Oleh Akhmad Zamroni
De Tjolomadoe tampak depan (Sumber: https://www.archdaily.com) |
Mesin-mesin
giling bergerigi raksasa dilengkapi tabung penampungan berukuran besar mendominasi
pemandangan di dalam bangunan yang megah dan bersejarah. Mesin-mesin dari baja
yang masih tampak kokoh dengan balutan cat baru warna abu-abu dan keemasan itu
dipajang di ruang bangunan kuno dengan langit-langit menjulang tinggi yang
telah direnovasi. Mesin berikut bangunan yang yang dibuat dan didirikan pada
pertengahan abad ke-19 itu kini tampak lebih baru dan modern, apalagi sebagian ruangannya
telah diubah menjadi cafe, toko
suvenir, dan gedung pertunjukan.
Di luar
bangunan utama terhampar pelataran dan lapangan parkir yang luas, taman bunga
dan rumput yang tersebar sporadis, dan sedikit pohon. Beberapa bangunan kantor
dan pendapa terlihat di beberapa sudut. Lampu-lampu taman yang tersebar di
beberapa titik melengkapi panorama terbuka di kompleks bekas pabrik gula yang
kini menjelma destinasi wisata.
Pabrik Gula Colomadu sebelum direnovasi (Sumber: nasional.tempo.co) |
Itulah gambaran sepintas De Tjolomadoe, objek wisata baru di
Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Semula
merupakan pabrik gula (PG), kini kompleks pabrik yang beralamat di Jalan Adi Sucipto Nomor 1, Desa Malangjiwan,
Kecamatan Colomadu, itu telah direvitalisasi menjadi bangunan megah yang
multifungsi. Revitalisasi mengubahnya dari salah satu pusat industri penghasil
gula menjadi salah satu pusat destinasi wisata, edukasi sejarah, dan kesenian
di kawasan Solo Raya.
Pabrik Gula Colomadu didirikan oleh Mangkunegara IV Surakarta pada
tahun 1861. Pernah menyandang predikat sebagai perusahaan penghasil gula terbesar
di Asia dan terbesar kedua di dunia –– pada 1928, bahkan pernah
menjadi eksportir gula terbesar di dunia –– PG Colomadu akhirnya berhenti beroperasi pada
tahun 1997. Setelah kurang terurus selama sekitar 20 tahun, pada tahun 2017 PG
Colomadu direnovasi dan direvitalisasi oleh gabungan (konsorsium) beberapa BUMN
–– di bawah koordinasi Kementerian BUMN –– menjadi tempat wisata yang khas
dan multiguna.
Namanya
kemudian diganti menjadi “De Tjolomadoe”. Dapat dikatakan, De Tjolomadoe kini
menjadi satu-satunya tempat wisata di Indonesia yang menggabungkan situs
sejarah pabrik gula dengan gaya dan impresi wisata modern yang memiliki kelas
tersendiri. Sempat menjadi sorotan dan mendapat kritik tajam karena usaha
revitalisasinya dianggap kurang memperhatikan nilai budaya dan sejarah, De
Tjolomadoe tidak hanya menjadi tempat wisata biasa yang bernuansa historis,
melainkan juga menjadi pusat heritage,
kesenian, edukasi (sejarah), dan perdagangan (bisnis). De Tjolomadoe kini dikelola
oleh PT Sinergi Colomadu.
Stasiun dan Mesin
Bangunan pabrik tetap dipertahankan dengan
polesan renovasi masa kini. Cerobong asap yang menjulang tinggi masih tetap
berdiri. Mesin-mesin produksi yang terbagi menjadi beberapa stasiun yang dahulu
digunakan untuk memproduksi gula dipertahankan sebagai benda cagar budaya yang
bahkan menjadi pajangan dan andalan utama De Tjolomadoe sebagai tujuan
wisata. Stasiun dengan
mesin-mesinnya yang kini sudah dicat dengan warna dominan abu-abu menjadi perhatian
dan fokus utama para pengunjung.
Stasiun Gilingan (Sumber: Zamroni-Sadah-Shida) |
Untuk masyarakat masa kini yang tidak atau kurang familiar dengan
peralatan produksi gula, stasiun dan mesin penghasil gula di De
Tjolomadoe jelas terasa unik, eksotis, dan istimewa, apalagi itu berasal dari
masa satu setengah abad silam. Terlihat masih sangat kokoh dan gagah –– meski tidak lagi dengan warna aslinya –– stasiun dan mesin itu menjadi
pemandangan yang indah dan cukup menakjubkan.
Dibuat saat manusia belum mengenal teknologi digital seperti saat ini,
benda-benda itu tampak tak lekang oleh perkembangan zaman.
Stasiun
dan mesin dari baja itu, tentu saja, sudah tidak lagi difungsikan untuk
memproduksi gula, melainkan untuk memberikan atraksi wisata dan kenyamanan
kepada pengunjung. Stasiun terbagi menjadi beberapa bagian dan nama dengan yang
paling menonjol adalah Stasiun Gilingan yang difungsikan sebagai museum. Stasiun
Gilingan berada di bagian paling depan yang dapat disaksikan oleh pengunjung
begitu masuk ke dalam bangunan utama De Tjolomadoe.
Stasiun Penguapan (Sumber: Zamroni-Sadah-Shida) |
Ada
juga Stasiun Ketelan yang difungsikan untuk restoran dan tempat pameran. Stasiun
Penguapan diubah menjadi lorong yang di sisi kanan dan kirinya berjajar kios pakaian
dan kuliner. Stasiun Karbonatasi dikhususkan sebagai tempat penjualan kerajinan
tangan. Adapun bengkel (besalen) telah difungsikan menjadi kafe.
Pertunjukan Kelas
Dunia
Di bagian belakang bangunan utama De Tjolomadoe juga
tersedia dua ruangan besar yang dapat digunakan (disewa) oleh masyarakat umum dan
korporasi luar. Keduanya masih berada dalam satu ruangan dengan stasiun-stasiun,
tetapi terletak di sebelah selatannya dengan disekat dinding khusus. Kedua
ruangan itu masing-masing bernama Tjolomadoe Hall dan Sarkara Hall.
Tjolomadoe Hall (Sumber: kompas.com-Kristianto Purnomo) |
Tjolomadoe
Hall merupakan gedung pertunjukan yang ukuran dan fasilitasnya di atas
rata-rata dengan daya tampung 2.500 orang, sedangkan Sarkara Hall merupakan
gedung untuk pertemuan dan pernikahan yang berkapasitas 1.500 orang. Tjolomadoe
Hall diklaim sebagai gedung pertunjukan atau konser seni yang berkelas dunia. Pertunjukan
beberapa artis dunia dan nasional pernah digelar di gedung multifungsi (multifunction hall) ini. Artis yang
pernah manggung di Tjolomadoe Hall, antara lain, David Foster, Brian
McKnight, Anggun C. Sasmi, Dira Sugandi, Sandy Sandhoro, dan Yura Yunita.
Tjolomadoe
Hall dan Sarkara Hall melengkapi keberadaan De Tjolomadoe sebagai destinasi
wisata yang multievent dan memiliki jangkauan global. Seperti dikemukakan
Menteri BUMN, Rini Suwandi, dalam “Hitman David Foster and Friends” 24 Maret 2018,
De Tjolomadoe diharapkan dapat menjadi concert
hall terkenal di dunia melalui pengembangan
Tjolomadoe Hall.
Semanis
Masa Lalu
Pengunjung
yang datang dan berkeliling di De Tjolomadoe akan mendapatkan suguhan lanskap
sejarah yang dipadukan dengan pernik dan kronika modern. Menyaksikan mesin produksi
penghasil gula yang berasal dari masa kolonial Belanda sembari menikmati sajian
dan pelayanan modern masa kini akan menjadi atraksi pariwisata khas yang
langka. Dengan harga tiket yang tidak terlalu mahal (Rp25.000,00), pengunjung
dapat menikmati De Tjolomadoe dengan kemegahan, kesejarahan, dan keunikannya.
Pengunjung
umum pasti akan mendapatkan pengalaman baru. Adapun pengunjung dari kalangan pendidikan (pelajar, mahasiswa, guru, dan sebagainya)
juga akan
mendapat tambahan pengetahuan sejarah baru karena akan memperoleh penjelasan historis
seputar PG Colomadu dari pemandu khusus yang disediakan pihak pengelola
untuk pengunjung dari kalangan pendidikan.
Panorama De Tjolomadoe dari atas (Sumber: Diskominfo Karanganyar).jpg) |
Sebelum
direnovasi, bekas pabrik ini sempat terlihat kotor dan kumuh akibat tak terurus
sejak berhenti beroperasi tahun 1997 hingga tahun 2017. Masa lalunya yang manis
sebagai salah satu raksasa penghasil gula di Asia dan dunia, pada saat itu seolah-olah
pudar terkikis oleh waktu dan zaman.
Namun,
renovasi yang berbiaya mahal mampu mengubahnya menjadi tempat baru yang elegan,
nyaman, dan memiliki kelas tersendiri. Terlepas dari segala kekurangannya dalam
proses renovasi, PG Colomadu telah bertransformasi dan menjelma menjadi ikon
pariwisata baru yang terlihat cukup manis, semanis prestasi masa lalunya sebagai ikon
penghasil gula kelas dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar