Tampilkan postingan dengan label Terorisme. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Terorisme. Tampilkan semua postingan

Kamis, 09 November 2017

Penembakan Massal di Amerika Serikat: Antara Terorisme dan Koboisme

Oleh Akhmad Zamroni

Sumber: cdns.klimg.com

Dalam waktu kurang dari dua bulan, Amerika Serikat (AS) diguncang oleh dua peristiwa penembakan membabi buta yang menewaskan puluhan warga.  Pertama, pada Minggu, 1 Oktober 2017, dalam sebuah konser musik country di Las VegasNevada, terjadi penyerangan (penembakan) acak dengan senjata api yang menyebabkan setidaknya 58 orang tewas dan 200 orang lainnya mengalami luka-luka. Penembakan ini menjadi kasus penembakan massal dengan jumlah korban terbesar dalam sejarah modern AS.
Pelaku penembakan, seperti dirilis oleh banyak media, adalah pria bernama Stephen Paddock, 64 tahun, pensiunan akuntan yang memiliki lisensi untuk menerbangkan pesawat terbang kecil. Paddock yang tinggal di Masquite, Nevada, diberitakan melakukan aksi brutalnya dari lantai 32 Hotel Mandalay Bay. Ia memberondongkan senapan laras panjang ke arah kerumunan penonton konser hingga ratusan orang terkapar tewas dan luka-luka. Paddock sendiri kemudian juga tewas ditembak aparat keamanan.
Sebulan lebih kemudian, peristiwa  penembakan kedua terjadi di  Texas. Pada Minggu, 5 November 2017, saat sejumlah orang tengah mengikuti ibadah di sebuah gereja di Sutherland Springs, Texas, tiba-tiba seorang pria masuk ke dalam gereja dan memberondongkan senjata apinya.  Akibat aksi sadis ini, 26 orang jemaat tewas serta 20-an orang lainnya mengalami luka ringan dan berat.
Dikabarkan, pelaku penyerangan itu adalah Devin Patrick Kelley, mantan tentara yang telah dipecat dari Angkatan Udara AS. Kelley melakukan aksinya seperti seolah-olah tengah bertempur menghadapi pasukan musuh. Menurut sejumlah media, saat beraksi Kelley mengenakan pakaian serba hitam, memakai rompi tempur antipeluru yang dilengkapi peralatan serangan taktis, serta menenteng senapan serbu Ruger AR-556. Kelley akhirnya tewas setelah mobil yang ia gunakan untuk melarikan diri ditabrak polisi serta ia sendiri juga mendapatkan beberapa kali tembakan dari polisi.
Dua kejadian yang memilukan tersebut menjadi peristiwa tragis yang kesekian kalinya di AS. Beberapa bulan dan tahun sebelumnya peristiwa penyerangan membabi buta dengan senjata api ke arah kerumunan orang banyak sudah berkali-kali terjadi AS. Korbannya sebagian besar masyarakat sipil, sedangkan pelakunya sebagian  dituduh sebagai teroris, sebagian diidentifikasi sebagai mengalami  masalah kepribadian, dan sebagian lagi tidak jelas.  
Sangat ironis, negara secanggih dan sedemokratis AS kerapkali mengalami peristiwa barbar semacam itu.  Jika terjadi sekali dua kali, masih bisa dimaklumi; mungkin itu sifatnya insidental saja. Namun, jika muncul berulang-ulang, seperti yang selama ini terjadi, jelas menjadi tanda tanya besar yang sulit dicari jawabannya. Tragedi-tragedi memilukan  semacam itu sesungguhnya lebih pantas terjadi pada masyarakat tradisional yang kurang terdidik (terpelajar), bukan pada masyarakat  AS yang modern serta sangat terdidik dan terpelajar yang gagasan-gagasan besarnya sudah menjangkau luar angkasa.
Pemerintah AS sendiri dengan tegas menolak dua penyerangan terakhir di atas (di Nevada dan Texas) sebagai tindak terorisme walaupun banyak warga AS bersikeras bahwa keduanya termasuk tindak terorisme, meski pelakunya tidak terafiliasi dengan jaringan teroris mana pun.  Presiden Donald Trump  menyebut penyerangan itu sebagai “perbuatan iblis”, tetapi tidak menggolongkannya sebagai terorisme. Namun, tak sedikit warga AS menyatakan bahwa dua aksi itu jelas-jelas teror karena telah menimbulkan ketakutan dan korban jiwa cukup besar. 
Tidak terlalu penting memasalahkan bahwa penyerangan bersenjata itu termasuk tindak terorisme, koboisme, ramboisme, atau yang lainnya.  Hal yang sangat jelas dan mencolok adalah telah terjadi kejahatan yang memakan korban dalam jumlah besar  yang dilakukan dengan cara dan gaya seperti cowboy atau teroris. Silakan Anda menilainya sendiri.
Apa pun istilahnya, yang jelas penyerangan itu adalah kejahatan besar yang sangat mencederai nilai-nilai kemanusiaan, peradaban, dan hukum. Penyerangan yang menyebabkan puluhan kematian itu juga telah menimbulkan trauma dan ketakutan pada masyarakat AS. Jika mereka (pemerintah dan masyarakat AS) sadar dan empati akan hal ini, istilah yang mereka gunakan untuk menyebutnya menjadi tidak penting; melainkan yang penting adalah bagaimana menemukan solusi yang jitu untuk menekan sekecil-kecilnya agar tragedi itu tidak terjadi lagi.

Minggu, 29 Oktober 2017

Peristiwa Bom Bali I dan Bom Bali II (12 Oktober 2002 dan 1 Oktober 2005)

Oleh Akhmad Zamroni

Sumber: penulishidupku.com

Awal tahun 2000-an menandai terjadinya serangkaian teror peledakan bom di Indonesia. Setelah serangkaian serangan ke WTC dan Pentagon (AS) pada 11 September 2001 yang menyebabkan jatuhnya ribuan korban jiwa pada tahun 2001, setahun kemudian Indonesia mendapat serangan bom. Pada tanggal 12 Oktober 2002 malam hari, masyarakat Bali dikejutkan oleh tiga ledakan dahsyat yang berasal dari tiga pengeboman di tiga tempat yang berbeda. Ledakan pertama terjadi di Paddy's Pub dan ledakan kedua di Sari Club (SC) – keduanya terletak di Jalan Legian, Kuta, Bali. Adapun ledakan ketiga terjadi di dekat Kantor Konsulat Amerika Serikat.
Peristiwa tragis ini populer disebut sebagai Bom Bali I. Dibandingkan dengan peledakan Bom Bali II (1 Oktober 2005), serangan Bom Bali I jauh lebih dahsyat dengan jumlah korban jauh lebih banyak. Dalam peristiwa Bom Bali I ini tercatat 202 orang meninggal dunia dan 209 orang lainnya luka-luka (berat dan ringan). Para korban umumnya merupakan turis asing yang tengah berkunjung ke Paddy's Pub dan Sari Club (SC). Sampai sejauh ini, Bom Bali I merupakan peristiwa teror pengeboman terbesar dan terparah dalam sejarah Indonesia modern.
Bulan Oktober menjadi bulan tragedi bagi masyarakat Bali khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya.  Pada tanggal 1 Oktober 2005, pecah tiga pengeboman beruntun di Bali.  Pertama, terjadi di Kuta serta yang kedua dan ketiga terjadi di Jimbaran. Peledakan tiga bom ini menyebabkan 23 orang meninggal dunia serta 196 orang lainnya mengalami luka-luka (berat dan ringan). Sejumlah 23 korban meninggal terdiri atas 15 warga negara Indonesia, 1 warga  negara Jepang, 4 warga negara Australia, serta tiga lainnya, menurut keterangan aparat keamanan, merupakan para pelaku pengeboman (Muhammad Salik Firdaus, Misno alias Wisnu, dan Ayib Hidayat).
Pengeboman yang kemudian populer dengan sebutan Bom Bali II ini terjadi di tiga lokasi yang terpisah, yakni Kafe Nyoman, Kafe Menega, dan Restoran R. AJA’s (Kuta Square). Ansyaad Mbai, Kepala Desk Antiteror Kantor Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), menyatakan bahwa bukti awal menunjukkan pengeboman ini dilakukan oleh sedikitnya tiga orang pengebom bunuh diri. Model atau cara pengebomannya mirip dengan pengeboman di Bali pada tahun 2002. Dalam pada itu, Mick Keelty, Komisioner Polisi Federal Australia, menyatakan, jenis bom yang digunakan kelihatannya berbeda dengan yang dipakai pada peledakan sebelumnya. Korban meninggal dan terluka umumnya diakibatkan oleh "serpihan tajam" (shrapnel), dan bukan ledakan kimia.