Oleh Akhmad Zamroni
|
Sumber: Desain Zamroni |
Subversi, makar, dan kudeta
memiliki persamaan. Baik subversi, makar, maupun kudeta merupakan usaha,
aktivitas, atau gerakan
yang dilakukan dengan tujuan menjatuhkan atau menggulingkan pemerintahan yang
sah. Adapun cara-cara yang digunakan untuk menjalankan usaha, aktivitas, atau
gerakan (untuk menjatuhkan/menggulingkan pemerintahan) tersebut bertentangan
dengan ketentuan-ketentuan yang sudah ditetapkan dalam konstitusi dan peraturan
perundang-undangan. Cara-cara tersebut, misalnya saja, penghasutan, fitnah,
sabotase, pembajakan, serangan fisik, dan pembunuhan.
Sementara itu, dari
segi pengertian, subversi, makar, dan kudeta memiliki sedikit perbedaan. Untuk
mengetahui perbedaan itu, perhatikan pengertian subversi, makar, dan kudeta
berikut.
·
Subversi adalah gerakan dalam usaha atau rencana untuk
menjatuhkan kekuasaan (pemerintahan) yang sah dengan menggunakan cara-cara di
luar ketentuan undang-undang.
·
Makar adalah perbuatan atau usaha yang dilakukan dengan
tujuan menjatuhkan pemerintahan yang sah.
·
Kudeta adalah usaha untuk melakukan perebutan kekuasaan
(pemerintahan) secara paksa dan dengan cara yang tidak sah (bertentangan dengan
ketentuan perundang-undangan).
Subversi, makar, atau kudeta lazim dilakukan
oleh orang-orang dari dalam negeri sendiri. Pelakunya umumnya adalah saudara
sebangsa dan setanah air kita sendiri. Mereka melakukan usaha atau gerakan
subversi, makar, atau kudeta dengan motivasi dan latar belakang yang
bermacam-macam. Ada yang hendak memaksakan ideologi yang dianutnya untuk
menjadi ideologi negara. Ada yang hendak mengganti rezim penguasa lama dengan
rezim baru yang dianggap dapat membawa perubahan baru yang positif. Ada pula
yang semata-mata melampiaskan nasfu kekuasaan dengan ingin menjadi penguasa
baru dengan tujuan mendapatkan keuntungan politik dan ekonomi.
Tidak tertutup kemungkinan bahwa subversi,
makar, dan kudeta dilakukan dengan bantuan atau dukungan dari luar negeri.
Artinya, subversi, makar, dan kudeta bisa tidak sepenuhnya murni sebagai
gerakan yang muncul dari dalam negeri, melainkan mendapat dorongan atau bantuan
dalam berbagai bentuk dari luar negeri (negara-negara tertentu). Berdasarkan
pengalaman, hal ini sudah seringkali terjadi di berbagai negara, termasuk di
Indonesia. Beberapa negara kuat kerap memberikan dukungan terhadap gerakan
subversi, makar, dan kudeta di berbagai negara. Hal ini biasanya mereka lakukan
untuk melindungi kepentingan politik dan ekonomi, memperluas persebaran
ideologi, atau melanggengkan hegemoni yang mereka miliki di dunia
internasional.
Sebagai gerakan atau usaha, subversi,
makar, dan kudeta jelas merupakan ancaman, gangguan, dan bahaya bagi sistem
pertahanan dan keamanan negara sehingga tidak bisa dibiarkan berlangsung leluasa.
Subversi, makar, dan kudeta harus dicegah dan ditanggulangi. Menjaga sikap
waspada dan siap siaga merupakan salah satu bentuk pencegahan yang perlu
diambil. Adapun tindakan tegas melalui operasi penumpasan serta pengadilan dan
penjatuhan vonis yang setimpal bagi para pelakunya merupakan langkah
penanggulangan dan penyelesaian yang harus ditempuh.
Sejak diproklamasikannya kemerdekaan pada
tahun 1945, Indonesia beberapa kali dilanda gerakan subversi, makar, dan
kudeta. Beberapa di antaranya menimbulkan kerugian material dan korban jiwa
yang tidak sedikit pada aparat pertahanan dan keamanan negara, masyarakat, dan
para pelaku. Akan tetapi, berkat kesigapan aparat dan masyarakat yang melakukan
operasi penumpasan dan penyadaran persuasif, semua gerakan tersebut akhirnya
dapat diatasi. Berikut ini dipaparkan beberapa gerakan subversi,
makar, dan kudeta yang pernah terjadi di Indonesia.
1. Pemberontakan PKI Madiun
Salah satu partai politik yang lahir setelah
Indonesia merdeka adalah Partai Komunis Indonesia (PKI). Partai ini dikenal
radikal serta secara ideologis sebenarnya sangat bertentangan dengan dasar
negara (Pancasila) dan konstitusi negara (UUD 1945). Para pemimpin dan pengikut
partai ini menganut komunisme sebagai paham dan prinsip gerakan.
|
Sumber: duniapendidikanmenengah. blogspot.com |
Pemberontakan yang dilakukan PKI di Madiun,
Jawa Timur, bermula dari bergabungnya dua gembong komunis, yakni Musso dan Amir
Syarifuddin, dalam Partai Komunis Indonesia. Mereka, bersama para pengikutnya,
berusaha menjadikan Indonesia sebagai negara komunis. Untuk mewujudkan niatnya,
mereka berupaya merongrong pemerintahan dengan demonstrasi, menggalang
pemogokan buruh, melakukan propaganda antipemerintah, dan teror. Puncaknya,
pada tanggal 18 September 1948, mereka merebut Kota Madiun dan memproklamasikan
berdirinya negara Soviet Republik Indonesia.
Sebelum sempat berkembang lebih jauh dan
luas, gerakan makar PKI tersebut dapat dibasmi. Pemerintah bersama tentara,
polisi, dan rakyat segera mengambil tindakan cepat. Dalam sebuah perburuan,
Musso dapat ditembak mati, sementara Amir Syarifuddin dapat ditangkap dan
dijatuhi hukuman mati.
2. Gerakan
DI/TII
Gerakan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam
Indonesia) dapat dikatakan berlangsung dalam skala yang cukup besar dan serius
karena terjadi di beberapa daerah serta melibatkan sebagian kesatuan di tubuh TNI. Pada awalnya, gerakan DI/TII
terjadi di Jawa Barat, tetapi kemudian merambat dan
meluas ke beberapa daerah lain, yakni Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Aceh, dan Kalimantan Selatan. Di
setiap daerah atau provinsi tersebut, gerakan DI/TII memiliki pengikut dan
pemimpin sendiri.
Munculnya gerakan DI/TII bermula dari
terbentuknya organisasi Darul Islam. Organisasi yang berbasis di Jawa Barat ini menginginkan Indonesia
menjadi negara Islam (Negara Islam Indonesia). Darul Islam memiliki pasukan
atau tentara yang mereka namakan Tentara Islam Indonesia sehingga gerakan
mereka kemudian dikenal dengan nama DI/TII.
|
Sumber: gamapenta.blogspot.com |
Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo adalah
tokoh utama gerakan DI/TII. Dia yang mendirikan sekaligus memimpin gerakan
DI/TII. Pada tanggal 7 Agustus 1949, bersama para pengikutnya, Kartosoewirjo
memproklamasikan berdirinya Darul Islam atau Negara Islam Indonesia (NII) di
Desa Cisampah, Ciawiligar, Tasikmalaya, Jawa Barat. Gerakan ini bertujuan
menjadikan Republik Indonesia –– yang baru saja empat tahun diproklamasikan
kemerdekaannya –– sebagai negara agama (teokrasi) dengan agama Islam sebagai
dasar negara. Dalam proklamasinya disebutkan bahwa “Hukum yang berlaku dalam
Negara Islam Indonesia adalah Hukum Islam”.
Gerakan yang serupa kemudian muncul di Jawa
Tengah. Di Tegal dan Brebes, Amir Fatah mendirikan organisasi dan gerakan
Majelis Islam, adapun di Kebumen, Mahfudh Abdul Rakhman mendirikan Angkatan
Umat Islam (AUI). Kedua gerakan ini menyatakan diri bergabung dengan gerakan
DI/TII Kartosoewirjo di Jawa Barat.
Gerakan DI/TII juga mendapat dukungan dari
Sulawesi Selatan. Tokoh penggeraknya ialah Kahar Muzakar. Pada tanggal 17
Agustus 1951, ia bersama pasukan bersenjata lengkap masuk hutan, kemudian pada
bulan Januari 1952 mengklaim Sulawesi Selatan sebagai bagian dari NII
Kartosoewirjo.
Di Aceh, DI/TII mendapat dukungan dari
tokoh yang cukup berpengaruh di tengah masyarakat Aceh, yakni Daud Beureueh. Sebagai
bentuk dukungan terhadap NII Kartosoewirjo, pada bulan September 1953 Daud Beureueh
menyatakan berdirinya Negara Islam Indonesia untuk Aceh. Enam tahun setelah itu, pada
bulan Oktober 1959, gerakan DI/TII merebak di Kalimantan Selatan di bawah
pimpinan Ibnu Hajar. Ia menggelorakan DI/TII dengan membentuk satuan pasukan
yang disebut Kesatuan Rakyat Yang Tetindas.
Kendatipun dalam waktu yang cukup lama,
semua gerakan DI/TII akhirnya dapat dipadamkan melalui berbagai operasi TNI bersama rakyat. Pada tanggal 4
Juni 1962, Kartosoewirjo dan para pengikutnya dapat dilumpuhkan di Majalaya ––
Kartosoewirjo kemudian dijatuhi hukuman mati. Di Sulawesi Selatan, Kahar
Muzakar juga dapat ditembak mati. Adapun di Aceh, melalui upaya persuasi, Daud
Beureueh akhirnya dapat disadarkan untuk kembali bergabung dengan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
3. Pemberontakan APRA
Selain gerakan DI/TII, di Jawa Barat juga muncul pemberontakan APRA
(Angkatan Perang Ratu Adil). Pemberontakan APRA dipimpin oleh Kapten Roymond
Westerling, seorang tentara Belanda bengis yang pernah melakukan
pembantaian terhadap puluhan ribu rakyat Sulawesi. Para pemberontak APRA
terdiri atas bekas tentara KNIL (Belanda), pelarian pasukan payung,
dan bekas polisi Belanda.
Dalam melancarkan
aksi makarnya, Westerling menggalang kerja sama dengan Sultan Hamid II. Mereka
merencanakan untuk menawan dan membunuh para menteri RIS (Republik Indonesia
Serikat). Akan tetapi, usaha ini dapat digagalkan. Para pemberontak APRA dapat
diringkus dan diadili, termasuk Sultan Hamid II. Namun,
gembong pemberontak, yakni Roymond Westerling, sebelum sempat ditangkap dan dihukum,
telah melarikan diri ke negeri asalnya, Belanda.
4. Pemberontakan Andi Azis
Pemberontakan Andi Azis terjadi pada tanggal 5
April 1950. Seperti namanya, pemberontakan ini dipimpin oleh Anda Azis.
Pemberontakan ini, antara lain, bertujuan mempertahankan keberadaan Negara Indonesia Timur (NIT),
menuntut agar hanya pasukan APRIS bekas anggota KNIL yang
bertanggung jawab atas masalah keamanan di wilayah Negara Indonesia Timur, serta
menentang dan memblokade masuknya tentara APRIS dari TNI yang dikirim dari Jawa.
Pemberontakan Andi Azis tidak berlangsung lama.
Berkat kesigapan pemerintah, dalam waktu kurang dari sebulan pemberontakan ini
dapat dipadamkan. Pada bulan April itu juga sang pemimpin makar, yakni Andi Azis, menyerahkan diri.
Setelah mendekam dalam tahanan selama sekitar 3 tahun, pada tahun 1953 Andi Azis divonis dengan hukuman
penjara selama 15 tahun.
5. Pemberontakan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia)
PRRI diproklamasikan pada tanggal 15
Februari 1958. Pemberontakan PRRI kemudian menyebar
hampir serentak di beberapa daerah. Tokoh-tokohnya, antara lain, Letkol Ahmad
Husein, Burhanuddin Harahap, Syafruddin
Prawiranegara, Dahlan Djambek, dan Kol. M. Simbolon. Sebagian besar pemberontakan
PRRI terjadi di Pulau Sumatra. Pemberontakan ini pecah di Sumatra Barat, Sumatra Utara, Sumatra Selatan, dan Sulawesi Utara.
Pemberontakan PRRI digerakkan oleh
para perwira tentara di Sumatra serta melibatkan orang-orang sipil dan militer.
Pemberontakan diawali dengan manuver pembentukan dewan-dewan. Di Sumatra Barat dibentuk Dewan Banteng, di Sumatra Utara dibentuk Dewan Gajah, di Sumatra Selatan dibentuk Dewan Garuda, dan di Sulawesi Utara dibentuk Dewan Manguni.
|
Sumber: soeloehmelajoe.wordpress.com |
Pembentukan dewan rupanya dijadikan para
tokoh PRRI sebagai sarana untuk melakukan makar dan kudeta. Melalui dewan-dewan
yang dibentuk, PRRI berusaha melakukan perebutan kekuasaan terhadap pemerintah
daerah setempat masing-masing. Namun, upaya tersebut gagal dan gerakan makar
tidak mampu bertahan lama.
Melalui berbagai
operasi gabungan yang dilancarkan pemerintah, pemberontakan PRRI dapat dipadamkan
dalam waktu yang relatif singkat. Satu per satu para tokoh dan pemimpin PRRI
dapat ditaklukkan. Dimulai dari penyerahan diri Kolonel Achmad Husein bersama
pasukannya pada 29 Mei 1961, tokoh-tokoh lain PRRI kemudian juga menyatakan
menyerah dan kembali bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
6. Pemberontakan Permesta (Perjuangan Rakyat Semesta)
Pemberontakan Permesta masih memiliki kaitan
dengan Pemberontakan PRRI. Pemberontakan Permesta terjadi di wilayah
Indonesia bagian timur, tepatnya di Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah. Seperti sudah
disinggung di muka, pada pemberontakan PRRI, di Sulawesi Utara dibentuk Dewan Manguni. Pembentukan dewan ini
rupanya memberi inspirasi dan motivasi para tokoh sipil dan militer lokal (di Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah) untuk melakukan
gerakan serupa.
Seperti halnya PRRI, pemberontakan Permesta
juga muncul akibat provokasi para perwira tentara. Pemberontakan dipelopori dan
dipimpin oleh Panglima TT VII Indonesia Timur, Letkol H.N. Ventje Sumual. Manuver diawali
pertemuan yang disusul dengan deklarasi pernyataan Piagam Perjuangan Semesta
pada tanggal 1 Maret 1957. Pertemuan dan deklarasi dipelopori oleh Ventje Sumual.
Sekitar setahun kemudian, yakni tanggal 17 Februari 1958, Komandan Daerah
Militer Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah, Letkol D.J. Somba, menyatakan putus
hubungan dengan pemerintah pusat serta turut bergabung dengan Ventje Sumual dan
kawan-kawan.
|
Sumber: satulabsky.blogspot.com |
Untuk memperoleh
dukungan yang lebih luas, para tokoh Permesta berusaha melakukan
provokasi dan propaganda. Rakyat dan kesatuan-kesatuan tentara dihasut untuk
melakukan pemberontakan terhadap pemerintah serta dibujuk untuk bergabung
dengan Permesta. Walaupun sempat
mendapatkan dukungan dari aparat dan rakyat, pemberontakan Permesta tidak dapat berkembang
lebih luas. Hanya dengan sebuah operasi, pemerintah berhasil melumpuhkan
pemberontakan Permesta. Pada pertengahan tahun 1961, pemberontakan ini sudah
dapat sepenuhnya dipadamkan.