Rabu, 03 Mei 2017

Bentuk-Bentuk Interaksi Sosial

Oleh Akhmad Zamroni

Sumber: Koleksi Zamroni

Dengan memperhatikan proses sosial yang berlangsung, kita dapat menyaksikan berbagai bentuk interaksi sosial yang terjadi dalam kehidupan manusia. Apa sajakah bentuk-bentuk interaksi sosial yang lazim terjadi? Para ahli menggolongkan bentuk-bentuk interaksi sosial secara berbeda-beda. Misalnya, Gillin dan Gillin (1954: 501) menggolongkan bentuk interaksi sosial menjadi dua kelompok besar, yakni proses asosiatif  (terdiri atas akomodasi, asimilasi, dan akulturasi) dan proses disosiatif  (terdiri atas persaingan, kontravensi, dan pertentangan atau pertikaian). Young dan Mack (1959: 138) mengelompokkan bentuk interaksi sosial menjadi tiga, yakni oposisi (mencakup persaingan dan pertentangan atau pertikaian), kerja sama (menghasilkan akomodasi), dan diferensiasi. Adapun Shibutani (dalam Soekanto, 2005: 71) membagi bentuk interaksi sosial menjadi empat, yakni akomodasi dalam situasi rutin, ekspresi pertemuan dan anjuran, interaksi strategis dalam pertentangan, serta pengembangan perilaku massa.

Kendatipun penggolongan bentuk interaksi sosial oleh para pakar tersebut berbeda-beda, di dalamnya tidak terdapat perbedaan yang prinsipil atau fundamental. Secara garis besar, pembagian bentuk-bentuk interaksi tersebut relatif hampir sama, terutama yang menyangkut hal-hal yang bersifat pokok. Proses-proses interaksi yang pokok dapat dirangkum meliputi proses asosiatif dan proses disosiatif, sebagaimana yang dikemukakan oleh Gillin dan Gillin serta Soerjono Soekanto.

A.   Proses asosiatif (Processes of Association)
Proses asosiatif adalah proses sosial yang berkembang menuju terbentuknya persatuan atau integrasi sosial serta mendorong terbentuknya pranata, lembaga, atau organisasi sosial. Proses asosiatif dapat berlangsung dalam wujud kerja sama (cooperation), akomodasi (accomodation), asimilasi (assimilation), dan akulturasi (aculturation). Berikut ini penjelasannya yang lebih detail.

1.    Kerja Sama (Cooperation)
Menurut beberapa sosiolog, kerja sama merupakan bentuk interaksi sosial yang pokok. Sebagian sosiolog lain menilai bahwa kerja sama merupakan proses sosial yang utama. Segala macam bentuk interaksi sosial dianggap dapat dikembalikan pada kerja sama. Young dan Mack (1959: 143) bahkan mencontohkan, jika, misalnya, dua orang berkelahi, mereka harus “bekerja sama” untuk saling memukul.

Contoh yang dikemukakan Young dan Mack tersebut kiranya mengambil ruang lingkup yang terlalu luas sehingga dapat mengaburkan makna kerja sama itu sendiri. Kerja sama dalam hal ini tentunya tidaklah semacam itu. Kerja sama yang dimaksud adalah usaha bersama yang dilakukan antarindividu, antarkelompok, atau antara individu dan kelompok untuk mencapai tujuan bersama.

Menurut Cooley (dalam Soekanto, 2005: 73), kerja sama timbul manakala orang menyadari bahwa mereka memiliki kepentingan-kepentingan yang sama dan pada saat yang berbarengan memiliki cukup pengetahuan dan pengendalian terhadap diri sendiri untuk memenuhi kepentingan-kepentingan yang dimaksud. Kerja sama mendorong terbentuknya persatuan atau integrasi sosial. Interaksi sosial dalam bentuk kerja sama lazim terjadi di semua lapisan masyarakat serta meliputi semua aspek kehidupan manusia.

Mengapa orang merasa perlu bekerja sama? Sebagai pelajar, Anda tidak akan dapat menimba ilmu sebagaimana mestinya jika Anda tidak melakukan kerja sama dengan beberapa pihak lain, seperti guru, sekolah, dan teman sekelas. Itulah sebabnya, Anda dan kita semua, perlu dan bahkan wajib melakukan berbagai kerja sama untuk mencapai keinginan-keinginan serta memenuhi kebutuhan-kebutuhan kita yang jumlahnya banyak sekali. Selain untuk menjaga dan memperjuangkan kepentingan, kerja sama juga penting dilakukan dalam rangka menciptakan kerukunan dan keharmonisan sosial.

Dalam kehidupan manusia secara umum, kerja sama merupakan bagian yang normal dalam proses sosial. Akan tetapi, dalam situasi dan kondisi tertentu, kerja sama dapat terbentuk secara lebih kuat. Berikut ini beberapa sifat atau hal yang perlu kita perhatikan terkait dengan kerja sama.
  • Kesamaan kepentingan, dorongan untuk memenuhi kebutuhan hidup, dan keinginan untuk mengekspresikan seni akan merangsang individu dan kelompok untuk melakukan kerja sama.
  • Kerja sama kemungkinan akan berlangsung lebih kuat jika ada musuh bersama atau muncul bahaya yang mengancam dari luar atau ada tindakan-tindakan dari pihak luar yang menyinggung kesetiaan yang secara tradisional atau institusional telah tertanam dalam kelompok.
  • Kerja sama dapat bersifat agresif jika kelompok dalam waktu yang lama mengalami kekecewaan dan perasaan tak puas karena keinginan-keinginan utamanya tak terpenuhi akibat adanya rintangan-rintangan yang bersumber dari luar kelompok (pihak eksternal).
Dalam teori sosiologi, bentuk kerja sama dibedakan menjadi kerja sama spontan (spontaneous cooperation), kerja sama langsung (directed cooperation), kerja sama kontrak (contractual cooperation), dan kerja sama tradisional (traditional cooperation). Kerja sama spontan dilakukan secara serta merta, kerja sama langsung dilakukan sebagai hasil perintah atasan atau penguasa, kerja sama kontrak dilakukan atas dasar tertentu, dan kerja sama tradisional dilakukan sebagai bagian dari sistem sosial. Adapun dari segi pelaksanaannya, kerja sama dilakukan dalam lima bentuk, yakni kerukunan, bargaining, kooptasi, koalisi, dan joint venture (Thompson dan McEwen dalam Soekanto, 2005: 74–75).
  • Kerukunan merupakan kerja sama yang meliputi gotong royong dan tolong-menolong.
  • Bargaining merupakan kerja sama sebagai pelaksanaan perjanjian mengenai pertukaran barang dan jasa antara dua organisasi atau lebih.
  • Kooptasi (cooptation) adalah proses penerimaan unsur-unsur baru dalam kepemimpinan atau pelaksanaan politik dalam suatu organisasi sebagai salah satu cara untuk menghindari terjadinya keguncangan stabilitas organisasi.
  • Koalisi (coalition) merupakan kerja sama kombinasi antara dua organisasi atau lebih yang memiliki tujuan yang sama.
  • Joint venture merupakan kerja sama dalam mengusahakan proyek-proyek tertentu, misalnya, pengembangan jaringan telekomunikasi, pengeboran minyak lepas pantai, dan pengadaan buku pelajaran sekolah.
2.    Akomodasi (Accomodation)
Istilah akomodasi digunakan dalam dua pengertian, yaitu merujuk pada suatu keadaan dan merujuk pada suatu proses. Akomodasi yang merujuk pada suatu keadaan mengarah pada kese-imbangan interaksi antara orang-perorangan atau kelompok-kelompok terkait dengan norma dan nilai sosial yang berlaku. Akomodasi sebagai suatu proses merujuk pada usaha manusia meredakan atau menyelesaikan pertentangan untuk mencapai kestabilan.

Akomodasi sesungguhnya merupakan cara yang dikembangkan untuk mengatasi perten-tangan atau perselisihan tanpa menghancurkan pihak lawan atau pesaing sehingga lawan atau pesaing tidak kehilangan kepribadian. Akomodasi dapat dilakukan dengan tujuan yang berbeda-beda, tergantung keadaan yang dihadapi. Tujuan akomodasi dapat dirumuskan sebagai berikut:
  • mengurangi pertentangan antarindividu atau antarkelompok manusia akibat perbe-daan paham atau aliran sehingga dapat dicapai titik temu yang menghasilkan suatu pola baru;
  • mencegah atau meredam meledaknya perselisihan untuk sementara waktu;
  • membuka kemungkinan terbentuknya kerja sama antarkelompok sosial yang hidup terpisah karena faktor sosial, budaya, dan psikologis;
  • mengusahakan peleburan atau penyatuan antarkelompok sosial yang terpisah (misalnya, melalui perkawinan campuran atau asimilasi dalam arti luas).
Sebagai sebuah proses, akomodasi, antara lain, memiliki bentuk koersi (coercion), kompromi (compromise), arbitrasi (arbitration), mediasi (mediation), konsiliasi (conciliation), toleransi (tolerance), stalemate, ajudikasi (adjudication), segregasi (segregation), dan eliminasi (elimination). Agar lebih jelas, Anda dipersilakan mengikuti uraian berikut ini.
  • Koersi (coercion) adalah akomodasi yang prosesnya dilakukan melalui paksaan, baik secara fisik maupun mental (psikis). Koersi dijalankan karena lazimnya ada pihak yang lemah dan pihak yang kuat. Contohnya adalah penguasa/pemerintah di negara totaliter yang memaksa rakyatnya untuk menjalankan kebijakan tertentu –– di negara totaliter penguasa sangat kuat, sementara rakyat sangat lemah, sehingga kebijakan penguasa selalu dapat diberlakukan dan dilaksanakan biarpun merugikan rakyat.
  • Kompromi (compromise) adalah akomodasi berbentuk persetujuan atau kesepakatan dengan jalan damai yang terjadi karena pihak-pihak yang bersengketa saling mengurangi tuntutannya. Contohnya, dua negara yang mempersengketakan sebuah pulau, berkompromi untuk tidak saling menyerang dan menguasai pulau tersebut sebelum ada keputusan berkekuatan hukum dari badan internasional yang berwenang.
  • Arbitrasi (arbitration) adalah akomodasi yang dilakukan dengan memakai jasa pihak ketiga karena kedua belah pihak yang berselisih tidak mampu menyelesaikan perselisihannya sendiri. Perselisihan diselesaikan oleh pihak ketiga yang ditunjuk oleh kedua pihak yang berselisih atau oleh sebuah lembaga berwenang yang berkedudukan lebih tinggi daripada pihak yang berselisih. Contohnya, perselisihan antara direksi sebuah perusahaan dengan para buruhnya penyelesaiannya difasilitasi oleh kementerian tenaga kerja.
  • Mediasi (mediation) adalah bentuk akomodasi yang hampir sama dengan arbitrasi, hanya saja pihak ketiga yang diminta untuk turut menyelesaikan sengketa memiliki posisi atau kedudukan yang netral serta tidak berwenang untuk memberikan keputusan. Pihak ketiga hanya mengusahakan solusi damai dengan memberikan nasihat atau konsultasi. Contohnya, konflik di Filipina yang melibatkan pemerintah dan gerilyawan Moro menyertakan Indonesia sebagai penengah (mediator) untuk mengusahakan tercapainya perdaimaian.
  • Konsiliasi (conciliation) adalah upaya untuk mempertemukan keinginan dari pihak-pihak yang berselisih untuk mencapai kesepakatan bersama. Konsiliasi membuka peluang bagi pihak-pihak yang berselisih untuk saling menyesuaikan diri, saling mengurangi perbedaan, serta saling menyamakan sikap dan tindakan untuk mencapai tujuan bersama. Contohnya ialah wakil-wakil buruh, pemilik perusahaan, dan kementerian tenaga kerja duduk bersama untuk menyelesaikan masalah perburuhan.
  • Toleransi (tolerance), atau sering disebut tolerant-participation, adalah bentuk akomodasi yang dilakukan tanpa melalui persetujuan yang sifatnya formal (resmi). Toleransi seringkali muncul secara spontan, tanpa disadari, dan tidak direncanakan akibat reaksi alamiah individu atau kelompok untuk menghindarkan diri dari perselisihan. Contohnya, demi menjaga ketenangan proses belajar-mengajar di dalam kelas dan menghindari perselisahan dengan guru, para siswa dengan kesadaran sendiri tidak melakukan keributan atau kegaduhan.
  • Stalemate adalah bentuk akomodasi yang ditandai oleh berhentinya pertentangan pada titik tertentu akibat pihak-pihak yang terlibat pertikaian memiliki kekuatan yang seimbang. Contohnya, ketegangan dan perselisihan pada masa Perang Dingin antara Blok Barat (yang dipimpin Amerika Serikat) dan Blok Timur (dipimpin Uni Soviet) tidak pernah berkembang menjadi perang dunia dan perang nuklir akibat keduanya memiliki pasukan dan persenjataan yang seimbang.
  • Ajudikasi (adjudication) adalah akomodasi yang dilakukan dalam bentuk penyelesaian perkara atau sengketa melalui lembaga peradilan. Contohnya adalah sengketa tanah antara warga suatu desa dan sebuah perusahaan BUMN dirampungkan melalui sidang pengadilan.
  • Segregasi (segregation) adalah akomodasi yang berbentuk saling memisahkan dan menghindarkan diri oleh masing-masing pihak yang bertikai dalam upaya mengurangi ketegangan dan menghindarkan pertikaian lebih tajam. Contohnya adalah untuk menghindari bentrokan fisik, demonstran mahasiswa dan aparat penjaga keamanan berangsur-angsur saling mundur dan tidak melakukan provokasi.
  • Eliminasi adalah akomodasi yang terjadi akibat salah satu pihak yang bersengketa  mengunduran diri sebagai cerminan sikap mengalah. Contohnya ialah untuk menghadapi tuntutan kenaikan upah para buruh, sebuah perusahaan menaikkan upah sesuai keinginan para buruh.


3.    Asimilasi (Assimilation)
Asimilasi adalah upaya untuk mengurangi perbedaan serta menyatukan sikap dan tindakan antara individu-individu atau kelompok-kelompok guna menghasilkan kesepakatan berdasarkan kepentingan dan tujuan bersama. Orang-orang yang melakukan asimilasi ke dalam suatu kelompok masyarakat tidak lagi membedakan dirinya dengan kelompok sehingga tidak dianggap sebagai orang asing. Mereka mengidentifikasikan dirinya dengan kepentingan dan tujuan kelompok.

Manakala dua kelompok manusia melakukan asimilasi, batas-batas antara kedua kelompok tersebut akan lenyap. Keduanya melebur menjadi satu kelompok. Asimilasi ditandai dengan pengembangan sikap-sikap yang sama dengan tujuan mencapai kesatuan atau, setidaknya, mencapai integrasi organisasi, pikiran, dan tindakan.

Asimilasi terjadi pada masyarakat yang berbeda kebudayaan sehingga terbentuk kebudayaan baru dalam waktu lama. Asimialsi terjadi setelah melalui tahap kerja sama dan akomodasi. Koentjaraningrat (dalam Soekanto, 2005: 81) menyatakan bahwa asimilasi dapat terjadi manakala syarat-syarat berikut ini terpenuhi.
  • Terdapat kelompok-kelompok manusia yang memiliki kebudayaan berbeda.
  • Terjadi pergaulan antarindividu sebagai warga kelompok secara langsung dan intensif dalam waktu yang lama.
  • Kebudayaan masing-masing kelompok saling mengalami perubahan dan penyesuaian diri.
Dengan demikian, asimilasi sangat terkait dengan pengembangan sikap, keinginan, dan tujuan yang sama. Terdapat beberapa bentuk interaksi sosial yang memberi arah berlangsungnya proses asimilasi. Bentuk-bentuk interaksi sosial yang dimaksud adalah sebagai berikut.
  • Interaksi sosial yang dilakukan pihak-pihak yang terlibat bersifat saling pendekatan. Satu pihak berusaha melakukan pendekatan terhadap pihak lain, sementara pihak lain juga melakukan hal yang sama.
  • Interaksi sosial yang dilakukan tidak mengalami kendala dalam bentuk halangan atau pembatasan. Interaksi sosial yang mengarah ke asimilasi akan terhenti jika menemui halangan atau pembatasan yang berat.
  • Interaksi sosial yang dilakukan bersifat langsung dan primer. Artinya, interaksi itu dilakukan langsung menghadapkan dan melibatkan pihak pelaku, tanpa perantara.
  • Interaksi sosial yang dilakukan berlangsung dalam frekuensi yang tinggi, tetap, dan seimbang. Artinya, upaya pendekatan dan pemberian tanggapan oleh para pelaku interaksi sering dan ajek dilakukan serta ada keseimbangan antara pihak-pihak yang dimaksud.
Asimilasi juga memerlukan faktor pendukung. Faktor ini diperlukan agar asimilasi dapat berjalan seperti yang diharapkan. Berikut ini faktor-faktor pendukung yang akan mempermudah dan memperlancar proses asimilasi:
  • toleransi antarindividu atau antarkelompok yang berbeda kebudayaan,
  • kesempatan yang seimbang dalam bidang ekonomi,
  • sikap menghargai dan menghormati orang lain (asing) beserta kebudayaannya,
  • sikap terbuka dari golongan yang berkuasa dalam masyarakat,
  • persamaan dalam unsur-unsur kebudayaan,
  • terjadinya perkawinan campuran antarkelompok yang berbeda budaya (amalga-mation),
  • adanya musuh bersama yang datang dari luar.
Di sisi lain, juga dijumpai hal-hal tertentu yang menghambat terjadinya asimilasi. Hal ini dapat menggagalkan proses asimilasi. Berikut ini beberapa faktor penghalang asimilasi:
  • terisolasinya kehidupan golongan tertentu dalam masyarakat, yang biasanya dialami oleh golongan minoritas;
  • kurangnya pengetahuan tentang kebudayaan yang dihadapi;
  • adanya perasaan takut terhadap kekuatan kebudayaan lain yang dihadapi;
  • adanya perasaan bahwa kebudayaan kelompok tertentu lebih tinggi daripada kebudayaan kelompok lain;
  • adanya perbedaan ciri-ciri fisik, seperti tinggi badan, warna kulit, dan warna rambut;
  • adanya perasaan keterikatan yang kuat dengan kebudayaan sendiri (in-group feeling);
  • terganggunya golongan minoritas oleh golongan mayoritas yang kuat dan berkuasa.
4.    Akulturasi (Aculturation)
Akulturasi adalah hasil perpaduan antara dua kebudayaan berbeda yang membentuk kebudayaan baru dengan tidak menghilangkan ciri-ciri budaya masing-masing. Proses akulturasi lazim berlangsung dalam waktu yang relatif lama. Sebagai contoh adalah punden berundak dalam kebudayaan Hindu yang berpadu dengan masjid dalam kebudayaan Islam menghasilkan arsitektur masjid Demak dengan atap yang bertingkat-tingkat.



B.   Proses disosiatif (Processes of Dissociation)
Proses sosial disosiatif seringkali disebut proses oposisi (oppositional processes). Proses disosiatif dapat dikatakan saling berlawanan dengan proses asosiatif. Jika proses asosiatif mengarah pada hubungan kooperatif yang menuju penyatuan, proses disosiatif mengarah pada hubungan rivalitas yang menuju pemisahan, saling berhadap-hadapan, dan bahkan saling berlawanan. Oleh sebab itu, proses sosial disosiatif biasanya berlangsung dalam bentuk-bentuk yang cenderung bersifat friktif dan konfrontatif. Proses sosial disosiatif dapat dikelompokkan menjadi tiga bentuk, yaitu persaingan (competition), kontravensi (contravention), dan konflik atau pertikaian (conflict).

1.    Persaingan (Competition)
Persaingan merupakan suatu proses sosial yang ditandai individu-individu atau kelompok-kelompok manusia berlomba untuk mendapatkan keuntungan melalui bidang kehidupan yang menjadi pusat perhatian umum dengan cara menarik perhatian publik atau mempertajam prasangka tanpa menggunakan ancaman atau kekerasan (Gillin dan Gillin dalam Soekanto, 2005: 91). Persaingan terjadi dalam dua bentuk, yakni persaingan pribadi dan persaingan kelompok. Persaingan pribadi, misalnya, persaingan individual antarsiswa di dalam kelas untuk mendapatkan nilai tertinggi dalam pelajaran matematika. Persaingan kelompok, misalnya, persaingan antara dua perusahaan percetakan untuk memenangkan tender pencetakan buku referensi yang diadakan pemerintah.

Persaingan terjadi, antara lain, akibat terbatasnya sumber daya kehidupan, hasrat untuk menonjol, dan keharusan sistem. Persaingan dapat berlangsung dalam berbagai bidang dan sendi kehidupan, seperti dalam sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Berikut ini dijabarkan lebih terperinci persaingan dalam keempat bidang yang dimaksud.
  • Persaingan dalam bidang sosial paling jelas tampak dalam persaingan meraih status dan peran dalam kehidupan bermasyarakat. Persaingan sosial umumnya didorong oleh keinginan untuk mendapatkan pengakuan status, derajat, dan peranan. Mereka yang dianggap atau merasa dirinya berstatus rendah cenderung akan berusaha mendapatkan kedudukan tertentu dalam masyarakat agar prestise dan peranannya menjadi lebih terpandang dan dihargai.
  • Persaingan dalam ekonomi terjadi akibat terbatasnya persediaan (barang dan jasa) dibandingkan dengan jumlah konsumen. Persaingan dimaksudkan untuk mengatur produksi dan distribusi. Persaingan dalam bidang ekonomi akan menguntungkan masyarakat karena produsen akan berlomba-lomba menghasilkan barang dan jasa dengan kualitas yang baik sehingga masyarakat memiliki banyak pilihan dalam menggunakan barang dan jasa.
  • Persaingan dalam politik dapat terjadi aki-bat sistem ketatatnegaraan multipartai yang menuntut adanya pluralisme kelompok atau partai politik. Demokrasi adalah sistem yang terutama mendorong terjadinya persaingan politik. Kelompok-kelompok politik –– lazim terwadahi melalui partai politik –– bersaing dalam pemilihan umum untuk memperebutkan suara rakyat guna menentukan para wakil rakyat di parlemen dan mengisi jabatan di pemerintahan.
  • Persaingan dalam budaya dapat terjadi akibat munculnya keinginan untuk melakukan dominasi budaya oleh bangsa atau komunitas tertentu terhadap kebudayaan bangsa dan komunitas lain. Persaingan kebudayaan dapat terjadi dalam bidang keagamaan, lembaga kemasyarakatan, bahasa, dan kesenian.
Apakah persaingan ada manfaat dan fungsinya? Dalam batas-batas tertentu serta selama dilakukan secara fair dan sehat, persaingan jelas dapat memberi manfaat dan fungsi yang positif. Manfaat dan fungsi persaingan, antara lain, sebagai berikut.
  • Persaingan dapat menyalurkan hasrat kompetitif yang dimiliki individu dan kelompok untuk meraih penghargaan-penghargaan yang tinggi.
  • Persaingan menjadi sarana seleksi untuk menentukan individu-individu terbaik serta menempatkannya pada kedudukan dan peranan yang sesuai dengan kemampuannya masing-masing.
  • Persaingan menjadi alat untuk menyaring warga kalangan pekerja yang akan menghasilkan pembagian kerja yang efektif.
  • Persaingan akan mendorong individu atau kelompok untuk belajar dan meningkatkan kompetensi (kemampuan).
2.    Kontravensi (Contravension)
Kontravensi adalah suatu proses sosial yang berada di antara persaingan dan pertentangan atau konflik. Kontravensi ditandai oleh gejala-gejala ketidakpastian diri seseorang, ketidakpastian suatu rencana, perasaan tidak suka yang disembunyikan, dan kebencian atau keraguan terhadap kepribadian seseorang. Dalam bentuknya yang murni, kontravensi merupakan sikap yang tersembunyi terhadap orang lain atau unsur kebudayaan kelompok tertentu. Sikap ini dapat menjelma menjadi kebencian, tetapi tidak sampai menjadi pertentangan atau pertikaian. Contohnya, seseorang menaruh kecurigaan terhadap orang lain yang seringkali dijumpai atau seseorang meragukan manfaat sebuah kebijakan yang akan dilaksanakan oleh pemerintah.

Leopold von Wiese dan Howard Becker (dalam Soekanto, 2005: 95) membagi kontravensi menjadi lima bentuk, yakni umum, sederhana, intensif, rahasia, dan taktis. Berikut ini penjelasannya.
  • Bentuk yang umum, misalnya, penolakan, perlawanan, menghalang-halangi, protes, melakukan gangguan, tindakan dengan kekerasan, serta mengacaukan rencana pihak lain.
  • Bentuk yang sederhana, misalnya, membantah pernyataan orang lain di depan umum, mencaci maki dengan selebaran gelap, memfitnah, dan mencerca.
  • Bentuk yang intensif, misalnya, menghasut, menyebarkan isyu, dan membuat kecewa pihak lain.
  • Bentuk yang rahasia, misalnya, membocorkan rahasia lawan dan melakukan pengkhianatan.
  • Bentuk yang taktis, misalnya, mengejutkan lawan dan membingungkan pihak lain.
Selain menganalisis kontravensi dari aspek bentuk, Leopold von Wiese dan Becker juga membahasnya dari segi tipe. Menurut keduanya, terdapat tiga tipe umum kontravensi, yakni kontravensi generasi masyarakat, kontravensi jenis kelamin (seks), dan kontravensi parlementer (dalam Soekanto, 2005: 96–97). Berikut ini Anda diajak mengikuti penjabarannya.
  • Kontravensi generasi dalam masyarakat lazim muncul saat di tengah masyarakat terjadi perubahan-perubahan yang cepat. Akibat perubahan zaman, seringkali terjadi keragu-raguan dan prasangka di kalangan generasi muda terhadap nilai-nilai yang dianut dan ditanamkan generasi tua. Hal ini karena generasi muda umumnya berpandangan lebih terbuka dan longgar akibat mereka dibentuk oleh pendidikan dan kehidupan yang modern, sedangkan generasi tua biasanya lebih tertutup dan kaku akibat mereka dibentuk oleh pendidikan dan pengalaman hidup yang konservatif (kolot).
  • Kontravensi jenis kelamin (seksual) lazim terkait dengan hubungan dan peranan kaum pria dan wanita baik dalam rumah tangga, dunia kerja, maupun kehidupan umum (publik). Nilai-nilai masyarakat pada zaman modern saat ini umumnya sudah menempatkan kaum pria dan wanita pada kedudukan yang sejajar (emansipasi). Akan tetapi, karena faktor sejarah dan budaya (adat), banyak wanita dari kalangan tertentu masih merasa bimbang dan gamang dengan posisi, kemampuan, dan peranannya, sedangkan di pihak lain kaum pria pun seringkali menanggapinya dengan sikap ragu, apatis, meremehkan, dan merasa tersaingi.
  • Kontravensi parlementer terjadi dalam relasi atau hubungan antara kelompok mayoritas dan kelompok minoritas dalam lembaga legislatif, pendidikan, keagamaan, dan sebagainya. Hubungan yang kadang kurang seimbang antara kelompok mayoritas dan kelompok minoritas menyebabkan terpinggirkannya posisi dan peranan minorotas sehingga memicu prasangka dan perasaan sentimen.
3.    Pertikaian/Konflik (Conflict)
Pertikaian atau konflik adalah proses sosial yang ditandai adanya individu atau kelompok yang berusaha mencapai tujuan dengan jalan menentang pihak lain (lawan) dengan ancaman dan/atau kekerasan. Di dalam konflik, pihak-pihak yang berhadapan (terlibat) berupaya saling menyerang untuk menghancurkan dan membuat tak berdaya lawannya. Konflik dapat terjadi, antara lain, akibat perbedaan antarindividu, perbedaan budaya, perbedaan kepentingan, dan perubahan sosial (yang cepat). Perbedaan-perbedaan yang dapat memicu konflik selanjutnya dapat diuraikan sebagai berikut.
  • Perbedaan antarindividu dapat muncul dalam bentuk perbedaan perasaan, pendapat, paham, dan sebagainya. Perbedaan ini dapat berkembang menjadi tindakan saling serang dan saling menyingkirkan.
  • Perbedaan budaya dapat menyebabkan perbedaan kepribadian. Kepribadian individu banyak ditentukan oleh pola budaya yang melatarbelakangi perkembangan kepribadian. Perbedaan ini dapat menyebabkan munculnya perbedaan pola pemikiran dan pendirian yang selanjutnya dapat memicu terjadinya konflik.
  • Perbedaan kepentingan jelas sekali dapat menimbulkan konflik. Kepentingan individu dan kelompok yang berbeda dalam berbagai bidang kehidupan –– ekonomi, politik, hukum, dan sebagainya –– mudah mengarah pada konflik, terutama jika setiap individu atau kelompok secara picik bersikeras hanya menonjolkan kepentingannya masing-masing.
  • Perubahan sosial yang cepat dan drastis akan mengubah nilai-nilai dalam masyarakat. Perubahan ini mendorong lahirnya individu dan kelompok yang berbeda pandangan, paham, dan prinsip selain menyebabkan keguncangan psikologis. Hal ini seringkali merangsang terjadinya konflik baik antarindividu maupun antarkelompok.

                                                                    Sumber: submitlist.info

Masyarakat umumnya menghendaki konflik tidak terjadi pada kehidupan mereka. Namun, realitasnya, kehidupan sosial sangat sulit untuk sepenuhnya bebas dari konflik. Konflik dalam kehidupan sosial tetap saja muncul. Bentuk-bentuk konflik yang terjadi, antara lain, konflik pribadi, konflik rasial, konflik kelas, konflik politik, dan konflik internasional.
  • Konflik pribadi merupakan pertikaian antara dua pribadi karena hal tertentu. Konflik ini dapat terjadi tidak hanya antara dua orang yang tidak saling mengenal, melainkan juga antara dua orang yang sudah saling kenal atau teman. Misalnya, dua orang karyawan sebuah perusahaan saling maki dan kemudian berkelahi akibat kesalahpahaman.
  • Konflik rasial adalah pertikaian yang terjadi antara dua ras. Konflik ini dapat terjadi antara ras mayoritas dan minoritas. Misalnya, pertikaian antara kaum kulit hitam dan kulit putih di Afrika Selatan akibat pemberlakuan apartheid yang menindas orang-orang kulit hitam.
  • Konflik antarkelas sosial adalah pertikaian yang terjadi antara dua kelompok sosial. Contohnya adalah konflik antara majikan dan buruh akibat pemberlakuan jam kerja dan upah yang tidak manusiawi.
  • Konflik politik adalah pertikaian yang terjadi antara kelompok politik satu dengan kelompok politik yang lain. Contohnya, pertikaian antara dua partai politik menjelang pemilihan umum karena penyimpangan kampanye.
  • Konflik internasional adalah pertikaian  yang terjadi dalam hubungan antarnegara   di dunia. Konflik internasional banyak disebabkan oleh perbedaan ideologi serta kepentingan politik dan ekonomi. Misalnya, perang antara Amerika Serikat dan Vietnam akibat perbedaan ideologi (Amerika Serikat menganut kapitalisme, Vietnam menganut komunisme).
Lalu, dengan bentuknya yang cenderung menimbulkan instabilitas dan ketidakharmonisan, apakah konflik sama sekali tak bermanfaat dan harus dihindari? Demi ketenangan dan keserasian sosial, publik umumnya tak menghendaki konflik, tetapi konflik tetap saja menjadi bagian dari proses sosial yang mustahil untuk dihindari selamanya. Dalam masyarakat yang paling harmonis sekalipun, konflik –– walaupun dalam skala kecil –– masih bisa muncul.

Apakah suatu konflik dapat menimbulkan akibat-akibat yang positif atau negatif, tergantung pada persoalan yang menjadi sumber konflik dan struktur sosial. Selama tak bertentangan dengan pola-pola hubungan sosial dalam struktur sosial tertentu, menurut Soerjono Soekanto (2005: 100), konflik justru akan bersifat positif. Hal ini karena konflik semacam itu cenderung memungkinkan terjadinya penyesuaian kembali norma dan hubungan sosial dalam kelompok sesuai dengan kebutuhan individu dan bagian-bagian kelompok.

Sesungguhnya, konflik merupakan hal yang wajar dan alamiah dalam proses sosial. Kehidupan sosial manusia akan sering diwarnai konflik   –– dalam berbagai bentuk dan skala –– karena pembawaan setiap individu manusia yang khas dan berbeda-beda akan menyebabkan perbedaan selera, keinginan, pandangan, paham, prinsip, keyakinan, dan sebagainya yang semuanya ini dapat mengakibatkan perselisihan dan pertikaian. Proses sosial tidak mungkin sama sekali bebas dan steril dari konflik.

Menurut Soekanto (2005: 100), dalam kelompok yang interaksi sosial antarwarganya tidak terlalu rapat, kemungkinan besar konflik tidak akan menimbulkan akibat-akibat yang negatif. Dapat dikatakan, dalam beberapa hal, konflik justru akan mendewasakan kehidupan individu dan kelompok sosial. Konflik juga dapat memantapkan sendi-sendi kehidupan sosial manakala dapat dikelola dengan tepat.

Konflik dipandang sebagai salah satu jalan untuk memecah dan mengurangi ketegangan selama dapat dibatasi pada pokok persoalan penyebabnya saja. Ketegangan yang berkurang akibat konflik akan berdampak pada meningkatnya stabilitas dan integrasi. Selanjutnya, lebih detail, konflik dapat menimbulkan beberapa konsekuensi positif sebagai berikut.
  • Konflik dapat menciptakan keseimbangan antara kekuatan-kekuatan yang terdapat dalam masyarakat.
  • Konflik dapat membuka jalan untuk mengetahui sumber-sumber ketidakpuasan dalam kelompok dan masyarakat.
  • Konflik dapat membuat individu dan masyarakat menjadi lebih bijaksana dan dewasa dalam menghadapi perbedaan dan kemajemukan.
  • Konflik dapat membantu menemukan solusi yang jitu dalam mengatasi berbagai persoalan dalam upaya menciptakan kerekatan dan keserasian sosial.
  • Konflik dapat membantu menghidupkan kembali norma-norma sosial atau menumbuhkan norma-norma sosial baru sesuai dengan perkembangan masyarakat.
  • Konflik dapat mendorong individu dan kelompok untuk melakukan introspeksi dan perbaikan serta sadar diri akan keadaan dan kedudukannya dalam masyarakat.