Oleh Akhmad Zamroni
Sumber: www.google.com
Sebagai negara hukum,
Indonesia membuat dan menerapkan sistem hukum di seluruh wilayah negara. Sistem
hukum tersebut merupakan keseluruhan elemen hukum nasional yang saling terkait
dan saling mendukung, yang dibuat untuk mewujudkan ketertiban, keamanan, dan
keadilan. Sistem hukum nasional juga diarahkan untuk mewujudkan kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang sejahtera, bermartabat, dan
beradab.
A. Pengertian Sistem Hukum
Sistem
adalah perangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk
suatu kesatuan atau totalitas. Sistem juga dapat diartikan sebagai susunan yang
teratur dari sebuah pandangan, teori, asas, aturan, dan sebagainya (Kamus
Besar Bahasa Indonesia, 2002: 1076). Faktor utama sistem ialah ‘terikat’
dan ‘saling mempengaruhi’. Unsur saling mempengaruhi berarti di dalam sistem
ada unsur yang berjalan terus-menerus dan fleksibel (Zamroni dan Lukmono, 2011:
260).
Sistem
merupakan totalitas yang bagian-bagiannya saling berhubungan. Sistem berorientasi
pada tujuan; suatu sistem berinteraksi dengan sistem yang lebih besar, yakni
lingkungannya; bekerjanya bagian-bagian dari suatu sistem menciptakan sesuatu
yang berharga; serta setiap bagian harus sesuai satu sama lain dan ada kekuatan
pemersatu yang mengikatnya (Rahardjo dalam Effendi, 2013: 2). Sistem juga dapat
diartikan sebagai suatu keseluruhan kompleks yang terintegrasi, yang dicirikan
oleh elemen-elemen yang saling berinteraksi, yang diarahkan pada pencapaian
tujuan tertentu (Nisjar dan Winardi dalam Effendi, 2013: 2).
Dengan
demikian, sistem hukum dapat definisikan sebagai perangkat kaidah atau
peraturan beserta komponen-komponen pendukungnya yang tersusun atau terbentuk
secara teratur dalam kesatuan yang saling berhubungan dan saling mempengaruhi.
Sistem hukum tidak hanya terdiri atas kumpulan kaidah atau peraturan, melainkan
juga komponen-komponen pelengkap lain yang menjadikan kumpulan kaidah tersebut
dapat bekerja sebagaimana mestinya. Kumpulan kaidah berikut komponen-komponen
pelengkapnya masing-masing memiliki kedudukan dan peran, tetapi sebagai
rangkaian membentuk sebuah totalitas yang mampu memberikan fungsi secara kompak
dan kolektif.
Sistem hukum dapat
dikatakan merupakan kesatuan yang kompleks. Kompleksitasnya dapat dilihat tidak
hanya dari fungsinya sebagai pengatur tingkah laku individu, melainkan juga
pengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Semua negara dan
bangsa memiliki sistem hukum dengan berbagai bentuk dan karakteristiknya masing-masing.
Di negara yang mengklaim diri sebagai negara hukum, hukum nasional –– sebagai
norma –– ditempatkan sebagai sistem yang tertinggi, yang mengatasi semua tata
tertib, tradisi, dan berbagai peraturan organisasi dan golongan. Sebagai
penjabaran dari konstitusi dan dasar negara, hukum nasional menjadi acuan dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Sebagai pengatur tingkah laku
individu dan masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara, sistem hukum memiliki kompleksitas dan dinamika yang tinggi.
B. Sistem Hukum di Indonesia
Pada prinsipnya, sistem
hukum merupakan sebuah struktur formal. Dalam konteks Indonesia, sistem hukum
yang dimaksud adalah sistem hukum positif, yakni sistem hukum yang (sedang)
berlaku di Indonesia. Sistem hukum Indonesia didasarkan pada Pancasila dan UUD
1945. Sebagai dasar negara, Pancasila merupakan sumber norma, nilai, dan kaidah
bagi seluruh produk hukum dan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Selain
merujuk pada nilai-nilai Pancasila, semua peraturan perundang-undangan juga
harus didasarkan pada Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) sebagai konstitusi
negara. Peraturan perundang-undangan merupakan penjabaran lebih lanjut dan
lebih terperinci dari UUD 1945.
Sistem hukum nasional
kita difungsikan untuk penegakan hukum dan keadilan yang dilakukan dengan
berbagai mekanisme. Secara umum, mekanisme tersebut, antara lain, menyangkut
pengaturan tata urutan peraturan perundang-undangan, pengaturan susunan (struktur)
kelembagaan hukum, pengaturan materi hukum, dan penanaman budaya taat hukum.
1. Tata
Urutan Peraturan Perundang-Undangan
Negara kita memberlakukan
berbagai per-aturan perundang-undangan untuk mengatur kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara. Peraturan-peraturan ini berisi ketentuan-ketentuan
mengenai berbagai persoalan, seperti pertahanan dan keamanan, hak asasi
manusia, perpajakan, pendidikan, ketenagakerjaan, pertanahan, pertanian, persaingan
usaha, pers, dan penyiaran. Peraturan perundang-undangan yang berlaku memiliki
kedudukan yang berbeda-beda karena lembaga pembuatnya serta ruang lingkup
pemberlakuannya juga berbeda-beda.
Dengan demikian,
peraturan perundang-undangan yang berlaku memiliki tingkatan yang tidak sama.
Dengan kata lain, peraturan perundang-undangan tersusun dalam urut-
urutan yang teratur dari yang tertinggi hingga
yang terendah. Oleh sebab itu, dalam sistem peraturan perundang-undangan nasional
kita dikenal adanya istilah tata urutan peraturan perundang-undangan.
Tata
urutan peraturan perundang-undangan merupakan tingkatan atau penjenjangan
jenis-jenis peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa
peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang
lebih tinggi. Hal ini berlaku secara urut dari yang terendah hingga yang
tertinggi. Untuk mengatur dan menentukan tata urutan peraturan
perundang-undangan di Indonesia, dibuat undang-undang tersendiri, yakni UU No.
12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Menurut
undang-undang ini, jenis dan tata urutan peraturan perundang-undangan di
Indonesia sebagai berikut.
- Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (UUD Negara RI Tahun 1945),
- ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
(Tap MPR),
- undang-undang (UU)/peraturan pemerintah
pengganti undang-undang (perppu),
- peraturan pemerintah (PP),
- peraturan presiden (perpres),
- peraturan daerah (perda) provinsi, dan
- peraturan daerah (perda) kabupaten/kota.
Berdasarkan
tata urutan tersebut di atas,
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Negara RI
Tahun 1945) memiliki kedudukan yang paling tinggi. Adapun peraturan daerah
(perda) kabupaten/kota memiliki kedudukan yang paling rendah. Sementara itu,
pembuatan semua peraturan perundang-undangan tersebut –– termasuk pembuatan
atau amendemen undang-undang dasar –– harus bersumber pada Pancasila. Sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 2 UU No. 12 Tahun
2011, Pancasila merupakan sumber dari
segala sumber hukum negara.
a. Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945
(UUD 1945)
Undang-Undang Dasar 1945
adalah hukum dasar atau konstitusi negara yang menjadi sumber pembuatan semua
peraturan perundang-undangan di Indonesia. Tap MPR, undang-undang (UU),
peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu), peraturan pemerintah
(PP), peraturan presiden (perpres), dan peraturan daerah (perda) harus dibuat
berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam UUD 1945. Ketentuan di dalam semua
peraturan perundang-undangan tersebut tidak boleh bertentangan dengan ketentuan-ketentuan
yang terdapat di dalam UUD 1945.
UUD 1945 dirumuskan oleh
BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia).
Rancangan dan rumusannya kemudian diperbaiki dan ditetapkan oleh PPKI (Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia) menjadi konstitusi negara. Jika dipandang
perlu, UUD 1945 dapat diamendemen. Lembaga yang memiliki kewenangan untuk mengamendemen
dan menetapkan hasilnya adalah MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat).
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR)
Dalam tata urutan
peraturan perun-dang-undangan, ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap
MPR) dapat dikatakan timbul tenggelam. Sebelum UU No. 12/2011 berlaku, tata
urutan peraturan perundang-undangan diatur dengan UU No. 10 Tahun 2004. Menurut UU No. 10/2004, dalam tata urutan
peraturan undang-undang di Indonesia tidak terdapat Tap MPR, padahal sebelumnya
Tap MPR menjadi peraturan yang berkedudukan tinggi dan kuat. Setelah ditiadakan/dihapus
(berdasarkan UU No. 10/2004), Tap MPR kembali dimunculkan melalui UU No.
12/2011. Tap MPR adalah peraturan yang dibuat oleh MPR. Peraturan ini dibuat
untuk menjabarkan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam UUD 1945.
c. Undang-Undang (UU)/Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang (Perpu)
Undang-undang adalah
peraturan yang dibuat oleh DPR melalui persetujan bersama presiden.
Undang-undang dibuat sebagai penjabaran dari UUD 1945 atau Tap MPR.
Undang-undang dibuat untuk menindaklanjuti berbagai ketentuan atau untuk
menjabarkan hal-hal yang belum diatur di dalam UUD 1945 atau Tap MPR. Adapun
peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) adalah peraturan yang
dibuat dan ditetapkan presiden dalam kedudukannya sebagai kepala negara tanpa lewat
persetujuan DPR. Peraturan pemerintah pengganti undang-undang memiliki
kedudukan yang sejajar dengan undang-undang. Isinya juga sama, yakni menindaklanjuti
ketentuan-ketentuan atau menjabarkan hal-hal yang belum diatur di dalam UUD 1945.
Peraturan pemerintah
pengganti undang-undang dibuat, ditetapkan, dan diberlakukan dalam keadaan
darurat atau genting yang bersifat mendesak atau memaksa. Biarpun dibuat
presiden tanpa persetujuan DPR, pada waktu selanjutnya peraturan pemerintah
pengganti undang-undang harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan
berikutnya. Jika dalam persidangan berikut tidak mendapatkan persetujuan dari
DPR, sebuah peraturan pemerintah pengganti undang-undang harus dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku lagi.
d. Peraturan Pemerintah (PP)
Peraturan pemerintah (PP)
adalah peraturan yang dibuat dan ditetapkan presiden dalam kedudukannya sebagai
kepala pemerintahan. Peraturan pemerintah dibuat dan ditetapkan untuk
menindaklanjuti atau menjabarkan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam
undang-undang. Dalam bahasa teknis perundang-undangan, disebutkan bahwa
peraturan pemerintah dibuat untuk menjalankan undang-undang.
e. Peraturan Presiden (Perpres)
Seperti halnya peraturan
pemerintah, peraturan presiden (perpres) adalah peraturan yang dibuat dan
ditetapkan oleh presiden. Namun, dalam urutan peraturan perundang-undangan,
peraturan presiden memiliki kedudukan di bawah peraturan pemerintah. Peraturan
presiden dibuat untuk menjabarkan ketentuan yang terdapat dalam undang-undang
atau dapat pula untuk melaksanakan ketentuan yang terkandung dalam peraturan
pemerintah.
f. Peraturan Daerah (Perda)
Peraturan daerah (perda)
ialah peraturan yang dibuat oleh DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) dengan
persetujuan kepala daerah. Peraturan daerah dibuat dan diberlakukan untuk
menindaklanjuti pelaksanaan otonomi daerah atau mewadahi kondisi-kondisi khusus
di daerah. Peraturan daerah juga dapat dibuat untuk menjabarkan isi peraturan
perundang-undangan yang berada di atasnya, seperti undang-undang, peraturan
pemerintah, dan peraturan presiden.
Pembentukan peraturan
daerah tergantung pada tingkatan daerah. Jika dibuat di tingkat provinsi,
peraturan daerah dibuat oleh DPRD provinsi melalui persetujuan dengan gubernur.
Jika dibuat di tingkat kabupaten, peraturan daerah dibuat DPRD kapubaten
melalui persetujuan dengan bupati. Jika dibuat di tingkat kota, peraturan
daerah dibuat oleh DPRD kota melalui persetujuan dengan walikota.
2. Susunan Kelembagaan Hukum
Susunan atau struktur
kelembagaan hukum menjadi bagian yang penting dalam sistem hukum nasional kita.
Susunan kelembagaan hukum di negara kita dari waktu ke waktu mengalami
perubahan sejalan dengan perkembangan berbagai bidang kehidupan, terutama
bidang hukum dan politik. Perubahan kelembagaan hukum di negara kita tidak
dapat dilepaskan dengan dinamika kehidupan masyarakat.
Susunan kelembagaan hukum
turut menentukan pembentukan dan penyelenggaraan hukum. Lembaga peradilan,
aparat penyelenggara hukum, tata cara penyelenggaraan hukum, dan sistem
pengawasan penyelenggaraan hukum menjadi bagian dari struktur kelembagaan hukum
yang keberadaan dan pelaksanaannya menentukan kemantapan sistem hukum nasional secara
keseluruhan. Aspek-aspek itu saling terkait dan saling mendukung dalam sistem
hukum.
Upaya pemantapan struktur
kelembagaan hukum di Indonesia akan terus dilakukan sebagai bagian dari
pembenahan dan pembangunan bidang hukum. Lebih spesifik, upaya itu dilakukan,
antara lain, untuk merapikan koordinasi antarlembaga hukum serta menghindari
terjadinya tumpang tindih wewenang dalam penanganan masalah-masalah hukum yang
dapat mengakibatkan munculnya ketidakpastian hukum.
3. Materi Hukum
Materi hukum terkait
dengan isi atau substansi kaidah hukum. Materi hukum merupakan kaidah-kaidah
hukum yang dituangkan menjadi serangkaian peraturan baik dalam bentuk tertulis
maupun tidak tertulis. Setiap materi hukum yang dituangkan menjadi peraturan
yang ditetapkan oleh negara (melalui lembaga yang berwenang), bersifat
mengikat. Seluruh warga negara wajib tunduk dan mematuhinya; dalam arti,
melaksanakan perintah-perintah yang ada di dalamnya serta meninggalkan
larangan-larangannya.
Materi hukum sangat
menentukan kemapanan dan kemantapan sistem hukum nasional kita. Keberadaannya
menjadi pengatur langsung sikap dan perilaku seluruh elemen bangsa dan negara.
Melalui pelaksanaan yang tegas, konsisten, konsekuen, dan tak diskriminatif
oleh aparat, materi hukum berperan sangat penting dalam menciptakan ketertiban,
keamanan, dan keadilan.
Terkait dengan materi
hukum, sejak memasuki era reformasi tahun 1998, negara kita giat sekali
melakukan pembenahan materi hukum yang terdapat dalam berbagai peraturan
perundang-undangan. Peraturan perundangan-undangan yang materinya bertentangan
dengan semangat reformasi dan upaya penegakan keadilan, dicabut atau diperbarui.
Sebaliknya, peratur-an perundang-undangan baru dengan materi yang reformatif,
tak diskriminatif, tak represif, serta mendorong tumbuhnya kebebasan (yang
bertanggung jawab), kesetaraan, semangat bersaing secara sehat, pemberdayaan
masyarakat, dan terciptanya keadilan terus dibuat dan diberlakukan.
4. Budaya Hukum
Budaya hukum terkait dengan kesadaran, sikap,
dan perilaku hukum. Ketiga hal ini (kesadaran, sikap, dan perilaku hukum) mencerminkan
(tertanam atau tidaknya) budaya hukum. Suatu masyarakat atau bangsa dikatakan
memiliki budaya hukum (yang baik) jika memiliki kebiasaan yang kuat untuk
senantiasa sadar akan pentingnya hukum serta bersikap dan berperilaku konsisten
untuk patuh kepada hukum.
Ihwal budaya hukum ini kiranya masih menjadi
persoalan yang tetap krusial di kalangan masyarakat dan bangsa kita. Di tengah
situasi dan kondisi perekonomian dan sosial yang masih belum sepenuhnya pulih
dari krisis, secara umum masyarakat kita hingga kini belum memiliki budaya
hukum yang baik. Hal ini tidak hanya
terjadi di kalangan masyarakat bawah, melainkan juga di kalangan pejabat,
politisi, dan bahkan aparat penegak hukum sendiri.
Hal
itu ditandai dengan masih banyaknya terjadi tindak kejahatan dalam berbagai bentuk
dengan pelaku yang beragam, dari masyarakat bawah hingga pejabat tinggi dan aparat hukum. Adapun pelanggaran hukum yang
banyak terjadi pun penyelesaiannya kurang mengutamakan asas kebenaran material
dan rasa keadilan. Pemberlakuan hukum juga masih sangat sering dilakukan secara
diskriminatif (pandang bulu). Banyak kasus pelanggaran hukum, seperti korupsi
dan penyalahgunaan jabatan, dengan pelaku kalangan atas, berlangsung tanpa
penyelesaian yang semestinya, sementara pelanggaran hukum kecil-kecilan ––
misalnya, mencuri beberapa butir buah cokelat dan semangka –– yang pelakunya
masyarakat kalangan bawah, diproses sesuai aturan dan para pelakunya
benar-benar dijatuhi hukuman.
Hal
itu jelas bertentangan dengan asas keadilan, asas semua orang memiliki kedudukan
yang sama di depan hukum, serta asas mendapatkan perlakuan yang sama di depan
hukum (right of legal equality). Lebih dari itu, kasus-kasus itu akan sangat menghambat upaya
penegakan hukum serta penanaman dan penguatan budaya hukum dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara. Terhambatnya upaya penegakan hukum dan penanaman
budaya hukum pada gilirannya akan sangat menyulitkan upaya pemantapan sistem
hukum secara menyeluruh di negara kita.
Pemantapan
sistem hukum akan berjalan kurang optimal tanpa dukungan kesadaran, sikap, dan
perilaku taat hukum. Kiranya masalah penguatan budaya hukum masih menjadi
pekerjaan dan tantangan besar bagi bangsa kita. Benar-benar diperlukan tekad
dan kemauan yang sangat kuat untuk memiliki kesadaran hukum serta bersikap dan
berperilaku patuh terhadap hukum melalui praktik yang konkret dalam kehidupan
sehari-hari bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.