Kamis, 25 Mei 2017

Perjalanan ke Seberang (3)

Oleh Akhmad Zamroni

Menginjak tanah negeri
yang dibangun dengan mimpi
bagai terjun di tengah pertunjukan sirkus
dengan badut dan singa yang rakus.
Dari tangan orang-orang berkulit merah
negeri direbut lewat pertumpahan darah.
Orang-orang kulit hitam didatangkan
untuk mengobarkan pertempuran.
Orang mengecam setengah memaki
tempat hiburan penuh dansa-dansi
dan rumah ibadah ditinggal pergi
konon semua ini demi demokrasi.
Hotel dan pantai penuh orang
yang berlenggang setengah telanjang,
kegilaan atau kebebasan, sulit dibedakan.
Barangkali semacam kesesatan
akal sehat tercampak di kubangan.
Sampai di sini saja, polisi dunia
kami tak ingin tertawan oleh pesona 
yang kau tebar lewat media
dan kau ancamkan dengan senjata.
Kembalilah ke depan kaca
benahi wajahmu yang penuh luka
dan tubuhmu yang mulai renta.
Manahan, Oktober-November 2010

Perjalanan ke Seberang (2)

Oleh Akhmad Zamroni

Sabana, alangkah eloknya
semak dan rumput menghijau
tak terasa sebagai tanah rantau.
Langit dan pepohonan bak lukisan
menjadikan hidup dalam ketakjubkan.
Tanah hitam yang mempesona
satwa hidup dalam hukum rimba
tetapi, itulah surga bagi mereka.
Hari-hari berlalu dengan suara
pagi hari oleh raungan singa
siang hari ringkikan zebra
petang hari dengusan heina.
Rusa yang mati oleh cakar singa
bagian irama belantara.
Zebra yang binasa oleh taring buaya
bagian harmoni rimba.
Derap kaki cetah dan lenguh badak
teriakan siamang dan terompet gajah
menggantikan desingan peluru
yang punah bersama perginya pemburu.
Tak ada tempat lagi bagi mereka
manusia yang kehilangan akal sehatnya.
Atau mereka mesti belajar pada satwa
bagaimana cara hidup yang bijaksana.
Daratan hitam bak pualam
jantung berdenyut dalam tarian alam
dari jauh saudaramu mengirim salam.
Manahan, Oktober–November 2010

Perjalanan ke Seberang (1)

Oleh Akhmad Zamroni

Ke seberang, melintasi lautan
kukayuh kaki dan tangan
melawat ke negeri orang
yang konon sumber peradaban.
Ke seberang, melewati angkasa
kuarahkan pandangan mata
menatap negeri para tetangga
yang katanya asal muasal budaya.
“Akankah langkahmu sampai
ke sana, Anak Muda?” tanya para tetua.
“Tentu saja. Tetapi, jangan lupa
bekali kami dengan doa-doa.”
Perjalanan ini akan penuh godaan
dari arah yang sulit diperkirakan.
“Jangan sekali-kali meninggalkan
sikap waspada dan kehati-hatian,”
para tetua kembali berpesan.
“O, pasti, kami akan hati-hati dan waspada.
Jika tidak, kami bisa binasa
atau pulang dengan tangan hampa.”
Tunggu, tunggulah dengan tabah
kami akan kembali ke rumah
mengolah tanah dan meniti hari
dengan harapan membuncah.
Tempat ini tak akan terbengkalai lagi
membangun mimpi, melangkah dengan hati.
Negeri ini terlalu sayang ditinggal pergi.
Manahan, 27 Oktober 2010