya sekadar wacana kekhawatiran yang tidak berujung menjadi Perang Dunia III. Alih-alih terjadi “kiamat” akibat bombardemen senjata nuklir, sebutir peluru pun tidak pernah ditembakkan secara langsung dalam pertempuran  head to head  kedua kubu. Keduanya memang sempat terlibat dalam perang Vietnam, perang Iran-Irak, dan konflik di Afghanistan, tetapi mereka tidak pernah beradu secara langsung face to face.

Barangkali karena sama-sama merasa ngeri  dengan dampak ledakan senjata nuklir yang akan membuat keduanya hancur dan punah dari muka bumi, sementara mereka masih ingin terus menjadi superpower  dan penguasa dunia, mereka akhirnya mampu menahan diri untuk membuat provokasi yang dapat memicu pecahnya perang terbuka. Ratusan kali atau bahkan ribuan kali terjadi psy war  dan perang kata-kata, tetapi setiap kali itu pula ketegangan dapat mereda dan berakhir tanpa letusan senjata.

Dan syahdan, di tengah tak kunjung terjadinya perang, tanpa tembakan pistol apalagi rudal nuklir, Uni Soviet malah dengan cepat dan tragis mengalami kehancuran dan pembubaran pada tahun 1991. Program pembaruan glasnost  dan perestroika  yang dicanangkan Presiden Uni Soviet ketika itu, Mikhael Gorbachev, membuat partai komunis di Uni Soviet dan seluruh Eropa Timur hancur dan bangkrut. Hal ini menyebabkan Uni Soviet yang ditopang sistem politik partai tunggal yang totaliter (di bawah partai komunis) menjadi goyah serta kemudian ambyar  dan bubar.

Bangsa dan pemerintah Amerika Serikat pun bersorak gembira karena praktis setelah tewasnya si Beruang Merah (julukan bagi Uni Soviet) mereka menjelma menjadi satu-satunya negara adidaya di dunia. Rusia, sebagai satu-satunya sisa kehancuran Uni Soviet yang masih terhitung lumayan kuat, tak mampu lagi menandingi kekuatan dan pengaruh Amerika Serikat. Maka, si Paman Sam (julukan bagi Amerika Serikat) melenggang sendirian menjadi penguasa dan polisi dunia.


***


HAMPIR tidak ada yang memperkirakan, Uni Soviet yang begitu kuat dan sangar, runtuh dan lenyap dari peta dunia dalam waktu relatif singkat hanya oleh program pembaruan damai yang digulirkan oleh presidennya sendiri yang flamboyan, murah senyum, cinta damai, dan humanis. Tanpa polemik berkepanjangan, adu otot, dan apalagi adu tembak, melainkan melalui kampanye yang ramah dan bersahabat, si Beruang Merah sempoyongan, jatuh, dan mati. 


Gorbachev dan Reagan menandatangani kesepakatan pengendalian senjata (Sumber: https:// teardownthiswalldbq.weebly.com) 

Dunia kemudian hanya mengenal satu adidaya: Amerika. Dengan statusnya sebagai adidaya tunggal, Amerika menjadi makin arogan, represif, dan semau gue  terhadap negara-negara lain dan lembaga-lembaga internasional. Demokrasi dan hak asasi manusia (HAM) yang menjadi senjata propagandanya, seringkali mereka acak-acak sendiri saat mereka tak mampu menahan diri untuk menginvasi negara lain, seperti ketika menyerang Irak dan Afghanistan.

Kesendirian tanpa lawan sepadan kerapkali membuat lupa diri untuk memperkuat pertahanan guna mengantisipasi ancaman dan bahaya yang muncul dalam bentuk baru/lain, bukan lagi ekspansi ideologi dan senjata berteknologi tinggi. Dan demikianlah, hampir 30 tahun kemudian (sejak sang Paman Sam menjadi adidaya tunggal), bahaya dan ancaman itu benar-benar muncul dalam bentuk yang sama sekali berbeda serta sangat sulit dideteksi: serangan virus Corona (Covid-19).


Penanganan pasien Covid-19 di AS (Sumber: Reuters) 

Seluruh persenjataan, spionase, dan intelijen yang semuanya serbacanggih dan tak tertandingi milik Amerika menjadi tiada arti karena tak mampu mendeteksi serangan Covid-19. Sebagai soft weapon  yang mereka agung-agungkan, liberalisme/kapitalisme pun tak berarti apa-apa untuk menangkal Covid-19. Sang presiden, Donald Trump, yang sempat menganggapnya remeh dan lelucon, akhirnya mengakui, serangan Covid-19 ke negerinya sebagai hal yang mengerikan.

Serangan Covid-19 ke Amerika berlangsung begitu cepat dan mematikan. Pada Maret lalu, saat banyak negara lain mulai kewalahan mengatasi serangan sang virus, Trump bersama rakyatnya masih terlihat tenang-tenang saja karena serangan virus ini ke negeri mereka belum menunjukkan gejala yang mencemaskan. Namun, begitu memasuki pertengahan April, mereka mulai gelisah serta di penghujung bulan yang sama (29 April 2020) rasa sesal dan ngeri  mereka pecah dan tumpah: dalam beberapa pekan saja, lebih dari satu juta warga Amerika terinfeksi Covid-19 dan lebih dari 50 ribu di antaranya meninggal.

Dan memasuki bulan Mei-Juli, pecahlah fenomena horor: Amerika menjadi negara dengan jumlah kasus Covid-19 terbesar di dunia. Sampai dengan 6 Juli 2020 (saat artikel ini ditulis), jumlah kasus Covid-19 di AS sudah mencapai 2.888.730 dan yang meninggal 129.947 orang (dilansir CSSE Johns Hopkins University). 


Jenazah warga AS korban Covid-19 (Sumber: Metro)

Angka itu sangat jauh melampaui jumlah korban di negara-negara lain yang sebelumnya menjadi episentrum awal pandemi Covid-19, seperti Tiongkok, Italia, dan Iran. Angka statistik AS itu juga masih jauh melewati jumlah korban di negara-negara episentrum baru yang kini menduduki peringkat atas, seperti Brasil (peringkat kedua: 1.603.055  kasus; 64.867 meninggal), India (peringkat ketiga: 697.413 kasus; 19.693 meninggal), Rusia (peringkat keempat: 686.777 kasus; 10.271 meninggal), dan Peru (peringkat kelima: 302.718 kasus; 10.589 meninggal).

Serangan Covid-19 serta merta membangkitkan memori bangsa Amerika akan jumlah korban perang atau peristiwa tragis yang pernah mereka alami. Mereka tak menyangka, Covid-19 ternyata jauh lebih ganas dan mematikan dibandingkan serangan komunisme, terorisme, dan bahkan senjata berteknologi tinggi. Lihat saja: serangan Covid-19 dalam lima bulan merenggut korban tewas 129.947 orang, sedangkan serangan teroris di WTC hanya menelan 2.996 korban jiwa, serangan Jepang terhadap Pearl Harbor hanya membunuh 2.403 prajurit AS, serta Perang Vietnam yang berlangsung hampir 20 tahun hanya mengakibatkan 58.315 prajurit AS tewas. Bahkan jika jumlah korban jiwa dari ketiga peristiwa tragis ini ditotal seluruhnya, angkanya masih jauh di bawah jumlah korban serangan Covid-19!

Keadidayaan Amerika pun kini mulai dipertanyakan, bukan saja oleh masyarakat internasional, bahkan juga mungkin oleh warganya sendiri. Keadidayaan Amerika dalam menghadapi serangan intelijen, terorisme, ideologi, dan senjata dari luar mungkin sudah teruji dan terbkti, tetapi kemampuannya menghadapi serangan virus mematikan justru yang paling buruk dan paling lemah di dunia, setidaknya dilihat dari data (jumlah) korban yang tercatat hingga saat ini. 


Demonstrasi warga AS menentang lockdown (Sumber: AP Photo-Jim Mone) 

Tampak cukup jelas, Amerika kurang siap menghadapi serangan mikroorganisme yang tak terlihat oleh mata telanjang. Sejak serangan mulai marak ke berbagai negara awal 2020 lalu, mereka terlalu menganggap remeh dan sepele. Ketika serangan benar-benar menuju ke negeri mereka, sikap keras dan besar kepala mereka (karena merasa sebagai negara terkuat) menyebabkan mereka tidak bersikap disiplin dan protektif –– ketika itu Trump malah melancarkan tuduhan ke negara lain, sementara warganya beramai-ramai membeli senjata api untuk melindungi diri.

Serangan virus tidak dapat dilawan dengan senjata militer yang paling canggih dan dahsyat sekalipun. Jika Amerika masih menghadapinya dengan paradigma perang fisik yang mengandalkan senjata perangkat keras (hard weapon), nasibnya mungkin akan sama dengan para adidaya sebelumnya: kalah dan tergeser. Segala sumber daya yang mereka miliki bisa habis terkuras untuk mengatasinya, itupun jika jutaan warganya tidak tewas lebih dahulu terinfeksi Covid-19 –– ingat, pandemi virus influenza (flu spanyol) tahun 1917/1918 menelan korban jiwa hingga 50 juta penduduk bumi.

Pengalaman Uni Soviet pada era modern menunjukkan, runtuhnya keadidayaan tidak selalu disebabkan oleh invasi militer dan serangan senjata. Dan Amerika yang sejauh ini masih mengandalkan dan membangga-banggakan militer dan senjatanya, serta tak kunjung belajar dari kasus Uni Soviet, bukan tak mungkin mereka akan “mewarisi” nasib tragis mantan seterunya.

Allaahu a’lam bissawaab.

________________________________________________


Twilight of the American Superpower and Ballads Facing the Corona Virus Attack

By Akhmad Zamroni


COUNTRIES superpower is a country that has the most powerful power and influence in the international political arena. Superpowers have enormous capacity to influence other countries and control international organizations. The magnitude of influence and control of superpowers is generally because they are the largest financial contributor to other countries and international institutions and have unmatched military power (especially in terms of technology and quantity of weapons) which they can at any time use to invade certain countries through unilateral decision.

With its enormous power and influence, superpowers often display the attitude of Javanese and arbitrarily co-opt or even attack other countries, no matter how many thousands of human lives are lost and infrastructure in the target country is destroyed. Like a hungry giant who is crazy and cruel, they feel free to do anything to realize their ambitions and fight for their interests.

In the history of global politics there have been several superpowers whose actions have sparked wars and have caused oppression and suffering to many other nations/countries. In ancient times there were Persia, Macedonia, Rome, and Mongolia. In the modern era, among others, the names of France, Great Britain, the Soviet Union and the United States were recorded.

Superpowers appear one after another in international relations. The history of life of nations and countries in the world that has lasted for thousands of years shows, there has never been a single nation/superpower that has continued to survive into an irreplaceable hegemonial power. The mighty Persia could be overthrown and replaced by Macedon, while this last name was then defeated and removed by the Romans. France and the United Kingdom in the modern age were also ousted by the Soviet Union and the United States.

The Soviet Union and the United States also seemed, for the first time in history, to become two superpowers that emerged simultaneously and competed equally. After World War II in 1945, both grew into new superpowers. During World War II both were in the same stronghold (Allied), but after the end of the war which claimed 50-70 million lives the two turned hostile to each other.

They are no longer friends due to different ideologies. America adheres to liberalism/capitalism, while the Soviet has communism/marxism orientation. Both had vassal countries and formed a military pact: America and its allies (Britain, France, Italy, Canada, West Germany, etc.) formed NATO, while the Soviets and their allies (Poland, East Germany, Romania, Hungary, etc.) established Warsaw Pact.

For about half a century, the two camps aimed at each other, spying, arguing, and fighting for influence almost nonstop. Both of them direct thousands of nuclear missiles at the opposing camps in a state ready to fire. This triggered the birth of a high level of tension which became popularly known as the “Cold War”.

The Cold War caused the inhabitants of the earth to be haunted by fears of a terrible World War III. If the Cold War transforms into an open war using nuclear weapons, it is predicted that an “apocalypse” will occur, there will be no winners of the war (because both camps are equally destroyed), and all or most of the countries in the world will also perish. The nuclear missiles fired by the two camps will cause extensive destruction on earth because the giant giant bullets have a range of up to 10,000-12,000 km and are capable of explosives up to 70 megatons of TNT (compared to the atomic bomb dropped by the Americans on Hiroshima and Nagasaki, which is “only” 20 kilotons TNT).

However, unfortunate can be rejected and fortunately can be achieved, the Cold War finally just a discourse of concern that did not end into World War III. Instead of “doomsday” due to the bombardment of nuclear weapons, a single bullet was never fired directly in the battle of the two camps head to head. Both of them did get involved in the Vietnam war, the Iran-Iraq war, and the conflict in Afghanistan, but they never confronted face to face.

Perhaps because they were both horrified by the impact of the explosion of nuclear weapons that would make both destroyed and extinct from the face of the earth, while they still wanted to continue to be superpowers and world rulers, they were finally able to resist the provocation that could trigger an outbreak of open war. Hundreds of times or even thousands of times there were psy war and war of words, but each time the tension can subside and end without a gun eruption.

And martyrs, in the midst of a war that never happened, without gunfire let alone nuclear missiles, the Soviet Union instead quickly and tragically experienced destruction and dissolution in 1991. The glasnost  and perestroika  renewal program launched by the then Soviet President, Mikhael Gorbachev, made the party communists in the Soviet Union and throughout Eastern Europe were destroyed and bankrupt. This caused the Soviet Union, which was supported by a totalitarian single-party political system (under the communist party) to become shaky and then collapse and dissolve.

The United States and the government of the United States also cheered happily because practically after the death of the Red Bear (nickname for the Soviet Union) they were transformed into the only superpower in the world. Russia, as the only remnant of the destruction of the Soviet Union which is still relatively strong, is no longer able to match the strength and influence of the United States. So, the Uncle Sam (nickname for the United States) strolled alone to become the ruler and police of the world.

***

ALMOST nobody predicted, the Soviet Union was so strong and frightening, it collapsed and disappeared from the map of the world in a relatively short time only by a peaceful reform program rolled out by its own president who was flamboyant, smiling, loving, and humanist. Without prolonged polemics, muscle fighting, and especially shooting, but through a friendly and friendly campaign, the Red Bear staggered, fell, and died.

The world then knows only one superpower: America. With its status as a single superpower, America has become even more arrogant, repressive, and all I want of other countries and international institutions. Democracy and human rights, which became the weapon of propaganda, often they messed up themselves when they were unable to resist the invasion of other countries, such as when attacking Iraq and Afghanistan.

Loneliness without a commensurate opponent often makes us forget to strengthen our defenses to anticipate threats and dangers that arise in new/other forms, no longer the expansion of ideology and high-tech weapons. And so, almost 30 years later (since Uncle Sam became a single superpower), the danger and threat actually appeared in a completely different form and was very difficult to detect: the Corona virus attack (Covid-19).

All the weapons, espionage, and intelligence that were all sophisticated and unmatched by the Americans became meaningless because they were unable to detect the Covid-19 attack. As a soft weapon that they exalt, liberalism/capitalism also does not mean anything to ward off Covid-19. The president, Donald Trump, who had taken it lightly and jokingly, finally admitted, the Covid-19 attack on his country was a terrible thing.

The Covid-19 attack on America was so fast and deadly. In March, when many other countries began to be overwhelmed by the virus attacks, Trump and his people still looked calm because this virus attack on their country had not shown any worrying symptoms. However, as they entered mid-April, they began to get nervous and at the end of the same month (April 29, 2020) their regret and horror broke out and spilled: within a few weeks, more than one million Americans were infected with Covid-19 and more than 50 thousand of whom died.

And entering May-July, a horror phenomenon broke out: America became the country with the largest number of Covid-19 cases in the world. As of July 6, 2020 (when this article was written), the number of Covid-19 cases in the US had reached 2,888,730 and 129,947 people died (as reported by CSSE Johns Hopkins University).

That figure is far beyond the number of victims in other countries that were previously the initial epicenter of the Covid-19 pandemic, such as China, Italy, and Iran. The US statistics also far exceeded the number of casualties in new epicenter countries which are now in the top ranks, such as Brazil (second rank: 1,603,055 cases; 64,867 dead), India (third rank: 697,413 cases; 19,693 died), Russia (fourth rank: 686,777 cases; 10,271 died), and Peru (fifth rank: 302,718 cases; 10,589 deaths).

The Covid-19 attack immediately aroused the American memory of the number of victims of war or tragic events they have experienced. They did not expect that Covid-19 would be far more violent and deadly than the attacks of communism, terrorism and even high-tech weapons. Just look: the Covid-19 attack in five months claimed 129,947 deaths, while the terrorist attack on the WTC only killed 2,996 lives, the Japanese attack on Pearl Harbor only killed 2,403 US soldiers, and the Vietnam War that lasted nearly 20 years resulted in only 58,315 soldiers US killed. Even if the total number of fatalities from these three tragic events is totaled, the figure is still far below the number of victims of the Covid-19 attack!

The American State is now being questioned, not only by the international community, but also by its own citizens. American justice in dealing with intelligence attacks, terrorism, ideology, and weapons from outside may have been tested and served, but its ability to deal with deadly virus attacks is actually the worst and weakest in the world, at least in terms of data (number of victims recorded to date).

Clearly enough, America is less prepared to face attacks by microorganisms that are invisible to the naked eye. Since the attacks began to bloom in various countries in early 2020, they have been underestimated and trivial. When the attack really goes to their country, their stubborn and stubborn attitude (because they feel as the strongest country) causes them to be undisciplined and protective - when Trump instead launches accusations to other countries, while its citizens rush to buy firearms to protect themselves.

Virus attacks cannot be resisted with even the most sophisticated and powerful military weapons. If America still faces it with a paradigm of physical war that relies on hard weapons, its fate might be the same as the previous superpowers: defeat and displacement. All the resources they have can be drained to overcome it, and even then if millions of citizens are not killed first infected with Covid-19 - remember, the influenza virus pandemic (Spanish flu) in 1917/1918 claimed the lives of up to 50 million inhabitants of the earth.

The experience of the Soviet Union in the modern era showed that the collapse of justice was not always caused by military invasions and weapons attacks. And America, which so far still relies on and boasts its military and weapons, and has never learned from the Soviet Union case, it is quite possible that they will "inherit" the tragic fate of their former rivals.

Allaahu a'lam bissawaab.


Sabtu, 04 Juli 2020

Lakon Polisi


Oleh Akhmad Zamroni

Maskot Kepolisian RI (Sumber: http://serukaltim.com) 

Dalam beberapa bulan ini polisi menjadi lakon dalam sorotan publik dan media. Setidaknya ada dua peristiwa yang menjadikannya demikian. Pertama, persidangan kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan dan, kedua, kasus unggahan humor Gus Dur tentang tiga polisi jujur oleh seorang warga Maluku Utara di Facebook.

Kedua kasus itu melibatkan para polisi. Novel Baswedan adalah seorang polisi yang menjadi penyidik senior di Komisi Pemberantasan Korupsi. Dua terdakwa penyiram air keras terhadapnya juga berprofesi sebagai polisi. Warga Maluku Utara yang mengunggah humor Gus Dur sempat berurusan pula dengan kepolisian resor setempat karena humor itu bersinggungan dengan citra polisi Indonesia (lelucon Gus Dur yang dikutip dan diunggah pelaku adalah “hanya ada tiga polisi jujur di Indonesia, yakni patung polisi, polisi tidur, dan Jenderal Hoegeng”).

Polisi tak pernah lekang menjadi lakon pembicaraan. Tugas dan tanggung jawabnya sebagai aparat keamanan yang bersentuhan langsung dengan masyarakat setiap hari membuat polisi menjadi salah satu subjek unggulan dalam percakapan media dan masyarakat. Hampir setiap beberapa jam atau bahkan setiap beberapa menit, kosakata ‘polisi’ disebut oleh masyarakat dan media akibat banyaknya tindak kejahatan di Indonesia yang menempatkan polisi sebagai aparat yang menanganinya.

***

Polisi dibicarakan di tengah masyarakat dengan tiga nada: rendah, sedang, dan tinggi. Orang memperbincangkan polisi dengan nada rendah dan memuji saat menilai polisi sebagai aparat penjaga keamanan dan penegak hukum yang memungkinkan masyarakat hidup tertib dan aman. Orang menceritakan polisi dengan nada sedang dan kecewa ketika menganggap polisi kurang peduli dengan nasib masyarakat kalangan bawah yang sering menjadi korban kejahatan dan diskriminasi hukum. Orang mengata-ngatai polisi dengan nada tinggi dan marah saat menganggap sebagian besar polisi adalah brengsek karena gemar melakukan pungli, kolusi, korupsi, dan konspirasi dalam penegakan hukum.

Kita tidak dapat menilai, nada mana yang paling sering diekspresikan masyarakat dalam membicarakan polisi karena survei mengenai hal itu tidak pernah dilakukan. Satu hal yang pasti adalah saat masyarakat membicarakan polisi, ketiga nada itu muncul secara berganti-ganti. Hal itu sudah menjadi rahasia umum sehingga para polisi sendiri pun, hampir dapat dipastikan, merasakan dan mengetahuinya (dan semoga juga memakluminya).

Satu hal pasti lainnya adalah tidak sedikit polisi yang masih memiliki akhlak terpuji dan integritas tinggi, selain tidak sedikit pula polisi yang masih memiliki moral dan perilaku tercela. Ada banyak polisi yang rajin beribadah, hidup sederhana, rendah hati, jujur, disiplin, serta tidak suka pungli dan korupsi, tetapi ada banyak pula polisi yang memiliki perilaku yang sebaliknya. Tidak diketahui dengan pasti mana yang lebih dominan di antara keduanya karena polling  tentang hal itu juga belum pernah dilakukan.

Untuk menunjukkan prasangka baik sekaligus memotivasi polisi agar bekerja dan mengabdi kepada masyarakat dan negara dengan lebih baik, lebih disiplin, lebih berintegritas, dan lebih berprestasi lagi, anggap saja bahwa moral dan perilaku sebagian besar polisi kita masih baik-baik saja. Bahwa sebagian polisi masih suka berbohong, pungli, korupsi, dan melakukan tindakan tercela lainnya, mereka hanya oknum-oknum yang sebagiannya sudah ditangani secara hukum oleh polisi sendiri. Polisi menghukum polisi dalam penegakan hukum adalah hal biasa karena tidak ada orang yang kebal hukum dan semua waga negara memiliki kedudukan yang sama di depan hukum.

***

Polisi buruk pelaku tindak kriminal yang dihukum mungkin jumlahnya tidak sedikit, tetapi hingga kini hampir tidak ada yang sosoknya melegenda. Sebaliknya, polisi baik yang melakukan tugas penegakan hukum dengan disiplin dan integritas tinggi ada yang namanya sangat terkenal dan dikenang banyak orang. Contoh polisi dengan kategori terakhir ini adalah Novel Baswedan dan Hoegeng Iman Santoso, dua nama yang sudah disinggung pada awal tulisan ini.

Novel dan Hoegeng adalah dua polisi fenomenal. Tanpa berkeinginan menjadi terkenal, mereka secara alamiah menjadi termasyhur dengan sendirinya karena integritas dan prestasinya. Media memberitakannya dengan citra yang positif, sementara masyarakat menerima dan mengapresiasinya dengan gembira, bangga, dan penuh rasa syukur.

Masyarakat Indonesia mungkin menggumam dengan penuh rasa kagum: di tengah banyaknya aparat hukum, pejabat negara, dan wakil rakyat yang hidup bermewah-mewahan serta gemar melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme, masih ada polisi yang hidup penuh kesederhanaan, penuh pengabdian, serta menjalankan tugas dan kewajiban profesi dengan moralitas dan integritas tinggi. Banyak orang juga mungkin merasa takjub: Novel dan Hoegeng mempraktikkan semua itu dengan alami dan tanpa dibuat-buat; mereka melakukannya karena tuntutan hati nurani akan tugas dan tanggung jawabnya sebagai penegak hukum.

Kita juga perlu mengacungkan dua jempol kepada keduanya karena mereka konsisten dan tak pandang bulu menjalankan tugas penegakan hukum meski harus kehilangan hal-hal penting dalam hidupnya. Hoegeng kehilangan jabatan sebagai Kapolri akibat dicopot Presiden Soeharto gara-gara tak kenal kompromi dalam membongkar kasus-kasus kejahatan yang melibatkan keluarga pejabat dan keluarga Soeharto sendiri. Novel bahkan kehilangan mata kirinya (buta) gara-gara tak kompromi dalam membongkar kasus korupsi yang melibatkan pejabat Polri.

***

Saya menulis dengan penuh keheranan, mengapa polisi unggul seperti Hoegeng dan Novel justru mengalami hal-hal ironis dalam kariernya. Prestasi mereka yang cemerlang secara linear seharusnya diikuti perjalanan karier yang lancar dan sukses hingga ke puncak. Setelah menjadi Kapolri, Hoegeng seharusnya menjadi presiden RI. Setelah menjadi penyidik KPK, Novel seharusnya menjadi ketua KPK atau Kapolri untuk kemudian (kelak) juga menjadi presiden RI.

Jika dikatakan bahwa Indonesia masih dipenuhi KKN yang tak habis-habis, dikangkangi banyak politikus busuk yang tak kunjung insyaf, dikacaukan pengusaha-pengusaha rakus yang tak kenal rasa puas, dan disesaki aparat penegak hukum korup yang tak kunjung bertobat, harusnya pribadi bersih, jujur, tegas, dan tak pandang bulu dalam menegakkan hukum seperti Hoegeng dan Novel dapat menjadi pemimpin di negeri ini. Entah bagaimana SOP-nya, polisi luar biasa seperti mereka seharusnya bisa menjadi pemimpin puncak agar hal-hal negatif yang terus-menerus dikeluhkan di atas bisa diakhiri. Bukankah untuk membersihkan lantai yang kotor diperlukan sapu yang bersih?

Saya juga tak habis pikir, mengapa polisi seperti Novel dan Hoegeng hanya mendapat simpati dan dukungan dari masyarakat, tetapi sangat minim memperoleh support dari korps dan atasannya. Tidak hanya tidak mendapat sokongan, Novel dan Hoegeng justru mendapat perlakuan yang kurang semestinya dari korps dan atasannya. Bahkan Novel sampai mendapat teror ekstrem dari sejawatnya hingga mata kirinya buta.

Tragisnya nasib polisi baik oleh perlakuan ironis korps dan atasannya sudah cukup menggambarkan citra penegakan hukum dan kepolisian di negeri kita. Tanpa dibeberkan secara mendalam dengan rujukan teori hukum dan moral yang canggih pun masyarakat sudah dapat menerka apa yang terjadi dalam dunia penegakan hukum dan kepolisian kita. Tanpa dijelaskan panjang lebar dengan berbagai pertimbangan politik, sosial, dan budaya pun masyarakat kiranya sudah dapat membuat kesimpulan sendiri tentang keadaan hukum dan korps baju cokelat.

***

Lakon Hoegeng dan Novel seharusnya seperti lakon sandiwara yang menjadikan tokoh protagonisnya mengalami kejadian menyenangkan dan meraih kemenangan pada akhir cerita. Namun, sayangnya, lakon mereka “dipentaskan” di panggung dunia nyata Indonesia. Di panggung drama, sutradara bisa mementaskan lakon menyenangkan sesuai dengan keinginan dan selera para penontonnya, tetapi di dunia nyata negeri kita lakon polisi jujur mendapat dukungan formal dari institusi internal dan infrastruktur negara masih sangat sulit direalisasi.

Lakon polisi tampaknya akan terus menjadi perbincangan publik dan media dengan perspektif dan tendensi yang berbeda-beda. Ibarat lakon drama yang dipenuhi peristiwa kejahatan, polisi adalah tokoh utama yang diidam-idamkan penonton untuk mampu memberantas kejahatan serta meringkus para penjahat tanpa melakukan salah tangkap dan apalagi menangkap atau mengucilkan teman sendiri yang menjalankan tugas dengan benar. Jika hal terakhir ini yang terjadi, tentu saja, penonton (masyarakat) akan meninggalkan gedung pertunjukan dengan rasa kecewa dan cerita penegakan hukum Indonesia akan dipenuhi tragedi ketidakadilan yang tiada habis-habisnya.

Allaahu a’lam bissawaab.

________________________________________________


Police Role 

By Akhmad Zamroni


In recent months the police have been acting in the public and media spotlight. There are at least two events that make it that way. First, the trial of the hard watering case against Baswedan Novels and, second, the case of Gus Dur's humorous upload of three honest police officers by a North Maluku resident on Facebook.

Both cases involved the police. Novel Baswedan is a police officer who is a senior investigator in the Corruption Eradication Commission. Two defendants who used hard water to him also worked as police. The people of North Maluku who uploaded Gus Dur's humor had also dealt with the local resort police because the humor intersected with the image of the Indonesian police (Gus Dur's jokes cited and uploaded by the perpetrators were "there are only three honest police officers in Indonesia, namely a statue of a police officer, a sleeping police officer, and General Hoegeng").

The police have never been cracked up in conversation. His duties and responsibilities as a security apparatus that is in direct contact with the community every day makes the police one of the leading subjects in media and public conversation. Almost every few hours or even every few minutes, the vocabulary 'police' is referred to by the public and the media due to the many crimes in Indonesia that put the police as the apparatus handling it.

***

The police are discussed in the community in three tones: low, medium and high. People talk about the police in a low tone and praise when assessing the police as security guards and law enforcement officers who allow people to live orderly and safe. People tell the police in a moderate tone and are disappointed when they think that the police are less concerned with the fate of the lower classes who are often victims of crime and legal discrimination. People say the police with a high tone and anger when they think that most of the police are jerks because they love extortion, collusion, corruption, and conspiracy in law enforcement.

We cannot judge which tone is most often expressed by the public in discussing the police because the survey on this matter has never been conducted. One thing that is certain is that when people talk about the police, the three tones emerge alternately. It has become common knowledge that even the police themselves, almost certainly, feel and know it (and hopefully also understand it).

One other sure thing is that there are not a few police officers who still have high morals and high integrity, in addition to not a few police who still have moral and disgraceful behavior. There are many policemen who diligently worship, live modestly, are humble, honest, disciplined, and do not like extortion and corruption, but there are also many police who have the opposite behavior. It is not known with certainty which is more dominant between the two because polling about it has also never been done.

To show good prejudice and at the same time motivate the police to work and serve the community and the country better, more disciplined, more integrity, and more achievers, just assume that the morale and behavior of most of our police are still fine. That some police still like to lie, extortion, corruption, and carry out other despicable acts, they are only persons who have been partly handled legally by the police themselves. The police punish police in law enforcement is common because no one is above the law and all state officials have the same position before the law.

***

Bad police convicted criminals may not be insignificant in number, but until now almost no one has a legendary figure. On the contrary, good police officers who carry out law enforcement duties with high discipline and integrity are known to be well-known and remembered by many people. Examples of police with this last category are Novel Baswedan and Hoegeng Iman Santoso, two names that were alluded to at the beginning of this paper.

Novel and Hoegeng are two phenomenal cops. Without wanting to be famous, they naturally become famous by themselves because of their integrity and achievements. The media reported it with a positive image, while the community accepted and appreciated it happily, proudly, and gratefully.

Indonesian society may murmure with admiration: in the midst of the large number of legal apparatus, state officials, and people's representatives who live lavishly and are fond of corruption, collusion and nepotism, there are still police who live full of simplicity, full of devotion, and carry out their duties and professional obligations with high morality and integrity. Many people may also be amazed: Novels and Hoegeng practice them naturally and without making up; they do it because of the demands of conscience for their duties and responsibilities as law enforcers.

We also need to give two thumbs up to both because they are consistent and indiscriminately carry out law enforcement duties despite having to lose important things in their lives. Hoegeng lost his position as National Police Chief due to being removed by President Soeharto because of his uncompromising compromise in uncovering criminal cases involving the families of officials and Suharto's own family. Novel even lost his left eye (blind) because of uncompromising in exposing corruption cases involving Polri officials.

***

I wrote in amazement, why the superior police like Hoegeng and Novel actually experienced ironic things in their careers. Their brilliant achievements in a linear fashion should be followed by a smooth and successful career journey to the top. After becoming the National Police Chief, Hoegeng should become the president of the Republic of Indonesia. After becoming a KPK investigator, Novel should become the head of the KPK or the National Police and later (later) also become the president of the Republic of Indonesia.

If it is said that Indonesia is still filled with inexhaustible KKN, surrounded by a lot of rotten politicians who are insyaf, confused by greedy businessmen who do not know any satisfaction, and are crammed with corrupt law enforcement officials who do not repent, they must be clean, honest, personal firm, and indiscriminately in enforcing laws such as Hoegeng and Novel can be leaders in this country. Somehow the SOP, extraordinary police like them should be able to be the top leaders so that the negative things that are constantly complained above can be ended. Isn't cleaning a clean broom clean?

I also can't understand why the police like Novel and Hoegeng only get sympathy and support from the community, but very little support from the corps and their superiors. Not only did they not get support, Novel and Hoegeng actually received undue treatment from the corps and their superiors. Even Novel to get extreme terror from his colleague until his left eye is blind.

The tragic fate of the police both by the ironic treatment of the corps and his superiors is sufficient to illustrate the image of law enforcement and the police in our country. Without being disclosed in depth with the reference to sophisticated legal and moral theory, the public can already guess what is happening in the world of law enforcement and our police. Without being explained at length with a variety of political, social, and cultural considerations, the community would have been able to make their own conclusions about the legal situation and the brown shirt corps.

***

Hoegeng and Novel play should be like a play that makes the protagonist experience a pleasant event and win at the end of the story. But, unfortunately, their play was "staged" on the real world stage of Indonesia. On the drama stage, the director can play fun plays in accordance with the desires and tastes of the audience, but in the real world our country honest police play gets formal support from internal institutions and state infrastructure is still very difficult to realize.

The police play will likely continue to be a subject of public and media discussion with differing perspectives and tendencies. Like a drama that is filled with crime, the police are the main characters coveted by the audience to be able to eradicate crime and arrest criminals without making wrongful arrests and let alone catch or isolate their own friends who carry out their duties properly. If this last thing happens, of course, the audience will leave the theater with disappointment and the story of Indonesian law enforcement will be filled with inexhaustible tragedies of injustice.

Allaahu a'lam bissawaab.