Minggu, 01 Maret 2020

Bukannya Diberi Penghargaan, Kompol Rossa Malah Dikembalikan ke Polri

Yudi Purnomo, ketua Wadah Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (Sumber: kompas.com-Ardito Ramadhan )


Kekecewaan dirasakan banyak kalangan yang peduli dengan upaya pemberantasn korupsi terkait langkah pimpinan KPK baru mengembalikan salah satu penyidiknya, Kompol Rossa Purbo, ke lembaga asalnya, Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Kekecewaan lebih mendalam dirasakan oleh Wadah Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (WP KPK) sebagai wadah organisasi yang menaungi langsung Kompol Rossa.
Sebagaimana yang dilansir kompas.com, Ketua WP KPK, Yudi Purnomo, menyatakan, Kompol Rossa seharusnya dipertahankan (di KPK) karena ia menjadi salah satu penyidik yang memiliki kinerja baik. Salah satu prestasinya adalah Kompol Rossa berkontribusi dalam operasi tangkap tangan (OTT) KPK terhadap Wahyu Setiawan, Komisioner KPU, yang diduga kuat terlibat suap dalam kasus pergantian antarwaktu anggota DPR RI dari fraksi PDI-P yang juga melibatkan seorang kader PDI-P, Harun Masiku.
"Kami menyayangkan pengembalian sepihak dan tiba tiba ini. Karena seharusnya Mas Rossa diberikan penghargaan atas prestasinya mengungkap kasus korupsi, seperti OTT KPU kemarin," kata Yudi dalam keterangan tertulisnya, Rabu (5 Februari 2020).
Polri sendiri sebelumnya menyatakan, Kompol Rossa tetap dapat bertugas di KPK sampai masa tugasnya berakhir pada bulan September 2020. Terkait ini, Yudi berpendapat bahwa pengembalian Kompol Rossa semestinya dibatalkan. Yudi sekaligus mempertanyakan Ketua KPK Firli Bahuri yang mengklaim surat pemberhentian itu telah diteken oleh Kompol Rossa sendiri.
Menurut Yudi, Kompol Rossa tidak pernah menerima surat pemberhentian dari KPK.  Rossa tidak pernah mendapatkan pemberitahuan kapan tepatnya waktu ia diberhentikan dari KPK serta apa alasan pemberhentiannya karena ia tidak pernah melakukan pelanggaran disiplin dan etik.
Sebelumnya dikabarkan, Ketua KPK, Firli Bahuri, menyatakan, Kompol Rossa sudah diberhentikan dari KPK dan dikembalikan ke Polri. Namun, penegasan Firli ini berbeda dengan pernyataan Polri yang menyebutkan, Kompol Rosa masih ditugaskan di KPK hingga masa tugasnya habis pada September 2020.

Kakek Berusia Satu Abad lebih Nikahi Gadis Berusia 30 Tahun

Muhammade (103) dan Indo Ajeng (30) di pelaminan (Sumber: tribunnewsmaker)


Menikah pada usia satu abad lebih teramat sangat jarang dilakukan orang. Makin jarang lagi jika dilakukan seorang pria berusia di atas satu abad dengan perempuan yang usianya terpaut teramat sangat jauh, 73 tahun.
Namun, itulah yang dilakukan oleh Muhammade, kakek berusia 103 tahun. Pria warga Kelurahan Bulete, Kecamatan Pitumpanua, Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan, ini menikahi seorang perempuan bernama Indo Ajeng yang baru berusia 30 tahun.
Pernikahan kedua pasangan beda usia ekstrem ini dilangsungkan di Kecamatan Patumpanua, Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan, pada Rabu, 26 Februari 2020. Tak ayal lagi, video pernikahan mereka menjadi viral dan beredar luas di media sosial.
Sebelumnya, Muhammade merupakan seorang duda setelah istrinya meninggal dunia 8 tahun silam. Adapun Indo Ajeng Ajeng selama ini belum pernah menikah. Kedua sejoli selama ini sudah saling kenal serta keluarga kedua belah pihak menjodohkannya hingga berlanjut ke pelaminan.
Muhammade, yang diketahui merupakan mantan pejuang kemerdekaan pada zaman kolonial, memberikan mahar berupa uang sekitar Rp 5 juta serta cincin emas. Setelah menjalani pernikahan, mereka berdua tinggal di kediaman Muhammade, yang berada di Kelurahan Bulete, Kecamatan Pitumpanua, Kabupaten Wajo.

Mengira Dirinya Terinfeksi Virus Corona, Perempuan Korsel Bunuh Diri di Solo

Dua wanita Korea Selatan berjalan di Kota Seoul dengan mengenakan masker (Sumber: Reuters-Kim Hong-Ji)

Virus corona (covid-19) yang saat ini tengah merajalela tidak hanya menyebabkan ribuan orang di seluruh dunia menemui ajal. Anggapan yang keliru mengenai serangan virus ini juga menyebabkan orang mengakhiri hidupnya sendiri secara tragis.
Hal itulah yang terjadi pada seorang perempuan Korea Selatan yang tengah berada di Solo, Indonesia. Korban yang berinisial EJ mengakhiri hidupnya dengan cara menggantung diri di kamar hotelnya karena mengira dirinya telah terinfeksi virus corona.
Ihwal EJ menyangka dirinya terkena virus corona diketahui dari catatan yang ditinggalkannya sebelum ia bunuh diri. Tubuhnya yang tergantung tak bernyawa kali pertama ditemukan oleh temannya sesama warga Korea Selatan, pada 23 Februari 2020 lalu.
EJ bersama temannya berkunjung ke Solo dan menginap di salah satu hotel di Kota Bengawan. Berdasarkan keterangan yang diterima dari Kedutaan Besar Korea Selatan untuk Indonesia, wanita yang berusia 57 tahun tersebut tiba di Solo pada 16 Februari untuk keperluan dinas.
Dalam catatan yang ditinggalkan EJ, ia juga menulis riwayat perjalanannya. Sebelum pergi ke Solo, ia sempat melakukan perjalanan dinas ke Dalian, China, dan kembali ke Korea Selatan pada 22 Januari.
Warga Korea Selatan mengenakan masker untuk pencegahan Corona (Sumber: Jung Yeon-Je-AFP) 

EJ juga mengungkapkan riwayat kesehatannya. Misalnya, pada 8 Februari, ia merasakan iritasi pada tenggorokannya, kemudian pada 9 Februari, ia pergi ke rumah sakit untuk memeriksakan diri sesuai anjuran pemerintah Korea Selatan. Selanjutnya, pada 14 Februari, ia disuntik untuk pencegahan flu dan membeli masker di sebuah  apotek di Korea Selatan.
Diduga, EJ mengakhiri hidupnya akibat depresi. Ia menganggap dirinya terinfeksi corona, tetapi hasil pemeriksaan terhadap jenazahnya menunjukkan bahwa ia tidak terinfeksi corona alias negatif.
"Dari hasil pemeriksaan ternyata negatif," kata Komisaris Besar Andi Rifai, Kepala Kepolisian Resor Kota (Polresta) Surakarta, sebagaimana dilansir tempo.co. Pihaknya telah berkoordinasi dengan Kedutaan Besar Korea Selatan untuk pemeriksaan tersebut. "Jadi kemungkinan yang bersangkutan merasa depresi," ujarnya lagi.
Pernyataan Andi diperkuat oleh hasil otopsi yang dilakukan RSUD dr   Moewardi, Solo. "Kami telah melakukan otopsi terhadap jenazah yang bersangkutan," kata juru bicara RSUD dr Moewardi, Eko Haryati, hari Minggu, 1 Maret 2020.
RSUD Moewardi mengambil sampel luar jenazah EJ, kemudian dibawa ke Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan untuk diperiksa. "Hasilnya memang negatif," kata Eko (tempo.co, 1 Maret 2020 15.33 WIB).

Sengketa PT Freeport dan Pemerintah Papua Soal PAP Rp 1,4 Triliun Berakhir

Salah satu sisi lokasi PT Freeport Indonesia (Sumber: detik.com-Ardhi Suryadhi)


Setelah berlangsung selama 9 tahun, sengketa PT Freeport Indonesia dan Pemerintah Provinsi Papua soal pembayaran pajak air permukaan (PAP) akhirnya rampung. Ditandai dengan kesediaan PT Freeport Indonesia untuk melunasi tunggakan pajak air, sengketa keduanya yang terjadi sejak tahun 2011 berakhir
dengan damai.

PT Freeport Indonesia memutuskan untuk melunasi tunggakan PAP kepada Pemerintah Provinsi Papua sebesar Rp 1,4 triliun melalui dua tahap pembayaran. Tahap pertama, pada Oktober 2019 lalu mereka telah melakukan pembayaran sebesar Rp 700 miliar (50 persen) ditambah kewajiban pembayaran per tahun sebesar Rp 160 miliar.

Adapun untuk tahap kedua, sesuai dengan kesepakatan, PT Freeport Indonesia akan melakukan pembayaram pada tahun 2021 sebesar Rp 700 miliar lagi ditambah kewajiban pembayaran per tahun sebesar Rp 160 miliar lebih seperti yang telah disepakati dan diatur dalam izin usaha pertambangan khusus.

Aktivitas penambangan PT Freeport Indonesia (Sumber: Antara Foto-Puspa Perwitasari).

Pembayaran PAP PT Freeport Indonesia dilakukan melalui setoran dana/uang dari perusahaan pertambangan terkemuka di Indonesia tersebut kepada Pemerintah Provinsi Papua melalui Bank Papua pusat di Jayapura.

Sebagaimana dilansir tempo.co, salah satu anggota jajaran manajemen PT Freeport menyatakan, komitmen dari manajemen PT Freeport Indonesia untuk membayar kewajiban PAP patut diberi apresiasi. Menurutnya, hal ini menjadi bukti kepedulian perusahaan memenuhi kewajibannya kepada pemerintah daerah.

Masalah PAP sempat menjadi sengketa hukum antara Pemerintah Provinsi Papua dan PT Freeport Indonesia. Kasusnya yang berlangsung sejak tahun 2011 bahkan sampai ke meja Mahkamah Agung.

Presiden Direktur PT Freepor Indonesia, Tony Wenas (Sumber: SP-Ruht Semiono)


Dalam sengketa itu, Freeport tidak setuju untuk membayar PAP karena besarannya tidak sesuai dengan jumlah yang ditetapkan melalui Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 1990, yakni dengan tarif Rp 10/m3 (saat kontrak karya ditandantangani).

Sementara Pemerintah Provinsi Papua menginginkan Freeport membayar PAP sesuai dengan nilai yang dirumuskan dalam Peraturan Daerah Provinsi Papua Nomor 4 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah, sebesar Rp 120/m3.

Dengan komitmen PT Freeport Indonesia untuk melunasi tunggakan PAP, maka manajemen PT Freeport Indonesia menganggap hal itu tidak perlu dipermasalahkan lagi. Permasalahan itu dianggap sudah dapat diselesaikan dengan baik oleh Pemerintah dan PT Freeport.