Tampilkan postingan dengan label Tokoh Hak Asasi Manusia. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tokoh Hak Asasi Manusia. Tampilkan semua postingan

Kamis, 17 Januari 2019

Yap Thiam Hien, Pejuang Hak Asasi Manusia yang Tak Kenal Kompromi



    Yap Thiam Hien lahir di Kutaraja, Banda Aceh, pada tanggal 25 Mei 1913. Ia adalah anak pertama dari tiga bersaudara hasil pernikahan pasangan Yap Sin Eng dan Hwan Tjing Nio. Kakek buyut Yap Thiam Hien berasal dari Provinsi Guangdong, Cina, yang bermigrasi ke Bangka dan kemudian pindah ke Aceh.
    Yap Thiam Hien mengawali pendidikannya di Europesche Lagere School, Banda Aceh, kemudian meneruskan ke MULO, Banda Aceh. Bersama adiknya, Thiam Bong, Thiam Hien diboyong orang tuanya ke Batavia (Jakarta) pada tahun 1920-an. Pendidikannya yang belum tamat di MULO Banda Aceh kemudian dilanjutkan di MULO Batavia. Setamat MULO, ia meneruskan ke AMS Bandung dan Yogyakarta, mengambil jurusan A-II program bahasa dan sastra Barat (tamat tahun 1933). Pada awal tahun 1946, ia merantau ke Belanda dengan menjadi pekerja pada sebuah kapal pemulangan orang-orang Belanda. Kesempatan ini kemudian ia manfaatkan untuk meneruskan studi ke Fakultas Hukum Universitas Leiden, Belanda –– lulus dengan gelar Meester de Rechten (Mr.).
    Thiam Hien mencari nafkah dengan berganti-ganti pekerjaan. Ia berturut-turut menjadi guru di Chineesche Kweekschool, Jakarta; Chinese Zendingschool, Cirebon; Tionghwa Hwee Kwan Holl, China School, Rembang; dan Christelijke School, Batavia. Ia juga pernah bekerja sebagai pencari pelanggan telepon, bekerja pada kantor asuransi di Jakarta (1938), dan menjadi pegawai Balai Harta Peninggalan Departemen Kehakiman (1943). Setelah pada tahun 1950 menjadi pengacara, lima tahun kemudian (1955), Thiam Hien menjadi anggota DPR dan Konstituante.
·        Dari Feodal Menjadi Anti Penindasan
    Sejak kecil, Thiam Hien sudah menjadi anak yatim. Ibunya, Hwang Tjing Nio, meninggal dunia saat Thiam Hien berusia sembilan tahun. Thiam Hien bersama dua adiknya kemudian diasuh oleh Sato Nakashima, perempuan Jepang yang menjadi gundik  kakek Thiam Hien. Kendatipun Thiam Hien bersaudara bukan anak kandungnya, Sato memberikan sentuhan kemesraan dan kasih sayang yang diperlukan ketiga anak itu –– suatu hal yang seringkali terabaikan dalam keluarga Tionghoa ketika itu.
    Sebelum diasuh Sato, Thiam Hien bersaudara hidup dalam lingkungan keluarga yang sangat feodalistik. Namun, lingkungan feodalistik masa kolonial yang lazim represif dan sarat kesewenang-wenangan tidak membuat Thiam Hien larut menjadi pribadi feodal yang suka menindas. Di tengah situasi dan kondisi kehidupan yang feodalistik, Thiam Hien kecil yang masih dalam masa pertumbuhan justru menjadi seorang pemberontak dan pembenci penindasan dan kesewenangan-wenangan.
    Sentuhan kasih sayang Sato Nakashima yang berperan sebagai ibu di sisi lain kiranya turut membentuk Thiam Hien menjadi pribadi yang sensitif dalam soal kasih sayang dan penindasan. Dalam dua hal ini, Thiam Hien rupanya tumbuh menjadi pribadi yang dikotomis: di sisi satu menjadi pendamba kasih sayang dan di sisi lain menjadi pembenci penindasan. Itulah sebabnya, setelah dewasa ia menjelma menjadi figur yang terobsesi oleh keinginan untuk membela orang-orang yang hidupnya tertindas dan teraniaya.
·        Mengabdi untuk Keadilan dan Hak Asasi Manusia
    Berbagai pekerjaan atau profesi telah dijalani Thiam Hien semasa hidupnya. Sosoknya sebagai seorang pejuang keadilan dan hak asasi manusia mulai menonjol setelah peraih gelar doktor honoris causa bidang hukum ini menjadi pengacara. Selama menjadi pengacara, Thiam Hien dikenal gigih melakukan pembelaan terhadap orang-orang yang dalam pandangannya menjadi korban ketidakadilan dan kesewenang-wenangan.
    Thiam Hien mengawali profesi pengacaranya pada sekitar tahun 1948–1949. Sebagai pengacara pemula, awalnya ia berkiprah dengan menjadi pengacara orang-orang keturunan Tionghoa di Jakarta. Namun, sejalan dengan makin banyaknya terjadi ketidakadilan dan kesewenang-wenangan, ia mengembangkan perjuangannya dengan cakupan yang jauh lebih luas dan kompleks dari sekadar membela orang-orang keturunan Tionghoa.
    Pada tahun 1950, ia membuka kantor pengacara bersama John Karwin, Mochtar Kusumaatmadja, dan Komar untuk meneruskan perjuangannya membela para korban ketidakadilan dan kesewenang-wenangan. Untuk makin memperkuat upaya penegakan keadilan dan hak asasi manusia, bersama beberapa tokoh penting lain –– seperti H.J.C. Princen dan Adnan Buyung Nasution –– ia mendirikan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (LBHI) serta turut mempelopori pendirian Peradin (Persatuan Advokat Indonesia). Sebagai advokat pejuang, pada tahun 1970 ia mendirikan kantor pengacara sendiri. Ia juga memperluas perjuangannya dengan menjadi anggota DPR dan Konstituante setelah pemilu 1955. 
    Hampir seluruh atau sebagian besar waktu hidup Thiam Hien selama menjadi advokat (pengacara), dihabiskannya untuk berjuang di jalur penegakan dan pembelaan hak asasi manusia. Ia tidak saja dikenal sebagai pemberani yang gigih, melainkan juga tanpa kompromi dalam membela kaum miskin dan minoritas yang terpinggirkan. Sungguhpun pada awalnya lebih condong pada pembelaan kalangan tertentu –– khususnya warga keturunan Tionghoa –– ia kemudian juga konsisten dan tidak pandang bulu dalam berjuang menegakkan keadilan dan hak asasi manusia.
    Thiam Hien adalah seorang keturunan Tionghoa dan pemeluk Kristen, tetapi sebagai pengacara ia melakukan pembelaan terhadap para korban ketidakadilan dan kesewenang-wenangan dari luar etnik dan agamanya. Ia tidak memilih dan membeda-bedakan kliennya. Dengan motonya yang terkenal “Biarpun langit runtuh, keadilan harus tetap ditegakkan” (Fiat justitia, ruat caelum), ia melakukan pembelaan terhadap semua korban penindasan yang membutuhkan uluran tangannya.
    Para pedagang Pasar Senen, Jakarta, yang berasal dari berbagai suku dan agama serta menjadi korban penggusuran, pernah ia bela dengan gigih di pengadilan. Pada masa Orde Lama, ia menulis artikel persuasif yang isinya meminta pembebasan beberapa tokoh tahanan politik korban kediktatoran Presiden Soekarno, seperti Mohammad Natsir, Mohammad Roem, Sutan Syahrir, Mochtar Lubis, H.J.C. Princen, dan Soebadio. Sebagai pemeluk Kristen taat yang antikomunis, Thiam Hien membela para tersangka pelaku G-30-S, seperti Latief, Asep Suryawan, dan Oei Tjoe Tat. Pada peristiwa Malari (Malapetaka Lima Belas Januari) tahun 1974, ia gigih membela para mahasiswa hingga ia sendiri kemudian ditangkap dan ditahan. Masyarakat muslim Tanjungpriok, Jakarta, yang menjadi korban penembakan massal militer rezim Orde Baru tahun 1984 juga pernah ia bela.
    Adapun melalui jalur politik, Thiam Hien juga berjuang keras mewujudkan persamaan hak warga negara tanpa memandang asal-usul. Sebagai politisi, namanya mencuat dalam perdebatan konstitusi tahun 1959. Dalam kapasitas sebagai anggota Konstituante, dengan vokal ia mempersoalkan Pasal 6 UUD 1945 yang dalam pandangannya bersifat diskriminatif. Ia juga mempermasalahkan kedudukan presiden yang dianggapnya terlalu kuat.
·        Diabadikan untuk Nama Penghargaan Hak Asasi Manusia
    Yap Thiam Hien beristrikan Tan Gian Khing Nio. Pernikahan mereka membuahkan dua orang anak. Istrinya yang bekerja sebagai guru mendukung penuh usaha dan perjuangan Thiam Hien menegakkan keadilan dan hak asasi manusia.
    Thiam Hien mampu memanfaatkan dengan baik dukungan istrinya itu. Setelah Thiam Hien meninggal dunia pada tanggal 25 April 1989, namanya melekat dalam ingatan banyak orang sebagai seorang pengabdi hukum sekaligus pejuang keadilan dan hak asasi manusia. Bagi kalangan hukum khususnya dan masyarakat umumnya, ia dianggap sebagai tokoh yang perilaku dan perjuangannya menjadi sumber teladan dan inspirasi.
    Thiam Hien dianggap berjasa dalam upaya menghapuskan diskriminasi, ketidakadilan, dan penindasan. Bersama beberapa tokoh lain, pengabdian dan perjuangannya dinilai banyak kalangan sebagai tonggak dan rintisan penting bagi upaya penegakan hukum, keadilan, dan hak asasi manusia. Untuk menghormati dan mengenang jasa-jasa perjuangannya yang konsisten itu, nama Yap Thiam Hien diabadikan oleh Pusat Studi Hak Asasi Manusia Indonesia menjadi nama penghargaan untuk perjuangan menegakkan hak asasi manusia di Indonesia (Yap Thiam Hien Award).


Minggu, 29 Oktober 2017

Haji Johannes Cornelis Princen, Mantan Desertir yang Menjadi Pejuang HAM

Oleh Akhmad Zamroni

Sumber: arsipindonesia.com, upload.wikipedia.org, yapthiamhien.org
Tidak semua orang Belanda senang dan bangga dengan penjajahan bangsanya terhadap Indonesia, melainkan sebagian justru antipati sehingga kemudian berpihak kepada Indonesia dan turut berjuang melawan Belanda demi kemerdekaan Indonesia. Oleh karena itu, kolonialisme Belanda di Indonesia, selain melahirkan pejuang dan pahlawan pribumi asli dari Indonesia, juga memunculkan pejuang dan pahlawan dari pihak Belanda. Mereka adalah orang-orang asli Belanda, tetapi dianggap sebagai pahlawan Indonesia karena menyeberang dan berjuang untuk kemerdekaan Indonesia walaupun harus melawan bangsanya sendiri. 
Oleh Belanda, mereka tentu saja dianggap sebagai pengkhianat bangsa dan negara, tetapi oleh bangsa Indonesia, mereka dinobatkan sebagai pahlawan karena telah berpihak dan berjuang untuk Indonesia dalam melawan imperialisme Belanda yang sangat lama dan kejam. Mereka kemudian menjadi warga negara Indonesia serta menghabiskan sisa-sisa masa hidupnya di Indonesia. Mereka rela dianggap sebagai pengkhianat bangsanya (Belanda) demi bersimpati dan membela nilai-nilai kemanusiaan bangsa Indonesia yang diinjak-injak Belanda melalui imperialismenya.
Salah satu dari orang-orang Belanda itu adalah Cornelis Princen, seorang anggota tentara Kerajaan Hindia Belanda. Princen adalah orang Belanda tulen yang menjadi anggota militer Belanda dengan setengah terpaksa dan kurang menyukai perang. Kebrutalan perang seringkali membuatnya tidak nyaman dan kekejaman tentara Belanda terhadap rakyat Indonesia membuatnya tak tahan untuk lari dari barisan pasukan Belanda untuk memihak dan berjuang bagi Indonesia.

Sumber: 1.bp.blogspot.com

Pria bernama lengkap Haji Johannes Cornelis Princen ini lahir di Den Haag, Belanda, pada 21 November 1925 dan wafat tanggal 22 Februari 2002 akibat stroke. Princen dimakamkan di Pondok Kelapa, Jakarta Timur. Saat wafat, Princen meninggalkan seorang istri dan empat orang putra.
Poncke, demikian panggilan akrabnya, menghabiskan masa kecil dan remajanya di Belanda di tengah suasana Perang Dunia II. Setamat sekolah dasar, ia melanjutkan studi ke sekolah menengah seminari (1939–1943). Poncke menjadi tawanan Nazi (Jerman) ketika Belanda diduduki pasukan pimpinan Hitler itu. Ia sempat disekap di camp  konsentrasi Nazi dan dijatuhi hukuman mati, tetapi luput dari eksekusi.
Setelah bebas dari sekapan Nazi, pada penghujung tahun 1944 Poncke justru ditahan pemerintah Belanda akibat menolak mengikuti program wajib militer. Kendatipun tidak menyukai perang, ia terpaksa mengikuti dinas militer. Ia dikirim ke Indonesia untuk bergabung dalam pasukan kerajaan Hindia-Belanda, KNIL.
1.   Tidak Menyukai Perang
Poncke merasa tersiksa oleh perang. Perang bagi Poncke menjadi penyebab penderitaan serta penjajahan merupakan bentuk penindasan. Di Belanda ia melihat serta merasakan sendiri kebrutalan dan kebengisan tentara Nazi terhadap rakyat Belanda. Saat menjadi anggota militer Belanda di Indonesia, ia melihat dan merasakan langsung kesadisan tentara Belanda terhadap rakyat Indonesia.
Berdasarkan pengalamannya itu Poncke berkesimpulan: Belanda tiada bedanya dengan Nazi Jerman. Keduanya, dalam pandangan Poncke, sama-sama melakukan kekejaman dan penindasan. Hal ini menyebabkan akal sehat dan hati nuraninya bekerja cepat untuk menggerakkannya meninggalkan pasukan Belanda. Ia sadar, jika tetap menjadi bagian dari bala tentara Belanda, ia merasa tak ubahnya dengan tentara Nazi yang melakukan kezaliman terhadap sesama manusia.

Sumber: www.engelfriet.net

 Poncke pun kemudian memutuskan untuk melakukan desersi dan menyeberang ke barisan tentara Indonesia. Ia meninggalkan Jakarta  pada 26 September 1948 untuk bergabung dengan pasukan TNI Divisi Siliwangi guna turut berjibaku mempertahankan Yogyakarta dari agresi pasukan Belanda. Poncke juga terlibat dalam longmarch  dari Jawa Tengah ke Jawa Barat. Selama berbulan-bulan ia aktif dalam perang gerilya melawan pasukan Belanda. Ia sempat mengalami shock ketika istrinya, yang seorang perempuan Sunda, dibunuh tentara Belanda dalam suatu pertempuran. Sang istri meninggal bersama dengan bayi yang masih berada dalam kandungannya.  
Poncke rupanya memang menjadi salah satu incaran khusus pasukan Belanda. Di negeri asalnya pun, ia gencar mendapat kecaman, makian, dan ancaman pembunuhan akibat berpihak kepada Indonesia. Ia dianggap sebagai pengkhianat yang pantas untuk dihabisi. Namun, ia tiada peduli: tetap konsisten membela Indonesia.
Pada tahun 1949, Poncke menanggalkan kewarganegaraan Belandanya serta beralih menjadi warga negara Indonesia (WNI). Pada tahun itu pula ia mendapat anugerah Bintang Gerilya dari Presiden Soekarno. Setelah resmi menjadi warga negara Indonesia, Poncke juga memutuskan untuk menjadi mualaf (pemeluk Islam), dengan dalih tidak ingin tanggung-tanggung menjadi ‘orang Indonesia', yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Beberapa tahun kemudian, Poncke menunaikan ibadah haji ke Mekah. Saya ingin menjadi bagian dari negara ini. Saya melakukan yang warga lainnya lakukan," kata Poncke dalam sebuah wawancara.
2.   Dari Serdadu Menjadi Pejuang HAM              
Aktivitas Poncke selama menjadi serdadu cukup jelas memperlihatkan keberpihakannya pada humanisme (nilai-nilai kemanusiaan). Poncke tidak sebagaimana umumnya tentara yang lazim bertempur untuk tujuan yang kerapkali tak jelas, selain membunuh dan menghancurkan. Ia tak bisa menghindar dari perang karena tuntutan tugas dan hati nurani untuk membela pihak yang tertindas (Indonesia).
Oleh karena itu, seusai perang ia ingin segera meninggalkan dinas ketentaraan untuk mempelajari sejarah budaya atau sastra. Poncke menulis dan mengirim surat kepada ibundanya bahwa ia tak ingin selamanya menjadi tentara. Ia mengatakan, masih ada hal penting lain yang perlu ia lakukan.
Di kemudian hari terungkap bahwa hal penting lain itu adalah berjuang menegakkan nilai-nilai kemanusiaan di zona “pertempuran” yang berbeda, tidak lagi melalui perang dengan berpihak pada yang lemah dan tertindas. Kisah hidup Poncke pun memasuki babak baru. Dari berjuang di medan pertempuran untuk membela rakyat yang terjajah, ia ganti berjuang melalui dunia politik dan hukum untuk menegakkan hak asasi manusia (HAM) kaum yang lemah dan terpinggirkan.
Mewakili Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), Poncke masuk ke gelanggang politik dengan menjadi anggota parlemen (tahun 1956). Ia sempat menjadi salah satu figur yang populer pada tahun 1950-an, tetapi ia merasa jengah oleh dunia politik yang penuh dengan intrik dan penyelewengan sehingga ia memutuskan untuk meninggalkannya. Ia kemudian bersuara vokal mengkritik pemerintahan Presiden Soekarno yang memasuki akhir dasawarsa 1950-an mulai bertindak otoriter. Selama pemerintahan Presiden Soekarno, akibat sikap kritis dan kevokalannya, Princen mengalami dua kali penangkapan dan pemenjaraan oleh sang rezim, yakni pada tahun 1957–1958 dan 1962–1966.

Sumber: arsipindonesia.com

Pertengahan tahun 1960-an Poncke mulai memasuki dunia hukum untuk membela orang-orang miskin dan tertindas. Ia membentuk Lembaga Pembela Hak Asasi Manusia (tahun 1966) serta turut mendirikan dan memimpin Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (1970). Poncke juga turut membentuk Indonesia Front for Defending Human Right (1989), Serikat Buruh Merdeka Setiakawan (1990), serta Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (1998).
Secara pribadi, ia juga menjadi pengacara. Dalam melakukan advokasi, ia tidak membeda-bedakan suku, ras, agama, golongan, dan asal-usul kliennya. Mereka yang pernah menjadi klien Poncke, antara lain, masyarakat dan mahasiswa Timor Timur (sekarang Timor Leste) yang menjadi korban penyerbuan militer rezim Orde Baru; para mahasiswa ITB (Institut Teknologi Bandung) yang ditahan karena melakukan demonstrasi terhadap menentang Menteri Dalam Negeri, Rudini (tahun 1989); dan masyarakat Muslim Tanjungpriok, Jakarta, korban pembantaian militer rezim Orde Baru (1984). Poncke bahkan pernah mengadvokasi para mantan anggota PKI (Partai Komunis Indonesia), mantan lawan politiknya semasa Orde Lama, serta dan orang-orang yang dituduh sebagai simpatisan PKI.
Sampai menjelang akhir hayatnya, Poncke tetap melakukan tugas kemanusiaan. Meskipun sejak sekitar tahun 1996 menggunakan kursi roda akibat stroke dan usia tua, ia masih melakukan pendampingan hukum. Sekitar delapan bulan sebelum wafat, Poncke menjadi pendamping dan penasihat hukum sekelompok masyarakat Jakarta yang menjadi korban penggusuran Pemerintah Provinsi DKI.

Perjuangan Haji Johannes Cornelis Princen sejak bergabung dengan TNI hingga mendirikan lembaga bantuan hukum dan menjadi pengacara dianggap konsisten dan murni demi kemanusiaan. Oleh sebab itu, ia dipandang layak mendapat apresiasi tinggi. Pada tahun 1992, karena dedikasinya itu, Poncke (bersama Haji Muhidin dan Jhony Simanjuntak) mendapat anugerah Yap Thiam Hien Award, sebuah penghargaan nasional prestisius dalam bidang penegakan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia.

Minggu, 02 Juli 2017

Munir Said Thalib, Aktivis HAM Indonesia Berkelas Dunia

Oleh Akhmad Zamroni

Sumber: kintakun-collection.co.id
Munir memiliki nama lengkap Munir Said Thalib. Lelaki keturunan Arab ini lahir di Malang, Jawa Timur, pada 8 Desember 1965, dan meninggal dunia pada 7 September 2004 dalam perjalanan dari Jakarta ke Amsterdam, Belanda. Munir adalah anak keenam dari tujuh bersaudara. Munir beristrikan Suciwati, wanita Jawa yang pernah ia advokasi dalam sebuah sengketa perburuhan. Pernikahan kedua sejoli ini menghasilkan dua orang putra.
Munir menyelesaikan pendidikan sarjananya (S-1) di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang. Munir aktif berorganisasi semenjak di bangku kuliah. Selama kuliah, ia menjadi ketua Senat Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Brawijaya dan aktif dalam HMI (Himpunan Mahasiswa Islam). Munir juga menjadi Sekretaris Tim Pencari Fakta Forum Indonesia Damai serta sekretaris Al-Irsyad Kabupaten Malang (1988).
Kepedulian Munir pada masalah-masalah kemanusiaan membawanya pada gerakan memperjuangkan perbaikan  HAM (hak asasi manusia) di Indonesia. Sebagian besar waktu hidupnya kemudian ia curahkan untuk melakukan upaya pendampingan dan advokasi para korban pelanggaran HAM serta kampanye perlindungan, penegakan, dan pemajuan HAM. Untuk menunjang perjuangannya, Munir bergabung dengan organisasi-organisasi advokasi hukum dan HAM, seperti Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI, 1996-1998) dan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras, 1998-2001). Jabatan terakhirnya, sebelum meninggl, adalah Direktur Eksekutif Lembaga Pemantau Hak Asasi Manusia Indonesia Imparsial.
A.     Pejuang dan Pahlawan HAM
Nama Munir mulai populer sebagai aktivis pembela HAM pada paruh kedua dasawarsa 1990-an. Di tengah kehidupan yang represif akibat perilaku rezim Orde Baru yang otoriter, Munir menjadi kuasa hukum beberapa tokoh yang terkenal kritis dan vokal terhadap Orde Baru, seperti George Aditjondro, Muchtar Pakpahan, Sri Bintang Pamungkas, dan Coen Husen Pontoh. Ia juga memberikan advokasi hukum untuk masyarakat Tanjungpriok, Jakarta, dan masyarakat Nipah, Madura, yang menjadi korban penindasan militer Orde Baru.
Popularitas Munir kian meroket setelah pada kurun waktu 1997­­­­­­­­-1998 ia menjadi kuasa hukum untuk 24 orang aktivis prodemokrasi dan proreformasi. Ke-24 aktivis tersebut merupakan korban penculikan, penyekapan, penyiksaan, dan penghilangan paksa yang dilakukan oleh militer Orde Baru -- sebagian dari korban dapat diselamatkan, tetapi sebagian besarnya hingga saat ini hilang dan tak diketahui nasibnya. Ketika itu, Munir menjadi pembela dan pejuang HAM yang paling vokal dan menonjol.
Sebagai koordinator Kontras, pada saat itu Munir gigih memperjuangkan nasib para aktivis prodemokrasi dan proreformasi. Di tengah ketakutan akut untuk melakukan koreksi dan kritik terhadap kesewenang-wenangan rezim Orde Baru, Munir berani melakukan pendampingan dan pembelaan kepada para korban penindasan rezim Orde Baru. Dengan konsisten dan tanpa rasa takut, ia mempertanyakan keberadaan dan nasib para korban serta meminta keadilan kepada rezim Orde Baru. Munir juga tidak jarang melakukan kritik terhadap kebijakan-kebijakan Orde Baru yang melanggar hak asasi manusia (HAM).
Keberanian Munir berhadapan dengan rezim Orde Baru dalam urusan HAM menyebabkan dirinya menjadi target ancaman dan teror. Teror menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam menjalankan tugas penegakan dan pembelaan HAM yang ia lakukan. Namun, ia sudah kebal dengan teror; ia tetap konsisten melakukan advokasi dan pendampingan kepada para korban pelanggaran HAM sebagai bagian upaya perlindungan dan penegakan HAM di Indonesia.
Sumber: klikkabar.com
Munir terus berjuang melawan penindasan dan pelanggaran HAM sampai ajal menjemput-nya pada 7 September 2004. Munir berpulang akibat pembunuhan. Dalam perjalanan udara Jakarta­­­­­­-Amsterdam untuk meneruskan studi pascasarjana dalam ilmu hukum di Belanda, ia diracun dengan arsenik. Hasil penyelidikan dan visum kepolisian Belanda serta sidang pengadilan memastikan, kematian Munir disebabkan oleh arsenik yang dicampurkan ke dalam makanan yang dihidangkan kepadanya di dalam pesawat.
Sulit dipungkiri, kematian Munir ada hubungannya dengan upaya-upaya perlindungan dan penegakan HAM yang dilancarkannya. Publik yakin, pembunuhan terhadap Munir diakibatkan oleh perjuangannya yang tak kenal lelah dan takut dalam melawan pelanggaran HAM. Dalang pembunuhan diduga kuat adalah oknum mantan petinggi militer Orde Baru.
B.     Aktivis HAM Kelas Dunia
Munir adalah aktivis HAM dengan integritas, konsistensi, dan dedikasi sangat tinggi yang sulit dicari tandingannya di Indonesia, tetapi hidupnya sarat dengan kesederhanaan. Ia tak pernah kehilangan komitmen untuk mendampingi dan membela orang-orang yang hak-haknya tertindas dan terzalimi. Ia tidak terlalu memikirkan materi, jabatan, dan fasilitas.
Saat mendapatkan hadiah 500 juta rupiah sebagai penerima The Right Livelihood Award, Munir tidak menggunakan semuanya untuk kepentingan sendiri, tetapi menyumbangkan sebagiannya untuk Kontras (lembaga yang membesarkan namanya), serta sebagian lagi diserahkan kepada ibundanya. Munir tidak tergoda untuk hidup mewah. Ia berangkat dan pulang kerja dengan menggunakan sepeda motor. Munir termasuk tokoh Indonesia yang kehebatannya diakui banyak pihak, tetapi tetap hidup dalam kebersahajaan sehingga ia sering dikategorikan sebagai tokoh dan aktivis HAM kelas dunia.

Sumber: panel.mustangcorps.com

Munir sudah tiada, tetapi namanya sudah lekat dengan upaya perlindungan dan penegakan HAM di Indonesia. Hingga saat ini, dapat dikatakan, Munir merupakan ikon utama gerakan perlawanan terhadap pelanggaran HAM di Indonesia. Munir dinilai sangat berjasa dalam upaya perlindungan, penegakan, dan pemajuan HAM di Indonesia.
Atas jasa-jasanya, Munir dianugerahi berbagai penghargaan. Pusat Studi HAM menetapkan Munir dan Kontras sebagai penerima Yap Thiam Hien Award untuk tahun 1998, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) memberinya penghargaan Suardi Tasrif Awards (1998). Majalah Ummat menobatkannya sebagai Man of The Year 1998 adapun majalah Asiaweek menganugerahinya penghargaan As Leader for the Millennium (Pemimpin Politik Muda Asia pada Milenium Baru, 1999). Sebuah organisasi dari Swedia menganugerahi Munir Right Livelihood Award 2000 (Alternative Nobel Prizes) untuk pengabdian bidang kemajuan HAM dan kontrol sipil terhadap militer serta Unesco (PBB) memberinya penghargaan Mandanjeet Sing Prize  atas jasanya mempromosikan toleransi dan anti kekerasan (2000).