Tampilkan postingan dengan label Tokoh Sastra. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tokoh Sastra. Tampilkan semua postingan

Kamis, 20 September 2018

Budi Darma, Pembaharu Prosa Indonesia dengan Karya-Karya yang Absurd

Budi Darma (Sumber: jurnalfootage.net)
Oleh Akhmad Zamroni

     Budi Darma lahir di Rembang, Jawa Tengah,
pada 25 April 1937. Ia adalah anak keempat dari enam bersaudara (semuanya laki-laki). Budi Darma menghabiskan masa kecil dan remajanya di berbagai kota di Pulau Jawa seperti Semarang, Yogyakarta, Salatiga, Jombang, Kendal, dan Bandung karena mengikuti ayahnya yang bekerja berpindah-pindah sebagai pegawai kantor (jawatan) pos.
Kedua orang tua Budi Darma berasal dari Rembang. Ayahnya bernama Munandar Darmowidagdo (kelahiran tahun 1900) dan ibunya bernama Sri Kunmaryati (kelahiran tahun 1909). Budi Darma menikah dengan Sitaresmi (kelahiran 7 September 1938) pada tahun 1968. Mereka dikaruniai tiga orang putra, yakni Diana (kelahiran 15 Mei 1969), Guritno (4 Februari 1972), dan Hananto Widodo (3 Juni 1974).
Budi Darma menyelesaikan pendidikan sekolah dasar tahun 1950 di Kudus, merampungkan pendidikan menengah pertama tahun 1953 di Salatiga, serta menuntaskan pendidikan menengah atas tahun 1956 (Wikipedia menyebutnya tahun 1957) di Semarang. Setamat sekolah menengah atas, ia melanjutkan studi ke Jurusan Sastra Inggris, Fakultas Sastra dan Budaya, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Ia menyelesaikan pendidikan tingginya ini pada tahun 1963.
Setamat dari UGM, Budi Darma bekerja sebagai dosen di Jurusan Bahasa Inggris IKIP Surabaya — sekarang Universitas Negeri Surabaya (Unesa). Pekerjaan ini ia jalani sejak tahun 1963 hingga sekarang. Dalam perjalanan kariernya sebagai dosen Universitas Negeri Surabaya/IKIP Surabaya, ia pernah menjabat Ketua Jurusan Sastra Inggris (1966—1970 dan 1980—1984), Dekan Fakultas Keguruan Sastra dan Seni (1963—1966 dan 1970—1974), serta Rektor IKIP Surabaya (1984—1988). Kini Budi Darma menjadi guru besar (profesor) di Universitas Negeri Surabaya. Selain mengajar di perguruan tinggi di Surabaya ini, ia juga mengajar di sejumlah universitas luar negeri.
Budi Darma meraih gelar Master of Arts in English Creative Writing pada 1975 di Universitas Indiana, Amerika Serikat. Ia kuliah di universitas yang berbasis di Kota Bloomington, Indiana, ini dengan biaya beasiswa. Dengan beasiswa dari The Ford Foundation, ia kemudian menyelesaikan pendidikan doktornya (Doctor of Philosophy) di universitas yang sama pada tahun 1980. Setelah meraih gelar doktor, Budi Darma menjadi visiting associate research di Universitas Indiana. Pada tahun 1967, selama tiga bulan, ia mengikuti International Writing Program di Universitas Iowa, Amerika Serikat. Pada tahun 1970 —1971, ia juga mendapat beasiswa dari East West Centre untuk menempuh studi nirgelar mengenai basic humanities 'ilmu budaya dasar' di Universitas Hawaii, Honolulu, Amerika Serikat.
Penulis Prosa Absurd
Budi Darma mulai aktif dan produktif menulis sejak tahun 1968/1969. Selain dalam bahasa Indonesia, ia juga menulis dalam bahasa Inggris. Tulisan-tulisannya berupa cerpen, novel, esai, dan makalah. Selain antologi cerpen Kritikus Adinan (2002), hingga kini sejumlah buku karyanya telah terbit; antara lain, Olenka (novel, 1983), Rafilus (novel, 1998), Ny. Talis (novel, 1996), Orang-Orang Bloomington (kumpulan cerpen, 1981), Solilokui (kumpulan esai, 1983), Sejumlah Esai Sastra (kumpulan esai, 1984), Harmonium (kumpulan esai, 1995), Fofo dan Senggring (kumpulan esai, 2005), serta sebuah karya terjemahan (The Legacy  karya Intsi V. Himanyunga, 1996). Karya lainnya adalah  Modern Literature of ASEAN (Editor Kepala, 2000) dan Kumpulan Esai Sastra ASEAN (ASEAN Committee on Culture and Information). Adapun buku-buku nonsastra yang dihasilkannya, antara lain, Sejarah 10 November 1945 (Pemda Jatim, 1987) dan Culture in Surabaya (IKIP Surabaya, 1992).
Cerpen-cerpennya dimuat di majalah sastra Horison, harian Kompas (edisi Minggu), serta buku Kumpulan Cerpen Terbaik  pilihan Kompas. Esai-esainya yang menggugah juga dimuat di Horison dan Kompas. Beberapa cerita pendeknya yang ditulis dalam bahasa Inggris dimuat di berbagai media massa yang terbit di Indiana, Bloomington. Tulisan-tulisan lainnya dimuat di beberapa majalah, antara lain, Budaja (Yogyakarta), Basis (Yogyakarta), Gama (Yogyakarta), Gadjah Mada (Yogyakarta), Gema Mahasiswa (Yogyakarta), Contact (Yogyakarta), Tjerita (Jakarta), Indonesia (Jakarta), Roman (Jakarta), Forum (Jakarta), dan Gelora (Surabaya), serta surat kabar Berita Nasional (Yogyakarta), Minggu Pagi (Yogyakarta), Kontak (Surabaya), Jawa Pos (Surabaya), dan Tanah Air (Semarang).
 
Novel Olenka (Sumber: twitter.com)
Nama Budi Darma mulai melejit dan dikenal luas di dunia sastra sejak menerbitkan sejumlah cerita pendek di majalah sastra Horison pada 1970-an.
Ia memiliki reputasi sebagai sastrawan yang banyak menghasilkan cerpen dan novel absurd yang penuh gebrakan dan kejutan. Semasa tinggal di Kota Bloomington, ia menulis delapan cerita pendek yang kemudian terbit dalam buku kumpulan cerpen Orang-Orang Bloomington (1980) serta novel Olenka (1983). Cerpen “Orang-Orang Bloomington” meraih penghargaan SEA Write Award dari pemerintah Thailand (1984). Olenka yang diterbitkan oleh Balai Pustaka mendapat sambutan positif dan luas dari para kritikus, pengamat, dan penikmat sastra. Novel yang ditulis pada akhir tahun 1979 ini dianggap membawa pembaruan dalam teknik penceritaan. Berbagai penghargaan diraih Budi Darma melalui Olenka. Olenka menjadi pemenang pertama Sayembara Mengarang Roman Dewan Kesenian Jakarta (1980). Olenka juga mendapat hadiah Sastra Dewan Kesenian Jakarta (1983). Setahun kemudian (1984), Olenka pun meraih Hadiah Sastra ASEAN (SEA Write Award).
Karya-karya prosa Budi Darma (cerpen dan novel) mendapat pembahasan dalam bab tersendiri dalam buku karangan kritikus satra, A. Teeuw, Modern Indonesian Literature (Jilid 2). Cerpen Budi Darma yang dimuat Horison, “Sang Anak” oleh Satyagaraha Hoerip dimasukkan ke dalam antologi Cerita Pendek Indonesia (Jilid 3). Cerpennya yang berjudul Laki-Laki Pemanggul Goniterpilih menjadi cerpen terbaik harian Kompas untuk tahun 2012, sedangkan cerpen lainnya, Derabat, dijadikan judul buku Kumpulan Cerita Pendek Terbaik Kompas tahun 1999 serta Budi Darma dinobatkan sebagai penulis cerita pendek yang setia hingga usia senja. Dua cerita pendeknya ditransformasi dalam bentuk drama, yaitu Orez(yang dipentaskan mahasiswa ISI Yogyakarta) dan Kritikus Adinan(dipentaskan mahasiswa STSI Bandung).
Kontribusi Budi Darma bagi kemajuan sastra dianggap sangat besar. Karya-karya cerpen dan novelnya membawa perubahan baru dalam teknik bercerita dan penokohan, yang kemudian mempengaruhi banyak cerpenis dan novelis Indonesia yang muncul sesudahnya. Teknik penceritaan yang dilakukan Budi Darma kerap dianggap sebagai teknik kolase, sedangkan tokoh-tokoh yang ditampilkannya tidak jarang memiliki karakter aneh atau absurd. Bersama Iwan Simatupang, Putu Wijaya, dan Danarto, ia seringkali dikategorikan sebagai pembaharu kesusastraan modern Indonesia untuk genre prosa.
Budi Darma memiliki kecepatan yang menakjubkan dalam menulis cerpen atau novel. Ia sudah terbiasa menulis tanpa perencanaan lebih dahulu. Novel Olenka yang meraih berbagai penghargaan itu, misalnya, diselesaikannya hanya dalam waktu tiga pekan. Dalam sebuah wawancara dengan jurnal Prosa (2003), ia mengatakan, “Saya menulis tanpa saya rencanakan, dan juga tanpa draft. Andaikata menulis dapat disamakan dengan bertempur, saya hanya mengikuti mood, tanpa menggariskan strategi, tanpa pula merinci taktik. Di belakang mood, sementara itu, ada obsesi.”
Sastrawan dan Tokoh Berprestasi
Selama kuliah di Amerika Serikat, Budi Darma masuk dalam kategori mahasiswa yang berprestasi sehingga namanya diabadikan dalam  Who's Who in The World (1982/1983). Ia terdaftar sebagai anggota Modern Language Association (MLA), New York, untuk periode 1977­—1990. Namanya juga tercantum dalam buku  Ensiklopedi Pengarang Indonesia. Saat lulus pendidikan S-1 dari Fakultas Sastra dan Budaya UGM, ia meraih penghargaan Bintang Wisuda Bhakti sebagai wisudawan terbaik.
Budi Darma dinyatakan sebagai warga Surabaya berprestasi dalam bidang kesusastraan selama dua kali berturut-turut, yakni tahun 1987 dan 1988, oleh Walikota Surabaya, Purnomo Kasidi. Tahun 2004, dia mendapatkan penghargaan warga berprestasi seni oleh gubernur Jawa Timur. Pada tahun 1993, ia mendapat penghargaan Anugerah Seni Pemerintah RI.
Sebagai sastrawan, akademisi, dan intelektual, Budi Darma kerap didaulat untuk memberikan ceramah, mengajar, dan menguji calon sarjana atau doktor sastra baik di dalam maupun luar negeri. Tak jarang pula ia mendapat undangan untuk melakukan riset, khususnya tentang sastra Inggris atau Amerika. Di tengah kesibukannya, ia tercatat sebagai chief editor untuk  Modern Literature of ASEAN (2000) yang diterbitkaan oleh COCI (Committee on Cultural Information) ASEAN. Buku ini membahas perkembangan kesusastraan di beberapa negara ASEAN, yakni Indonesia, Malaysia, Thailand, Brunei Darussalam, Filipina, Singapura, dan Vietnam. Budi Darma pernah mengisi program siaran sastra dan budaya di RRI (Semarang, Yogyakarta, dan Surabaya) dan TVRI (Surabaya).
Budi Darma dan beberapa buku karyanya (Sumber: www.jawapos.com)

     Dalam kerja sama Mastera
(Majelis Sastra Asia Tenggara), Budi Darma beberapa kali menjadi pembimbing cerpenis, esais, dan novelis muda dari Brunei Darussalam, Indonesia, dan Malaysia dalam Program Penulisan Mastera (1998, 1999, 2000, 2003, 2004, 2005, 2008). Ia pernah ditunjuk sebagai pakar kesusastraan bandingan dalam keanggotaan pakar Mastera Indonesia. Pria yang dikenal ramah dan santun ini juga terlibat dalam pembimbingan berbagai lokakarya dan penataran sastra bagi pegawai Pusat Bahasa dan dosen muda dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia yang diadakan oleh Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional.
Budi Darma dikenal sebagai tokoh yang memiliki wawasan yang luas karena kegemarannya membaca dan menulis. Sastrawan kreatif ini memiliki kegemaran membaca sejak remaja. Saat duduk di bangku SMP di Salatiga, ia sudah banyak membaca buku-buku sastra Indonesia dan asing. Di perpustakaan pemerintah Salatiga ia sering mengisi waktu luangnya dengan melahap karya-karya Idrus, Merari Siregar, Suman Hs., dan sebagainya. Dengan kemampuan bahasa Inggris yang masih pas-pasan, ia juga membaca karya-karya Karl May, Hector Malot, Alexander Dumas, dan sebagainya. Kisah dalam salah satu cerpen Rusia (berbahasa Inggris) yang berjudul “The Darling” sedikit banyak juga memiliki hubungan dengan tokoh Olenka dalam novel Olenka.
Kegemaran membaca Budi Darma diperkirakan ditularkan oleh ibunya, yang memiliki tradisi membaca yang baik untuk ukuran zamannya. Literatur yang banyak dibaca ibunya adalah cerita wayang dan mitologi Jawa. Di samping itu, ketika kuliah di UGM, Budi Darma tinggal di rumah pamannya yang menjadi dosen dan ahli hukum, yakni Prof. Mr. Notosusanto (ayah Nugroho Notosusanto sastrawan, sejarawan, dan mantan menteri pendidikan dan kebudayaan). Diskusi ilmiah yang sering dilakukan dengan pamannya turut membuka dan memperluas cakrawala keilmuan Budi Darma.

Kamis, 02 Agustus 2018

Leo Tolstoy, Sastrawan Besar yang Berdarah Bangsawan

Leo Tolstoy (Sumber: media1.britannica.com)

Pria yang nama lahirnya Pangeran Lev Nikolayevich Tolstoy ini biasa disebut sebagai Leo Tolstoy. Tolstoy lahir di Yasnaya Polyana, Kekaisaran Rusia, pada 9 September 1828 dan wafat di Astapovo pada 20 November 1910. Tolstoy adalah anak keempat dari lima bersaudara.
Orang tua Tolstoy meninggal ketika ia masih kecil sehingga ia dibesarkan oleh sanak keluarganya. Tolstoy belajar hukum dan bahasa oriental di Universitas Kazan. Kelihatannya ia tidak begitu kerasan dengan dunia akademik sehingga ia meninggalkan bangku kuliah sebelum tamat. Para dosennya mendeskripsikan dirinya sebagai “tidak mampu dan tidak mau belajar.”
Tolstoy sebenarnya berasal dari keluarga bangsawan Rusia yang kaya raya. Namun, ironis, Tolstoy merasa bahwa dirinya tidak berhak untuk mendapatkan harta warisan. Ia terkenal di kalangan para petani karena kedermawanannya. Ia juga sering memberikan bantuan kepada para gelandangan dan pengemis.
Pada tahun 1862 Tolstoy menikah dengan Sofia Andreevna Bers. Pernikahan Tolstoy dengan perempuan yang usianya 16 tahun lebih muda ini menghasilkan 13 orang anak. Ia menghabiskan banyak waktunya di Moskwa dan St. Petersburg. Setelah terjerat utang besar karena judi, Tolstoy menemani kakaknya ke Kaukasus dan kemudian memasuki dinas ketentaraan Rusia. Pada masa-masa inilah ia mulai menulis sastra.
Tolstoy menjadi besar, dihormati, disegani, dikagumi, dan diidolakan oleh banyak kalangan karena karya-karya sastranya. Ia menulis esai, cerita pendek, naskah drama, dan novel. Bersama dengan Fyodor Dostoyevsky, Leo Tolstoy dianggap sebagai sastrawan terbesar Rusia hingga saat ini. Wikipedia menyebutnya sebagai sastrawan, pembaharu sosial, pasivis, anarkis Kristen, dan vegetarian.
Nama Tolstoy mencuat di blantika sastra Rusia dan dunia terutama karena dua novel masterpiece-nya, yakni Perang dan Damai (1865-1869) dan Anna Karenina (1875-1877). Kedua buku ini dinilai Wikipedia bertengger di puncak fiksi realistik dari cakupan, luas, dan gambarannya yang realistik perihal kehidupan Rusia. Karya-karya lain Tolstoy, di antaranya, Serangan (1852), Masa Kecil (1854), Cerita-Cerita Sevastopol (1855–1856), Kebahagiaan Keluarga (1859), Orang-Orang Kosak (1863), Tawanan di Kaukasus (1872), Romo Sergius (1873), Kematian Ivan Ilyich (1886), Kuasa Kegelapan (1886), Buah-Buah Kebudayaan (1889), Sonata Kreutzer (1889), Kerajaan Allah Ada di Dalam Dirimu (1894), Surat kepada Kaum Liberal (1898), Mayat Hidup (1911), dan Hadji Murad (1912).
Oleh karena keunggulan dan kehebatan karya-karyanya (terutama novel-novelnya), Tolstoy dikagumi dan dihormati oleh sesama sastrawan sezamannya. Sesama sastrawan Rusia, Dostoyevsky, menganggap Tolstoy sebagai novelis terbesar di antara semua novelis yang hidup pada zaman itu. Satrawan Rusia yang lain, Anton Chekhov, memuji Tolstoy dengan mengatakan, “....  bahkan jika kita sendiri tidak mencapai hasil apa-apa, hal itu tidak menjadi masalah karena Tolstoy yang berprestasi untuk kita semua.” Virginia Woolf menganggap Tolstoy sebagai yang terbesar di antara semua novelis. Sastrawan Prancis, Gustave Flaubert, menilai Tolstoy sebagai seniman dan psikolog yang hebat.  Adapun Thomas Mann, William Faulkner, dan Marcel Proust memiliki perasaan yang relatif sama bahwa karya-karya Tolstoy begitu mirip dengan alam.
Tolstoy memiliki pengalaman unik tersendiri terkait dengan Dostoyevsky. Tolstoy dan Dostoyevsky, baik oleh publik Rusia maupun peminat dan kritikus sastra dunia, sama-sama dianggap sebagai sastrawan terbesar Rusia dan mereka berdua juga hidup dalam masa atau zaman yang sama, tetapi mereka tidak pernah berjumpa dan bertatap muka secara langsung. Keduanya saling memuji dan karya-karyanya keduanya saling mempengaruhi satu sama lain. Tolstoy konon menangis pada saat mendengar berita kematian Dostoyevsky.
Tolstoy tidak hanya menanamkan pengaruh besar dan luas di dunia sastra, melainkan juga di kalangan aktivis kemanusiaan. Melalui karyanya, Kerajaan Allah Ada di dalam Dirimu, Tolstoy mengungkapkan ide-ide cemerlangnya mengenai perlawanan tanpa kekerasan. Gagasan Tolstoy ini kemudian diketahui memengaruhi tokoh-tokoh kemanusiaan terkemuka abad ke-20, seperti Mahatma Gandhi dan Martin Luther King, Jr.
Berikut beberapa fakta unik lain di sekitar kehidupan Leo Tolstoy.
·         Pernikahannya yang terakhir digambarkan A.N. Wilson sebagai salah satu pernikahan yang paling tidak bahagia dalam sejarah sastra.
·        Perang dan Damai (War and Peace) secara umum dianggap sebagai salah satu novel besar dan fenomenal yang pernah ditulis. Cakupan ceritanya demikian luas, tetapi terjaga keutuhannya. Di dalamnya ada 580 tokoh, banyak di antaranya historis, dan yang lainnya fiktif.
·         Perang dan Damai memang dinilai publik dan kritikus sebagai novel besar dan fenomenal, tetapi Tolstoy sendiri justru tidak menganggap Perang dan Damai sebagai sebuah novel.
·         Selain sebagai sastrawan, Tolstoy juga menjadi anggota resimen artileri yang berpangkat letnan dua selama Perang Krim.
·        Tolstoy meninggal tahun 1910 pada umur 82 tahun akibat radang paru-paru. Hal ini terjadi setelah ia meninggalkan rumahnya di tengah musim dingin yang menusuk tulang.
·        Berawal dari surat yang ditulis dan dikirimnya kepada sebuah surat kabar India (surat itu diberi judul “Surat kepada Seorang Hindu”), Tolstoy terlibat korespondensi panjang dengan Mahatma Gandhi. Ide-ide Tolstoy melalui korespondensi ini sangat memengaruhi Gandhi dalam mengembangkan konsep perlawanan tanpa kekerasan.
·        Sebagian novelnya, seperti Kematian Ivan Ilyich (1886) dan Jadi Apa yang Harus Kita Lakukan mengembangkan filsafat Kristen anarko-pasifis yang membuat ia dikucilkan dari Gereja Ortodoks pada tahun 1901.
Berikut beberapa kata bijak yang disampaikan Leo Tolstoy melalui beberapa tulisannya.
·         Jika Anda tidak mengajari diri sendiri untuk mencari setiap kesempatan melakukan kebaikan, maka setidaknya jangan sampai melepaskan kesempatan itu jika Anda melihatnya.
·        Jika anda mencari kesempurnaan, Anda tidak akan pernah tenang.
·        Seni bukan hasil kerajinan, melainkan transmisi perasaan seniman yang telah mengalaminya.
·        Dua pejuang yang paling berkuasa adalah kesabaran dan waktu.
·        Di mana ada cinta di situlah Tuhan berada.
·        Semua orang berpikir untuk mengubah dunia, tetapi tidak ada seorang pun yang berpikir untuk mengubah dirinya sendiri.
·        Makin sedikit yang kita butuhkan, makin sedikit kesulitan-kesulitan yang kita hadapi.
·        Sejarawan seperti orang tuli yang terus menjawab pertanyaan yang tak seorang pun menanyakannya.

(Sumber: Maestronesia, Akhmad Zamroni, http://belajarpadamaestro.blogspot.com/2017/11/leo-tolstoy-18281910.html, 17 November 2017)