Selasa, 19 Maret 2019

Indonesia sebagai Negara Hukum


Oleh Akhmad Zamroni

Mahkamah Agung (Sumber: storyza.wordpress.com)


    Negara Indonesia adalah negara hukum. Ketentuan ini sangat jelas tertera dalam konstitusi negara kita, UUD 1945 Pasal 1 Ayat (3). Sebagai negara hukum, Indonesia menempatkan hukum pada kedudukan yang tinggi. Di negara kita, hukum dijadikan perangkat untuk mengatur sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
    Sebagai negara hukum, Indonesia bersikukuh dengan prinsip dan pandangan bahwa tidak ada orang yang (boleh) berdiri di atas hukum. Di negara Indonesia tidak dibenarkan ada orang yang kebal hukum. Semua warga negara –– tanpa perkecualian –– memiliki hak, kewajiban, dan kedudukan yang sama di depan hukum.
    Terkait dengan pentingnya kedudukan dan fungsi hukum, para ahli hukum, praktisi hukum, dan mereka yang sangat peduli dengan hukum sepakat dengan adagium yang menyatakan bahwa “Hukum adalah panglima” atau “Biarpun langit runtuh, hukum harus tetap dijunjung tinggi.” Hal ini menunjukkan bahwa hukum menjadi sandaran utama untuk mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Hal itu juga menegaskan bahwa dalam keadaan yang bagaimanapun, hukum harus tetap menjadi pengelola kehidupan.
    Begitulah posisi dan peranan hukum yang diidealkan dalam negara yang mengklaim diri sebagai negara hukum. Dan memang demikianlah seharusnya sebuah negara hukum menjalankan kehidupannya. Seluruh bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dijalankan dengan landasan aturan hukum. Setiap persoalan yang muncul dalam berbagai bidang –– politik, ekonomi, sosial, budaya, ilmu pengetahuan, teknologi, dan sebagainya –– harus dikembalikan pada hukum. Solusi atau penyelesaian atas kasus yang muncul dalam semua sendi kehidupan harus senantiasa dilakukan berdasarkan hukum yang berlaku.

Menciptakan Kehidupan yang Adil dan Beradab melalui Penegakan Hukum


Oleh Akhmad Zamroni

Penegakan hukum untuk menciptakan keadilan (http://media.philstar.com)


    Sikap dan perilaku terhadap hukum menjadi aspek yang sangat menentukan –– jika tak dapat dikatakan yang ‘paling menentukan’ –– dalam upaya penegakan hukum. Sikap dan perilaku yang positif terhadap hukum lahir dari kesadaran dan komitmen yang kuat terhadap hukum. Pribadi yang memiliki kesadaran dan komitmen kuat terhadap hukum akan memiliki sikap dan perilaku yang positif terhadap hukum. Sikap dan perilaku positif terhadap hukum akhirnya akan menciptakan ketaatan terhadap hukum serta kesukarelaan (kesediaan dan keikhlasan) untuk melaksanakan aturan hukum.
·         Rendahnya Kepatuhan terhadap Hukum
    Hal terakhir itulah yang seringkali menjadi tanda tanya besar dalam upaya penegakan hukum di Indonesia. Sudahkah seluruh –– atau setidaknya sebagian besar ––  komponen bangsa kita memiliki sikap dan perilaku taat terhadap hukum serta kesukarelaan untuk melaksanakan aturan hukum? Jawabannya, tampaknya, adalah “belum” jika yang menjadi ukuran adalah jumlah dan frekuensi kasus pelanggaran hukum. Sebagaimana yang sudah sering disinggung, dewasa ini Indonesia sedang dibelit oleh begitu banyak persoalan hukum, dari maraknya kasus pelanggaran hukum, pemberlakuan hukum yang cenderung diskriminatif, sampai penyelesaian (pemberian putusan) atas berbagai perkara hukum yang kurang memenuhi rasa keadilan masyarakat. Atas semua kerunyaman ini, betapa para tokoh dan pemimpin yang peduli terhadap upaya penegakan hukum sering mengeluarkan keluhannya seraya melontarkan otokritik bahwa masyarakat dan bangsa kita sangat memprihatinkan dalam hal kapatuhan dan ketundukannya pada hukum.

Pelanggar hukum menjalani hukuman (http://www.ditjenpas.go.id)

    Dengan kata lain, ketaatan terhadap hukum serta kesukarelaan untuk melaksanakan aturan hukum dengan konsisten dan tanpa pandang bulu kiranya memang belum mengakar kuat dan membudaya dalam sikap dan perilaku bangsa kita. Hal ini tentu saja sangat memprihatinkan. Sebagai negara yang mengklaim diri sebagai negara hukum, kita tidak dapat membiarkan hal ini terus-menerus berlangsung. Kita pasti tidak menghendaki keadaan ini berkembang ke arah kemerosotan yang tak terkendali hingga akhirnya terjadi anarki, chaos, dan disintegrasi.
·         Optimisme Penegakan Hukum
    Namun, untuk menghadapi keadaan yang sedang berlangsung kiranya sikap pasrah, pesimistis, dan apriori harus dibuang jauh-jauh. Bagaimanapun juga, kita harus tetap berupaya untuk bangkit melakukan upaya penyelamatan. Kita harus optimis bahwa selama ada upaya nyata untuk mencari solusi dan memperbaiki keadaan, upaya penegakan hukum masih dapat diselamatkan. Di sekitar kita masih tersedia banyak orang yang memiliki komitmen kuat dan konsistensi tinggi dalam upaya penegakan hukum serta dengan dibarengi teladan positif mereka tak jemu-jemunya mempersuasi masyarakat untuk tunduk dan melaksanakan hukum sehingga harapan untuk terwujudnya sikap dan perilaku taat hukum serta kesukarelaan untuk melaksanakan aturan hukum yang berlaku pada bangsa ini tidaklah mustahil dapat menjadi kenyataan.

Aparat hukum tidak boleh kehilangan optimisme
(Sumber: www.mahkamahagung.go.id)

    Penegakan hukum merupakan upaya yang wajib dilakukan secara berkesinambungan tanpa mengenal lelah dan putus asa, apalagi di tengah masih lemahnya kesadaran dan komitmen terhadap hukum serta banyaknya kasus pelanggaran hukum. Dalam keadaan yang bagaimanapun, hukum harus tegak. Tegaknya hukum akan menyingkirkan atau setidaknya mengurangi secara drastis berbagai keadaan dan perilaku yang tidak menyenangkan di tengah kehidupan kita, seperti korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, dan kekacauan.
·         Mewujudkan Kehidupan yang Adil dan Beradab
    Tegaknya hukum tidak hanya akan menciptakan keadilan, melainkan juga mendatangkan berbagai kenyamanan dan keteraturan hidup. Jika kita memiliki sikap dan perilaku taat hukum serta kesukarelaan untuk melaksanakan aturan hukum, hukum pun akan “berbalik” memberikan “jasa baik”-nya kepada kita: hukum akan memberikan keamanan, ketenangan, keteraturan, dan kedamaian. Hal-hal terakhir inilah yang kita butuhkan dalam upaya mencapai kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang adil dan beradab.
    Kehidupan yang beradab artinya adalah kehidupan yang bermartabat dan maju. Salah satu ciri bangsa yang beradab memang adalah bangsa yang tunduk, taat, dan melaksanakan hukum sehingga hukum dan peradaban memang saling terkait. Dengan demikian, salah satu cara untuk mencapai masyarakat dan bangsa yang beradab adalah melakukan upaya penegakan hukum.

Rendahnya Moral, Kesadaran, dan Komitmen terhadap Hukum

Oleh Akhmad Zamroni

Maraknya korupsi menjadi salah satu indikasi kuat rendahnya moral, kesadaran, dan komitmen terhadap hukum
(Sumber: http://assets-a2.kompasiana.com)


    Mengapa ironi banyaknya aparat penegak hukum yang melanggar hukum dapat terjadi? Mengapa para aparat penegak hukum, pengacara, pejabat negara, dan wakil rakyat yang mestinya menjadi pelopor upaya penegakan hukum justru banyak yang “tersesat” dan “durhaka” dengan menjadi penghambat upaya penegakan hukum? Mengapa mereka hanya pandai mengimbau dan mengajak masyarakat untuk patuh terhadap hukum, tetapi mereka sendiri tidak mampu memberikan teladan yang positif dalam upaya penegakan hukum?
    Persoalan yang berada di belakangnya mungkin memang kompleks dan tali-temali. Berbagai persoalan, dari pengaruh perkembangan zaman (kuatnya materialisme), kecemburuan ekonomi, perlombaan kemewahan, sikap rakus, hingga mengumbar keserakahan, mungkin saja menjadi penyebabnya. Akan tetapi, kiranya cukup jelas bahwa merosotnya moral, rapuhnya mental, serta rendahnya kesadaran dan tipisnya komitmen hukum menjadi penyebab pokoknya.


Penuhnya penjara oleh tahanan menunjukkan banyaknya
kasus pelanggaran hukum (Sumber: unimondo.org)

    Betapapun buruknya kehidupan, jika kita masih memiliki moral dan mental yang tinggi serta mempunyai kesadaran dan komitmen hukum yang kuat, kita tidak akan terjerumus menjadi pelaku pelanggaran hukum. Selama kita sadar, berkomitmen, dan mempercayai hukum sebagai pengatur kehidupan, kita akan memperlakukan hukum sebagaimana semestinya, yakni memperlakukan hukum dengan benar. Perlakuan yang benar terhadap hukum ditunjukkan dengan kesediaan untuk di sisi satu memberlakuan hukum tanpa pandang bulu dan di sisi lain memperlihatkan sikap dan perilaku patuh, tunduk, dan melaksanakan aturan hukum dengan konkret dan konsisten.
    Oleh sebab itulah, upaya penegakan hukum kiranya tidak cukup dilakukan hanya dengan pembuatan dan pemberlakuan instrumen atau aturan hukum, seperti KUHP dan peraturan perundang-undangan. Upaya tersebut juga tidak cukup hanya dengan membuat dan menggerakkan lembaga penegak hukum untuk melakukan tugas, wewenang, dan tanggung jawabnya secara benar. Keberadaan aturan hukum dan lembaga penegak hukum, betapapun sempurnanya, tidak akan banyak berdaya untuk menegakkan hukum jika kesadaran dan komitmen hukum   –– disertai moralitas dan mentalitas –– yang tertanam di tubuh bangsa ini masih rendah. Pelanggaran hukum dalam berbagai bentuknya akan terus terjadi serta sulit dicegah dan ditanggulangi –– dan dengan sendirinya upaya penegakan hukum akan terbengkalai –– jika kehendak untuk taat dan tertib hukum serta tekad untuk melaksanakan aturan hukum dengan konsisten belum mengakar kuat pada semua kalangan dan lapisan masyarakat bangsa ini.

Panorama Penegakan Hukum di Indonesia


Oleh Akhmad Zamroni

Palu hakim di pengadilan (Sumber: http://www.newtapanuli.com)

    Apa yang diidealkan memang tidak selalu terwujud secara konkret dalam realitas kehidupan. Hukum sebagai pengatur utama kehidupan yang mampu mendatangkan keadilan dan kebenaran di negara kita ternyata masih sebatas idealisme yang sulit diwujudkan. Hukum sebagai panglima dalam mengatur tata kehidupan kiranya masih sebatas kata-kata yang belum meresap dalam bentuk tindakan nyata dalam praktik kehidupan sehari-hari kita.
    Taat dan tertib hukum belum menjadi sikap dan perilaku yang membudaya dan mengakar kuat dalam kehidupan masyarakat kita. Sejak negara kita terbentuk melalui Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, pasang surut kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara kita masih lebih banyak diwarnai keengganan untuk secara penuh tunduk dan melaksanakan hukum. Tidak kurang, hal ini terjadi di kalangan pemerintah, para tokoh, para pemimpin, dan bahkan aparat penegak hukum sendiri. Pada masa pemerintahan Orde Lama –– masa awal berdirinya negara Indonesia –– pemerintahan dijalankan secara otoriter dan penuh pelanggaran terhadap Pancasila dan UUD 1945, terutama setelah berlakunya Dekret Presiden 5 Juli 1959. Pada masa Orde Baru –– yang semula bertekad untuk mengoreksi kesalahan rezim Orde Lama –– pemerintahan bahkan dijalankan dengan lebih otoriter serta sarat dengan pelanggaran hukum, demokrasi, dan hak asasi manusia. Dan kini, pada era reformasi –– yang semula lagi-lagi dimaksudkan untuk mengoreksi kesalahan rezim-rezim sebelumnya (Orde Lama dan Orde Baru) –– pelanggaran hukum masih tetap saja menjadi peristiwa dan pemandangan yang sangat sering kita jumpai.
·         Inkonsistensi Penegakan Hukum
    Perkembangan setelah reformasi bahkan memperlihatkan bahwa upaya penegakan hukum di negara kita mengalami masalah yang sangat serius. Selama sekitar dua dasawarsa (1999-2019) upaya penegakan hukum seperti mengalami deadlock (jalan buntu). Banyak sekali kasus pelanggaran hukum baik di daerah-daerah maupun di pusat tidak diselesaikan sebagaimana mestinya.
    Kecenderungan yang menonjol adalah banyak kasus pidana diselesaikan secara diskriminatif atau tebang pilih. Tidak sedikit fakta menunjukkan, hukum diberlakukan secara konsisten hanya pada kalangan masyarakat lapisan bawah yang miskin, bodoh, dan tidak memiliki akses kekuasaan. Para pelaku tindak pidana kecil-kecilan, yang melakukan kejahatan karena terpaksa dan faktor kemiskinan –– seperti mencuri beberapa butir buah cokelat dan semangka –– diproses hukum dan dijatuhi hukuman sesuai aturan, sementara para pelaku tindak pidana besar, yang melakukan kejahatan karena sifat rakus dan serakah –– seperti penyalahgunaan kekuasaan atau wewenang (abuse of power) dan korupsi miliaran atau triliunan rupiah –– banyak yang dibiarkan menghirup udara bebas atau diproses dan dijatuhi hukuman di bawah standar (sangat ringan).
·         Mafia Hukum
    Grafik upaya penegakan hukum dalam beberapa tahun ini makin menunjukkan gejala kemerosotan yang ironis, parah, dan “gila” setelah ditemukan kasus-kasus pelanggaran hukum yang hampir-hampir tak masuk akal, yakni banyaknya petinggi aparat penegak hukum –– hakim, jaksa, dan polisi –– yang menjadi pelaku pelanggaran hukum yang serius (korupsi, manipulasi, penyalahgunaan wewenang, penyalahgunaan narkoba, pungutan liar, dan sebagainya). Mencuatnya kasus-kasus ini menimbulkan dugaan kuat bahwa upaya penegakan hukum di Indonesia saat ini justru dikendalikan atau setidaknya dihambat oleh jaringan yang disebut ‘mafia hukum’. Mereka yang masuk dan mengendalikan jaringan ini bukan kalangan masyarakat awam biasa, melainkan justru para aparat penegak hukum yang sangat paham akan hukum serta memiliki kedudukan yang penting dalam jajaran korp aparat penegak hukum. Sementara itu, dalam bidang fiskal (perpajakan) muncul pula dugaan kuat ihwal adanya ‘mafia pajak’ yang beroperasi untuk mengeruk keuntungan dengan cara-cara ilegal.

Aparat penegak hukum, pejabat negara, ketuap partai politik, dan anggota parlemen yang menjadi tahanan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) akibat terlibat tindak kejahatan korupsi (Gambar dari berbagai sumber)

    Dugaan kuat tentang keberadaan ‘mafia hukum’ kemudian menjadi makin menemukan kebenarannya setelah pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono beberapa tahun lalu membentuk Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum (Satgas Antimafia Hukum). Kebijakan SBY ini secara langsung merupakan bentuk pengakuan akan ada, beroperasi, dan merajalelanya mafia hukum dalam dunia hukum di Indonesia. Jika fenomena mafia hukum baru menjadi dugaan atau gejala kecil, tentunya pembentukan Satgas Antimafia Hukum tidak perlu dilakukan sebab upaya untuk mengatasinya cukup dilakukan dengan pemberlakuan atau penegakan hukum secara normal/biasa saja. Akan tetapi, bahwa Satgas Antimafia Hukum akhirnya dibentuk dengan kewenangan yang besar, tentunya keberadaan dan sepak terjang mafia hukum memang sudah riil, kuat, dan melembaga serta sudah pada taraf darurat dan dapat membahayakan keselamatan negara (jauh lebih serius dari sekadar dugaan dan gejala kecil).
·         Alarm Bahaya Penegakan Hukum
    Dalam pada itu, pembentukan lembaga dengan tugas khusus memberantas korupsi, yakni Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), memperjelas fakta bahwa lembaga-lembaga penegak hukum reguler –– kehakiman, kejaksaan, dan kepolisian –– memang sedang didera persoalan yang serius. Pembentukan KPK dilakukan sebagai upaya darurat yang dilatarbelakangi dua alasan atau pertimbangan pokok, yakni, pertama, karena lembaga-lembaga penegak hukum reguler (dianggap) tidak berdaya dan gagal melakukan upaya pemberantasan korupsi dan, kedua, karena korupsi (dianggap) sudah menjelma menjadi kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Dengan demikian menjadi lebih jelas bahwa pembentukan Satgas Antimafia Hukum dan KPK menjadi pertanda kian kerasnya bunyi alarm bahaya dalam upaya penegakan hukum di Indonesia. Upaya penegakan hukum menjadi sangat terhambat dan bahkan terasa berbalik menjadi penghancuran hukum akibat lembaga penegak hukum reguler sendiri didera penyakit yang akut dan sulit disembuhkan.
    Keadaannya menjadi makin runyam karena perilaku kurang taat dan tertib hukum juga banyak ditemui di luar lembaga penegak hukum dan para aparat penegak hukum. Tidak hanya polisi, jaksa, dan hakim, pengacara, pejabat tinggi di pusat dan daerah, serta para anggota DPR dan DPRD pun banyak yang tersangkut kasus hukum. Umumnya mereka tersangkut kasus pidana korupsi dan penyalahgunaan wewenang/jabatan. Pelanggaran hukum yang terjadi memperlihatkan keruwetan yang sulit diurai atau lingkaran setan yang sulit diputus.