Jumat, 29 Juni 2018

Gudeg, Makanan Khas Tradisional Yogyakarta Peninggalan Kerajaan Mataram

Sumber: www.wisatalah.com


Yogyakarta dan gudeg adalah dua hal yang tidak terpisahkan. Yogyakarta selama ini dikenal sebagai daerah yang menghasilkan makanan khas tradisional yang disebut gudeg.  Meskipun saat ini sudah banyak ditemukan juga di berbagai kota dan daerah lain di Jawa Tengah, gudeg masih dianggap sebagai makanan khas Daerah Istimewa Yogyakarta sehingga Yogyakarta seringkali dijuluki sebagai Kota Gudeg (selain Kota Pelajar).
Gudeg merupakan makanan yang berbahan baku utama daging buah nangka muda (dalam bahasa Jawa disebut ‘gori’). Setelah dikupas kulitnya, nangka muda dipotong-potong, kemudian direbus dengan gula kelapa, santan, dan dibubuhi racikan bumbu yang, antara lain, terdiri atas bawang putih, garam, kemiri, lengkuas, dan daun salam. Waktu yang dibutuhkan untuk merebus hingga adonan itu benar-benar menjadi gudeg sekitar 4-5 jam. Setelah siap, gudeg biasanya dihidangkan bersama sambal goreng krecek dilengkapi dengan telur rebus, daging ayam, tahu, dan tempe.
Gudeg dapat dibuat dalam dua versi, yakni kering dan basah, sehingga dikenal ada gudeg kering dan gudeg basah. Gudeg kering dibuat atau dimasak dengan lebih sedikiit menggunakan santan sehingga menghasilkan kuah yang sangat sedikit dan kental. Sebaliknya, gudeg basah dimasak dengan menggunakan lebih banyak santan sehingga menghasilkan kuah yang lebih banyak dan lebih encer.
Hasil Ciptaan Pasukan Mataram
Sejarah gudeg dan Yogyakarta terkait dengan keberadaan Kerajaan Mataram berabad-abad yang lalu. Dahulu Kerajaan Mataram Islam didirikan di hutan Mentaok pada abad ke-16 (hutan Mentoak saat ini dikenal sebagai kawasan Kota Gede). Di hutan Mentaok banyak sekali tumbuh pohon nangka, kelapa, dan melinjo.
Dibutuhkan lahan yang luas untuk lokasi pendirian Kerajaan Mataram Islam di hutan Mentoak sehingga pohon nangka, kelapa, dan melinjo yang tumbuh di sana terpaksa harus ditebang. Banyaknya ketiga jenis tanaman itu yang ditebang menyebabkan para prajurit Mataram Islam terinspirasi dan tergerak untuk membuat makanan (masakan) dengan menggunakan bahan-bahan dasar yang berasal dari pohon-pohon yang ditebang tersebut. Masakan yang dihasilkan dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan pangan prajurit Mataram Islam yang jumlahnya tidak sedikit.
Adapun awal digunakannya kata ‘gudeg’ untuk memberi nama makanan itu bermula dari proses ‘pengadukan’ yang dilakukan selama memasaknya. Dahulu, untuk memenuhi kebutuhan makan para prajurit Mataram, adonan buah nangka muda itu dimasak dalam jumlah sangat banyak sehingga harus ditempatkan di wadah (kendil, tempayan, atau panci) berukuran besar serta menggunakan pengaduk (alat untuk mengaduk) yang juga berukuran besar yang menyerupai dayung perahu/kano. Proses memasaknya dilakukan dengan dominan gerakan mengaduk-aduk (dalam bahasa Jawa disebut hangudheg) dalam waktu yang cukup lama. Dari proses dan kegiatan semacam itulah, makanan yang dihasilkan kemudian diberi nama ‘gudheg’ (dan selanjutnya populer dengan sebutan ‘gudeg’).
Sejak saat itulah masakan dengan bahan dasar utama dari tumbuhan nangka tersebut makin sering dibuat. Kian lama pula mengonsumsi hidangan yang kemudian dikenal dengan nama gudeg itu kian sering dilakukan serta menjadi kebutuhan  penting masyarakat Mataram. Gudeg pun tidak lekang oleh perubahan zaman dan perkembangan kehidupan masyarakat, melainkan mampu bertahan dan lestari hingga sekarang.
Gudeg pun kini tidak hanya menjadi makanan khas dan tradisional masyarakat Yogyakarta sebagai pusat dari Kerajaan Mataram Islam, tetapi juga masyarakat Solo dan sekitarnya yang secara historis menjadi bagian tak terpisahkan dari Kerajaan Mataram Islam. Bahkan gudeg saat ini juga relatif mudah ditemukan di berbagai kota dan daerah di luar Yogyakarta dan Jawa Tengah. Gudeg sudah menjadi makanan legendaris nusantara yang banyak digemari masyarakat dari berbagai penjuru negeri yang dihidangkan dengan gaya tradisional atau modern menurut selera penikmatnya masing-masing.
(Sumber:  Panoramakanan, Sadah Siti Hajar, http://lanskap-makanan.blogspot.com/2018/04/gudeg-makanan-khas-tradisional.html, 24 April 2018)

Benteng Van den Bosch, Ikon Pariwisata Kabupaten Ngawi

Sumber: Foto Sadah Siti Hajar


Kota dan Kabupaten Ngawi, Jawa Timur, memiliki beberapa destinasi (tujuan) wisata sejarah yang patut diunggulkan. Selain Trinil, yang merupakan objek wisata dengan bentuk situs kehidupan manusia dan satwa purba, Ngawi juga memiliki destinasi wisata sejarah yang lain, yakni Benteng Van den Bosch. Seperti namanya, benteng ini merupakan peninggalan pemerintah Hindia Belanda yang dibangun pada abad ke-19, tepatnya tahun 1845.
Benteng Van Den Bosch oleh masyarakat Ngawi populer disebut sebagai “Benteng Pendhem”. Sebutan ini merujuk pada keberadaan benteng yang berdiri di tempat (cekungan) yang rendah sehingga dari jauh tampak seperti terpendam atau terkubur. Dahulu, benteng ini memang konon dikelilingi oleh gundukan tanah seperti tanggul atau perbukitan –– sisa-sisa tanggul atau perbukitan itu masih terlihat di sekitar benteng. Sama seperti parit, tanggul pada benteng bisa dibuat sebagai pagar pertahanan pertama dari serangan musuh.
Setelah Indonesia merdeka, Benteng Van Den Bosch diambil alih dan dikuasai oleh pemerintah Indonesia, kemudian sempat dimanfaatkan sebagai lokasi latihan militer. Saat ini, pengelolaan benteng ini menjadi tanggung jawab Yon Armed 12 Kostrad. Adapun lokasi benteng ini hanya berjarak sekitar 1 km dari pusat Kota Ngawi serta berada di daerah pertemuan dua sungai besar, yakni Sungai Bengawan Solo dan Sungai Madiun.
Benteng yang dibangun Pemerintah Hindia Belanda sebagai pertahanan untuk menghadapi perlawanan Pangeran Diponegoro di kawasan Madiun dan sekitarnya ini berdiri di atas area seluas 15 hektar. Bangunannya berukuran 165 m x 80 m yang, antara lain, terdiri atas gerbang utama (gate), barak pasukan (tentara), perkantoran, ruang pimpinan, ruang tahanan (penjara), dan kandang kuda. Benteng ini dibangun pada masa Pemerintahan Hindia Belanda dipimpin oleh Gubernur Jenderal Van den Bosch.
Jejak-jejak Van den Bosch masih terlihat cukup jelas di benteng ini. Gambar close-up-nya yang berukuran besar dalam versi baru –– yang tampaknya dipasang oleh pihak pengelola –– terpampang jelas di beberapa sisi dinding benteng. Gambar itu agaknya memang sengaja dipasang untuk menunjukkan kesan kuatnya kedudukan dan pengaruh Van den Bosch atas benteng ini. Di benteng ini Sang Gebernur Jenderal konon memiliki ruang tersendiri sebagai tempat tinggalnya.
Dengan arsitektur bangunan bergaya Eropa murni, Benteng Van den Bosch dikelilingi parit (sungai kecil berbentuk melingkar) yang cukup lebar. Di beberapa bagian, bekas parit itu masih terlihat sangat jelas karena terisi genangan air. Saat berfungsi sebagai pertahanan untuk menghadapi serangan pasukan Diponegoro, benteng ini diperkuat dengan sekitar 200-an personel pasukan Belanda bersenjata serbu dan meriam serta dilengkapi dengan puluhan pasukan berkuda (kavaleri).
Di salah satu bagian benteng terdapat pula makam K.H. Muhammad Nursalim, salah satu pengikut Pangeran Diponegoro. Dalam suatu insiden, Muhammad Nursalim tertawan oleh pasukan Belanda dan dibawa ke dalam benteng. Oleh karena tidak bisa dihabisi dengan cara biasa, ia kemudian dieksekusi dengan cara dikubur hidup-hidup.
Benteng Van den Bosch jelas memiliki nilai historis yang tinggi. Ia merupakan bangunan peninggalan sejarah yang menjadi salah satu penanda perjuangan rakyat Indonesia –– terutama Pangeran Diponegoro bersama pengikut dan pasukannya –– dalam melakukan perlawanan terhadap imperialisme bangsa asing (Belanda). Benteng itu memang (dahulu) milik Belanda, tetapi dibangun untuk memperkuat kedudukannya di Indonesia sebagai penjajah serta difungsikan sebagai basis untuk melakukan penindasan dan penyerangan terhadap rakyat Indonesia.
Dan setelah menjadi milik bangsa Indonesia, Benteng Van den Bosch merupakan bangunan historis yang sangat berharga bagi bangsa dan negara Indonesia. Bangunan itu kini menjadi salah satu monumen perjuangan bangsa Indonesia. Namun, sayang sekali, kendatipun masih berdiri kokoh serta memperlihatkan sisa-sisa kemegahannya sebagai bangunan masa lalu yang artistik dan mengagumkan, benteng ini terlihat kurang perhatian dan perawatan. Selain terlihat kotor, sebagian besar atap bangunan telah mengalami kerusakan.
(Sumber:  Panoramakanan, Sadah Siti Hajar, http://lanskap-makanan.blogspot.com/2018/01/benteng-van-den-bosch-ikon-pariwisata.html, 28 Januari 2018)

Senin, 04 Juni 2018

Aries Susanti Rahayu, "Spiderwoman" Berjilbab dari Grobogan yang Mengharumkan Nama Indonesia


Oleh Akhmad Zamroni

Sumber: Dok. IFSC & tempo.co

Kita pasti sudah sangat kenal Susi Susanti, mantan atlet bulu tangkis putri nomor satu dunia itu, tetapi tentu saja masih asing dengan Aries Susanti. Ya, sosok terakhir ini memang belum terkenal dan apalagi melegenda, tetapi pada awal Mei 2018 lalu namanya menjadi buah bibir tidak hanya di Indonesia, melainkan juga di forum internasional berkat prestasi gemilangnya dalam Kejuaraan Dunia Panjat Tebing 2018 (IFSC World Cup). Dalam turnamen yang digelar pada Ahad, 6 Mei 2018, di Chongqing, Cina, ini, Aries Susanti berhasil menjadi juara pertama untuk nomor kecepatan (speed climbing performa) kelompok putri sekaligus menyabet medali emas.
Aries Susanti sukses menyisihkan para jagoan panjat tebing dunia putri dari berbagai negara, seperti Prancis, Kanada, dan Jepang. Dalam duel final, gadis berjilbab itu  mengalahkan Elena Timofeeva dari Rusia dengan waktu 7,51 detik (catatan waktu Elena hanya 9,01 detik). Dengan waktu 7,51 detik, Aries Susanti hampir memecahkan rekor dunia 7,46 detik yang dibuat pemanjat tebing Rusia lainnya, Iulina Kaplina. Kaplina juga tampil dalam kejuaraan dunia di Cina ini, tetapi ia telah tumbang lebih dahulu di babak penyisihan sebelum sempat berduel dengan Aries Susanti.
Dengan prestasi cemerlangnya, Aries Susanti mengharumkan nama Indonesia serta melejitkan reputasi olahraga panjat tebing Indonesia. Posisi Indonesia dalam olahraga panjat tebing dunia kini menjadi tinggi dan terhormat setelah bertahun-tahun sebelumnya dipandang sebelah mata. Indonesia selama ini kurang diperhitungkan dalam cabang panjat tebing karena termasuk pendatang baru yang belum berpengalaman. Namun, berkumandangnya Lagu Indonesia Raya di Kejuaraan Dunia Panjat Tebing di Cina berkat raihan medali emas Aries Susanti membuktikan bahwa Indonesia sangat mampu bersaing dan bahkan mengalahkan para jawara panjat tebing dunia, seperti Rusia dan Cina.
“Spiderwoman”
Duel final Aries Susanti vs. Elena Timofeeva dalam IFSC World Cup 2018 mendapat perhatian luas dari penggemar panjat tebing internasional. Duel keduanya direkam dengan kamera video. Hasil rekamannya kemudian beredar luas di internet serta menjadi viral (trending topic).
Dalam rekaman video itu terlihat jelas, Aries Susanti mengungguli Elena dengan telak. Aries mampu mencapai puncak dinding dengan mulus, sedangkan Elena sempat sedikit tergelincir sehingga tercecer dan tertinggal dengan selisih waktu agak jauh. Aries juga terlihat begitu mahir dan bergerak sangat cepat merayapi dinding vertikal setinggi 50 kaki itu.
Gerakan perempuan berjilbab merayap di dinding itu benar-benar memukau penonon. Ia begitu cekatan dan cepat “berjalan” di dinding tegak, seolah-olah telapak tangannya lengket dengan dinding serta otot-otot tangan dan kakinya bergerak progresif tanpa terpengaruh gravitasi sehingga manuvernya terlihat seperti cicak atau laba-laba. Tak mengherankan, seusai kejuaraan, para penonton dan jurnalis yang menyaksikan aksinya menjuluki Aries sebagai "Spiderwoman" ("Manusia Laba-Laba"). Setelah kembali ke Indonesia, perempuan berusia 23 tahun itu pun kini akrab dengan julukan “Spiderwoman”.
Dari Hobi Memanjat Pohon Menjadi Pemanjat Tebing Elite Dunia
Siapakah Aries Susanti? Gadis cantik yang memiliki nama lengkap Aries Susanti Rahayu ini berasal dari Desa Taruman, Kecamatan Klambu, Grobogan, Jawa Tengah. Ayu, demikian nama panggilannya, lahir di Grobogan pada 21 Maret 1995. Ayahnya, Sanjaya, adalah seorang petani lokal, sedangkan ibunya, Maryati, merupakan ibu rumah tangga yang pernah menjadi tenaga kerja Indonesia (TKI) di Arab Saudi.
Ayu menyelesaikan pendidikan dasar (SD) dan menengah pertama (SMP) di Grobogan. Pendidikan menengah atas (SMA) ia rampungkan di Semarang dan Grobogan (mulai di SMAN 9 Semarang, pindah ke SMA YPE Semarang, hingga akhirnya kembali ke SMAN 1 Grobogan). Adapun pendidikan tingginya ia tempuh di Universitas Muhamadiyah Semarang. Di universitas swasta Islam ini, ia tercatat sebagai  mahasiswa Program Studi Manajemen.
Aries menekuni olahraga panjat tebing sejak SMP. Sebelumnya di SD ia menekuni cabang atletik, khususnya lari. Saat diajak dan diperkenalkan dengan panjat tebing oleh guru olahraganya di SMP, Tri Rus Yuliyanto, Ayu langsung tertarik karena ia memang memiliki kegemaran panjat-memanjat yang kurang lazim bagi perempuan, yakni memanjat pohon.
Sejak itu, Ayu menjadikan panjat tebing sebagai olahraga barunya. Ia menekuni olahraga yang membutuhkan keberanian tinggi ini dengan sungguh-sungguh dan disiplin. Untuk meningkatkan dan memantapkan teknik dan kemampuanya, ia tidak hanya berlatih climbing di daerahnya sendiri (Grobogan). Terutama jika tengah melakukan persiapan untuk menghadapi lomba penting, ia akan berlatih sampai ke Solo, Semarang, dan Jakarta.
Usaha keras Ayu tidak sia-sia. Berbagai prestasi lokal, nasional, dan internasional telah ia raih sebelum menjadi juara dunia di Cina awal Mei 2018 lalu. Sederet prestasi yang sebelumnya pernah ia torehkan, antara lain, Juara II Kejurnas Panjat Tebing UPN Yogyakarta, Juara I Nomor Speed Putri Kejurnas Panjat Tebing di Madapala Yogyakarta (2013), Juara III Speed Track Campuran Pekan Olahraga Pelajar Jawa Tengah (2013), Juara III Speed Putri Kejurnas Panjat Tebing (2014), Juara Speed Classic Perorangan Putri di Kejuaraan Provinsi Jawa Tengah (2015), Juara III Speed Classic Putri dalam Danjen Kopassus Sport Climbing Competition (2017), Juara I Beregu Asian Climbing Championship di Iran (2017), Peringkat II dan IV kategori Speed dalam Seri Kejuaraan Dunia Panjat Tebing di China (2017), dan Juara IV World Cup Series Panjat Tebing Kategori Speed di Moscow (2018).
Dengan meraih gelar juara dunia di IFSC World Cup 2018, posisi Ayu melejit dalam daftar peringkat pemanjat tebing putri dunia. Ia kini masuk dalam jajaran pemanjat tebing putri elite dunia. Dalam daftar peringkat untuk speed world record putri yang dikeluarkan oleh Federasi Panjat Tebing Internasional akhir Mei 2018 lalu, Aries Susanti bertengger di urutan kedua dengan 220 poin.  Peringkat pertama diduduki Anouck Jaubert (Prancis) dengan 240 poin, sedangkan peringkat ketiga ditempati Elena Timofeeva dari Rusia dengan 169 poin.
Berkat prestasi Ayu pula, yang didukung oleh prestasi beberapa rekannya dalam beberapa seri kejuaraan panjat tebing dunia terakhir, Indonesia secara tim menduduki peringkat pertama dunia dengan mengumpulkan 1.023 poin. Indonesia mendepak Rusia ke peringkat kedua (dengan 980 poin) yang sebelumnya selama bertahun-tahun bertengger di urutan pertama. Adapun peringkat ketiga ditempati oleh Prancis dengan 590 poin.
Antara Menjadi Atlet Panjat Tebing dan Polisi
Menekuni panjat tebing awalnya sempat membuat Ayu mengalami dilema. Pasalnya, sebelum ia meraih prestasi tinggi dalam panjat tebing seperti sekarang ini, orang tuanya lebih mengharapkan Ayu untuk menjadi polisi. Namun, kata hatinya menghendaki Ayu untuk memilih panjat tebing sehingga ia berketetapan hati untuk fokus di cabang olahraga yang memicu adrenalin ini.
Belakangan terbersit juga dalam pikirannya untuk mengikuti seleksi menjadi polisi, tetapi usianya sudah tidak lagi memenuhi syarat. Perempuan yang paras dan penampilan fisiknya lebih mirip seorang model dan artis ini akhirnya menganggap panjat tebing telah menjadi jalan hidupnya. Melalui olahraga ini ia akan berusaha membahagiakan kedua orang tuanya.
Melihat keseriusan dan prestasi tinggi Ayu, orang tua dan keluarganya pun kemudian memberikan dukungan penuh kepada anak bungsu ini untuk terus menggeluti panjat tebing. Sang ibu, Maryati, kadang-kadang masih merasa ngeri dan khawatir akan keselamatan Ayu saat berlatih dan berlomba merayapi dinding vertikal yang menjulang tinggi. Namun, Ayu mampu meyakinkan ibundanya bahwa ia akan baik-baik saja karena ia melakukan olahraga ini  dengan menggunakan tali pengaman.
Maryati dan suaminya kini tidak hanya mendukung Ayu untuk tetap fokus menekuni panjat tebing, melainkan juga bangga dengan prestasi sang putri. Sebagian hadiah dan bonus yang diterima Ayu karena menjadi juara di berbagai lomba digunakan Ayu untuk turut membiayai perbaikan rumah orang tuanya. Sebagiannya lagi digunakan untuk membiayai kuliahnya di Universitas Muhammadiyah Semarang yang pada awal tahun 2018 ini baru menginjak semester III. Maryati dan Sanjaya benar-benar bersyukur atas kiprah dan prestasi Ayu. Mereka pun berusaha memantau terus Ayu saat sang putri mengikuti lomba melalui kanal YouTube di internet.
Ayu bertekad untuk mengharumkan nama Indonesia, orang tua, dan kampung halamannya melalui panjat tebing. Selagi mampu, ia akan terus berusaha mewujudkan itu dalam berbagai kesempatan lomba. Sebagian tekad besarnya itu telah terwujud dalam IFSC World Cup 2018 di China awal Mei 2018 lalu. Kejuaraan-kejuaraan internasional lain berikutnya akan menunggu kiprah Ayu.
Selama bulan Mei-Juni 2108, Ayu tengah fokus mempersiapkan diri untuk menghadapi ASEAN Games 2018 yang akan digelar di Jakarta dan Palembang, 18 Agustus-2 September 2018. Dalam Asian Games nanti, Ayu bersama tim panjat tebing Indonesia bertekad memborong medali. “Semoga terlaksana dengan baik. Saya minta doa dan dukungan dari semuanya," tutur Ayu seperti yang lansir kompas.com.
Nyaman Berhijab
Perihal penampilannya sebagai atlet panjat tebing yang berjilbab, Ayu mengaku tak pernah merasa terganggu dengan senantiasa berhijab (mengenakan jilbab) baik saat berlatih maupun bertanding. Dengan berjilbab, ia malah merasa nyaman (enjoy) karena dengan demikian dapat menjalankan kewajibannya sebagai muslimah. Seperti yang dikatakannya kepada tempo.co, “Saya tak pernah merasa ada kesulitan melakukan aktivitas panjat tebing meskipun berhijab. Berhijab itu bagi saya malah bikin nyaman karena kodrat sebagai wanita muslim ‘kan memang harus menutup auratnya.”
Dara yang kini menjadi salah satu andalan tim panjat tebing Indonesia ini juga mengaku, saat bertanding tak pernah mendapatkan perlakuan yang tak menyenangkan karena berjilbab. “Insya Allah banyak atlet panjat tebing yang berhijab juga. Semua santai dan tak pernah ada perlakuan yang bikin saya tak nyaman,” katanya kepada tempo.co. Adapun dalam mengatur atribut jilbabnya saat berlatih dan bertanding, ia mengatakan, “Saya biasanya memasukkan hijab saya yang panjang ke dalam baju saja, agar tidak terbang-terbang dan mengganggu.”