Sabtu, 26 Januari 2019

Komitmen Indonesia dalam Pembentukan Instrumen HAM Internasional

Instrumen HAM internasional (Sumber: desain-zamroni, presidensby.info, d1u4oo4rb13yy8.cloudfront.net)


    Sebagai negara yang peduli terhadap upaya perlindungan dan penegakan hak asasi manusia, Indonesia telah menunjukkan komitmen dan peran serta dalam pembentukan instrumen hak asasi manusia internasional. Komitmen dan peran serta tersebut ditunjukkan dengan memberikan persetujuan dan ratifikasi (pengesahan) atas beberapa deklarasi, perjanjian, dan konvensi hak asasi manusia internasional. Sebagai anggota PBB, misalnya, Indonesia menyetujui instrumen-instrumen hak asasi manusia yang dihasilkan oleh PBB.
    Adapun terhadap instrumen hak asasi manusia internasional lain yang dianggap relevan dengan kondisi dan upaya pemajuan hak asasi manusia di dalam negeri, Indonesia juga telah melakukan ratifikasi. Instrumen hak asasi manusia internasional yang sudah diratifikasi Indonesia dengan sendirinya menjadi ketentuan hukum yang berlaku dan mengikat di wilayah Indonesia. Instrumen hak asasi manusia yang sudah diratifikasi Indonesia, antara lain, sembilan konvensi yang sudah disinggung di artikel lain dari blog ini (baca kembali bagian “Beberapa Konvensi atau Traktat Lain” yang memaparkan sembilan butir instrumen internasional hak asasi manusia). Beberapa instrumen hak asasi manusia penting lain yang juga diratifikasi Indonesia, antara lain, sebagai berikut:
·         Perjanjian Internasional tentang Hak Sipil dan Hak Politik (International Convenant of Civil and Political Rights);
·         Perjanjian Internasional tentang Hak Ekonomi, So-sial, dan Budaya (International Convenant of Economic, Social, and Cultural Rights);
·         Konvensi Internasional untuk Penghentian Pembiayaan Terorisme (International Convention for the Supression of the Financing Terrorism);
·         Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of Child);
·         Konvensi tentang Hak Politik Kaum Perempuan (Convention of Political Rights of Women).
.

Instrumen Hukum Hak Asasi Manusia

HAM memerlukan istrumen hukum (Sumber: desain-roni & http://cdn.gresnews.com)


    Coba bayangkanlah, jika kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara kita tidak dilandasi aturan hukum –– dalam berbagai bentuk peraturan perundang-undangan (undang-undang dasar, undang-undang, peraturan pemerintah, dan sebagainya) –– apa yang akan terjadi? Tanpa peraturan perundang-undangan, mungkinkah kita dapat hidup tertib, aman, terlindungi, dan saling menghormati sebagai masyarakat, bangsa, dan negara? Tanpa peraturan perundang-undangan, apakah aktivitas bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dapat berjalan seperti yang kita saksikan selama ini?
    Salah satu faktor –– bahkan dapat dikatakan sebagai faktor utama –– yang menjadikan kita tetap tegak dan berdiri sebagai bangsa dan negara adalah keberadaan peraturan perundang-undangan. Berkat peraturan perundang-undangan, pemerintah dapat menjalankan tugas, wewenang, dan kewajibannya sesuai dengan ketentuan sehingga kehidupan bernegara dapat berjalan sebagaimana mestinya. Berkat peraturan perundang-undangan pula, rakyat di sisi satu mendapat jaminan untuk melaksanakan hak-haknya sehingga tidak mengalami penindasan dan penjajahan (oleh pemerintahnya sendiri) serta di sisi lain melaksanakan kewajiban-kewajibannya sehingga tidak terjadi anarki dan penghancuran terhadap pemerintahan yang sah. Berkat peraturan perundang-undangan, antarwarga masyarakat saling menghormati dan bekerja sama serta antara masyarakat dan pemerintah saling menghargai sehingga tidak terjadi permusuhan, kekacauan, dan kehancuran.
    Nah, peraturan perundang-undangan itulah yang dalam istilah lain lazim disebut sebagai instrumen hukum. Instrumen hukum merupakan alat, kelengkapan, atau dokumen resmi hukum yang diciptakan dan diberlakukan untuk mengatur sistem dan mekanisme tertentu dalam upaya mewujudkan ketertiban, keteraturan, kemantapan, keamanan, dan hal-hal positif lain. Instrumen hukum lazim berwujud atau dibuat dalam bentuk peraturan perundang-undangan, seperti undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan presiden, dan peraturan menteri (termasuk juga, tentunya, undang-undang dasar atau konstitusi).
    Dan demikianlah, untuk urusan yang penting seperti hak asasi manusia (HAM), instrumen hukum dirasakan perlu untuk diatur dengan jelas dan tegas. Instrumen hukum nasional hak asasi manusia merupakan peraturan perundang-undangan yang berlaku di seluruh wilayah negara kita yang ditetapkan untuk mengatur persoalan hak asasi manusia masyarakat Indonesia sehingga perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia masyarakat mendapat jaminan yang pasti. Dengan ditetapkan dan diberlakukannya peraturan perundang-undangan mengenai hak asasi manusia berikut persoalan yang melingkupinya, hak asasi masyarakat Indonesia (diharapkan) tidak mengalami pelanggaran baik oleh sesama anggota masyarakat, aparat keamanan, maupun pemerintah. Adapun jika terjadi pelanggaran, penanganannya dari segi hukum pun menjadi lebih jelas dan tersistem karena sudah tersedia perangkat-perangkatnya (misalnya, pasal yang dilanggar serta sanksi dan hukuman yang akan dijatuhkan kepada pelanggar).
    Dalam pada itu, di tingkat internasional pun terdapat beberapa instrumen hukum hak asasi manusia. Instrumen di tingkat internasional ditetapkan oleh lembaga internasional yang berkompeten. Instrumen ini digunakan untuk mencegah dan menanggulangi pelanggaran hak asasi manusia internasional dalam upaya penegakan dan perlindungan hak asasi manusia masyarakat internasional.

Instrumen Hukum Nasional Hak Asasi Manusia


Pengadilan HAM nasional (Sumber: http://lama.elsam.or.id)

    Setelah memasuki era reformasi tahun 1998, pengaturan hak asasi manusia dalam tata hukum di Indonesia mengalami kemajuan pesat. Bahkan, dapat dikatakan sangat pesat jika dibandingkan dengan waktu-waktu sebelumnya. Seperti kita ketahui, pada tahun 1999–2002, UUD 1945 mengalami amendemen dengan di antaranya mengalami penambahan bab khusus tentang hak asasi manusia. Selain itu, ditetapkan dan disahkan pula berbagai peraturan perundang-undangan lain yang khusus mengatur masalah hak asasi manusia.
Era reformasi benar-benar membawa berkah yang positif bagi upaya memajukan hak asasi manusia di Indonesia. Era ini mendorong terjadinya perkembangan hak asasi manusia yang menggembirakan dari segi pengaturannya dalam hukum. Maka, selain instrumen hukum yang lebih dahulu muncul, yakni Pancasila dan UUD 1945, lahir beberapa instrumen hukum penting lain mengenai hak asasi manusia, seperti Tap. XVII MPR/1998, UU No. 9/1998, UU No. 5/1998, UU No. 39/-1999, UU No. 26/2000, Perpu No. 1/1999, dan  Keppres No. 181/1998.
·         Pancasila
    Sebagai dasar negara yang menjadi landasan hukum tertinggi bagi bangsa Indonesia, Pancasila memberikan rambu-rambu tentang hak asasi manusia. Pancasila memberikan arahan tentang hak asasi manusia melalui nilai-nilai yang terkandung dalam beberapa silanya. Nilai atau rambu yang berkaitan dengan hak asasi manusia dalam Pancasila, antara lain, sebagai berikut.
§        Tuhan Yang Maha Esa adalah pencipta alam semesta, termasuk manusia sebagai salah satu penghuninya.
§        Tuhan menciptakan manusia dengan disertai akal, hati nurani, dan martabat yang mulia.
§        Tuhan menganugerahkan hidup, kebebasan, dan harta milik kepada manusia.
§        Sebagai makhluk yang bermartabat mulia, manusia dibebani kewajiban-kewajiban sebagai berikut: 
v     bersyukur dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
v     mencintai sesama manusia dengan memelihara hubungan dengan sesama serta menjaga persatuan;
v     menghargai serta memelihara hak hidup, kemerdekaan, dan hak milik;
v     melaksanakan hukum yang berlaku;
v     cinta, berbakti, dan mengabdi pada tanah air, bangsa, dan negara;
v     mencintai dan membela keadilan dan kebenaran.
·         UUD 1945
    UUD 1945 memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia secara jelas dan meyakinkan. Selain dalam Pembukaan UUD 1945 disebutkan perihal hak kemerdekaan serta upaya perlindungan dan pemajuan kehidupan bangsa, dalam batang tubuh juga diatur hak asasi manusia warga negara. Beberapa pasal yang mengatur masalah hak asasi manusia, antara lain, pasal 28A, pasal 28B, pasal 28C, pasal 28D ayat (1), pasal 28D ayat (3), pasal 28E ayat (3), pasal 28F, pasal 28G ayat (a), dan pasal 28J ayat (1). Isi pokok dari pasal-pasal tersebut sebagian sudah diuraikan dalam tulisan lain di blog ini (periksa “Jenis-Jenis Hak Asasi Manusia menurut UUD 1945”). Adapun uraian lengkap dan terperincinya dapat dibaca langsung dalam buku UUD 1945 hasil amendemen.
·         Tap. XVII MPR Tahun 1998
    Tap. XVII/MPR/1998 tentang Piagam Hak Asasi Manusia merupakan bentuk penegasan kembali mengenai pengakuan masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia terhadap hak asasi manusia. Tap MPR ini dikeluarkan untuk memenuhi tuntutan reformasi dalam bidang hukum serta penegakan dan perlindungan hak asasi manusia di Indonesia. Tap. XVII/MPR/1998 dapat dikatakan berisi pernyataan, deklarasi, atau piagam hak asasi manusia versi bangsa Indonesia. Adapun isi pernyataan atau piagam hak asasi manusia dalam ketetapan ini adalah sebagai berikut.
§        Bahwa manusia ialah makhluk Tuhan Yang Maha Esa yang berperan sebagai pengelola dan pemelihara alam secara seimbang dan serasi dalam ketaatan kepada-Nya. Manusia dianugerahi hak asasi dan memiliki tanggung jawab serta kewajiban untuk menjamin keberadaan, harkat, dan martabat kemuliaan kemanusiaan serta menjaga keharmonisan kehidupan.
§        Bahwa hak asasi adalah hak-hak dasar yang melekat pada diri manusia secara kodrati, universal, dan abadi sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa, yang meliputi hak untuk hidup, hak berkeluarga, hak mengembangkan diri, hak keadilan, hak kemerdekaan, hak berkomunikasi, hak keamanan, dan hak kesejahteraan, yang oleh karena itu tidak boleh diabaikan atau dirampas oleh siapa pun. Selanjutnya, manusia juga mempunyai hak dan tanggung jawab yang timbul sebagai akibat perkembangan kehidupannya dalam masyarakat.
§        Bahwa didorong oleh jiwa dan semangat Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, bangsa Indonesia mempunyai pandangan mengenai hak asasi dan kewajiban manusia, yang bersumber dari ajaran agama, nilai moral universal, dan nilai luhur budaya bangsa, serta berdasarkan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
§        Bahwa Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1948 telah mengeluarkan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (The Declaration of Human Rights). Oleh karena itu, bangsa Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa mempunyai tanggung jawab untuk menghormati ketentuan yang tercantum dalam deklarasi tersebut.
§        Bahwa perumusan hak asasi manusia pada dasarnya dilandasi oleh pemahaman suatu bangsa terhadap citra, harkat, dan martabat diri manusia itu sendiri. Bangsa Indonesia memandang bahwa manusia hidup tidak terlepas dari Tuhannya, sesama manusia, dan lingkungan.
§        Bahwa bangsa Indonesia pada hakikatnya menyadari, mengakui, dan menjamin serta menghormati hak asasi manusia orang lain sebagai kewajiban. Oleh karena itu, hak asasi manusia dan kewajiban manusia terpadu dan melekat pada diri manusia serta pribadi, anggota keluarga, anggota masyarakat, anggota suatu bangsa, warga negara, serta anggota masyarakat bangsa-bangsa.
§        Atas berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa, demi terwujudnya masyarakat Indonesia yang menjunjung tinggi hak asasi manusia, maka bangsa Indonesia menyatakan piagam hak asasi manusia.

    Tap. XVII/MPR/1998 mengamanatkan kepada lembaga-lembaga tinggi negara dan aparat pemerintah untuk menghormati, menegakkan, melindungi, dan menyebarkan pemahaman tentang hak asasi manusia kepada masyarakat. Lembaga-lembaga tinggi negara dan pemerintah juga diamanatkan untuk turut mengesahkan (meratifikasi) instrumen-instrumen hak asasi manusia dari PBB sejauh tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.
    Isi piagam di depan tersebut masih bersifat umum. Untuk menjabarkannya lebih terperinci dan operasional, Tap. XVII/MPR/1998 juga memuat ketentuan-ketentuan mengenai hak asasi manusia ke dalam sejumlah bab dan pasal. Rumusan hak-hak asasi manusia dalam bab ketetapan MPR ini, antara lain, sebagai berikut.
§       Bab I mengatur hak untuk hidup.
§       Bab II mengatur hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan.
§       Bab III mengatur hak pengembangan diri.
§       Bab IV mengatur hak keadilan.
§       Bab V mengatur hak kemerdekaan.
§       Bab VI mengatur hak kebebasan informasi.
§       Bab VII mengatur hak keamanan.
§       Bab VIII mengatur hak kesejahteraan.
·        UU No. 9 Tahun 1998
    UU No. 9/1998 tentang Kemerdekaan Mengemukakan Pendapat di Muka Umum adalah undang-undang yang mengatur hak-hak warga negara untuk menyampaikan pendapat di hadapan umum. Penyampaian pendapat di muka umum, menurut undang-undang ini, memiliki pengertian menyampaikan pendapat, pandangan, kehendak, atau perasaan yang bebas dari tekanan fisik, psikis, atau pembatasan di depan orang banyak atau orang lain, termasuk juga di tempat yang dapat didatangi dan/atau dilihat setiap orang yang dilakukan secara lisan, tulisan, dan sebagainya. Bentuk penyampaian pendapat secara lisan,  antara lain, meliputi pidato, dialog, dan diskusi. Bentuk penyampaian secara tulisan, antara lain, meliputi petisi, gambar, pamflet, poster, brosur, selebaran, dan spanduk.

    Penyampaian pendapat di muka umum ini dapat dilakukan dengan cara unjuk rasa atau demonstrasi, pawai, rapat umum, dan mimbar bebas. Penyampaian pendapat dapat dilakukan baik secara perorangan maupun kelompok. Berikut ini dikutip beberapa pasal tentang pengaturan hak penyampaian pendapat di muka umum yang terdapat dalam UU No. 9/1998.
§        Pasal 2 ayat (1) mengatur hak untuk bebas menyampaikan pendapat sebagai perwujudan hak dan tanggung jawab berdemokrasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
§        Pasal 5 mengatur hak untuk mengeluarkan pikiran secara bebas dan memperoleh perlindungan hukum.
§        Pasal 6 mengatur kewajiban warga negara yang menyampaikan pendapat di muka umum untuk menghormati hak dan kebebasan orang lain, menghormati aturan moral, menaati hukum dan perundang-undangan, menjaga keamanan dan ketertiban umum, serta menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa.
§        Pasal 7 mengatur kewajiban dan tanggung jawab aparatur negara, antara lain, untuk melindungi hak asasi manusia dan melakukan pengamanan dalam kegiatan penyampaian pendapat di muka umum.
§        Pasal 8 mengatur hak masyarakat untuk berperan serta secara bertanggung jawab dan berupaya agar penyampaian pendapat di muka umum dapat berlangsung aman, tertib, dan damai.
§        Pasal 9 ayat (3) mengatur larangan kepada peserta kegiatan penyampaian pendapat di muka umum untuk membawa benda-benda yang dapat membahayakan keselamatan umum.
·        UU No. 5 Tahun 1998
    UU No. 5/1998 mengatur tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau  Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia. Isi pokok undang-undang ini adalah bahwa Indonesia menyetujui dan akan melaksanakan isi konvensi tersebut. Konvensi anti penyiksaan ini dihasilkan oleh Komisi Hak Asasi Manusia PBB serta telah disepakati dan disahkan oleh tidak kurang dari 105 negara.

    Pada intinya, konvensi itu menentang segala bentuk penyiksaan, perlakuan, atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia. Konvensi terdiri atas pembukaan dan batang tubuh. Pembukaan berisi enam paragraf, sedangkan batang tubuh berisi tiga bab yang terdiri atas 33 pasal. Di dalam pembukaan, antara lain, ditegaskan bahwa tujuan konvensi ini adalah mengefektifkan perjuangan di seluruh dunia dalam menentang penyiksaan, perlakuan, atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia.
·        UU No. 39 Tahun 1999
    UU No. 39/1999 adalah undang-undang yang khusus mengatur Hak Asasi Manusia. Undang-undang ini terdiri atas sebelas bab dan 106 pasal. Kesebelas bab tersebut selengkapnya mengatur hal-hal sebagai berikut:
§       Ketentuan Umum (Bab I),
§       Asas-Asas Dasar (Bab II),
§       Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Dasar Manusia (Bab III),
§       Kewajiban Dasar Manusia (Bab IV),
§       Kewajiban dan Tanggung Jawab Pemerintah (Bab V),
§       Pembatasan dan Larangan (Bab VI),
§       Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Bab VII),
§       Partisipasi Masyarakat (Bab VIII),
§       Pengadilan Hak Asasi Manusia (Bab IX),
§       Ketentuan (Bab X), serta
§       Penutup (Bab XI).
    Dalam Bab III, dijelaskan jenis-jenis hak asasi manusia. Di dalamnya terdapat sepuluh jenis hak asasi manusia, yang sebagiannya sudah dipaparkan dalam Bab II. Di antara kesepuluhnya, terdapat hak wanita dan hak anak. Pengaturan hak wanita dan anak secara khusus adalah kemajuan yang menggembirakan dalam memberikan jaminan dan perlindungan terhadap kaum wanita dan anak-anak, dua golongan dalam masyarakat yang selama ini sering menjadi korban pelanggaran hak asasi manusia.
    Selain itu, diatur juga perihal kewajiban dan tanggung jawab pemerintah serta kewajiban dasar manusia. Pemerintah dibebani kewajiban dan tanggung jawab untuk menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia di Indonesia. Namun, di sisi lain, setiap warga negara, selain memiliki sejumlah hak dasar, juga dibebani sejumlah kewajiban. Kewajiban yang dimaksud, antara lain, menghormati hak asasi orang lain dan tunduk pada pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang. Disebutkan bahwa setiap hak asasi seseorang menimbulkan kewajiban dasar dan tanggung jawab untuk menghormati hak asasi orang lain secara timbal balik.
·        UU No. 26 Tahun 2000
    UU No. 26/2000 mengatur tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Undang-undang ini ditetapkan dan disahkan untuk mencabut sekaligus memperbaiki Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 1/1999 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Dengan berlakunya UU No. 26/2000, berarti Perpu No. 1/1999 tak berlaku lagi. UU No. 26/2000 berisi sepuluh bab dan terdiri atas 51 pasal. Hal-hal yang diatur, di antaranya, kedudukan dan tempat kedudukan pengadilan hak asasi manusia, kewenangan pengadilan hak asasi manusia, perlindungan terhadap korban dan saksi, serta ketentuan pidana kasus pelanggaran hak asasi manusia.
    Disebutkan oleh undang-undang ini bahwa pengadilan hak asasi manusia khusus bertugas menangani kasus pelanggaran hak asasi manusia yang tergolong berat. Adapun pelanggaran hak asasi manusia yang masuk kategori berat adalah kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan (kejahatan genosida dan kejahatan kemanusiaan akan dijelaskan terperinci dalam Bab V tentang pelanggaran hak asasi manusia). Berikut ini dipaparkan beberapa isi pasal yang terdapat dalam UU No. 26/2000.
§        Pasal 23 Ayat (1) menyatakan, penuntutan perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan oleh Jaksa Agung.
§        Pasal 25 menyatakan, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia sewaktu-waktu dapat meminta keterangan secara tertulis kepada Jaksa Agung mengenai per-kembangan penyidikan dan penuntutan perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat.
§        Pasal 34 ayat (1) menetapkan, setiap korban dan saksi dalam pelanggaran berat hak asasi manusia berhak atas perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak mana pun. 
·          Keppres No. 181 Tahun 1998
    Keputusan Presiden No. 181/1998 ini tergolong unik. Peraturan perundang-undangan yang satu ini merupakan salah satu bentuk penghormatan terhadap kaum perempuan Indonesia. Keppres tersebut mengatur pembentukan komisi nasional anti kekerasan terhadap perempuan.

    Di dalamnya diatur pembentukan, asas, dan sifat komisi yang dimaksud. Dalam rangka mencegah, menanggulangi, dan menghapus segala bentuk kekerasan terhadap perempuan, dibentuk komisi yang bernama Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan. Komisi ini berasaskan Pancasila dan bersifat independen.
Keppres No. 181/1998 berisi lima bab dan terdiri atas 17 pasal. Berikut ini adalah contoh beberapa pasal yang terdapat di dalamnya.
§        Pasal 4 menetapkan tiga tujuan pembentukan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan. Ketiganya adalah sebagai berikut:
v         menyebarluaskan pemahaman mengenai segala bentuk kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di Indonesia,
v         mengembangkan kondisi yang kondusif bagi penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan di Indonesia, serta
v         meningkatkan upaya pencegahan dan penanggulangan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia perempuan.
§        Pasal 7 menetapkan, anggota Komisi Paripurna adalah tokoh-tokoh yang harus memiliki persyaratan sebagai berikut:
v         telah aktif memperjuangkan hak asasi manusia dan/atau memajukan kepentingan perempuan,
v         mengakui adanya masalah ketimpangan jender,
v         menghargai kemajemukan agama dan ras/etnisitas (suku) serta peka terhadap perbedaan kelas ekonomi, dan
v         peduli terhadap upaya pencegahan dan penghapusan segala bentuk tindak kekerasan terhadap perempuan.

Instrumen Hukum Internasional Hak Asasi Manusia


Pengadilan HAM internasional (Sumber: static.ladepeche.fr)


    Setelah berakhirnya Perang Dunia II yang menimbulkan kehancuran di mana-mana, kehidupan masyarakat di banyak negara –– terutama negara-negara berkembang dan terbelakang –– dibelit banyak persoalan yang berat: kemiskinan, kebodohan, kelaparan, dan sebagainya. Potret buram ini terjadi sebagai akibat dua hal, yakni, pertama, akibat imperialisme atau penjajahan yang dilakukan negara-negara Eropa Barat (dan juga Jepang) di negara-negara Asia, Afrika, dan Amerika; serta kedua, akibat penindasan yang dilakukan oleh pemerintah negara-negara tertentu kepada rakyatnya sendiri. Hal ini, tentu saja, mengguncang emosi para tokoh dunia yang peduli terhadap masalah kemanusiaan serta masyarakat internasional secara global.
    Dari sudut pandang hak asasi manusia, kemiskinan, kebodohan, dan penderitaan yang dialami rakyat banyak negara tersebut terjadi akibat pelanggaran berat hak asasi manusia. Dengan sendirinya, upaya untuk mencegahnya (agar tak terulang kembali) pada masa-masa yang akan datang adalah dengan menetapkan dan memberlakukan instrumen hukum hak asasi manusia di tingkat internasional. Upaya pencegahan dengan instrumen hukum dipandang perlu segera dilakukan sehingga kemudian disepakati dan ditandatangani piagam, deklarasi, konvensi, dan perjanjian tentang hak asasi manusia oleh berbagai lembaga atau organisasi negara-negara di dunia. Piagam, deklarasi, konvensi, dan perjanjian  nternasional tentang hak asasi manusia kemudian menjadi instrumen hukum internasional yang bersifat mengikat (para anggotanya) atau sebagai bentuk komitmen atas perlindungan dan penegakan hak asasi manusia internasional.
    Sebagai dokumen, dari segi bentuknya, Magna Charta dapat dikatakan sebagai instrumen hukum hak asasi manusia resmi pertama (yang pernah dikenal) di dunia. Magna Charta hanya berlaku di Inggris, tetapi kemunculannya mengilhami pembentukan instrumen-instrumen hukum internasional hak asasi manusia pada periode-periode selanjutnya di kawasan-kawasan lain. Seiring masih banyaknya pelanggaran hak asasi manusia dalam bentuk imperialisme di berbagai negara, memasuki pertengahan abad ke-20, dunia mulai diramaikan pembentukan instrumen hukum hak asasi manusia dalam bentuk piagam, deklarasi, dan konvensi. Berikut ini dipaparkan beberapa instrumen hukum internasional hak asasi manusia penting yang sudah dibuat atau disepakati.
·    Piagam PBB tetang Hak Asasi Manusia
    Piagam PBB dibuat sebagai landasan pembentukan PBB. PBB merupakan organisasi negara-negara sedunia yang dibentuk setelah berakhirnya Perang Dunia II –– tepatnya dibentuk tanggal 24 Oktober 1945. Di dalam Piagam PBB, disebutkan beberapa jenis hak asasi manusia yang dipandang harus dilindungi dan dihormati. Beberapa ketentuan lain tentang hak asasi manusia dalam piagam ini, antara lain, sebagai berikut.
§        Pasal 1 menyatakan bahwa tujuan PBB ialah memelihara perdamaian dan keamanan internasional serta menggalakkan dan meningkatkan penghormatan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan fundamental kepada semua manusia tanpa membedakan ras, jenis kelamin, bahasa, dan agama.
§        Pasal 3 Ayat (1) menyatakan bahwa PBB akan mendorong penghormatan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan fundamental bagi seluruh umat manusia.
§        Pasal 55 menyatakan bahwa PBB akan menggalakkan hal-hal berikut:
v    standar hidup yang lebih tinggi, pekerjaan penuh, kemajuan ekonomi, serta kemajuan dan perkembangan sosial;
v    pemecahan masalah-masalah ekonomi, sosial, kesehatan, dan budaya internasioanl, serta kerja sama pendidikan;
v    penghormatan universal serta pematuhan hak-hak asasi dan kebebasan dasar manusia bagi semua tanpa membedakan ras, jenis kelamin, bahasa, dan agama.
§        Pasal 56 menyatakan, semua anggota (PBB) berjanji kepada diri sendiri untuk melakukan tindakan secara bersama atau sendiri-sendiri untuk mewujudkan tujuan seperti yang tertera dalam pasal 55.
·    Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
    Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (The Universal Declaration of Human Rights) merupakan instrumen hukum hak asasi manusia internasional yang utama dan paling penting. Deklarasi ini merupakan instrumen hukum hak asasi manusia pertama yang disetujui oleh bangsa-bangsa di dunia sebagai landasan untuk memberi pengakuan dan jaminan hak asasi manusia sedunia. Deklarasi ini secara bulat disepakati sebagai dasar untuk melakukan perbaikan kondisi hak asasi manusia secara global (internasional).
    Berbeda dengan Piagam PBB yang memberikan ketentuan-ketentuan hak asasi manusia secara umum, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia secara khusus memberi pernyataan tentang hak asasi manusia serta membuat batasan-batasan hak asasi manusia universal  secara mendetail. Hak-hak asasi manusia yang diatur dalam deklarasi ini, antara lain, dapat kembali dibaca pada Bab II di muka (pada bagian jenis-jenis hak asasi manusia menurut Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia). Isi deklarasi ini menjadi rujukan bagi instrumen hak asasi masnusia internasional lain yang dibentuk pada waktu dan perkembangan berikutnya.
·   Perjanjian Internasional tentang Hak Sipil dan Hak Politik serta Perjanjian Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya
    Perjanjian Internasional tentang Hak Sipil dan Hak Politik (International Convenant of Civil and Political Rights) serta Perjanjian Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (International Convenant of Economic, Social, and Cultural Rights) adalah perjanjian yang disepakati negara-negara anggota PBB pada tahun 1966. Menurut perjanjian ini, hak sipil dan politik, antara lain, meliputi hak-hak berikut:
§     hak untuk hidup;
§     hak atas kebebasan dan persamaan;
§     hak atas persamaan di muka lembaga peradilan;
§     hak berpikir, memiliki konsiensi, dan beragama;
§     hak memiliki pendapat tanpa mengalami gangguan;
§     hak atas kebebasan berkumpul secara damai;
§     hak hak untuk berserikat (berorganisasi).
    Adapun hak ekonomi, sosial, dan budaya, antara lain, meliputi hak-hak berikut:
§  hak atas pekerjaan,
§  hak untuk membentuk serikat pekerja,
§  hak atas pensiun,
§  hak atas hidup yang layak, dan
§  hak atas pendidikan.
·   Deklarasi Hak Bangsa atas Perdamaian dan Deklarasi Hak atas Pembangunan
   Deklarasi Hak Bangsa atas Perdamaian (Declaration on The Rights of Peoples to Peace) dan Deklarasi Hak atas Pembangunan (Declaration on The Rights to Development) disepakati negara-negara berkembang (Dunia Ketiga) di Asia dan Afrika masing-masing pada tahun 1984 dan 1986. Disepakatinya dua deklarasi ini, antara lain, didasari oleh persamaan nasib negara-negara berkembang di Asia dan Afrika yang mengalami kendala untuk mencapai kemajuan dan kesejahteraan akibat menjadi korban penjajahan pada masa lalu. Hak atas perdamaian dan pembangunan meliputi hak untuk bebas dari ancaman musuh, hak setiap bangsa untuk merdeka, hak untuk sederajat dengan bangsa lain, dan hak untuk mendapatkan kedamaian.
·   Piagam Afrika tentang Hak Asasi Manusia dan Hak Asasi  Bangsa (Piagam Banjul)
   Piagam Afrika mengenai Hak Asasi Manusia dan Hak Asasi Bangsa (African Charter on Human and Peoples’ Rights) dibuat pada tahun 1981 oleh negara-negara Afrika yang tergabung dalam Persatuan Negara Afrika (OAU). Piagam ini memiliki sebutan lain Piagam Banjul serta mulai berlaku pada tahun 1987. Penetapan piagam ini merupakan wujud usaha bangsa-bangsa Afrika untuk merumuskan karakteristik (ciri-ciri khas) bangsa Afrika serta mengaitkannya dengan hak-hak politik dan hak-hak ekonomi yang tertuang dalam perjanjian PBB. Piagam Banjul banyak memberi pernyataan tentang hak, kebebasan, dan kewajiban. Hak yang dipandang perlu untuk menjadi perhatian dan penekanan ialah hak untuk melakukan pembangunan. Adapun terpenuhinya hak ekonomi, hak sosial, dan hak budaya, menurut piagam ini, menjadi jaminan bagi terpenuhinya hak-hak politik.
·    Deklarasi Bangkok
    Memasuki dasawarsa 1990-an, negara-negara di Asia mulai menggagas upaya perumusan hak asasi manusia khusus untuk mewadahi kepentingan bangsa-bangsa Asia. Upaya ini membuahkan hasil dengan disepakatinya Deklarasi Bangkok (Bangkok Declaration) pada tahun 1993. Deklarasi yang lahir di Bangkok, Thailand, ini menekankan hak asasi manusia pada prinsip-prinsip universality, indivisibility and interdependence, nonselectivity and objectivity, serta rights to development. Penjelasan dari keempat prinsip ini sebagai berikut.
§      Berdasarkan prinsip universality, hak asasi manusia berlaku universal untuk semua manusia tanpa membeda-bedakan ras, agama, kelompok, etnik, dan kedudukan sosial.
§      Berdasarkan prinsip indivisibility and interdependence, hak asasi manusia tidak boleh dibagi-bagi atau dipilah-pilah. Seluruh hak asasi manusia saling berkaitan serta saling tergantung satu sama lain.
§      Berdasarkan prinsip nonselectivity and objectivity, tidak dibenarkan adanya tindakan atau kebijakan yang memilih dan menganggap hak asasi tertentu lebih penting daripada hak asasi lainnya.
§      Berdasarkan prinsip rights to development, hak untuk melakukan pembangunan adalah hak asasi yang wajib diakui oleh semua negara.
·    Deklarasi Wina
    Deklarasi Wina (Wina Declaration) merupakan deklarasi yang disetujui oleh lebih dari 70 negara anggota PBB, termasuk Indonesia. Deklarasi ini dikeluarkan pada Juli 1993 di Wina, Austria, melalui Konferensi Dunia mengenai hak asasi manusia. Isi Deklarasi Wina adalah bentuk kompromi dan sinergi antara konsep hak asasi manusia negara-negara Barat yang maju dan negara-negara berkembang (khususnya anggota PBB).
    Dalam konferensi dinyatakan bahwa masyarakat internasional harus memperlakukan hak asasi manusia secara global dengan cara yang adil dan sama atas dasar pijakan yang sama dan dengan penekanan yang sama. Negara yang kondisi hak asasi manusianya buruk akan terkena kosekuensi tertentu, seperti menerima campur tangan masyarakat internasional. Deklarasi Wina juga menghasilkan sebuah hak yang disebut hak asasi Generasi Ketiga, yaitu hak untuk melakukan pembangunan. Generasi Ketiga ialah istilah yang dipakai untuk menyebut negara-negara berkembang yang aktif melakukan pembangunan untuk meraih kemajuan dan kesejahteraan.
·    Beberapa Konvensi atau Traktat Lain
    Selain instrumen yang sudah dijelaskan di atas, masih terdapat banyak kesepakatan, konvensi, atau traktat lain tentang hak asasi manusia yang disepakati sebagai instrumen hak asasi manusia internasional. Instrumen-instrumen ini menjadi pendukung instrumen yang lebih dahulu dibentuk. Isinya umumnya merupakan pengembangan atau melengkapi instrumen-instrumen sebelumnya sehingga diharapkan akan memperkuat upaya perlindungan dan penegakan hak asasi manusia internasional. Berikut ini dipaparkan beberapa instrumen hak asasi manusia yang dimaksud:
§       Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida;
§       Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Ras;
§       Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia;
§       Konvensi ILO (International Labour Organization, Organisasi Buruh Internasional) tentang Penghapusan Pekerja secara Paksa;
§       Konvensi ILO tentang Penghapusan Diskriminasi dalam Pekerjaan;
§       Konvensi ILO tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk Berorganisasi;
§       Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan;
§       Konvensi Internasional Anti-Apartheid dalam Olahraga;
   Konvensi Pelarangan, Pengembangan, Produksi, dan Penyimpanan Senjata Biologis serta Pemusnahannya.