Minggu, 30 April 2017

Nelson Mandela (1918–2013), Penentang dan Penghapus Apartheid

Oleh Akhmad Zamroni

Sumber: cdn.history.com
Nelson Rolihlahla Mandela lahir di Mvezo, Afrika Selatan, pada tanggal 18 Juli 1918. Masa kecilnya dihabiskan di Thembu. Ayahnya, Henry Mandela, adalah kepala suku Thembu. Mandela wafat di Johannesburg, Afrika Selatan, pada 5 Desember 2013 dalam usia 95 tahun.
Mandela adalah orang pertama dari keluarganya yang mengikuti pendidikan sekolah. Terkait dengan hal ini, Mandela menyatakan, “Tak satu pun di keluargaku yang pernah bersekolah .... Pada hari pertama sekolah, guruku, Miss Mdingane, memberikan nama Inggris kepada setiap murid. Ini adalah kebiasaan orang Afrika waktu itu dan tentunya dikarenakan pengaruh Britania pada pendidikan kami. Hari itu, Miss Mdingane memberitahuku bahwa nama baruku adalah Nelson. Aku tidak tahu mengapa ia memilih nama itu.”
Pada usia 16 tahun, Mandela masuk Clarkebury Boarding Institute untuk belajar kebudayaan Barat. Pada tahun 1934, ia mempelajari hukum di Fort Hare University. Setelah pindah ke Johannesburg, ia mengambil kuliah di University of South Africa. Seusai menyelesaikan kuliahnya pada tahun 1942, ia kembali mempelajari ilmu hukum di University of Witwatersrand.
Selama hidupnya, Mandela menjalani tiga kali pernikahan. Pertama, ia menikahi Evelyn Ntoko Mase; dan setelah bertahan selama 13 tahun, bercerai pada 1957. Pernikahan keduanya, dengan Winnie Mandikizela, yang sempat bertahan selama 38 tahun, juga berakhir dengan perceraian (tahun 1996). Pada ulang tahunnya yang ke-80 (1998), Mandela menikah dengan Graca Machel, janda mantan Presiden Mozambik, Samora Machel.

A.   Aktif Menentang Apartheid
Semenjak muda, Mandela dikenal sebagai pribadi yang kritis. Ia sensitif terhadap segala bentuk ketidakadilan. Pada tahun 1940, saat kuliah di Fort Hare University, ia sudah melakukan demonstrasi untuk menentang kebijakan universitas yang  ia anggap tidak adil sehingga ia dikeluarkan dari kampus.
Memasuki usia 20-an tahun, Mandela mulai aktif dalam gerakan sosial dan politik. Ia bergabung dengan African National Congress (ANC), sebuah organisasi gerakan nasionalis multirasial yang mengusung misi mengubah kondisi sosial dan politik di Afrika Selatan. Ia juga turut mendirikan Liga Pemuda ANC (1944).
Mandela mulai berberak melakukan perlawanan seiring makin memanasnya suhu sosial dan politik di Afrika Selatan pada akhir 1940-an. Ia mendapat motivasi dan semangat untuk melawan saat rezim pemerintah kulit putih Afrika Selatan memberlakukan politik apartheid pada tahun 1948. Kelompok masyarakat kulit putih yang hampir sepenuhnya mendomiasi pemerintahan Afrika Selatan, melalui apartheid mengklaim diri sebagai golongan unggul yang harus mendapat perlakuan istimewa serta mengenyampingkan masyarakat kulit berwarna –– terutama kulit hitam –– sebagai kelompok rendahan yang hak-haknya tidak perlu diperhatikan.

Sumber: USA Today
Semenjak apartheid diberlakukan rezim kulit putih, masyarakat kulit berwarna –– terutama kulit hitam yang merupakan mayoritas di Afrika Selatan –– hidup dalam penindasan dan dibayang-bayangi kekerasan. Kebijakan apartheid menyebabkan hak-hak masyarakat kulit berwarna sebagai manusia dan warga negara tidak dapat dijalankan sebagaimana mestinya. Mereka, antara lain, dilarang untuk menggunakan hak pilih, dilarang tinggal di kawasan masyarakat kulit putih, serta tak diberi akses untuk mengikuti pendidikan tinggi dan memperoleh pekerjaan yang layak.
Apartheid yang menimbulkan ketimpangan, ketidakadilan, dan penindasan melecut Mandela untuk meningkatkan militansi gerakannya. Seusai diangkat menjadi salah satu wakil ketua ANC (tahun 1952), ia berupaya keras mengubah kebijakan ANC menjadi lebih militan. Hal ini menyebabkannya dituduh sebagai seorang pengkhianat, tetapi kemudian dinyatakan tidak bersalah (1959).
B.    Dijatuhi Hukuman Seumur Hidup
Aparat rezim pemerintahan kulit putih melakukan pembantaian terhadap demonstran di Sharpeville (1960). Pembantaian ini menyebabkan 69 warga kulit hitam meninggal dunia. Kebrutalan dan kekejaman rezim pemerintah kulit putih ini makin memicu tekad dan keberanian Mandela untuk melakukan perlawanan terhadap apartheid.

Mandela mulai bersikap konfrontatif terhadap rezim kulit putih. Sekitar setahun setelah peristiwa kekejaman di Sharpeville, ia memprakarsai pembentukan Umkhonto we Sizwe (1961), laskar perlawanan di bawah ANC. Umkhonto we Sizwe dipersiapkan untuk melakukan perlawanan fisik dan bersenjata terhadap rezim kulit putih.

Untuk meningkatkan kemampuan militer dan tempurnya, Mandela mengikuti pelatihan militer di Aljazair. Pada tahun 1962 ia kembali ke tanah airnya untuk melanjutkan perlawanan konfrontatifnya terhadap pemerintahan kulit putih. Akan tetapi, beberapa saat setiba di Afrika Selatan, Mandela ditahan dan diadili rezim pemerintahan kulit putih. Ia divonis hukuman penjara lima tahun dengan sangkaan meninggalkan Afrika Selatan secara tidak sah.

Belum lagi masa hukumannya berakhir, Mandela kembali diajukan ke pengadilan bersama para koleganya. Pada tahun 1964, melalui pengadilan rezim kulit putih yang tidak independen, Mandela dinyatakan bersalah dan divonis dengan hukuman penjara seumur hidup. Ia dituduh melakukan sabotase dan bersekongkol menggulingkan pemerintahan.

C.   Rekonsiliasi
Kendati dipenjara, semangat dan tekad Mandela untuk melawan apartheid  tidak surut. Dari balik jeruji penjara, ia tak berhenti mengobarkan spirit perlawanan terhadap apartheid. Kolega seperjuangannya serta para pengikutnya di luar penjara melakukan ikhtiar perlawanan melalui berbagai cara. Masyarakat internasional juga turut memberi dukungan pada Mandela.

Perlawanan luar biasa Mandela bersama masyarakat kulit hitam Afrika Selatan serta tekanan internasional yang bertubi-tubi akhirnya membuat rezim pemerintahan kulit putih menyerah. Presiden Afrika Selatan, F.W. de Klerk, pada 11 Februari 1990 memerintahkan pembebasan Mandela tanpa syarat. Kebijakan apartheid dinyatakan dicabut dari bumi Afrika Selatan, bersamaan dengan persiapan penyelenggaraan pemilihan umum. Melalui pemilu yang digelar tahun 1994, Mandela dinyatakan keluar sebagai pemenang dan terpilih menjadi presiden Afrika Selatan. Ia menjadi presiden kulit hitam pertama dalam sejarah Afrika Selatan.

Setelah sukses melenyapkan apartheid dan menjadi orang nomor satu Afrika Selatan, Mandela merangkul semua komponen bangsa Afrika Selatan untuk melakukan rekonsiliasai (rujuk nasional), menggalang persatuan, dan bersama membangun kembali Afrika Selatan. Untuk jasa-jasanya yang besar dan luar biasa, Mandela dinobatkan sebagai tokoh besar yang fenomenal oleh masyarakat internasional. Pada tahun 1993, Mandela bersama F.W. de Klerk dianugerahi hadiah Nobel Perdamaian atas jasa-jasanya yang besar dalam penghapusan apartheid dan penciptaan perdamaian di Afrika Selatan.

Sistem Hukum Indonesia

Oleh Akhmad Zamroni

Sumber: www.google.com

Sebagai negara hukum, Indonesia membuat dan menerapkan sistem hukum di seluruh wilayah negara. Sistem hukum tersebut merupakan keseluruhan elemen hukum nasional yang saling terkait dan saling mendukung, yang dibuat untuk mewujudkan ketertiban, keamanan, dan keadilan. Sistem hukum nasional juga diarahkan untuk mewujudkan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang sejahtera, bermartabat, dan beradab.


A.   Pengertian Sistem Hukum

Sistem adalah perangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu kesatuan atau totalitas. Sistem juga dapat diartikan sebagai susunan yang teratur dari sebuah pandangan, teori, asas, aturan, dan sebagainya (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2002: 1076). Faktor utama sistem ialah ‘terikat’ dan ‘saling mempengaruhi’. Unsur saling mempengaruhi berarti di dalam sistem ada unsur yang berjalan terus-menerus dan fleksibel (Zamroni dan Lukmono, 2011: 260).

Sistem merupakan totalitas yang bagian-bagiannya saling berhubungan. Sistem berorientasi pada tujuan; suatu sistem berinteraksi dengan sistem yang lebih besar, yakni lingkungannya; bekerjanya bagian-bagian dari suatu sistem menciptakan sesuatu yang berharga; serta setiap bagian harus sesuai satu sama lain dan ada kekuatan pemersatu yang mengikatnya (Rahardjo dalam Effendi, 2013: 2). Sistem juga dapat diartikan sebagai suatu keseluruhan kompleks yang terintegrasi, yang dicirikan oleh elemen-elemen yang saling berinteraksi, yang diarahkan pada pencapaian tujuan tertentu (Nisjar dan Winardi dalam Effendi, 2013: 2).

Dengan demikian, sistem hukum dapat definisikan sebagai perangkat kaidah atau peraturan beserta komponen-komponen pendukungnya yang tersusun atau terbentuk secara teratur dalam kesatuan yang saling berhubungan dan saling mempengaruhi. Sistem hukum tidak hanya terdiri atas kumpulan kaidah atau peraturan, melainkan juga komponen-komponen pelengkap lain yang menjadikan kumpulan kaidah tersebut dapat bekerja sebagaimana mestinya. Kumpulan kaidah berikut komponen-komponen pelengkapnya masing-masing memiliki kedudukan dan peran, tetapi sebagai rangkaian membentuk sebuah totalitas yang mampu memberikan fungsi secara kompak dan kolektif.

Sistem hukum dapat dikatakan merupakan kesatuan yang kompleks. Kompleksitasnya dapat dilihat tidak hanya dari fungsinya sebagai pengatur tingkah laku individu, melainkan juga pengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Semua negara dan bangsa memiliki sistem hukum dengan berbagai bentuk dan karakteristiknya masing-masing. Di negara yang mengklaim diri sebagai negara hukum, hukum nasional –– sebagai norma –– ditempatkan sebagai sistem yang tertinggi, yang mengatasi semua tata tertib, tradisi, dan berbagai peraturan organisasi dan golongan. Sebagai penjabaran dari konstitusi dan dasar negara, hukum nasional menjadi acuan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Sebagai pengatur tingkah laku individu dan masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, sistem hukum memiliki kompleksitas dan dinamika yang tinggi. 


B.   Sistem Hukum di Indonesia

Pada prinsipnya, sistem hukum merupakan sebuah struktur formal. Dalam konteks Indonesia, sistem hukum yang dimaksud adalah sistem hukum positif, yakni sistem hukum yang (sedang) berlaku di Indonesia. Sistem hukum Indonesia didasarkan pada Pancasila dan UUD 1945. Sebagai dasar negara, Pancasila merupakan sumber norma, nilai, dan kaidah bagi seluruh produk hukum dan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Selain merujuk pada nilai-nilai Pancasila, semua peraturan perundang-undangan juga harus didasarkan pada Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) sebagai konstitusi negara. Peraturan perundang-undangan merupakan penjabaran lebih lanjut dan lebih terperinci dari UUD 1945.

Sistem hukum nasional kita difungsikan untuk penegakan hukum dan keadilan yang dilakukan dengan berbagai mekanisme. Secara umum, mekanisme tersebut, antara lain, menyangkut pengaturan tata urutan peraturan perundang-undangan, pengaturan susunan (struktur) kelembagaan hukum, pengaturan materi hukum, dan penanaman budaya taat hukum.

1.    Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan

Negara kita memberlakukan berbagai per-aturan perundang-undangan untuk mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Peraturan-peraturan ini berisi ketentuan-ketentuan mengenai berbagai persoalan, seperti pertahanan dan keamanan, hak asasi manusia, perpajakan, pendidikan, ketenagakerjaan, pertanahan, pertanian, persaingan usaha, pers, dan penyiaran. Peraturan perundang-undangan yang berlaku memiliki kedudukan yang berbeda-beda karena lembaga pembuatnya serta ruang lingkup pemberlakuannya juga berbeda-beda.

Dengan demikian, peraturan perundang-undangan yang berlaku memiliki tingkatan yang tidak sama. Dengan kata lain, peraturan perundang-undangan tersusun dalam urut-
urutan yang teratur dari yang tertinggi hingga yang terendah. Oleh sebab itu, dalam sistem peraturan perundang-undangan nasional kita dikenal adanya istilah tata urutan peraturan perundang-undangan. 

Tata urutan peraturan perundang-undangan merupakan tingkatan atau penjenjangan jenis-jenis peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Hal ini berlaku secara urut dari yang terendah hingga yang tertinggi. Untuk mengatur dan menentukan tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia, dibuat undang-undang tersendiri, yakni UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Menurut undang-undang ini, jenis dan tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia sebagai berikut.
  •  Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Negara RI Tahun 1945),
  • ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR),
  • undang-undang (UU)/peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu),
  • peraturan pemerintah (PP),
  • peraturan presiden (perpres),
  • peraturan daerah (perda) provinsi, dan
  • peraturan daerah (perda) kabupaten/kota.

Berdasarkan tata urutan tersebut di atas,  Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Negara RI Tahun 1945) memiliki kedudukan yang paling tinggi. Adapun peraturan daerah (perda) kabupaten/kota memiliki kedudukan yang paling rendah. Sementara itu, pembuatan semua peraturan perundang-undangan tersebut –– termasuk pembuatan atau amendemen undang-undang dasar –– harus bersumber pada Pancasila. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal  2 UU No. 12 Tahun 2011,  Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum negara.


a.    Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 (UUD 1945)
Undang-Undang Dasar 1945 adalah hukum dasar atau konstitusi negara yang menjadi sumber pembuatan semua peraturan perundang-undangan di Indonesia. Tap MPR, undang-undang (UU), peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu), peraturan pemerintah (PP), peraturan presiden (perpres), dan peraturan daerah (perda) harus dibuat berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam UUD 1945. Ketentuan di dalam semua peraturan perundang-undangan tersebut tidak boleh bertentangan dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam UUD 1945.
UUD 1945 dirumuskan oleh BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Rancangan dan rumusannya kemudian diperbaiki dan ditetapkan oleh PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) menjadi konstitusi negara. Jika dipandang perlu, UUD 1945 dapat diamendemen. Lembaga yang memiliki kewenangan untuk mengamendemen dan menetapkan hasilnya adalah MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat).


b.   Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat   (Tap MPR)
Dalam tata urutan peraturan perun-dang-undangan, ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR) dapat dikatakan timbul tenggelam. Sebelum UU No. 12/2011 berlaku, tata urutan peraturan perundang-undangan diatur dengan UU No. 10 Tahun 2004.  Menurut UU No. 10/2004, dalam tata urutan peraturan undang-undang di Indonesia tidak terdapat Tap MPR, padahal sebelumnya Tap MPR menjadi peraturan yang berkedudukan tinggi dan kuat. Setelah ditiadakan/dihapus (berdasarkan UU No. 10/2004), Tap MPR kembali dimunculkan melalui UU No. 12/2011. Tap MPR adalah peraturan yang dibuat oleh MPR. Peraturan ini dibuat untuk menjabarkan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam UUD 1945.


c.    Undang-Undang (UU)/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu)
Undang-undang adalah peraturan yang dibuat oleh DPR melalui persetujan bersama presiden. Undang-undang dibuat sebagai penjabaran dari UUD 1945 atau Tap MPR. Undang-undang dibuat untuk menindaklanjuti berbagai ketentuan atau untuk menjabarkan hal-hal yang belum diatur di dalam UUD 1945 atau Tap MPR. Adapun peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) adalah peraturan yang dibuat dan ditetapkan presiden dalam kedudukannya sebagai kepala negara tanpa lewat persetujuan DPR. Peraturan pemerintah pengganti undang-undang memiliki kedudukan yang sejajar dengan undang-undang. Isinya juga sama, yakni menindaklanjuti ketentuan-ketentuan atau menjabarkan hal-hal yang belum diatur  di dalam UUD 1945.
Peraturan pemerintah pengganti undang-undang dibuat, ditetapkan, dan diberlakukan dalam keadaan darurat atau genting yang bersifat mendesak atau memaksa. Biarpun dibuat presiden tanpa persetujuan DPR, pada waktu selanjutnya peraturan pemerintah pengganti undang-undang harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan berikutnya. Jika dalam persidangan berikut tidak mendapatkan persetujuan dari DPR, sebuah peraturan pemerintah pengganti undang-undang harus dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi.


d.   Peraturan Pemerintah (PP)
Peraturan pemerintah (PP) adalah peraturan yang dibuat dan ditetapkan presiden dalam kedudukannya sebagai kepala pemerintahan. Peraturan pemerintah dibuat dan ditetapkan untuk menindaklanjuti atau menjabarkan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam undang-undang. Dalam bahasa teknis perundang-undangan, disebutkan bahwa peraturan pemerintah dibuat untuk menjalankan undang-undang.


e.    Peraturan Presiden (Perpres)
Seperti halnya peraturan pemerintah, peraturan presiden (perpres) adalah peraturan yang dibuat dan ditetapkan oleh presiden. Namun, dalam urutan peraturan perundang-undangan, peraturan presiden memiliki kedudukan di bawah peraturan pemerintah. Peraturan presiden dibuat untuk menjabarkan ketentuan yang terdapat dalam undang-undang atau dapat pula untuk melaksanakan ketentuan yang terkandung dalam peraturan pemerintah.


f.    Peraturan Daerah (Perda)
Peraturan daerah (perda) ialah peraturan yang dibuat oleh DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) dengan persetujuan kepala daerah. Peraturan daerah dibuat dan diberlakukan untuk menindaklanjuti pelaksanaan otonomi daerah atau mewadahi kondisi-kondisi khusus di daerah. Peraturan daerah juga dapat dibuat untuk menjabarkan isi peraturan perundang-undangan yang berada di atasnya, seperti undang-undang, peraturan pemerintah, dan peraturan presiden.
Pembentukan peraturan daerah tergantung pada tingkatan daerah. Jika dibuat di tingkat provinsi, peraturan daerah dibuat oleh DPRD provinsi melalui persetujuan dengan gubernur. Jika dibuat di tingkat kabupaten, peraturan daerah dibuat DPRD kapubaten melalui persetujuan dengan bupati. Jika dibuat di tingkat kota, peraturan daerah dibuat oleh DPRD kota melalui persetujuan dengan walikota.


2.    Susunan Kelembagaan Hukum

Susunan atau struktur kelembagaan hukum menjadi bagian yang penting dalam sistem hukum nasional kita. Susunan kelembagaan hukum di negara kita dari waktu ke waktu mengalami perubahan sejalan dengan perkembangan berbagai bidang kehidupan, terutama bidang hukum dan politik. Perubahan kelembagaan hukum di negara kita tidak dapat dilepaskan dengan dinamika kehidupan masyarakat.

Susunan kelembagaan hukum turut menentukan pembentukan dan penyelenggaraan hukum. Lembaga peradilan, aparat penyelenggara hukum, tata cara penyelenggaraan hukum, dan sistem pengawasan penyelenggaraan hukum menjadi bagian dari struktur kelembagaan hukum yang keberadaan dan pelaksanaannya menentukan kemantapan sistem hukum nasional secara keseluruhan. Aspek-aspek itu saling terkait dan saling mendukung dalam sistem hukum.

Upaya pemantapan struktur kelembagaan hukum di Indonesia akan terus dilakukan sebagai bagian dari pembenahan dan pembangunan bidang hukum. Lebih spesifik, upaya itu dilakukan, antara lain, untuk merapikan koordinasi antarlembaga hukum serta menghindari terjadinya tumpang tindih wewenang dalam penanganan masalah-masalah hukum yang dapat mengakibatkan munculnya ketidakpastian hukum.



3.    Materi Hukum

Materi hukum terkait dengan isi atau substansi kaidah hukum. Materi hukum merupakan kaidah-kaidah hukum yang dituangkan menjadi serangkaian peraturan baik dalam bentuk tertulis maupun tidak tertulis. Setiap materi hukum yang dituangkan menjadi peraturan yang ditetapkan oleh negara (melalui lembaga yang berwenang), bersifat mengikat. Seluruh warga negara wajib tunduk dan mematuhinya; dalam arti, melaksanakan perintah-perintah yang ada di dalamnya serta meninggalkan larangan-larangannya.

Materi hukum sangat menentukan kemapanan dan kemantapan sistem hukum nasional kita. Keberadaannya menjadi pengatur langsung sikap dan perilaku seluruh elemen bangsa dan negara. Melalui pelaksanaan yang tegas, konsisten, konsekuen, dan tak diskriminatif oleh aparat, materi hukum berperan sangat penting dalam menciptakan ketertiban, keamanan, dan keadilan.

Terkait dengan materi hukum, sejak memasuki era reformasi tahun 1998, negara kita giat sekali melakukan pembenahan materi hukum yang terdapat dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Peraturan perundangan-undangan yang materinya bertentangan dengan semangat reformasi dan upaya penegakan keadilan, dicabut atau diperbarui. Sebaliknya, peratur-an perundang-undangan baru dengan materi yang reformatif, tak diskriminatif, tak represif, serta mendorong tumbuhnya kebebasan (yang bertanggung jawab), kesetaraan, semangat bersaing secara sehat, pemberdayaan masyarakat, dan terciptanya keadilan terus dibuat dan diberlakukan.


4.    Budaya Hukum

Budaya hukum terkait dengan kesadaran, sikap, dan perilaku hukum. Ketiga hal ini (kesadaran, sikap, dan perilaku hukum) mencerminkan (tertanam atau tidaknya) budaya hukum. Suatu masyarakat atau bangsa dikatakan memiliki budaya hukum (yang baik) jika memiliki kebiasaan yang kuat untuk senantiasa sadar akan pentingnya hukum serta bersikap dan berperilaku konsisten untuk patuh kepada hukum.

Ihwal budaya hukum ini kiranya masih menjadi persoalan yang tetap krusial di kalangan masyarakat dan bangsa kita. Di tengah situasi dan kondisi perekonomian dan sosial yang masih belum sepenuhnya pulih dari krisis, secara umum masyarakat kita hingga kini belum memiliki budaya hukum yang baik.  Hal ini tidak hanya terjadi di kalangan masyarakat bawah, melainkan juga di kalangan pejabat, politisi, dan bahkan aparat penegak hukum sendiri.

Hal itu ditandai dengan masih banyaknya terjadi tindak kejahatan dalam berbagai bentuk dengan pelaku yang beragam, dari masyarakat bawah hingga pejabat tinggi dan  aparat hukum. Adapun pelanggaran hukum yang banyak terjadi pun penyelesaiannya kurang mengutamakan asas kebenaran material dan rasa keadilan. Pemberlakuan hukum juga masih sangat sering dilakukan secara diskriminatif (pandang bulu). Banyak kasus pelanggaran hukum, seperti korupsi dan penyalahgunaan jabatan, dengan pelaku kalangan atas, berlangsung tanpa penyelesaian yang semestinya, sementara pelanggaran hukum kecil-kecilan –– misalnya, mencuri beberapa butir buah cokelat dan semangka –– yang pelakunya masyarakat kalangan bawah, diproses sesuai aturan dan para pelakunya benar-benar dijatuhi hukuman.

Hal itu jelas bertentangan dengan asas keadilan, asas semua orang memiliki kedudukan yang sama di depan hukum, serta asas mendapatkan perlakuan yang sama di depan hukum (right of legal equality). Lebih dari itu,  kasus-kasus itu akan sangat menghambat upaya penegakan hukum serta penanaman dan penguatan budaya hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Terhambatnya upaya penegakan hukum dan penanaman budaya hukum pada gilirannya akan sangat menyulitkan upaya pemantapan sistem hukum secara menyeluruh di negara kita.

Pemantapan sistem hukum akan berjalan kurang optimal tanpa dukungan kesadaran, sikap, dan perilaku taat hukum. Kiranya masalah penguatan budaya hukum masih menjadi pekerjaan dan tantangan besar bagi bangsa kita. Benar-benar diperlukan tekad dan kemauan yang sangat kuat untuk memiliki kesadaran hukum serta bersikap dan berperilaku patuh terhadap hukum melalui praktik yang konkret dalam kehidupan sehari-hari bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia

Oleh Akhmad Zamroni

Sumber: homelessness,change.org


Kekuasaan kehakiman merupakan bagian yang sangat penting dalam sistem peradilan umumnya dan dalam proses peradilan perkara khususnya. Sebagaimana sudah disinggung secara singkat dalam Bab II, penyelenggaraan proses peradilan dilakukan melalui kekuasaan kehakiman. Hal ini mengandung pengertian bahwa wewenang untuk menyelenggarakan proses peradilan perkara hukum berada di tangan para hakim.


Lalu, melalui media atau sarana apakah kekuasaan kehakiman untuk menyelenggarakan peradilan tersebut dilaksanakan? Pelaksanaan kekuasaan kehakiman untuk menyelenggarakan peradilan dilakukan melalui media atau sarana yang disebut lembaga peradilan. Lembaga peradilan secara sempit dan praktis dapat dirujukkan pada lembaga yang disebut pengadilan, tetapi dalam pengertian luas dan esensial merujuk pula pada lembaga-lembaga lain yang memiliki kewenangan terkait dengan proses peradilan, seperti Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.

Munculnya terminologi ‘kekuasaan kehakiman’ dalam sistem peradilan merupakan wujud dari pengakuan dan penyerahan wewenang oleh negara kepada para hakim untuk menyelenggarakan proses peradilan atas berbagai perkara atau kasus hukum yang terjadi di tengah masyarakat. Lebih konkret dan lebih operasional, menyelenggarakan proses peradilan dalam hal ini adalah “memeriksa, mengadili, dan memutus” perkara berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku dan rasa keadilan. Dengan demikian, dapat dikatakan, hakim merupakan aktor dan motor utama dalam proses peradilan. Hakim diberi kepercayaan dan wewenang oleh negara untuk menyelenggarakan peradilan dengan memeriksa, mengadili, dan memutus perkara dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan.

Dengan perannya sebagai pemeriksa, pengadil, dan pemutus perkara, hakim diberi kemerdekaan atau kebebasan untuk menjalankan kekuasaannya dalam menangani perkara. Oleh sebab itu, kekuasaan hakim dalam menangani perkara adalah kekuasaan yang independen, yakni bebas atau merdeka. Kemerdekaan kekuasaan kehakiman di negara kita dijamin oleh UUD 1945 Pasal 24 Ayat (1) yang menyatakan bahwa “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.”

Kekuasaan kehakiman tidak boleh diintervensi dan dipengaruhi oleh kekuatan dan kekuasaan apa pun, termasuk kekuasaan pemerintah dan tekanan publik (orang banyak). Dalam proses peradilan, siapa pun tidak dibenarkan mencampuri, mempengaruhi, dan menekan hakim dalam menjalankan tugas peradilan baik dengan pendapat, ancaman, suap, atau yang lainnya. Dalam menjalankan tugas peradilan, hakim harus diberi kebebasan penuh untuk memeriksa dan mengadili serta membuat putusan murni berdasarkan pertimbangan hukum dan keadilan.

Prinsip independensi atau kebebasan kekuasaan kehakiman dianggap sangat mendasar, permanen, dan tidak dapat diganggu gugat. Demikian pentingnya hal itu menjadi penekanan mengingat tugas, tanggung jawab, dan kewenangan hakim dalam menjalankan proses peradilan terkait langsung dengan tegaknya hukum dan keadilan. Campur tangan dan pengaruh luar terhadap pelaksanaan tugas, fungsi, tanggung jawab, dan kewenangan hakim dalam peradilan dapat menyebabkan putusan hakim tidak memenuhi rasa keadilan sehingga akan mengakibatkan cedera dan ternodanya upaya penegakan hukum dan keadilan itu sendiri.

Independensi hakim dalam melaksanakan tugas, fungsi, tanggung jawab, dan kewenangan peradilan menjadi kunci terwujudnya lembaga peradilan dan proses peradilan yang terpercaya (kredibel) serta mampu menghasilkan putusan-putusan yang dapat memenuhi rasa keadilan. Hal ini tentunya dengan catatan bahwa kalangan hakim juga (harus) memiliki integritas tinggi, jujur, profesional, dan cakap dalam menjalankan tugas, tanggung jawab, dan kewenangannya. Jika semua persyaratan tersebut terpenuhi, proses dan sistem peradilan dapat diandalkan akan mampu mencapai tujuan dalam upaya penegakan hukum dan keadilan.

Dalam pada itu, kendatipun memiliki kewenangan yang independen, di sisi lain hakim juga dibebani tanggung jawab untuk memperhatikan dan melaksanakan hal-hal tertentu yang terkait dengan proses peradilan. Menurut UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim wajib menjaga kemandirian peradilan (Pasal 3 Ayat [1]). Menurut undang-undang yang sama, hakim, antara lain, dikenai ketentuan-ketentuan sebagai berikut.
  • Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
  • Hakim harus memiliki integritas serta kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, profesional, dan berpengalaman dalam bidang hukum.
  • Hakim wajib menaati kode etik dan pedoman perilaku hakim.
  • Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan sifat yang baik dan jahat dari terdakwa.
  • Dalam sidang permusyawaratan (antarhakim), setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan.
  • Seorang hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai, dengan ketua, salah seorang hakim anggota, jaksa, advokat, atau panitera.
  • Ketua majelis atau hakim anggota wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai, dengan pihak yang diadili atau advokat.
  • Seorang hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak yang berperkara.