Minggu, 30 April 2017

Kemerdekaan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia

Oleh Akhmad Zamroni

Sumber: homelessness,change.org


Kekuasaan kehakiman merupakan bagian yang sangat penting dalam sistem peradilan umumnya dan dalam proses peradilan perkara khususnya. Sebagaimana sudah disinggung secara singkat dalam Bab II, penyelenggaraan proses peradilan dilakukan melalui kekuasaan kehakiman. Hal ini mengandung pengertian bahwa wewenang untuk menyelenggarakan proses peradilan perkara hukum berada di tangan para hakim.


Lalu, melalui media atau sarana apakah kekuasaan kehakiman untuk menyelenggarakan peradilan tersebut dilaksanakan? Pelaksanaan kekuasaan kehakiman untuk menyelenggarakan peradilan dilakukan melalui media atau sarana yang disebut lembaga peradilan. Lembaga peradilan secara sempit dan praktis dapat dirujukkan pada lembaga yang disebut pengadilan, tetapi dalam pengertian luas dan esensial merujuk pula pada lembaga-lembaga lain yang memiliki kewenangan terkait dengan proses peradilan, seperti Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.

Munculnya terminologi ‘kekuasaan kehakiman’ dalam sistem peradilan merupakan wujud dari pengakuan dan penyerahan wewenang oleh negara kepada para hakim untuk menyelenggarakan proses peradilan atas berbagai perkara atau kasus hukum yang terjadi di tengah masyarakat. Lebih konkret dan lebih operasional, menyelenggarakan proses peradilan dalam hal ini adalah “memeriksa, mengadili, dan memutus” perkara berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku dan rasa keadilan. Dengan demikian, dapat dikatakan, hakim merupakan aktor dan motor utama dalam proses peradilan. Hakim diberi kepercayaan dan wewenang oleh negara untuk menyelenggarakan peradilan dengan memeriksa, mengadili, dan memutus perkara dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan.

Dengan perannya sebagai pemeriksa, pengadil, dan pemutus perkara, hakim diberi kemerdekaan atau kebebasan untuk menjalankan kekuasaannya dalam menangani perkara. Oleh sebab itu, kekuasaan hakim dalam menangani perkara adalah kekuasaan yang independen, yakni bebas atau merdeka. Kemerdekaan kekuasaan kehakiman di negara kita dijamin oleh UUD 1945 Pasal 24 Ayat (1) yang menyatakan bahwa “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.”

Kekuasaan kehakiman tidak boleh diintervensi dan dipengaruhi oleh kekuatan dan kekuasaan apa pun, termasuk kekuasaan pemerintah dan tekanan publik (orang banyak). Dalam proses peradilan, siapa pun tidak dibenarkan mencampuri, mempengaruhi, dan menekan hakim dalam menjalankan tugas peradilan baik dengan pendapat, ancaman, suap, atau yang lainnya. Dalam menjalankan tugas peradilan, hakim harus diberi kebebasan penuh untuk memeriksa dan mengadili serta membuat putusan murni berdasarkan pertimbangan hukum dan keadilan.

Prinsip independensi atau kebebasan kekuasaan kehakiman dianggap sangat mendasar, permanen, dan tidak dapat diganggu gugat. Demikian pentingnya hal itu menjadi penekanan mengingat tugas, tanggung jawab, dan kewenangan hakim dalam menjalankan proses peradilan terkait langsung dengan tegaknya hukum dan keadilan. Campur tangan dan pengaruh luar terhadap pelaksanaan tugas, fungsi, tanggung jawab, dan kewenangan hakim dalam peradilan dapat menyebabkan putusan hakim tidak memenuhi rasa keadilan sehingga akan mengakibatkan cedera dan ternodanya upaya penegakan hukum dan keadilan itu sendiri.

Independensi hakim dalam melaksanakan tugas, fungsi, tanggung jawab, dan kewenangan peradilan menjadi kunci terwujudnya lembaga peradilan dan proses peradilan yang terpercaya (kredibel) serta mampu menghasilkan putusan-putusan yang dapat memenuhi rasa keadilan. Hal ini tentunya dengan catatan bahwa kalangan hakim juga (harus) memiliki integritas tinggi, jujur, profesional, dan cakap dalam menjalankan tugas, tanggung jawab, dan kewenangannya. Jika semua persyaratan tersebut terpenuhi, proses dan sistem peradilan dapat diandalkan akan mampu mencapai tujuan dalam upaya penegakan hukum dan keadilan.

Dalam pada itu, kendatipun memiliki kewenangan yang independen, di sisi lain hakim juga dibebani tanggung jawab untuk memperhatikan dan melaksanakan hal-hal tertentu yang terkait dengan proses peradilan. Menurut UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim wajib menjaga kemandirian peradilan (Pasal 3 Ayat [1]). Menurut undang-undang yang sama, hakim, antara lain, dikenai ketentuan-ketentuan sebagai berikut.
  • Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
  • Hakim harus memiliki integritas serta kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, profesional, dan berpengalaman dalam bidang hukum.
  • Hakim wajib menaati kode etik dan pedoman perilaku hakim.
  • Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan sifat yang baik dan jahat dari terdakwa.
  • Dalam sidang permusyawaratan (antarhakim), setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan.
  • Seorang hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai, dengan ketua, salah seorang hakim anggota, jaksa, advokat, atau panitera.
  • Ketua majelis atau hakim anggota wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai, dengan pihak yang diadili atau advokat.
  • Seorang hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak yang berperkara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar