Selasa, 07 Juli 2020

Pancasila dan Agenda-Agenda Negara yang Terbengkalai

Oleh Akhmad Zamroni

 

Pancasila (Sumber: https://nasional.republika.co.id) 


SEJATINYA, Pancasila sudah final sebagai dasar negara dan ideologi negara kita.  Sejak disahkan oleh PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada 18 Agustus 1945 sebagai bagian dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945), Pancasila telah disepakati secara bulat oleh seluruh komponen bangsa sebagai dasar negara. Tercantum dalam Pembukaan UUD NRI 1945 alinea keempat, rumusan Pancasila yang terdiri atas lima butir asas/sila selain telah menjadi konsensus nasional sebagai dasar negara, juga menjadi ideologi negara, sumber dari segala sumber hukum, pandangan hidup bangsa, kepribadian bangsa, perjanjian luhur bangsa, cita-cita dan tujuan bangsa, falsafah hidup bangsa, dan jiwa bangsa Indonesia.

Konsekuensi dari konsensus itu menjadi sangat jelas bahwa Pancasila merupakan landasan dan pedoman bagi rakyat Indonesia dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Semua sendi kehidupan bangsa dan negara harus dijalankan berdasarkan nilai-nilai yang terkandung dalam sila-sila Pancasila. Kegiatan politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan sebagainya baik yang dilakukan individu dan masyarakat maupun pemerintah sebagai penyelenggara negara harus sejalan dengan nilai-nilai Pancasila.

Melalui kelima silanya, Pancasila sudah benar-benar built-in  (siap pakai) sebagai pedoman dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara karena dirumuskan dengan klausul yang logis, komunikatif, dan implementatif. Tidak hanya pakar filsafat dan hukum tata negara, bahkan para pelajar sekolah pun sesungguhnya sudah paham akan inti (substansi) dari kelima sila Pancasila. Kita tak perlu membuka referensi untuk memahami, misalnya, makna kata-kata “Ketuhanan Yang Maha Esa” (sila pertama) atau “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” (sila kelima); demikian juga untuk memahami ketiga sila lainnya.

Dengan telah sahnya kedudukan dan fungsi Pancasila (sebagai dasar negara, ideologi negara, dan seterusnya) serta jelasnya makna dari setiap sila yang dikandungnya, maka hal yang paling urgen dan wajib dilakukan oleh seluruh bangsa Indonesia adalah menghayati dan mengamalkan nilai-nilainya dalam semua sendi kehidupan bangsa dan negara. Adapun hal yang harus dihindari adalah memasalahkan dan meredefinisi substansi Pancasila dengan rumusan baru yang subjektif dan eksklusif. Pedoman hidup yang orientasinya sudah gamblang sebagaimana Pancasila tidak membutuhkan perumusan ulang, melainkan implementasi (pelaksanaan) dengan tindakan konkret dalam kehidupan nyata.

Oleh sebab itu, upaya membuat regulasi sebagai petunjuk pelaksanaan nilai-nilai Pancasila secara eksplisit dalam praksis kehidupan menjadi bersifat artifisial dan cenderung dogmatis. Lahirnya RUU Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) yang memicu kontroversi dalam beberapa pekan terakhir mengindikasikan bagian dari semacam upaya dogmatisasi yang seharusnya tidak terjadi. Upaya untuk menginternalisasi (penghayatan) Pancasila dan memperkuat implemantasi nilai-nilainya dalam praktik kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara akan lebih tepat serta sesuai dengan nilai-nilai Pancasila itu sendiri (Pancasilais) jika dilakukan dengan pembuatan dan pemberlakuan regulasi (peraturan perundang-undangan) yang ketentuan-ketentuannya secara tidak langsung mencerminkan pelaksanaan nilai-nilai Pancasila, bukan regulasi yang ketentuan-ketentuannya secara eksplisit berkutat pada penafsiran-penafsiran terhadap Pancasila.

Jika praktik kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dirasakan belum menunjukkan implementasi nilai-nilai Pancasila atau bahkan justru banyak bertentangan dengannya, yang harus dipersoalkan adalah pelaksananya, bukan Pancasila sebagai landasan atau pedomannya. Yang salah dan wajib dibenahi adalah personel beserta seluruh kebijakan, sikap, dan perilakunya, bukan aturannya yang sudah baku dan disepakati sebagai dasar dan ideologi negara. Praktik bermasyarakat, berbangsa, dan bernegaralah yang wajib menyelaraskan diri dengan nilai-nilai Pancasila, bukan sebaliknya.

Selama ini, yang banyak terjadi adalah pelanggaran terhadap nilai-nilai Pancasila, bukan kesulitan menafsirkan dan mengimplementasikan nilai-nilainya. Pelanggaran terhadap Pancasila banyak terjadi akibat penyimpangan kebijakan dan perilaku yang didasari kepentingan pribadi dan kelompok, bukan akibat kekurangan atau ketidaklengkapan Pancasila sebagai dasar negara. Pada era Orde Lama dan Orde Baru, ironi pelanggaran terhadap Pancasila secara masif dilakukan oleh rezim penguasa (pemerintah), sedangkan pada era Reformasi didominasi oleh aparat negara dan penegak hukum yang kemudian menurun pada masyarakat luas sebagai bentuk peniruan.

Sejak memasuki era Reformasi (1998), seluruh regulasi dikoreksi dan direvisi agar tidak bertentangan dengan Pancasila (dan UUD 1945) serta dibuat regulasi baru untuk memperkuat implementasi nilai-nilai Pancasila. Namun, pelanggaran terhadap Pancasila dalam bentuk penyimpangan perilaku dan kebijakan masih tetap marak di mana-mana, terutama dalam birokrasi pemerintahan dan penegakan hukum. Kolusi, korupsi, penyalahgunaan hukum, serta ketidakadilan ekonomi — sebagai bentuk pelanggaran paling nyata dan ekstrem terhadap nilai-nilai Pancasila — masih terjadi secara masif hingga hari ini.

Cibvitas akademika UGM menolak revisi UU KPK (Sumber: https://ugm.ac.id) 

Sebagai konsekuensinya, banyak agenda pemerintah sebagai program dan penyelenggaraan negara menjadi terbengkalai. Upaya pemberantasan korupsi dan penyalahgunaan narkoba melalui penegakan hukum yang adil serta pemerataan ekonomi tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan. Yang terbaru, penanganan pandemi Covid-19 berlangsung lamban, tak terkoordinasi dengan baik, serta diwarnai banyak kesimpangsiuran.

Pemberantasan korupsi dan penegakan hukum menjadi agenda yang mengalami nasib paling mengenaskan. Implementasinya mengalami kemacetan atau diskriminasi akibat oligarki dan konflik kepentingan. Terbengkalainya kedua agenda ini, antara lain, ditandai oleh revisi undang-undang KPK yang menyebabkan teramputasinya kewenangan-kewenangan penting KPK (Komisi Pemberantasn Korupsi), penyelesaian hukum kasus Bank Century dan  kasus Harun Masiku, penyelesaian kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan, serta yang terbaru bebas dan berkeliarannya buron terpidana korupsi kelas kakap Djoko Tjandra tanpa terdeteksi Direktorat Imigrasi dan Kejaksaan Agung.

Terbengkalainya agenda negara, sadar atau tidak sadar, bermula dari diabaikannya Pancasila sebagai landasan hukum serta pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara yang paling penting dan utama. Meskipun sesungguhnya sangat jelas bahwa korupsi dan penyalahgunaan hukum merupakan perilaku yang melanggar Pancasila (terutama sila pertama dan kelima), keduanya tetap dipraktikkan akibat yang menjadi pertimbangan adalah ambisi serta kepentingan pribadi dan kelompok. Nilai-nilai Pancasila tidak dipedulikan sebagai norma utama dalam berbangsa dan bernegara sehingga apa yang terjadi sebenarnya adalah pelanggaran sekaligus pengkhianatan terhadap Pancasila. Hal ini merupakan pelanggaran yang paling serius dan berbahaya karena cepat atau lambat dapat menggoyahkan kelangsungan hidup bangsa dan negara kita.

Pada titik kulminasi ini menjadi makin jelas bahwa program  pembuatan peraturan perundang-undangan tentang Pancasila tidak akan menyelesaikan persoalan mendasar yang menyebabkan banyaknya terjadi pelanggaran terhadap Pancasila. Problematika pokoknya bukan terletak pada Pancasila, melainkan pada kesetiaan dan ketertundukan terhadap Pancasila di kalangan pejabat negara, anggota parlemen, pengusaha, dan aparat penegak hukum yang rendah dan kacau balau. Maka, program krusial yang harus segera dilaksanakan adalah menginternalisasikan nilai-nilai Pancasila ke dalam jiwa kalangan-kalangan tersebut melalui penegakan hukum yang konsisten dan tanpa pandang bulu.

Namun, mungkinkah hal itu dapat terwujud? Allahu a’lam bissawaab.