Senin, 23 September 2019

Dekonstruksi Ilegal terhadap KPK


Oleh Akhmad Zamroni
Aksi menolak revisi UU KPK (Sumber: https://news.detik.com)


       DPR kembali membuat kontroversi dengan mengeluarkan kebijakan yang tidak prorakyat, tidak pro penegakan hukum, dan tidak pro pemberantasan korupsi. Menjelang berakhirnya masa tugas bulan Oktober 2019, DPR periode 2014-2019 membuat keputusan yang menyimpang terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada awal September 2019. Setidaknya lembaga rakyat ini membuat dua keputusan yang substansinya terasa sekali sebagai upaya mendekonstruksi KPK sebagai lembaga negara sekaligus lembaga pemberantasan korupsi.

Dua keputusan itu sebagai berikut. Pertama, DPR memutuskan untuk melakukan revisi terhadap undang-undang tentang KPK (UU Nomor 30 Tahun 2002). Kedua, DPR mengharuskan para calon pimpinan KPK untuk menandatangani kontrak politik guna menyetujui revisi terhadap undang-undang KPK saat menggelar fit and proper test  untuk memilih pimpinan KPK periode 2019-2023.
Dari segi regulasi dan administrasi hukum ketatanegaraan serta etika politik, kedua langkah DPR tersebut sangat bermasalah atau bahkan mengalami cacat. Baik keputusan untuk merevisi UU KPK maupun memberlakukan kontrak politik untuk calon pimpinan KPK secara eksplisit cenderung dilakukan untuk kepentingan diri sendiri DPR (dan partai politik) serta secara implisit mengandung agenda terselubung yang gelap, eksklusif, dan jauh dari kepentingan masyarakat banyak (rakyat).

       Regulasi dan administrasi ketatanegaraan serta etika politik pertama yang dilanggar DPR terlihat jelas saat mereka mengambil keputusan untuk merevisi UU KPK melalui prosedur yang cepat, minimalis, dan kontra-akomodatif. Keputusan untuk merevisi UU KPK diambil melalui rapat paripurna yang berlangsung sangat cepat dan hanya dihadiri 77 anggota (sekitar 13,7 persen) dari 560 anggota DPR.    

Aksi mendukung KPK (Sumber: https://tirto.id)

       
Pelanggaran kedua, DPR tidak memasukkan rencana revisi UU KPK dalam program legislasi nasional (prolegnas) maupun prolegnas prioritas. Sebagai konsekuensinya, rencana revisi UU KPK tidak memiliki kelayakan urgensi dan kematangan legislasi karena tidak mendapat persetujuan masyarakat luas melalui sosialisasi dan penjaringan aspirasi.


 Pelanggaran ketiga, DPR memberlakukan kontrak politik secara sepihak kepada calon pimpinan lembaga negara (KPK) untuk urusan dan kepentingan diri DPR sendiri. Tanpa melalui koordinasi dan persetujuan masyarakat luas, DPR memberlakukan kontrak politik semata-mata untuk menyukseskan agenda sempit politiknya (merevisi UU KPK). Hal ini menyebabkan personel-personel yang terpilih menjadi pemimpin KPK cenderung yang mengikuti kehendak dan kepentingan DPR, bukan yang memiliki integritas serta memiliki idealisme dan agenda baku upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.
Ilegalitas yang Telanjang
Semua langkah yang dilakukan DPR dalam upaya merevisi UU KPK terlihat jelas sebagai kebijakan yang tidak sah yang diambil secara terbuka di hadapan masyarakat melalui prosedur ketatanegaraan yang tidak baku dan tidak benar. Tidak bisa lain, impresi yang mencuat dari keputusan atau kebijakan itu adalah ilegalitas yang telanjang sehingga mendapatkan penolakan kuat dari masyarakat luas.
Dengan mempertimbangkan bahwa substansi revisi terhadap UU KPK yang direncanakan DPR sendiri ternyata tidak bersifat memperkuat independensi dan kewenangan KPK, melainkan justru melucuti, memperlemah, dan mengooptasinya, maka kian kuat dan membesarlah penolakan terhadap langkah-langkah yang diambil DPR. Publik yang kian cerdik serta makin melek konstitusi dan politik, sebagaimana yang dapat kita saksikan sepekan terakhir ini, dapat merasakan adanya upaya mendekonstruksi KPK secara sengaja melalui cara-cara di luar prosedur yang sah. 

Kritik terhadap Presiden Joko Widodo yang mendukung revisi UU KPK
(Sumber: https://www.republika.co.id)

        
Apa yang dilakukan DPR itu merupakan anomali dan absurditas dalam ketatanegaraan kita umumnya dan upaya pemberantasan korupsi khususnya. Anomali dan absurditas ketatanegaraan dan upaya pemberantasan korupsi tidak akan menghasilkan apa-apa, kecuali kekacauan dan, cepat atau lambat, kehancuran sistem ketatanegaraan serta akan memperparah perilaku dan kebiasaan korupsi itu sendiri.

       Ikhtiar ilegal yang dilandasi kepentingan sempit dan picik untuk memperbaiki upaya pemberantasan korupsi dan lembaga pengembannya (KPK) tidak akan pernah mampu menekan dan mengurangi korupsi, melainkan akan menambah dan menyuburkannya. Hal itu akan menyebabkan rusaknya regulasi, administrasi, dan lembaga antikorupsi di sisi satu serta menambah munculnya kantong-kantong korupsi baru dan memperkuat perilaku koruptif di sisi lain sehingga upaya pemberantasan korupsi tidak hanya akan sia-sia, melainkan juga akan terasa seperti memakan dirinya sendiri.




Minggu, 08 September 2019

De Tjolomadoe, Penampilannya Masa Kini Semanis Prestasinya pada Masa Lalu


Oleh Akhmad Zamroni
De Tjolomadoe tampak depan (Sumber: https://www.archdaily.com)

Mesin-mesin giling bergerigi raksasa dilengkapi tabung penampungan berukuran besar mendominasi pemandangan di dalam bangunan yang megah dan bersejarah. Mesin-mesin dari baja yang masih tampak kokoh dengan balutan cat baru warna abu-abu dan keemasan itu dipajang di ruang bangunan kuno dengan langit-langit menjulang tinggi yang telah direnovasi. Mesin berikut bangunan yang yang dibuat dan didirikan pada pertengahan abad ke-19 itu kini tampak lebih baru dan modern, apalagi sebagian ruangannya telah diubah menjadi cafe, toko suvenir, dan gedung pertunjukan.

Di luar bangunan utama terhampar pelataran dan lapangan parkir yang luas, taman bunga dan rumput yang tersebar sporadis, dan sedikit pohon. Beberapa bangunan kantor dan pendapa terlihat di beberapa sudut. Lampu-lampu taman yang tersebar di beberapa titik melengkapi panorama terbuka di kompleks bekas pabrik gula yang kini menjelma destinasi wisata.

Pabrik Gula Colomadu sebelum direnovasi (Sumber: nasional.tempo.co)

Itulah gambaran sepintas De Tjolomadoe, objek wisata baru di Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Semula merupakan pabrik gula (PG), kini kompleks pabrik yang beralamat di Jalan Adi Sucipto Nomor 1, Desa Malangjiwan, Kecamatan Colomadu, itu telah direvitalisasi menjadi bangunan megah yang multifungsi. Revitalisasi mengubahnya dari salah satu pusat industri penghasil gula menjadi salah satu pusat destinasi wisata, edukasi sejarah, dan kesenian di kawasan Solo Raya.

Pabrik Gula Colomadu didirikan oleh Mangkunegara IV Surakarta pada tahun 1861. Pernah menyandang predikat sebagai perusahaan penghasil gula terbesar di Asia dan terbesar kedua di dunia –– pada 1928, bahkan pernah menjadi eksportir gula terbesar di dunia –– PG Colomadu akhirnya berhenti beroperasi pada tahun 1997. Setelah kurang terurus selama sekitar 20 tahun, pada tahun 2017 PG Colomadu direnovasi dan direvitalisasi oleh gabungan (konsorsium) beberapa BUMN –– di bawah koordinasi Kementerian BUMN –– menjadi tempat wisata yang khas dan multiguna.

Namanya kemudian diganti menjadi “De Tjolomadoe”. Dapat dikatakan, De Tjolomadoe kini menjadi satu-satunya tempat wisata di Indonesia yang menggabungkan situs sejarah pabrik gula dengan gaya dan impresi wisata modern yang memiliki kelas tersendiri. Sempat menjadi sorotan dan mendapat kritik tajam karena usaha revitalisasinya dianggap kurang memperhatikan nilai budaya dan sejarah, De Tjolomadoe tidak hanya menjadi tempat wisata biasa yang bernuansa historis, melainkan juga menjadi pusat heritage, kesenian, edukasi (sejarah), dan perdagangan (bisnis). De Tjolomadoe kini dikelola oleh PT Sinergi Colomadu.
Stasiun dan Mesin
Bangunan pabrik tetap dipertahankan dengan polesan renovasi masa kini. Cerobong asap yang menjulang tinggi masih tetap berdiri. Mesin-mesin produksi yang terbagi menjadi beberapa stasiun yang dahulu digunakan untuk memproduksi gula dipertahankan sebagai benda cagar budaya yang bahkan menjadi pajangan dan andalan utama De Tjolomadoe sebagai tujuan wisata. Stasiun dengan mesin-mesinnya yang kini sudah dicat dengan warna dominan abu-abu menjadi perhatian dan fokus utama para pengunjung.

Stasiun Gilingan (Sumber: Zamroni-Sadah-Shida)

Untuk masyarakat masa kini yang tidak atau kurang familiar dengan peralatan produksi gula, stasiun dan mesin penghasil gula di De Tjolomadoe jelas terasa unik, eksotis, dan istimewa, apalagi itu berasal dari masa satu setengah abad silam. Terlihat masih sangat kokoh dan gagah –– meski  tidak lagi dengan warna aslinya –– stasiun dan mesin itu menjadi pemandangan yang indah dan cukup menakjubkan. Dibuat saat manusia belum mengenal teknologi digital seperti saat ini, benda-benda itu tampak tak lekang oleh perkembangan zaman.

Stasiun dan mesin dari baja itu, tentu saja, sudah tidak lagi difungsikan untuk memproduksi gula, melainkan untuk memberikan atraksi wisata dan kenyamanan kepada pengunjung. Stasiun terbagi menjadi beberapa bagian dan nama dengan yang paling menonjol adalah Stasiun Gilingan yang difungsikan sebagai museum. Stasiun Gilingan berada di bagian paling depan yang dapat disaksikan oleh pengunjung begitu masuk ke dalam bangunan utama De Tjolomadoe.

Stasiun Penguapan (Sumber: Zamroni-Sadah-Shida)

Ada juga Stasiun Ketelan yang difungsikan untuk restoran dan tempat pameran. Stasiun Penguapan diubah menjadi lorong yang di sisi kanan dan kirinya berjajar kios pakaian dan kuliner. Stasiun Karbonatasi dikhususkan sebagai tempat penjualan kerajinan tangan. Adapun bengkel (besalen) telah difungsikan menjadi kafe.
Pertunjukan Kelas Dunia
Di bagian belakang bangunan utama De Tjolomadoe juga tersedia dua ruangan besar yang dapat digunakan (disewa) oleh masyarakat umum dan korporasi luar. Keduanya masih berada dalam satu ruangan dengan stasiun-stasiun, tetapi terletak di sebelah selatannya dengan disekat dinding khusus. Kedua ruangan itu masing-masing bernama Tjolomadoe Hall dan Sarkara Hall.

Tjolomadoe Hall (Sumber: kompas.com-Kristianto Purnomo)

Tjolomadoe Hall merupakan gedung pertunjukan yang ukuran dan fasilitasnya di atas rata-rata dengan daya tampung 2.500 orang, sedangkan Sarkara Hall merupakan gedung untuk pertemuan dan pernikahan yang berkapasitas 1.500 orang. Tjolomadoe Hall diklaim sebagai gedung pertunjukan atau konser seni yang berkelas dunia. Pertunjukan beberapa artis dunia dan nasional pernah digelar di gedung multifungsi (multifunction hall) ini. Artis yang pernah manggung  di Tjolomadoe Hall, antara lain, David Foster, Brian McKnight, Anggun C. Sasmi, Dira Sugandi, Sandy Sandhoro, dan Yura Yunita.

Tjolomadoe Hall dan Sarkara Hall melengkapi keberadaan De Tjolomadoe sebagai destinasi wisata yang multievent  dan memiliki jangkauan global. Seperti dikemukakan Menteri BUMN, Rini Suwandi, dalam “Hitman David Foster and Friends” 24 Maret 2018, De Tjolomadoe diharapkan dapat menjadi concert hall  terkenal di dunia melalui pengembangan Tjolomadoe Hall.
Semanis Masa Lalu
Pengunjung yang datang dan berkeliling di De Tjolomadoe akan mendapatkan suguhan lanskap sejarah yang dipadukan dengan pernik dan kronika modern. Menyaksikan mesin produksi penghasil gula yang berasal dari masa kolonial Belanda sembari menikmati sajian dan pelayanan modern masa kini akan menjadi atraksi pariwisata khas yang langka. Dengan harga tiket yang tidak terlalu mahal (Rp25.000,00), pengunjung dapat menikmati De Tjolomadoe dengan kemegahan, kesejarahan, dan keunikannya.

Pengunjung umum pasti akan mendapatkan pengalaman baru. Adapun pengunjung dari kalangan pendidikan (pelajar, mahasiswa, guru, dan sebagainya) juga akan mendapat tambahan pengetahuan sejarah baru karena akan memperoleh penjelasan historis seputar PG Colomadu dari pemandu khusus yang disediakan pihak pengelola untuk pengunjung dari kalangan pendidikan.

Panorama De Tjolomadoe dari atas (Sumber: Diskominfo Karanganyar).jpg)

Sebelum direnovasi, bekas pabrik ini sempat terlihat kotor dan kumuh akibat tak terurus sejak berhenti beroperasi tahun 1997 hingga tahun 2017. Masa lalunya yang manis sebagai salah satu raksasa penghasil gula di Asia dan dunia, pada saat itu seolah-olah pudar terkikis oleh waktu dan zaman.
Namun, renovasi yang berbiaya mahal mampu mengubahnya menjadi tempat baru yang elegan, nyaman, dan memiliki kelas tersendiri. Terlepas dari segala kekurangannya dalam proses renovasi, PG Colomadu telah bertransformasi dan menjelma menjadi ikon pariwisata baru yang terlihat cukup manis, semanis prestasi masa lalunya sebagai ikon penghasil gula kelas dunia.