Minggu, 08 September 2019

De Tjolomadoe, Penampilannya Masa Kini Semanis Prestasinya pada Masa Lalu


Oleh Akhmad Zamroni
De Tjolomadoe tampak depan (Sumber: https://www.archdaily.com)

Mesin-mesin giling bergerigi raksasa dilengkapi tabung penampungan berukuran besar mendominasi pemandangan di dalam bangunan yang megah dan bersejarah. Mesin-mesin dari baja yang masih tampak kokoh dengan balutan cat baru warna abu-abu dan keemasan itu dipajang di ruang bangunan kuno dengan langit-langit menjulang tinggi yang telah direnovasi. Mesin berikut bangunan yang yang dibuat dan didirikan pada pertengahan abad ke-19 itu kini tampak lebih baru dan modern, apalagi sebagian ruangannya telah diubah menjadi cafe, toko suvenir, dan gedung pertunjukan.

Di luar bangunan utama terhampar pelataran dan lapangan parkir yang luas, taman bunga dan rumput yang tersebar sporadis, dan sedikit pohon. Beberapa bangunan kantor dan pendapa terlihat di beberapa sudut. Lampu-lampu taman yang tersebar di beberapa titik melengkapi panorama terbuka di kompleks bekas pabrik gula yang kini menjelma destinasi wisata.

Pabrik Gula Colomadu sebelum direnovasi (Sumber: nasional.tempo.co)

Itulah gambaran sepintas De Tjolomadoe, objek wisata baru di Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Semula merupakan pabrik gula (PG), kini kompleks pabrik yang beralamat di Jalan Adi Sucipto Nomor 1, Desa Malangjiwan, Kecamatan Colomadu, itu telah direvitalisasi menjadi bangunan megah yang multifungsi. Revitalisasi mengubahnya dari salah satu pusat industri penghasil gula menjadi salah satu pusat destinasi wisata, edukasi sejarah, dan kesenian di kawasan Solo Raya.

Pabrik Gula Colomadu didirikan oleh Mangkunegara IV Surakarta pada tahun 1861. Pernah menyandang predikat sebagai perusahaan penghasil gula terbesar di Asia dan terbesar kedua di dunia –– pada 1928, bahkan pernah menjadi eksportir gula terbesar di dunia –– PG Colomadu akhirnya berhenti beroperasi pada tahun 1997. Setelah kurang terurus selama sekitar 20 tahun, pada tahun 2017 PG Colomadu direnovasi dan direvitalisasi oleh gabungan (konsorsium) beberapa BUMN –– di bawah koordinasi Kementerian BUMN –– menjadi tempat wisata yang khas dan multiguna.

Namanya kemudian diganti menjadi “De Tjolomadoe”. Dapat dikatakan, De Tjolomadoe kini menjadi satu-satunya tempat wisata di Indonesia yang menggabungkan situs sejarah pabrik gula dengan gaya dan impresi wisata modern yang memiliki kelas tersendiri. Sempat menjadi sorotan dan mendapat kritik tajam karena usaha revitalisasinya dianggap kurang memperhatikan nilai budaya dan sejarah, De Tjolomadoe tidak hanya menjadi tempat wisata biasa yang bernuansa historis, melainkan juga menjadi pusat heritage, kesenian, edukasi (sejarah), dan perdagangan (bisnis). De Tjolomadoe kini dikelola oleh PT Sinergi Colomadu.
Stasiun dan Mesin
Bangunan pabrik tetap dipertahankan dengan polesan renovasi masa kini. Cerobong asap yang menjulang tinggi masih tetap berdiri. Mesin-mesin produksi yang terbagi menjadi beberapa stasiun yang dahulu digunakan untuk memproduksi gula dipertahankan sebagai benda cagar budaya yang bahkan menjadi pajangan dan andalan utama De Tjolomadoe sebagai tujuan wisata. Stasiun dengan mesin-mesinnya yang kini sudah dicat dengan warna dominan abu-abu menjadi perhatian dan fokus utama para pengunjung.

Stasiun Gilingan (Sumber: Zamroni-Sadah-Shida)

Untuk masyarakat masa kini yang tidak atau kurang familiar dengan peralatan produksi gula, stasiun dan mesin penghasil gula di De Tjolomadoe jelas terasa unik, eksotis, dan istimewa, apalagi itu berasal dari masa satu setengah abad silam. Terlihat masih sangat kokoh dan gagah –– meski  tidak lagi dengan warna aslinya –– stasiun dan mesin itu menjadi pemandangan yang indah dan cukup menakjubkan. Dibuat saat manusia belum mengenal teknologi digital seperti saat ini, benda-benda itu tampak tak lekang oleh perkembangan zaman.

Stasiun dan mesin dari baja itu, tentu saja, sudah tidak lagi difungsikan untuk memproduksi gula, melainkan untuk memberikan atraksi wisata dan kenyamanan kepada pengunjung. Stasiun terbagi menjadi beberapa bagian dan nama dengan yang paling menonjol adalah Stasiun Gilingan yang difungsikan sebagai museum. Stasiun Gilingan berada di bagian paling depan yang dapat disaksikan oleh pengunjung begitu masuk ke dalam bangunan utama De Tjolomadoe.

Stasiun Penguapan (Sumber: Zamroni-Sadah-Shida)

Ada juga Stasiun Ketelan yang difungsikan untuk restoran dan tempat pameran. Stasiun Penguapan diubah menjadi lorong yang di sisi kanan dan kirinya berjajar kios pakaian dan kuliner. Stasiun Karbonatasi dikhususkan sebagai tempat penjualan kerajinan tangan. Adapun bengkel (besalen) telah difungsikan menjadi kafe.
Pertunjukan Kelas Dunia
Di bagian belakang bangunan utama De Tjolomadoe juga tersedia dua ruangan besar yang dapat digunakan (disewa) oleh masyarakat umum dan korporasi luar. Keduanya masih berada dalam satu ruangan dengan stasiun-stasiun, tetapi terletak di sebelah selatannya dengan disekat dinding khusus. Kedua ruangan itu masing-masing bernama Tjolomadoe Hall dan Sarkara Hall.

Tjolomadoe Hall (Sumber: kompas.com-Kristianto Purnomo)

Tjolomadoe Hall merupakan gedung pertunjukan yang ukuran dan fasilitasnya di atas rata-rata dengan daya tampung 2.500 orang, sedangkan Sarkara Hall merupakan gedung untuk pertemuan dan pernikahan yang berkapasitas 1.500 orang. Tjolomadoe Hall diklaim sebagai gedung pertunjukan atau konser seni yang berkelas dunia. Pertunjukan beberapa artis dunia dan nasional pernah digelar di gedung multifungsi (multifunction hall) ini. Artis yang pernah manggung  di Tjolomadoe Hall, antara lain, David Foster, Brian McKnight, Anggun C. Sasmi, Dira Sugandi, Sandy Sandhoro, dan Yura Yunita.

Tjolomadoe Hall dan Sarkara Hall melengkapi keberadaan De Tjolomadoe sebagai destinasi wisata yang multievent  dan memiliki jangkauan global. Seperti dikemukakan Menteri BUMN, Rini Suwandi, dalam “Hitman David Foster and Friends” 24 Maret 2018, De Tjolomadoe diharapkan dapat menjadi concert hall  terkenal di dunia melalui pengembangan Tjolomadoe Hall.
Semanis Masa Lalu
Pengunjung yang datang dan berkeliling di De Tjolomadoe akan mendapatkan suguhan lanskap sejarah yang dipadukan dengan pernik dan kronika modern. Menyaksikan mesin produksi penghasil gula yang berasal dari masa kolonial Belanda sembari menikmati sajian dan pelayanan modern masa kini akan menjadi atraksi pariwisata khas yang langka. Dengan harga tiket yang tidak terlalu mahal (Rp25.000,00), pengunjung dapat menikmati De Tjolomadoe dengan kemegahan, kesejarahan, dan keunikannya.

Pengunjung umum pasti akan mendapatkan pengalaman baru. Adapun pengunjung dari kalangan pendidikan (pelajar, mahasiswa, guru, dan sebagainya) juga akan mendapat tambahan pengetahuan sejarah baru karena akan memperoleh penjelasan historis seputar PG Colomadu dari pemandu khusus yang disediakan pihak pengelola untuk pengunjung dari kalangan pendidikan.

Panorama De Tjolomadoe dari atas (Sumber: Diskominfo Karanganyar).jpg)

Sebelum direnovasi, bekas pabrik ini sempat terlihat kotor dan kumuh akibat tak terurus sejak berhenti beroperasi tahun 1997 hingga tahun 2017. Masa lalunya yang manis sebagai salah satu raksasa penghasil gula di Asia dan dunia, pada saat itu seolah-olah pudar terkikis oleh waktu dan zaman.
Namun, renovasi yang berbiaya mahal mampu mengubahnya menjadi tempat baru yang elegan, nyaman, dan memiliki kelas tersendiri. Terlepas dari segala kekurangannya dalam proses renovasi, PG Colomadu telah bertransformasi dan menjelma menjadi ikon pariwisata baru yang terlihat cukup manis, semanis prestasi masa lalunya sebagai ikon penghasil gula kelas dunia.