Oleh Akhmad Zamroni
Donald Trump Vs Joe Biden dalam pemilihan presiden AS 2020 (Sumber: Liputan6.com-Trie Yasni)
Mengapa orang
seperti Donald Trump bisa menjadi presiden? Mengapa tokoh kontroversial yang,
menurut hasil survei banyak media, tidak disukai oleh banyak kalangan, termasuk
oleh rakyatnya sendiri, ini bisa memenangkan pemilihan presiden di negara yang
mengklaim diri sebagai kampiun demokrasi? Apakah proses pemilihan presiden
Amerika Serikat yang memunculkan dia menjadi presiden benar-benar berlangsung bersih
dan demokratis?
Kehadiran
Trump dalam perpolitikan Amerika Serikat (AS) khususnya dan dunia umumnya
memicu tanda tanya besar. Terpilihnya dia sebagai presiden AS menimbulkan rasa
aneh di hati dan pikiran ratusan juta dan mungkin miliaran orang di seluruh dunia.
Kemunculannya sebagai orang nomor satu di AS juga menimbulkan ketidaksenangan
dan antipati di berbagai belahan dunia, termasuk juga di dalam negeri AS
sendiri.
Dalam
pandangan masyarakat internasional, Donald Trump bukanlah seorang demokrat: ia
tidak menganut dan menerapkan prinsip-prinsip dan nilai-nilai demokrasi dengan
baik sebagaimana mestinya. Ia juga bukan tokoh yang menghargai dan menjunjung
tinggi hak asasi manusia (HAM). Kampanye-kampanyenya menjelang pemilihan
presiden serta kebijakan-kebijakannya setelah menjadi presiden dengan gamblang
memperlihatkan bahwa ia adalah seorang politikus yang intoleran dan
diskriminatif.
Pengusaha yang
memiliki rumah judi (kasino) dan beberapa kali kepergok melakukan pelecehan terhadap wanita itu berkali-kali
menyatakan ketidaksukaannya dan sikap antipatinya terhadap Islam. Hanya karena
beberapa peristiwa teror mengatasnamakan Islam, ia membuat generalisasi bahwa
Islam itu negatif dan berbahaya sehingga perlu diwaspadai dan dibatasi. Ia
tidak bisa bersikap seperti kebanyakan atau hampir semua kepala negara di dunia
yang menganggap bahwa di luar beberapa kelompok teroris yang mengatasnamakan
Islam, Islam di banyak tempat di dunia mampu memperlihatkan wajah yang toleran,
bersahabat, dan damai, sehingga generalisasi bahwa Islam itu buruk dan jahat
sangatlah tidak tepat. Ia juga gencar memojokkan dan menyerang kaum imigran.
Tanpa rasa malu dan sadar diri bahwa ia dan kaum kulit putih di Amerika Serikat
juga merupakan kaum pendatang (imigran), ia menyatakan akan menolak atau menyeleksi
dengan sangat ketat kaum imigran di AS.
Dengan
sikapnya yang penuh prasangka, diskriminatif, rasis, tidak menghargai kebebasan,
dan paranoid tersebut, Trump dengan cepat terbentuk menjadi figur kontroversial
yang dianggap oleh banyak kalangan tidak pantas menjadi pemimpin negara sebesar
AS. Masyarakat AS sendiri tidak sedikit yang menganggapnya sebagai presiden
terburuk dalam sejarah AS. Masyarakat internasional dan sebagian masyarakat AS
kini sepertinya justru memasukkan dia sebagai “figur yang berbahaya dan perlu
terus dikawal kebijakan-kebijakannya.”
Persoalannya
adalah kembali pada pertanyaan awal: mengapa ia bisa terpilih menjadi presiden
AS? Bagaimana sistem demokrasi di AS yang sangat canggih, mapan, dan begitu
dikagumi masyarakat dunia bisa meloloskan orang seperi dia? Apakah ada
kesalahan dalam sistem demokrasi di AS sehingga tokoh sekontroversial Trump
bisa masuk bursa calon presiden AS?
Pemilihan presiden AS tahun 2020 (Sumber: Mario Tama-Getty Images via AFP) |
Kasus Trump
menunjukkan bahwa sistem yang demokratis tidak selamanya mampu melahirkan
pemimpin yang berintegritas serta menghargai HAM dan demokrasi itu sendiri.
Terpilihnya dia sebagai presiden menunjukkan bahwa (sistem) demokrasi yang
sangat canggih dan kredibel pun ternyata masih mengandung kelemahan. Dengan
kata lain, demokrasi yang dipuja-puja dan dianggap sebagai sitem politik dan
kehidupan yang paling baik tetap saja dapat mengalami anomali.
Terlepas dari
masalah keteledoran Partai Republik untuk meloloskan dia menjadi kandidat
presiden, kasus Trump dengan telak memperlihatkan ketidakakuratan dan ketidakcanggihan
sistem demokrasi dalam melakukan seleksi calon pemimpin. Kelemahan ini agaknya
bermula dari rekrutmen calon pemimpin yang tidak tepat akibat subjektivitas
berlebihan yang terjadi pada partai politik dan massa pendukung kandidat.
Partai politik tempat Trump bernaung, yakni Partai Republik, serta massa
pendukungnya, walaupun hidup di negeri yang demokrasinya sudah sangat mapan,
tampaknya kali ini tidak mampu melepaskan diri dari primordialisme sempit
sehingga tokoh yang berkarakter rasis dan tidak menghargai HAM seperti Trump
tetap saja mereka dukung. Dan terlepas dari persoalan money politics yang bisa
saja terjadi, mereka yang memiliki kepentingan untuk mengutamakan kelompok ras
atau agamanya menganggap Trump sebagai orang yang tepat untuk dijadikan amunisi
sekaligus meriam perjuangan.
Adapun perihal
rumor intervensi Rusia dalam pemilihan presiden AS yang, konon dengan
retasannya mampu “memenangkan” Trump sebagai presiden, masih menjadi tanda
tanya besar serta kemungkinannya menjadi faktor penentu utama kemenangan Trump
tidaklah signifikan. Melalui retasannya ke sistem IT pemilihan presiden AS, mungkinkah
Rusia mampu memobilisasi rakyat AS untuk memilih Trump? Mungkinkah rakyat AS
demikian gampangnya dibodohi oleh Rusia? Mungkin saja itu terjadi, tetapi jika
rakyat AS sejak semula dan pada dasarnya menghendaki pemimpin yang demokratis,
toleran, dan tidak diskriminatif, usaha apa pun untuk mengalihakan atau
memanipulasi aspirasi mereka tetap saja akan gagal dan mereka tentu tidak akan
memilih Trump. Namun, kenyataannya Trump menjadi pemenang sehingga menjadi
sulit untuk ditampik bahwa aspirasi sebagian warga AS telah terkontaminasi oleh
subjektivitas dan primordialisme.
Hal itu
membuktikan bahwa demokrasi yang tidak didukung oleh objektivitas dan toleransi
dapat mengalami blunder dan anomali. Sebagai sistem, demokrasi jelas
sangat baik untuk mewadahi kepentingan dan nasib semua suku, ras, penganut
agama, dan semua kelompok manusia karena demokrasi mengharuskan adanya
persamaan hak dan kewajiban untuk semua urusan dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara. Namun, demokrasi hanyalah sebuah sistem yang
dijalankan oleh sekumpulan manusia, yang jika sebagian dari kumpulan manusia
itu keliru (subjektif, intoleran, diskriminatif, dan sejenisnya) dalam
bersikap, berperilaku, dan mengambil kebijakan, demokrasi bisa menjadi bumerang
yang berbahaya. Demokrasi yang dijalankan dengan cara demikian dapat menjelma
menjadi otoritarianisme yang menindas dan destruktif.
Dan kini, hipotesis
itu mulai memperlihatkan kebenarannya melalui perilaku kekuasaan Trump. Beberapa
perkembangan terakhir menunjukkan, Trump dengan jelas memperlihatkan sifat
tangan besi dan otoriternya. Ia dengan sewenang-wenang memecat Direktur FBI, James
Comey, yang tengah menyelidiki kemungkinan tim kampanye Trump menjalin hubungan
dengan pihak Rusia selama masa kampanye pemilihan presiden serta
menginvestigasi kasus orang terdekat Trump, yakni Michael Flynn (Penasihat
Keamanan Nasional), yang terbukti berbohong kepada Mike Pence (Wakil Presiden)
dan diduga melakukan pertemuan rahasia dengan intelijen Turki. Terakhir, Trump
juga diduga kuat membocorkan informasi sangat rahasia dan sensitif milik AS
kepada Rusia.
Kini
pertanyaan lain muncul: mungkinkah Trump tergusur dari jabatannya sebagai presiden
dan demokrasi akan kembali pulih di AS? Jika demokrasi menemukan bentuknya
kembali yang murni dan utuh di AS, kepemimpinan dan sepak terjang Trump
tentunya akan segera berakhir. Demokrasi tidak bisa berjalan beriringan dengan
kepemimpinan yang otoriter.
Wallahu a’lam bissawab.