Oleh Akhmad Zamroni
|
Sumber: cdns.klimg.com |
Dalam waktu kurang
dari dua bulan, Amerika Serikat (AS) diguncang oleh dua peristiwa penembakan
membabi buta yang menewaskan puluhan warga.
Pertama, pada Minggu, 1 Oktober 2017, dalam sebuah konser musik country di Las Vegas, Nevada,
terjadi penyerangan (penembakan) acak dengan senjata api yang menyebabkan setidaknya
58 orang tewas dan 200 orang lainnya mengalami luka-luka. Penembakan ini menjadi kasus penembakan massal dengan jumlah korban
terbesar dalam sejarah modern AS.
Pelaku penembakan, seperti dirilis oleh banyak media, adalah
pria bernama Stephen Paddock, 64 tahun, pensiunan
akuntan yang memiliki lisensi untuk menerbangkan pesawat terbang kecil. Paddock yang tinggal di Masquite, Nevada, diberitakan
melakukan aksi brutalnya dari lantai 32 Hotel Mandalay Bay. Ia memberondongkan
senapan laras panjang ke arah kerumunan penonton konser hingga ratusan orang
terkapar tewas dan luka-luka. Paddock
sendiri kemudian juga tewas ditembak aparat keamanan.
Sebulan
lebih kemudian, peristiwa penembakan
kedua terjadi di Texas. Pada Minggu, 5
November 2017, saat sejumlah orang tengah mengikuti ibadah
di sebuah gereja di
Sutherland Springs, Texas, tiba-tiba seorang pria masuk ke dalam gereja dan
memberondongkan senjata apinya. Akibat
aksi sadis ini, 26 orang jemaat tewas serta 20-an orang lainnya mengalami luka
ringan dan berat.
Dikabarkan, pelaku penyerangan itu adalah Devin Patrick
Kelley, mantan tentara yang telah dipecat dari Angkatan Udara AS. Kelley melakukan
aksinya seperti seolah-olah tengah bertempur menghadapi pasukan musuh. Menurut
sejumlah media, saat beraksi Kelley mengenakan pakaian serba hitam, memakai rompi tempur
antipeluru yang dilengkapi peralatan serangan taktis, serta menenteng senapan
serbu Ruger AR-556. Kelley akhirnya tewas setelah mobil yang ia gunakan untuk melarikan diri
ditabrak polisi serta ia sendiri juga mendapatkan beberapa kali tembakan dari polisi.
Dua kejadian yang memilukan tersebut menjadi peristiwa tragis yang kesekian
kalinya di AS. Beberapa bulan dan tahun sebelumnya peristiwa penyerangan
membabi buta dengan senjata api ke arah kerumunan orang banyak sudah
berkali-kali terjadi AS. Korbannya sebagian besar masyarakat sipil, sedangkan
pelakunya sebagian dituduh sebagai
teroris, sebagian diidentifikasi sebagai mengalami masalah kepribadian, dan sebagian lagi tidak
jelas.
Sangat ironis, negara secanggih dan sedemokratis AS kerapkali mengalami
peristiwa barbar semacam itu. Jika
terjadi sekali dua kali, masih bisa dimaklumi; mungkin itu sifatnya insidental
saja. Namun, jika muncul berulang-ulang, seperti yang selama ini terjadi, jelas
menjadi tanda tanya besar yang sulit dicari jawabannya. Tragedi-tragedi memilukan semacam itu sesungguhnya lebih pantas terjadi
pada masyarakat tradisional yang kurang terdidik (terpelajar), bukan pada
masyarakat AS yang modern serta sangat
terdidik dan terpelajar yang gagasan-gagasan besarnya sudah menjangkau luar
angkasa.
Pemerintah AS sendiri dengan tegas menolak dua penyerangan terakhir di atas
(di Nevada dan Texas) sebagai tindak terorisme walaupun banyak warga AS
bersikeras bahwa keduanya termasuk tindak terorisme, meski pelakunya tidak
terafiliasi dengan jaringan teroris mana pun.
Presiden Donald Trump menyebut
penyerangan itu sebagai “perbuatan iblis”, tetapi tidak menggolongkannya
sebagai terorisme. Namun, tak sedikit warga AS menyatakan bahwa dua aksi itu
jelas-jelas teror karena telah menimbulkan ketakutan dan korban jiwa cukup
besar.
Tidak terlalu penting memasalahkan bahwa penyerangan bersenjata itu
termasuk tindak terorisme, koboisme, ramboisme, atau yang lainnya. Hal yang sangat jelas dan mencolok adalah
telah terjadi kejahatan yang memakan korban dalam jumlah besar yang dilakukan dengan cara dan gaya seperti cowboy atau teroris. Silakan Anda
menilainya sendiri.
Apa pun istilahnya, yang jelas penyerangan itu adalah kejahatan besar yang
sangat mencederai nilai-nilai kemanusiaan, peradaban, dan hukum. Penyerangan
yang menyebabkan puluhan kematian itu juga telah menimbulkan trauma dan
ketakutan pada masyarakat AS. Jika mereka (pemerintah dan masyarakat AS) sadar
dan empati akan hal ini, istilah yang mereka gunakan untuk menyebutnya menjadi
tidak penting; melainkan yang penting adalah bagaimana menemukan solusi yang
jitu untuk menekan sekecil-kecilnya agar tragedi itu tidak terjadi lagi.