Kamis, 17 Januari 2019

Yap Thiam Hien, Pejuang Hak Asasi Manusia yang Tak Kenal Kompromi



    Yap Thiam Hien lahir di Kutaraja, Banda Aceh, pada tanggal 25 Mei 1913. Ia adalah anak pertama dari tiga bersaudara hasil pernikahan pasangan Yap Sin Eng dan Hwan Tjing Nio. Kakek buyut Yap Thiam Hien berasal dari Provinsi Guangdong, Cina, yang bermigrasi ke Bangka dan kemudian pindah ke Aceh.
    Yap Thiam Hien mengawali pendidikannya di Europesche Lagere School, Banda Aceh, kemudian meneruskan ke MULO, Banda Aceh. Bersama adiknya, Thiam Bong, Thiam Hien diboyong orang tuanya ke Batavia (Jakarta) pada tahun 1920-an. Pendidikannya yang belum tamat di MULO Banda Aceh kemudian dilanjutkan di MULO Batavia. Setamat MULO, ia meneruskan ke AMS Bandung dan Yogyakarta, mengambil jurusan A-II program bahasa dan sastra Barat (tamat tahun 1933). Pada awal tahun 1946, ia merantau ke Belanda dengan menjadi pekerja pada sebuah kapal pemulangan orang-orang Belanda. Kesempatan ini kemudian ia manfaatkan untuk meneruskan studi ke Fakultas Hukum Universitas Leiden, Belanda –– lulus dengan gelar Meester de Rechten (Mr.).
    Thiam Hien mencari nafkah dengan berganti-ganti pekerjaan. Ia berturut-turut menjadi guru di Chineesche Kweekschool, Jakarta; Chinese Zendingschool, Cirebon; Tionghwa Hwee Kwan Holl, China School, Rembang; dan Christelijke School, Batavia. Ia juga pernah bekerja sebagai pencari pelanggan telepon, bekerja pada kantor asuransi di Jakarta (1938), dan menjadi pegawai Balai Harta Peninggalan Departemen Kehakiman (1943). Setelah pada tahun 1950 menjadi pengacara, lima tahun kemudian (1955), Thiam Hien menjadi anggota DPR dan Konstituante.
·        Dari Feodal Menjadi Anti Penindasan
    Sejak kecil, Thiam Hien sudah menjadi anak yatim. Ibunya, Hwang Tjing Nio, meninggal dunia saat Thiam Hien berusia sembilan tahun. Thiam Hien bersama dua adiknya kemudian diasuh oleh Sato Nakashima, perempuan Jepang yang menjadi gundik  kakek Thiam Hien. Kendatipun Thiam Hien bersaudara bukan anak kandungnya, Sato memberikan sentuhan kemesraan dan kasih sayang yang diperlukan ketiga anak itu –– suatu hal yang seringkali terabaikan dalam keluarga Tionghoa ketika itu.
    Sebelum diasuh Sato, Thiam Hien bersaudara hidup dalam lingkungan keluarga yang sangat feodalistik. Namun, lingkungan feodalistik masa kolonial yang lazim represif dan sarat kesewenang-wenangan tidak membuat Thiam Hien larut menjadi pribadi feodal yang suka menindas. Di tengah situasi dan kondisi kehidupan yang feodalistik, Thiam Hien kecil yang masih dalam masa pertumbuhan justru menjadi seorang pemberontak dan pembenci penindasan dan kesewenangan-wenangan.
    Sentuhan kasih sayang Sato Nakashima yang berperan sebagai ibu di sisi lain kiranya turut membentuk Thiam Hien menjadi pribadi yang sensitif dalam soal kasih sayang dan penindasan. Dalam dua hal ini, Thiam Hien rupanya tumbuh menjadi pribadi yang dikotomis: di sisi satu menjadi pendamba kasih sayang dan di sisi lain menjadi pembenci penindasan. Itulah sebabnya, setelah dewasa ia menjelma menjadi figur yang terobsesi oleh keinginan untuk membela orang-orang yang hidupnya tertindas dan teraniaya.
·        Mengabdi untuk Keadilan dan Hak Asasi Manusia
    Berbagai pekerjaan atau profesi telah dijalani Thiam Hien semasa hidupnya. Sosoknya sebagai seorang pejuang keadilan dan hak asasi manusia mulai menonjol setelah peraih gelar doktor honoris causa bidang hukum ini menjadi pengacara. Selama menjadi pengacara, Thiam Hien dikenal gigih melakukan pembelaan terhadap orang-orang yang dalam pandangannya menjadi korban ketidakadilan dan kesewenang-wenangan.
    Thiam Hien mengawali profesi pengacaranya pada sekitar tahun 1948–1949. Sebagai pengacara pemula, awalnya ia berkiprah dengan menjadi pengacara orang-orang keturunan Tionghoa di Jakarta. Namun, sejalan dengan makin banyaknya terjadi ketidakadilan dan kesewenang-wenangan, ia mengembangkan perjuangannya dengan cakupan yang jauh lebih luas dan kompleks dari sekadar membela orang-orang keturunan Tionghoa.
    Pada tahun 1950, ia membuka kantor pengacara bersama John Karwin, Mochtar Kusumaatmadja, dan Komar untuk meneruskan perjuangannya membela para korban ketidakadilan dan kesewenang-wenangan. Untuk makin memperkuat upaya penegakan keadilan dan hak asasi manusia, bersama beberapa tokoh penting lain –– seperti H.J.C. Princen dan Adnan Buyung Nasution –– ia mendirikan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (LBHI) serta turut mempelopori pendirian Peradin (Persatuan Advokat Indonesia). Sebagai advokat pejuang, pada tahun 1970 ia mendirikan kantor pengacara sendiri. Ia juga memperluas perjuangannya dengan menjadi anggota DPR dan Konstituante setelah pemilu 1955. 
    Hampir seluruh atau sebagian besar waktu hidup Thiam Hien selama menjadi advokat (pengacara), dihabiskannya untuk berjuang di jalur penegakan dan pembelaan hak asasi manusia. Ia tidak saja dikenal sebagai pemberani yang gigih, melainkan juga tanpa kompromi dalam membela kaum miskin dan minoritas yang terpinggirkan. Sungguhpun pada awalnya lebih condong pada pembelaan kalangan tertentu –– khususnya warga keturunan Tionghoa –– ia kemudian juga konsisten dan tidak pandang bulu dalam berjuang menegakkan keadilan dan hak asasi manusia.
    Thiam Hien adalah seorang keturunan Tionghoa dan pemeluk Kristen, tetapi sebagai pengacara ia melakukan pembelaan terhadap para korban ketidakadilan dan kesewenang-wenangan dari luar etnik dan agamanya. Ia tidak memilih dan membeda-bedakan kliennya. Dengan motonya yang terkenal “Biarpun langit runtuh, keadilan harus tetap ditegakkan” (Fiat justitia, ruat caelum), ia melakukan pembelaan terhadap semua korban penindasan yang membutuhkan uluran tangannya.
    Para pedagang Pasar Senen, Jakarta, yang berasal dari berbagai suku dan agama serta menjadi korban penggusuran, pernah ia bela dengan gigih di pengadilan. Pada masa Orde Lama, ia menulis artikel persuasif yang isinya meminta pembebasan beberapa tokoh tahanan politik korban kediktatoran Presiden Soekarno, seperti Mohammad Natsir, Mohammad Roem, Sutan Syahrir, Mochtar Lubis, H.J.C. Princen, dan Soebadio. Sebagai pemeluk Kristen taat yang antikomunis, Thiam Hien membela para tersangka pelaku G-30-S, seperti Latief, Asep Suryawan, dan Oei Tjoe Tat. Pada peristiwa Malari (Malapetaka Lima Belas Januari) tahun 1974, ia gigih membela para mahasiswa hingga ia sendiri kemudian ditangkap dan ditahan. Masyarakat muslim Tanjungpriok, Jakarta, yang menjadi korban penembakan massal militer rezim Orde Baru tahun 1984 juga pernah ia bela.
    Adapun melalui jalur politik, Thiam Hien juga berjuang keras mewujudkan persamaan hak warga negara tanpa memandang asal-usul. Sebagai politisi, namanya mencuat dalam perdebatan konstitusi tahun 1959. Dalam kapasitas sebagai anggota Konstituante, dengan vokal ia mempersoalkan Pasal 6 UUD 1945 yang dalam pandangannya bersifat diskriminatif. Ia juga mempermasalahkan kedudukan presiden yang dianggapnya terlalu kuat.
·        Diabadikan untuk Nama Penghargaan Hak Asasi Manusia
    Yap Thiam Hien beristrikan Tan Gian Khing Nio. Pernikahan mereka membuahkan dua orang anak. Istrinya yang bekerja sebagai guru mendukung penuh usaha dan perjuangan Thiam Hien menegakkan keadilan dan hak asasi manusia.
    Thiam Hien mampu memanfaatkan dengan baik dukungan istrinya itu. Setelah Thiam Hien meninggal dunia pada tanggal 25 April 1989, namanya melekat dalam ingatan banyak orang sebagai seorang pengabdi hukum sekaligus pejuang keadilan dan hak asasi manusia. Bagi kalangan hukum khususnya dan masyarakat umumnya, ia dianggap sebagai tokoh yang perilaku dan perjuangannya menjadi sumber teladan dan inspirasi.
    Thiam Hien dianggap berjasa dalam upaya menghapuskan diskriminasi, ketidakadilan, dan penindasan. Bersama beberapa tokoh lain, pengabdian dan perjuangannya dinilai banyak kalangan sebagai tonggak dan rintisan penting bagi upaya penegakan hukum, keadilan, dan hak asasi manusia. Untuk menghormati dan mengenang jasa-jasa perjuangannya yang konsisten itu, nama Yap Thiam Hien diabadikan oleh Pusat Studi Hak Asasi Manusia Indonesia menjadi nama penghargaan untuk perjuangan menegakkan hak asasi manusia di Indonesia (Yap Thiam Hien Award).