Tampilkan postingan dengan label Hukum. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Hukum. Tampilkan semua postingan

Selasa, 19 Maret 2019

Indonesia sebagai Negara Hukum


Oleh Akhmad Zamroni

Mahkamah Agung (Sumber: storyza.wordpress.com)


    Negara Indonesia adalah negara hukum. Ketentuan ini sangat jelas tertera dalam konstitusi negara kita, UUD 1945 Pasal 1 Ayat (3). Sebagai negara hukum, Indonesia menempatkan hukum pada kedudukan yang tinggi. Di negara kita, hukum dijadikan perangkat untuk mengatur sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
    Sebagai negara hukum, Indonesia bersikukuh dengan prinsip dan pandangan bahwa tidak ada orang yang (boleh) berdiri di atas hukum. Di negara Indonesia tidak dibenarkan ada orang yang kebal hukum. Semua warga negara –– tanpa perkecualian –– memiliki hak, kewajiban, dan kedudukan yang sama di depan hukum.
    Terkait dengan pentingnya kedudukan dan fungsi hukum, para ahli hukum, praktisi hukum, dan mereka yang sangat peduli dengan hukum sepakat dengan adagium yang menyatakan bahwa “Hukum adalah panglima” atau “Biarpun langit runtuh, hukum harus tetap dijunjung tinggi.” Hal ini menunjukkan bahwa hukum menjadi sandaran utama untuk mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Hal itu juga menegaskan bahwa dalam keadaan yang bagaimanapun, hukum harus tetap menjadi pengelola kehidupan.
    Begitulah posisi dan peranan hukum yang diidealkan dalam negara yang mengklaim diri sebagai negara hukum. Dan memang demikianlah seharusnya sebuah negara hukum menjalankan kehidupannya. Seluruh bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dijalankan dengan landasan aturan hukum. Setiap persoalan yang muncul dalam berbagai bidang –– politik, ekonomi, sosial, budaya, ilmu pengetahuan, teknologi, dan sebagainya –– harus dikembalikan pada hukum. Solusi atau penyelesaian atas kasus yang muncul dalam semua sendi kehidupan harus senantiasa dilakukan berdasarkan hukum yang berlaku.

Menciptakan Kehidupan yang Adil dan Beradab melalui Penegakan Hukum


Oleh Akhmad Zamroni

Penegakan hukum untuk menciptakan keadilan (http://media.philstar.com)


    Sikap dan perilaku terhadap hukum menjadi aspek yang sangat menentukan –– jika tak dapat dikatakan yang ‘paling menentukan’ –– dalam upaya penegakan hukum. Sikap dan perilaku yang positif terhadap hukum lahir dari kesadaran dan komitmen yang kuat terhadap hukum. Pribadi yang memiliki kesadaran dan komitmen kuat terhadap hukum akan memiliki sikap dan perilaku yang positif terhadap hukum. Sikap dan perilaku positif terhadap hukum akhirnya akan menciptakan ketaatan terhadap hukum serta kesukarelaan (kesediaan dan keikhlasan) untuk melaksanakan aturan hukum.
·         Rendahnya Kepatuhan terhadap Hukum
    Hal terakhir itulah yang seringkali menjadi tanda tanya besar dalam upaya penegakan hukum di Indonesia. Sudahkah seluruh –– atau setidaknya sebagian besar ––  komponen bangsa kita memiliki sikap dan perilaku taat terhadap hukum serta kesukarelaan untuk melaksanakan aturan hukum? Jawabannya, tampaknya, adalah “belum” jika yang menjadi ukuran adalah jumlah dan frekuensi kasus pelanggaran hukum. Sebagaimana yang sudah sering disinggung, dewasa ini Indonesia sedang dibelit oleh begitu banyak persoalan hukum, dari maraknya kasus pelanggaran hukum, pemberlakuan hukum yang cenderung diskriminatif, sampai penyelesaian (pemberian putusan) atas berbagai perkara hukum yang kurang memenuhi rasa keadilan masyarakat. Atas semua kerunyaman ini, betapa para tokoh dan pemimpin yang peduli terhadap upaya penegakan hukum sering mengeluarkan keluhannya seraya melontarkan otokritik bahwa masyarakat dan bangsa kita sangat memprihatinkan dalam hal kapatuhan dan ketundukannya pada hukum.

Pelanggar hukum menjalani hukuman (http://www.ditjenpas.go.id)

    Dengan kata lain, ketaatan terhadap hukum serta kesukarelaan untuk melaksanakan aturan hukum dengan konsisten dan tanpa pandang bulu kiranya memang belum mengakar kuat dan membudaya dalam sikap dan perilaku bangsa kita. Hal ini tentu saja sangat memprihatinkan. Sebagai negara yang mengklaim diri sebagai negara hukum, kita tidak dapat membiarkan hal ini terus-menerus berlangsung. Kita pasti tidak menghendaki keadaan ini berkembang ke arah kemerosotan yang tak terkendali hingga akhirnya terjadi anarki, chaos, dan disintegrasi.
·         Optimisme Penegakan Hukum
    Namun, untuk menghadapi keadaan yang sedang berlangsung kiranya sikap pasrah, pesimistis, dan apriori harus dibuang jauh-jauh. Bagaimanapun juga, kita harus tetap berupaya untuk bangkit melakukan upaya penyelamatan. Kita harus optimis bahwa selama ada upaya nyata untuk mencari solusi dan memperbaiki keadaan, upaya penegakan hukum masih dapat diselamatkan. Di sekitar kita masih tersedia banyak orang yang memiliki komitmen kuat dan konsistensi tinggi dalam upaya penegakan hukum serta dengan dibarengi teladan positif mereka tak jemu-jemunya mempersuasi masyarakat untuk tunduk dan melaksanakan hukum sehingga harapan untuk terwujudnya sikap dan perilaku taat hukum serta kesukarelaan untuk melaksanakan aturan hukum yang berlaku pada bangsa ini tidaklah mustahil dapat menjadi kenyataan.

Aparat hukum tidak boleh kehilangan optimisme
(Sumber: www.mahkamahagung.go.id)

    Penegakan hukum merupakan upaya yang wajib dilakukan secara berkesinambungan tanpa mengenal lelah dan putus asa, apalagi di tengah masih lemahnya kesadaran dan komitmen terhadap hukum serta banyaknya kasus pelanggaran hukum. Dalam keadaan yang bagaimanapun, hukum harus tegak. Tegaknya hukum akan menyingkirkan atau setidaknya mengurangi secara drastis berbagai keadaan dan perilaku yang tidak menyenangkan di tengah kehidupan kita, seperti korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, dan kekacauan.
·         Mewujudkan Kehidupan yang Adil dan Beradab
    Tegaknya hukum tidak hanya akan menciptakan keadilan, melainkan juga mendatangkan berbagai kenyamanan dan keteraturan hidup. Jika kita memiliki sikap dan perilaku taat hukum serta kesukarelaan untuk melaksanakan aturan hukum, hukum pun akan “berbalik” memberikan “jasa baik”-nya kepada kita: hukum akan memberikan keamanan, ketenangan, keteraturan, dan kedamaian. Hal-hal terakhir inilah yang kita butuhkan dalam upaya mencapai kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang adil dan beradab.
    Kehidupan yang beradab artinya adalah kehidupan yang bermartabat dan maju. Salah satu ciri bangsa yang beradab memang adalah bangsa yang tunduk, taat, dan melaksanakan hukum sehingga hukum dan peradaban memang saling terkait. Dengan demikian, salah satu cara untuk mencapai masyarakat dan bangsa yang beradab adalah melakukan upaya penegakan hukum.

Rendahnya Moral, Kesadaran, dan Komitmen terhadap Hukum

Oleh Akhmad Zamroni

Maraknya korupsi menjadi salah satu indikasi kuat rendahnya moral, kesadaran, dan komitmen terhadap hukum
(Sumber: http://assets-a2.kompasiana.com)


    Mengapa ironi banyaknya aparat penegak hukum yang melanggar hukum dapat terjadi? Mengapa para aparat penegak hukum, pengacara, pejabat negara, dan wakil rakyat yang mestinya menjadi pelopor upaya penegakan hukum justru banyak yang “tersesat” dan “durhaka” dengan menjadi penghambat upaya penegakan hukum? Mengapa mereka hanya pandai mengimbau dan mengajak masyarakat untuk patuh terhadap hukum, tetapi mereka sendiri tidak mampu memberikan teladan yang positif dalam upaya penegakan hukum?
    Persoalan yang berada di belakangnya mungkin memang kompleks dan tali-temali. Berbagai persoalan, dari pengaruh perkembangan zaman (kuatnya materialisme), kecemburuan ekonomi, perlombaan kemewahan, sikap rakus, hingga mengumbar keserakahan, mungkin saja menjadi penyebabnya. Akan tetapi, kiranya cukup jelas bahwa merosotnya moral, rapuhnya mental, serta rendahnya kesadaran dan tipisnya komitmen hukum menjadi penyebab pokoknya.


Penuhnya penjara oleh tahanan menunjukkan banyaknya
kasus pelanggaran hukum (Sumber: unimondo.org)

    Betapapun buruknya kehidupan, jika kita masih memiliki moral dan mental yang tinggi serta mempunyai kesadaran dan komitmen hukum yang kuat, kita tidak akan terjerumus menjadi pelaku pelanggaran hukum. Selama kita sadar, berkomitmen, dan mempercayai hukum sebagai pengatur kehidupan, kita akan memperlakukan hukum sebagaimana semestinya, yakni memperlakukan hukum dengan benar. Perlakuan yang benar terhadap hukum ditunjukkan dengan kesediaan untuk di sisi satu memberlakuan hukum tanpa pandang bulu dan di sisi lain memperlihatkan sikap dan perilaku patuh, tunduk, dan melaksanakan aturan hukum dengan konkret dan konsisten.
    Oleh sebab itulah, upaya penegakan hukum kiranya tidak cukup dilakukan hanya dengan pembuatan dan pemberlakuan instrumen atau aturan hukum, seperti KUHP dan peraturan perundang-undangan. Upaya tersebut juga tidak cukup hanya dengan membuat dan menggerakkan lembaga penegak hukum untuk melakukan tugas, wewenang, dan tanggung jawabnya secara benar. Keberadaan aturan hukum dan lembaga penegak hukum, betapapun sempurnanya, tidak akan banyak berdaya untuk menegakkan hukum jika kesadaran dan komitmen hukum   –– disertai moralitas dan mentalitas –– yang tertanam di tubuh bangsa ini masih rendah. Pelanggaran hukum dalam berbagai bentuknya akan terus terjadi serta sulit dicegah dan ditanggulangi –– dan dengan sendirinya upaya penegakan hukum akan terbengkalai –– jika kehendak untuk taat dan tertib hukum serta tekad untuk melaksanakan aturan hukum dengan konsisten belum mengakar kuat pada semua kalangan dan lapisan masyarakat bangsa ini.

Panorama Penegakan Hukum di Indonesia


Oleh Akhmad Zamroni

Palu hakim di pengadilan (Sumber: http://www.newtapanuli.com)

    Apa yang diidealkan memang tidak selalu terwujud secara konkret dalam realitas kehidupan. Hukum sebagai pengatur utama kehidupan yang mampu mendatangkan keadilan dan kebenaran di negara kita ternyata masih sebatas idealisme yang sulit diwujudkan. Hukum sebagai panglima dalam mengatur tata kehidupan kiranya masih sebatas kata-kata yang belum meresap dalam bentuk tindakan nyata dalam praktik kehidupan sehari-hari kita.
    Taat dan tertib hukum belum menjadi sikap dan perilaku yang membudaya dan mengakar kuat dalam kehidupan masyarakat kita. Sejak negara kita terbentuk melalui Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, pasang surut kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara kita masih lebih banyak diwarnai keengganan untuk secara penuh tunduk dan melaksanakan hukum. Tidak kurang, hal ini terjadi di kalangan pemerintah, para tokoh, para pemimpin, dan bahkan aparat penegak hukum sendiri. Pada masa pemerintahan Orde Lama –– masa awal berdirinya negara Indonesia –– pemerintahan dijalankan secara otoriter dan penuh pelanggaran terhadap Pancasila dan UUD 1945, terutama setelah berlakunya Dekret Presiden 5 Juli 1959. Pada masa Orde Baru –– yang semula bertekad untuk mengoreksi kesalahan rezim Orde Lama –– pemerintahan bahkan dijalankan dengan lebih otoriter serta sarat dengan pelanggaran hukum, demokrasi, dan hak asasi manusia. Dan kini, pada era reformasi –– yang semula lagi-lagi dimaksudkan untuk mengoreksi kesalahan rezim-rezim sebelumnya (Orde Lama dan Orde Baru) –– pelanggaran hukum masih tetap saja menjadi peristiwa dan pemandangan yang sangat sering kita jumpai.
·         Inkonsistensi Penegakan Hukum
    Perkembangan setelah reformasi bahkan memperlihatkan bahwa upaya penegakan hukum di negara kita mengalami masalah yang sangat serius. Selama sekitar dua dasawarsa (1999-2019) upaya penegakan hukum seperti mengalami deadlock (jalan buntu). Banyak sekali kasus pelanggaran hukum baik di daerah-daerah maupun di pusat tidak diselesaikan sebagaimana mestinya.
    Kecenderungan yang menonjol adalah banyak kasus pidana diselesaikan secara diskriminatif atau tebang pilih. Tidak sedikit fakta menunjukkan, hukum diberlakukan secara konsisten hanya pada kalangan masyarakat lapisan bawah yang miskin, bodoh, dan tidak memiliki akses kekuasaan. Para pelaku tindak pidana kecil-kecilan, yang melakukan kejahatan karena terpaksa dan faktor kemiskinan –– seperti mencuri beberapa butir buah cokelat dan semangka –– diproses hukum dan dijatuhi hukuman sesuai aturan, sementara para pelaku tindak pidana besar, yang melakukan kejahatan karena sifat rakus dan serakah –– seperti penyalahgunaan kekuasaan atau wewenang (abuse of power) dan korupsi miliaran atau triliunan rupiah –– banyak yang dibiarkan menghirup udara bebas atau diproses dan dijatuhi hukuman di bawah standar (sangat ringan).
·         Mafia Hukum
    Grafik upaya penegakan hukum dalam beberapa tahun ini makin menunjukkan gejala kemerosotan yang ironis, parah, dan “gila” setelah ditemukan kasus-kasus pelanggaran hukum yang hampir-hampir tak masuk akal, yakni banyaknya petinggi aparat penegak hukum –– hakim, jaksa, dan polisi –– yang menjadi pelaku pelanggaran hukum yang serius (korupsi, manipulasi, penyalahgunaan wewenang, penyalahgunaan narkoba, pungutan liar, dan sebagainya). Mencuatnya kasus-kasus ini menimbulkan dugaan kuat bahwa upaya penegakan hukum di Indonesia saat ini justru dikendalikan atau setidaknya dihambat oleh jaringan yang disebut ‘mafia hukum’. Mereka yang masuk dan mengendalikan jaringan ini bukan kalangan masyarakat awam biasa, melainkan justru para aparat penegak hukum yang sangat paham akan hukum serta memiliki kedudukan yang penting dalam jajaran korp aparat penegak hukum. Sementara itu, dalam bidang fiskal (perpajakan) muncul pula dugaan kuat ihwal adanya ‘mafia pajak’ yang beroperasi untuk mengeruk keuntungan dengan cara-cara ilegal.

Aparat penegak hukum, pejabat negara, ketuap partai politik, dan anggota parlemen yang menjadi tahanan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) akibat terlibat tindak kejahatan korupsi (Gambar dari berbagai sumber)

    Dugaan kuat tentang keberadaan ‘mafia hukum’ kemudian menjadi makin menemukan kebenarannya setelah pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono beberapa tahun lalu membentuk Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum (Satgas Antimafia Hukum). Kebijakan SBY ini secara langsung merupakan bentuk pengakuan akan ada, beroperasi, dan merajalelanya mafia hukum dalam dunia hukum di Indonesia. Jika fenomena mafia hukum baru menjadi dugaan atau gejala kecil, tentunya pembentukan Satgas Antimafia Hukum tidak perlu dilakukan sebab upaya untuk mengatasinya cukup dilakukan dengan pemberlakuan atau penegakan hukum secara normal/biasa saja. Akan tetapi, bahwa Satgas Antimafia Hukum akhirnya dibentuk dengan kewenangan yang besar, tentunya keberadaan dan sepak terjang mafia hukum memang sudah riil, kuat, dan melembaga serta sudah pada taraf darurat dan dapat membahayakan keselamatan negara (jauh lebih serius dari sekadar dugaan dan gejala kecil).
·         Alarm Bahaya Penegakan Hukum
    Dalam pada itu, pembentukan lembaga dengan tugas khusus memberantas korupsi, yakni Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), memperjelas fakta bahwa lembaga-lembaga penegak hukum reguler –– kehakiman, kejaksaan, dan kepolisian –– memang sedang didera persoalan yang serius. Pembentukan KPK dilakukan sebagai upaya darurat yang dilatarbelakangi dua alasan atau pertimbangan pokok, yakni, pertama, karena lembaga-lembaga penegak hukum reguler (dianggap) tidak berdaya dan gagal melakukan upaya pemberantasan korupsi dan, kedua, karena korupsi (dianggap) sudah menjelma menjadi kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Dengan demikian menjadi lebih jelas bahwa pembentukan Satgas Antimafia Hukum dan KPK menjadi pertanda kian kerasnya bunyi alarm bahaya dalam upaya penegakan hukum di Indonesia. Upaya penegakan hukum menjadi sangat terhambat dan bahkan terasa berbalik menjadi penghancuran hukum akibat lembaga penegak hukum reguler sendiri didera penyakit yang akut dan sulit disembuhkan.
    Keadaannya menjadi makin runyam karena perilaku kurang taat dan tertib hukum juga banyak ditemui di luar lembaga penegak hukum dan para aparat penegak hukum. Tidak hanya polisi, jaksa, dan hakim, pengacara, pejabat tinggi di pusat dan daerah, serta para anggota DPR dan DPRD pun banyak yang tersangkut kasus hukum. Umumnya mereka tersangkut kasus pidana korupsi dan penyalahgunaan wewenang/jabatan. Pelanggaran hukum yang terjadi memperlihatkan keruwetan yang sulit diurai atau lingkaran setan yang sulit diputus.

Kamis, 02 November 2017

Proses dan Tata Cara Peradilan

Oleh Akhmad Zamroni

Sumber: pixabay.com

Apakah yang disebut proses dalam sistem peradilan? Apa pula yang disebut dengan tata cara peradilan? Bagaimanakah proses dan tata cara peradilan dalam sistem peradilan kita berlangsung? Tahapan-tahapan apa sajakah yang terjadi/dilalui dalam proses dan tata cara peradilan? Apa kaitan proses dan tata cara peradilan dengan pelaksanaan tugas dan wewenang kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, dan lembaga pemasyarakatan? Bagaimanakah fungsi lembaga-lembaga peradilan tersebut dalam proses dan tata cara peradilan?
Proses peradilan merupakan proses mengadili suatu perkara yang dilakukan di lembaga pengadilan dalam upaya memberikan rasa adil bagi pihak-pihak yang berperkara. Adapun tata cara peradilan adalah urut-urutan kegiatan mengadili suatu perkara yang dilakukan atau berlangsung secara berjenjang melalui tahapan-tahapan tertentu untuk memberikan atau menghasilkan putusan terhadap perkara yang diadili. Baik proses maupun tata cara peradilan dilakukan dengan sasaran pokok menegakkan hukum dan menegakkan keadilan. 
Di dalam proses dan tata cara peradilan terdapat serangkain kegiatan yang dijalankan secara bertahap dan saling terkait oleh lembaga-lembaga peradilan atau penegak hukum. Setiap tahapan kegiatan dilakukan oleh setiap lembaga berdasarkan tugas dan kewenangannya masing-masing menurut ketentuan undang-undang. Lembaga peradilan atau penegak hukum yang menjalankan tahapan-tahapan kegiatan tersebut terdiri atas kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, dan lembaga pemasyarakatan. Adapun tahapan-tahapan atau jenjang-jenjang yang berlangsung atau dilakukan terdiri atas hal-hal berikut.
·          Penyelidikan
·          Penyidikan
·          Penuntutan
·          Pemeriksaan perkara dalam persidangan
·          Upaya hukum
·          Pelaksanaan putusan pengadilan

Keenam proses dan tata cara tersebut masing-masing secara terperinci dibahas dalam tulisan/artikel tersendiri di blog ini (periksa: “Proses dan Tata Cara Peradilan: Penyelidikan”, “Proses dan Tata Cara Peradilan: Penyidikan”, “Proses dan Tata Cara Peradilan: Penuntutan”, “Proses dan Tata Cara Peradilan: Pemeriksaan Perkara dalam Sidang Pengadilan”, “Proses dan Tata Cara Peradilan: Upaya Hukum”, serta “Proses dan Tata Cara Peradilan: Pelaksanaan Putusan Pengadilan”).

Proses dan Tata Cara Peradilan: Penyelidikan

Oleh Akhmad Zamroni


Sumber: infotrainingkonsultan.com
Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Pasal 1 Ayat (5) menyatakan bahwa penyelidikan adalah serangkaian tindakan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan. Rumusan ini menunjukkan bahwa penyelidikan merupakan tahapan kegiatan paling awal dalam proses dan tata cara peradilan. Sebelum dilakukan penyidikan terhadap suatu peristiwa, terlebih dahulu dilakukan penyelidikan untuk memastikan ada atau tidaknya unsur tindak pidana (pelanggaran hukum) dalam peristiwa tersebut. Tekanan utama dalam tahap penyelidikan adalah mencari dan menemukan hal yang diduga dan dianggap sebagai tindak pidana.
Dari penyelidikan akan dihasilkan kesimpulan apakah terhadap suatu peristiwa perlu dilakukan tindak lanjut berikutnya atau tidak, yakni penyidikan. Jika hasil penyelidikan terhadap suatu peristiwa menunjukkan adanya unsur tindak pidana, maka terhadap peristiwa tersebut akan dilakukan penyidikan. Akan tetapi, jika hasil penyelidikan menunjukkan hal yang sebaliknya, maka penyidikan tidak diperlukan lagi.
Adapun penyelidik (petugas yang melakukan penyelidikan) adalah pejabat polisi yang memiliki kewenangan untuk keperluan tersebut (melakukan penyelidikan). Dengan kata lain, melakukan penyelidikan merupakan tugas, wewenang, dan tanggung jawab kepolisian. Menurut undang-undang, penyelidik adalah setiap pejabat polisi negara Republik Indonesia sehingga setiap anggota kepolisian dapat menjadi petugas penyelidik.
Kewenangan yang dimiliki oleh penyelidik sangat dekat dan terkait dengan peran dan fungsi penyidik. Kedekatan dan keterkaitan ini dikarenakan baik peran penyelidik maupun penyidik dipegang oleh kepolisian. Menurut UU hukum acara pidana (UU No. 8 Tahun 1981), penyelidik mempunyai wewenang-wewenang sebagai berikut:
·          menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana;
·          mencari keterangan dan barang bukti;
·          menyuruh berhenti seseorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri;
·          mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Dalam penjelasan UU hukum acara pidana diterangkan bahwa yang dimaksud dengan “tindakan lain” (butir 4 di atas) adalah tindakan yang dilakukan untuk kepentingan penyelidikan dengan syarat-syarat sebagai berikut:
·          tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum,
·          selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan dilakukannya tindakan jabatan,
·          tindakan itu harus patut dan masuk akal dan termasuk dalam lingkungan jabatannya,
·          atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan memaksa, serta
·          menghormati hak asasi manusia.
Hasil penyelidikan oleh petugas penyelidik akan menjadi bahan untuk melakukan penyidikan oleh petugas penyidik. Proses penyidikan oleh penyidik banyak tergantung pada hasil penyelidikan oleh petugas penyelidik. Terkait dengan hal ini, penyidik dapat memberikan instruksi tertentu kepada penyelidik. Untuk menindaklanjuti perintah penyidik tersebut, penyelidik dapat melakukan tindakan-tindakan sebagai berikut:
·          penangkapan, pelarangan meninggalkan tempat, penggeledahan, dan penahanan;
·          pemeriksaan dan penyitaan surat;
·          pengambilan sidik jari dan pemotretan seseorang; serta
·          membawa dan menghadapkan seseorang pada penyidik.
Adapun batasan-batasan tentang penangkapan, penahanan, penyitaan, dan penggeledahan, menurut undang-undang hukum acara pidana, adalah sebagai berikut (dikutip dengan penyesuaian; kata-kata dalam kurung berasal dari penulis).
·          Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik (dapat juga tindakan penyelidik atas perintah penyidik) berupa pengekangan sementara waktu terhadap kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan/atau peradilan.
·          Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik, penuntut umum, atau hakim dengan penetapannya (juga oleh penyelidik atas perintah penyidik).
·          Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik (dapat juga penyelidik atas perintah penyidik khusus benda berupa surat) untuk mengambil alih dan/atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud, untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan, dan peradilan.
·          Penggeledahan rumah adalah tindakan penyidik (dapat juga penyelidik atas perintah penyidik) untuk memasuki rumah tempat tinggal dan tempat tertutup lainnya untuk melakukan tindakan pemeriksaan dan/atau penyitaan dan/atau penangkapan.
·          Penggeledahan badan adalah tindakan penyidik (dapat juga penyelidik atas perintah penyidik) untuk mengadakan pemeriksaan badan dan/atau pakaian tersangka untuk mencari benda yang diduga keras ada pada badannya atau dibawanya serta untuk disita.
Uraian tersebut di atas memperlihatkan bahwa dalam proses dan tata cara peradilan, tugas penyelidikan dan penyidikan sangat dan saling terkait sehingga pelaksanaan keduanya dilakukan oleh satu lembaga, yakni kepolisian, walaupun petugas pelaksananya di lapangan tentunya berbeda. Penyelidikan dan penyidikan tidak dapat dipisahkan dalam proses peradilan; bahkan dalam praktiknya di lapangan keduanya sepintas seolah-olah sama –– tetapi tentu saja berbeda (perbedaan ini akan dijelaskan lebih detail pada Subbab B mengenai “Penyidikan”). Kedekatan antara penyelidikan dan penyidikan tidak hanya tampak dari instruksi yang dapat diberikan penyidik kepada penyelidik dalam kondisi tertentu, melainkan juga dari hubungan dan fungsi di antara keduanya, yakni bahwa penyelidikan menjadi prasyarat bagi dilakukannya penyidikan.
Penyelidikan terlihat jelas menjadi syarat wajib sebelum dilakukannya penyidikan. Penyelidikan dianggap wajib dilakukan sebelum dilakukan penyidikan sebagai upaya untuk menghindari blunder peradilan serta menghormati asas praduga tak bersalah dan hak asasi manusia. Penyelidikan dilakukan lebih dahulu sebelum proses penyidikan sebagai ikhtiar untuk mendapatkan bukti permulaan yang cukup dan meyakinkan (mengenai terjadinya tindak pidana) sehingga tindakan seperti penggeledahan, penangkapan, dan/atau penahanan terhadap seorang terduga atau tersangka untuk keperluan penyidikan tidak dilaklukan secara keliru serta merugikan nilai-nilai kemanusiaan.

Melalui penyelidikan yang valid dan akurat, upaya untuk mengetahui adanya tindak pidana dapat dilakukan dengan cermat dan tepat. Usaha untuk menentukan dan menetapkan tersangka pun tidak mengalami kesalahan yang dapat menimbulkan ketidakadilan atau tragedi kemanusiaan yang memilukan. Hasil penyelidikan yang valid, akurat, dan kredibel (diharapkan) dapat memberi efek positif bagi tahapan-tahapan proses peradilan selanjutnya, yakni penyidikan, penuntutan, pemeriksaan perkara (persidangan), pemberian putusan, upaya hukum, dan pelaksanaan putusan pengadilan, sehingga upaya penegakan hukum dan keadilan pun dapat berlangsung sebagaimana yang diharapkan.

Proses dan Tata Cara Peradilan: Penyidikan

Oleh Akhmad Zamroni

Sumber: www.medanbisnisdaily.com

Undang-undang hukum acara pidana menjelaskan bahwa penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi guna menemukan tersangkanya. Penyidikan merupakan tahapan lanjutan dari penyelidikan. Sebagaimana sudah disinggung, penyidikan akan dilakukan oleh petugas penyidik jika berdasarkan hasil penyelidikan ditemukan indikasi adanya tindak pidana.
Penyidikan secara khusus menjadi tugas, wewenang, dan tanggung jawab penyidik, yakni dalam hal ini kepolisian. Penekanan utama dalam kegiatan atau tahapan penyidikan adalah menemukan dan mengumpulkan bukti. Secara umum, bukti-bukti yang berhasil ditemukan dan dihimpun dari penyidikan akan dijadikan patokan untuk menilai ada atau tidaknya tindak pidana (kriminal/kejahatan) dalam suatu peristiwa atau perbuatan. Namun, dalam hal tertentu, bukti-bukti tersebut juga dapat digunakan untuk memperkuat kejelasan atau kepastian mengenai tindak pidana yang sebelumnya diduga kuat sudah terjadi, terlihat, atau dirasakan sehingga, dengan demikian, hal itu dapat digunakan untuk menentukan tersangka pelakunya.
Penyelidikan dan penyidikan merupakan rangkaian kegiatan berseri yang tidak dapat dipisahkan. Kepolisian melakukan penyidikan berdasarkan penyelidikan yang sebelumnya dilakukan petugas penyelidik sebagai kegiatan permulaan dalam proses peradilan. Sebagai kelanjutan dari penyelidikan, pelaksanaan penyidikan sangat tergantung pada hasil penyelidikan. Jika hasil penyelidikan menunjukkan kelayakan untuk ditindaklanjuti dengan pencarian dan pengumpulan bukti-bukti karena dalam peristiwa yang diselidiki ada unsur tindak pidana, maka akan dilakukan penyidikan, dan demikian juga sebaliknya.
Namun, dari manakah kepolisian (selaku penyidik) hendak memulai kegiatan penyidikannya? Bagaimanakah mereka akan melakukan penyidikan jika sebelumnya tidak ada “kejadian permulaan” yang mengharuskannya melakukan penyidikan? Peristiwa apakah yang menjadikan kepolisian bergerak untuk menemukan bukti-bukti guna membuat jelas/terang tindak pidana yang diduga terjadi?  Bagaimana cara mereka mengendus tindak pidana yang terjadi di tengah masyarakat?
Tentu saja, seperti sudah disinggung, penyidikan dilakukan setelah dan berdasarkan penyelidikan sejauh penyelidikan tersebut memang dipandang perlu dilakukan. Akan tetapi, penyelidikan sendiri pun tidak akan dilakukan jika sebelumnya tidak ada kejadian permulaan yang mendahuluinya. Bagi kepolisian, kejadian permulaan menjadi indikasi penting untuk mengetahui adanya peristiwa tindak pidana. Terkait dengan hal ini, terdapat tiga sumber yang lazim dijadikan kepolisian untuk mengetahui terjadinya tindak pidana sekaligus menjadi titik tolak untuk melakukan penyidikan. Ketiga sumber tersebut adalah laporan, pengaduan, dan tertangkap tangan. Berikut ini adalah penjelasan dari ketiganya sebagaimana yang diatur dalam UU hukum acara pidana.
·          Laporan adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh seseorang karena hak atau kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana.
·          Pengaduan adalah pemberitahuan disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada pejabat yang berwenang untuk menindak menurut hukum seseorang yang telah melakukan tindak pidana aduan yang merugikannya.
·          Tertangkap tangan adalah tertangkapnya seseorang pada saat sedang melakukan tindak pidana, atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan, atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya, atau apabila sesaat kemudian pada dirinya ditemukan benda yang diduga keras telah digunakan untuk melakukan tindak pidana tersebut yang menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu melakukan tindak pidana yang dimaksud.
Dari ketiga hal tersebut, tidak semuanya langsung ditindaklanjuti dengan penyidikan oleh kepolisian. Laporan dan pengaduan adanya tindak pidana umumnya akan lebih dahulu ditindaklanjuti dengan penyelidikan karena unsur pidana melalui pelaporan dan pengaduan belum dapat dipastikan kebenarannya. Jika melalui penyelidikan, pelaporan dan pengaduan adanya tindak pidana itu (diduga kuat) memang benar terjadi, baru akan ditindaklanjuti dengan penyidikan. Adapun dalam hal tertangkap tangan, kepolisian umumnya akan langsung melakukan penyidikan karena peristiwa tertangkap tangan itu sendiri sudah merupakan indikasi yang kuat akan terjadinya tindak pidana.
Sementara itu, dalam tahap penyidikan, selaku penyidik, kepolisian mulai melakukan kontak dengan pihak penuntut umum (kejaksaan). Pasal 9 Ayat (1) Undang-Undang Hukum Acara Pidana mengatur bahwa dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan terhadap peristiwa tindak pidana, penyidik memberitahukan hal itu kepada pihak penuntut umum. Di sisi lain, penyidik juga memiliki kewenangan untuk menghentikan penyidikan yang tengah ber-jalan. Sebagaimana diatur dalam Pasal 9 Ayat (2) Undang-Undang Hukum Acara Pidana, penghentian penyidikan dapat dilakukan oleh penyidik jika dalam penyidikan ditemukan hal-hal sebagai berikut: (1) tidak terdapat cukup bukti, (2) peristiwa yang bersangkutan ternyata bukan merupakan tindak pidana, dan (3) penyidikan dihentikan demi hukum. Manakala hal tersebut terjadi (dilakukan), maka penyidik memberitahukannya kepada penuntut umum, tersangka, atau keluarga tersangka.
Hasil penyidikan sangat terkait dengan tahap lanjutan dari proses penyidikan itu sendiri, yakni penuntutan, sehingga prosesnya dipandang perlu untuk dikoordinasikan oleh penyidik kepada penuntut umum. Berikut ini beberapa ketentuan mengenai koordinasi antara penyidik dan penuntut umum terkait dengan proses penyidikan sebagaimana yang diatur dalam undang-undang hukum acara pidana.
·          Dalam hal penyidik telah selesai melakukan penyidikan, penyidik wajib segera menyerahkan berkas perkara tersebut kepada penuntut umum (Pasal 110 Ayat [1]).
·          Dalam hal penuntut umum berpendapat bahwa hasil penyidikan tersebut ternyata masih kurang lengkap, penuntut umum segera mengembalikan berkas perkara tersebut kepada penyidik disertai petunjuk untuk melengkapimya (Pasal 110 Ayat [2]).
·          Dalam hal penuntut umum mengembalikan hasil penyidikan untuk dilengkapi, penyidik wajib segera melakukan penyidikan tambahan sesuai dengan petunjuk dari penuntut umum (Pasal 110 Ayat [3]).
·          Penyidikan dianggap telah selesai jika dalam waktu 14 (empat belas) hari penuntut umum tidak mengembalikan hasil penyidikan atau jika sebelum batas waktu tersebut berakhir telah ada pemberitahuan tentang hal itu dari penuntut umum kepada penyidik (Pasal 110 Ayat [4]).
Perbedaan Penyelidikan dan Penyidikan
Penyelidikan dan penyidikan sekilas seperti memiliki kesamaan, tetapi secara substansial sebenarnya berbeda. Menurut undang-undang hukum acara pidana, substansi dari penyelidikan adalah “mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan”, sedangkan substansi penyidikan adalah “mencari serta mengumpulkan bukti untuk membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangka (pelaku tindak pidana yang dimaksud)”. Baik penyelidikan maupun penyidikan secara simplistis mungkin dapat dikatakan sebagai bentuk penelusuran atau pengusutan, tetapi tekanan dan tujuan keduanya tetap saja berbeda. Untuk memperjelas perbedaan-perbedaan di antara keduanya, berikut ini akan diberikan sebuah contoh kasus.
a.    Beberapa warga masyarakat melaporkan kepada kepolisian bahwa di sebuah rumah terjadi kegaduhan yang diikuti dengan terdengarnya suara letusan senjata api dan teriakan dari penghuni rumah.
b.    Untuk menindaklanjuti laporan tersebut, beberapa petugas kepolisian mendatangi rumah tersebut. Mereka menemukan penghuni rumah tergeletak tak bernyawa di ruang tamu dengan luka tembakan di dada dan kepala.
c.    Petugas kepolisian langsung mengamankan tempat kejadian perkara (TKP), kemudian menghubungi petugas bagian reserse untuk menangani kasus ini.
d.    Beberapa petugas reserse tiba di tempat kejadian perkara, kemudian melakukan beberapa tindakan berikut:
1)   mengambil gambar (memotret) jenazah penghuni rumah,
2)   mengambil beberapa selongsong peluru yang tercecer di ruang tamu,
3)   mengambil seutas tali yang terlilit di tangan jenazah, dan
4)   mengambil gambar (memotret) tempat kejadian perkara dari beberapa jarak dan sudut yang berbeda-beda.
e.    Petugas reserse kemudian memeriksa beberapa saksi, mencari bukti-bukti baru, berusaha mendapatkan keterangan dari saksi ahli, serta memeriksa orang yang dianggap sebaga tersangka. Seluruh proses ini selanjutnya dituangkan menjadi semacam laporan yang lazim disebut berita acara pemeriksaan (BAP).
Dari contoh kasus tersebut, manakah tindakan atau kegiatan yang disebut dan digolongkan sebagai ‘penyelidikan’? Dari kasus yang sama, mana pulakah tindakan atau kegiatan yang disebut dan digolongkan sebagai ‘penyidikan’? Tindakan atau kegiatan yang menunjukkan proses ‘penyelidikan’ adalah butir b.  Penyelidikan merupakan tindakan kepolisian untuk memastikan ada atau tidaknya unsur pidana dalam suatu peristiwa. Penyelidikan wajib dilakukan karena tidak semua peristiwa yang dilaporkan masyarakat atau siapa pun mengandung unsur pidana. Dalam contoh kasus tersebut indikasi adanya unsur tindak pidana terlihat sangat kuat/besar.

Adapun tindakan atau kegiatan yang menunjukkan proses ‘penyidikan’ adalah butir d dan e. Penyidikan merupakan kegiatan kepolisian yang dilakukan untuk membuat terang atau jelas terjadinya tindak pidana dalam suatu kasus dengan menemukan dan mengumpulkan bukti-bukti yang sah, dalam bentuk barang, keterangan saksi, keterangan saksi ahli, dan sebagainya. Pada tahap ini, tindak pidana (dianggap/dirasakan) sudah secara jelas terjadi sehingga sebagai penyidik, kepolisian tinggal menentukan sekaligus menemukan tersangka pelakunya.

Contoh kasus tersebut kiranya cukup memperjelas perbedaan antara penyelidikan dan penyidikan. Melalui contoh itu, pemahaman kita mengenai keduanya menjadi lebih sesuai dengan batasan, hakikat, dan prinsipnya masing-masing.

Proses dan Tata Cara Peradilan: Penuntutan

Oleh Akhmad Zamroni

Sumber: 2.bp.blogspot.com

Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan. Demikian pengertian “penuntutan” menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Dalam proses peradilan, penuntutan merupakan tahap lanjutan dari penyidikan.
Proses penuntutan dilakukan oleh penuntut umum (kejaksaan). Penuntutan berlangsung setelah proses penyelidikan dan penyidikan oleh kepolisian selesai dilakukan. Kejaksaan membuat penuntutan berdasarkan hasil penyelidikan dan penyidikan yang diterima dari kepolisian.
Hasil penyelidikan dan penyidikan oleh kepolisian diserahkan kepada penuntut umum dalam bentuk berkas perkara. Sebelum melimpahkan berkas perkara tersebut ke sidang pengadilan, penuntut umum akan mempelajari dan menelitinya guna memastikan apakah berkas perkara sudah cukup kuat dan cukup memiliki bukti terkait dengan tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa. Setelah mendapatkan kejelasan dan kepastian bahwa terdakwa melakukan tindak pidana sebagaimana yang disangkakan, penuntut umum baru menyusun surat dakwaan.
Dalam proses peradilan, tahapan penuntutan dibagi menjadi dua, yakni pra-penuntutan dan penuntutan. Perihal prapenuntutan, undang-undang hukum acara pidana tidak mengatur atau memberikan definisi secara khusus. Namun, berdasarkan ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang proses penyerahan dan pengembalian berkas perkara dari penyidik kepada penuntut umum, dapat ditarik pengertian bahwa prapenuntutan adalah tindakan penuntut umum (kejaksaan) untuk memantau proses (perkembangan) penyidikan setelah menerima pemberitahuan mengenai dimulainya penyidikan (oleh penyidik/kepolisian), mempelajari dan meneliti berkas perkara hasil penyidikan yang diterima dari penyidik, serta memberikan petunjuk untuk melengkapi berkas perkara tersebut (jika dipandang belum lengkap) agar selanjutnya dapat dilimpahkan ke tahap penuntutan.
Pada dasarnya, prapenuntutan dilakukan sebelum penuntutan itu sendiri dilakukan oleh kejaksaan. Dapat dikatakan bahwa pra-penuntutan merupakan tindakan penuntut umum untuk memastikan kelengkapan dan kesiapan berkas perkara dari penyidik guna dilimpahkan ke tingkat penuntutan. Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan dan penelitian penuntut umum berkas perkara dianggap belum lengkap, maka berkas perkara tersebut akan dikembalikan kepada penyidik guna dilengkapi disertai dengan petunjuk untuk melengkapi atau menyempurnakannya. Terhadap berkas perkara yang dikembalikan tersebut, pihak penyidik wajib segera melakukan penyidikan tambahan sebagai bahan untuk melengkapi atau menyempurnakan berkas perkara yang dimaksud sesuai dengan petunjuk dari penuntut umum.
A.  Surat Dakwaan
Jika berkas perkara dinyatakan sudah lengkap oleh penuntut umum, untuk tahapan selanjutnya penuntut umum akan menentukan apakah berkas perkara tersebut sudah memenuhi syarat untuk dilimpahkan ke pengadilan. Manakala dianggap telah memenuhi syarat, serta merta akan dilakukan penuntutan. Penuntutan dilakukan dengan ditandai pembuatan surat dakwaan oleh penuntut umum. Surat dakwaan disusun berdasarkan berkas perkara yang dibuat dan diserahkan oleh penyidik (yang sebelumnya sudah dinyatakan lengkap). Bersamaan dengan penyampaian surat pelimpahan perkara ke pengadilan negeri, salinan surat pelimpahan perkara beserta surat dakwaan diserahkan kepada tersangka atau kuasa/penasihat hukumnya serta penyidik.
Sebelum pengadilan menetapkan atau menentukan hari pelaksanaan sidang (perkara), penuntut umum dapat mengubah isi surat dakwaan, baik dengan maksud untuk menyempurnakannya maupun untuk tidak melanjutkan penuntutannya. Pengubahan surat dakwaan hanya dapat dilakukan satu kali serta harus dilakukan paling lambat tujuh hari sebelum sidang dimulai. Dalam hal penuntut umum mengubah surat dakwaan, ia juga harus menyampaikan salinan surat hasil perubahan tersebut kepada tersangka atau kuasa/penasihat hukumnya dan penyidik.
Lalu apa yang sebenarnya disebut surat dakwaan? Surat dakwaan adalah akta yang memuat rumusan tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa yang disimpulkan dan ditarik dari hasil pemeriksaan penyidikan dan merupakan dasar bagi hakim dalam pemeriksaan di persidangan (Harahap dalam Aries; 2013). Pengertian lain menyebutkan bahwa surat dakwaan adalah suatu akta yang dibuat oleh penuntut umum yang berisi perumusan tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa berdasarkan kesimpulan dari hasil penyidikan (Kuffal dalam Aries, 2013).
Surat dakwaan memiliki peranan yang sangat penting dalam proses peradilan. Surat dakwaan menjadi pedoman dalam proses pemeriksaan perkara yang dilakukan di persidangan (pengadilan) dalam upaya mencari dan menemukan kebenaran materiil (de matriele waarheid) dan menjadi dasar bagi majelis hakim untuk menjatuhkan putusan bagi perkara yang diperiksa/disidangkan (litis contestatio). Hakim akan memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara pidana berdasarkan delik yang tercantum di dalam surat dakwaan. Dengan demikian, dalam proses peradilan, surat dakwaan memiliki peranan atau fungsi sebagai berikut:
·          menjadi dasar bagi proses pemeriksaan perkara dalam persidangan,
·          menjadi dasar bagi penuntut umum dalam mengajukan tuntutan,
·          menjadi dasar bagi terdakwa dan kuasa atau penasihat hukumnya dalam melakukan pembelaan,
·          menjadi dasar bagi majelis hakim untuk menjatuhkan putusan (vonis).
Terdapat kaitan yang sangat erat dan hubungan berantai antara berkas perkara yang dibuat oleh penyidik (kepolisian) dan surat dakwaan yang dibuat oleh penuntut umum (kejaksaan). Dari hubungan keduanya bisa muncul kebenaran yang dapat melahirkan keadilan, tetapi juga dapat terjadi kesalahan yang bisa memicu munculnya tragedi dan ketidakadilan. Jika berkas perkara yang dibuat penyidik benar dan sesuai dengan fakta, maka isi surat dakwaan juga akan benar serta proses pemeriksaan dan persidangan perkara di pengadilan juga kemungkinan akan tetap benar (sepanjang tidak terjadi rekayasa) sehingga dapat melahirkan putusan yang benar dan adil. Namun, sebaliknya, jika berkas perkara yang dibuat penyidik salah dan tidak sesuai dengan fakta (baik akibat kelalaian maupun kesengajaan/rekayasa), maka isi surat dakwaan sampai dengan proses pemeriksaan dan persidangan perkara di pengadilan juga akan salah sehingga dapat memunculkan putusan yang keliru dan tidak adil. Dengan kata lain, jika hasil penyidikan mengandung cacat formal atau mengandung kekeliruan beracara (error in procedure), maka surat dakwaan berikut proses-proses lain yang mengikutinya (pemeriksaan perkara di pengadilan dan pemberian putusan) pun akan mengalami hal yang sama.
Dalam pada itu, surat dakwaan yang dibuat oleh penuntut umum wajib memenuhi dua persyaratan, yakni persyaratan formal dan persyaratan materiil. Persyaratan formal terkait dengan kelengkapan segi administrasi dan informasi mengenai jatidiri (identitas) tersangka; yakni bahwa surat dakwaan harus diberi tanggal dan ditandatangani pihak-pihak terkait serta mencantumkan identitas tersangka yang meliputi nama lengkap, tempat dan tanggal lahir (umur), jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal (alamat), agama, dan pekerjaan. Adapun persyaratan materiil terkait dengan substansi atau isi; yakni bahwa surat dakwaan harus berisi uraian yang cermat, jelas, dan lengkap serta menyebutkan tempat dan waktu terjadinya tindak pidana yang didakwakan. Sebagaimana dijelaskan dalam UU Hukum Acara Pidana Pasal 143 Ayat (3), surat dakwaan yang tidak memenuhi ketentuan-ketentuan tersebut akan dinyatakan batal demi hukum.
B.  Penghentian Penuntutan dan Penggabungan Perkara
Di sisi lain, penuntut umum juga diberi kewenangan untuk melakukan penghentian penuntutan. Penghentian penuntutan dapat dilakukan penuntut umum jika terjadi hal-hal atau terdapat alasan-alasan sebagai berikut:
·          tidak terdapat bukti yang cukup,
·          peristiwa yang disangkakan bukan merupakan tindak pidana, dan
·          perkara ditutup demi hukum.
Penghentian penuntutan oleh penuntut umum tersebut harus dituangkan ke dalam sebuah surat ketetapan. Salinan surat ketetapan harus disampaikan kepada tersangka atau keluarga atau penasihat hukumnya, pejabat rumah tahanan negara, penyidik, dan hakim. Jika tersangka ditahan, maka ia wajib segera dibebaskan. Namun, jika kemudian ditemukan alasan atau bukti-bukti baru, penuntut umum dapat melakukan penuntutan kembali terhadap tersangka.
Seperti yang seringkali dijumpai, beberapa kasus pidana dapat terjadi dalam waktu yang bersamaan atau hampir bersamaan di tengah masyarakat. Hal ini dapat menyebabkan dalam waktu bersamaan atau hampir bersamaan muncul sekaligus beberapa berkas perkara dari penyidik (kepolisian). Berkenaan dengan hal ini, UU Hukum Acara Pidana Pasal 141 memberi ketentuan bahwa penuntut umum dapat melakukan penggabungan perkara dan membuatnya dalam satu surat dakwaan jika pada waktu yang sama atau hampir bersamaan ia menerima beberapa berkas perkara dalam hal sebagai berikut:
·          beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh orang yang sama dan kepentingan pemeriksaan tidak menjadikan halangan untuk penggabungannya,
·          beberapa tindak pidana yang bersangkut-paut satu dengan yang lain,

·          beberapa tindak pidana yang tidak bersangkut-paut satu dengan yang lain, tetapi yang satu dengan yang lainnya ada hubungannya, yang dalam hal ini penggabungan tersebut perlu bagi kepentingan pemeriksaan.