Oleh Akhmad Zamroni
Sumber: static5.businessinsider.com |
Mengapa orang seperti Donald Trump bisa menjadi
presiden? Mengapa tokoh kontroversial yang, menurut hasil survei banyak media,
tidak disukai oleh banyak kalangan, termasuk oleh rakyatnya sendiri, ini bisa
memenangkan pemilihan presiden di negara yang mengklaim diri sebagai kampiun
demokrasi? Apakah proses pemilihan presiden Amerika Serikat yang memunculkan
dia menjadi presiden benar-benar berlangsung bersih dan demokratis?
Kehadiran Trump dalam perpolitikan Amerika
Serikat (AS) khususnya dan dunia umumnya memicu tanda tanya besar. Terpilihnya
dia sebagai presiden AS menimbulkan rasa aneh di hati dan pikiran ratusan juta
dan mungkin miliaran orang di seluruh dunia. Kemunculannya sebagai orang nomor
satu di AS juga menimbulkan ketidaksenangan dan antipati di berbagai belahan
dunia, termasuk juga di dalam negeri AS sendiri.
Dalam pandangan masyarakat internasional, Donald
Trump bukanlah seorang demokrat: ia tidak menganut dan menerapkan
prinsip-prinsip dan nilai-nilai demokrasi dengan baik sebagaimana mestinya. Ia
juga bukan tokoh yang menghargai dan menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM).
Kampanye-kampanyenya menjelang pemilihan presiden serta kebijakan-kebijakannya
setelah menjadi presiden dengan gamblang memperlihatkan bahwa ia adalah seorang
politikus yang intoleran dan diskriminatif.
Pengusaha yang memiliki rumah judi (kasino) dan
beberapa kali kepergok melakukan
pelecehan terhadap wanita itu berkali-kali menyatakan ketidaksukaannya dan
sikap antipatinya terhadap Islam. Hanya karena beberapa peristiwa teror
mengatasnamakan Islam, ia membuat generalisasi bahwa Islam itu negatif dan
berbahaya sehingga perlu diwaspadai dan dibatasi. Ia tidak bisa bersikap
seperti kebanyakan atau hampir semua kepala negara di dunia yang menganggap bahwa
di luar beberapa kelompok teroris yang mengatasnamakan Islam, Islam di banyak
tempat di dunia mampu memperlihatkan wajah yang toleran, bersahabat, dan damai,
sehingga generalisasi bahwa Islam itu buruk dan jahat sangatlah tidak tepat. Ia
juga gencar memojokkan dan menyerang kaum imigran. Tanpa rasa malu dan sadar
diri bahwa ia dan kaum kulit putih di Amerika Serikat juga merupakan kaum
pendatang (imigran), ia menyatakan akan menolak atau menyeleksi dengan sangat
ketat kaum imigran di AS.
Dengan sikapnya yang penuh prasangka,
diskriminatif, rasis, tidak menghargai kebebasan, dan paranoid tersebut, Trump
dengan cepat terbentuk menjadi figur kontroversial yang dianggap oleh banyak
kalangan tidak pantas menjadi pemimpin negara sebesar AS. Masyarakat AS sendiri
tidak sedikit yang menganggapnya sebagai presiden terburuk dalam sejarah AS. Masyarakat
internasional dan sebagian masyarakat AS kini sepertinya justru memasukkan dia
sebagai “figur yang berbahaya dan perlu terus dikawal kebijakan-kebijakannya.”
Persoalannya adalah kembali pada pertanyaan awal:
mengapa ia bisa terpilih menjadi presiden AS? Bagaimana
sistem demokrasi di AS yang sangat canggih, mapan, dan begitu dikagumi
masyarakat dunia bisa meloloskan orang seperi dia? Apakah ada kesalahan dalam sistem demokrasi di AS sehingga tokoh
sekontroversial Trump bisa masuk bursa calon presiden AS?
Kasus Trump menunjukkan bahwa sistem yang
demokratis tidak selamanya mampu melahirkan pemimpin yang berintegritas serta
menghargai HAM dan demokrasi itu sendiri. Terpilihnya dia sebagai presiden
menunjukkan bahwa (sistem) demokrasi yang sangat canggih dan kredibel pun
ternyata masih mengandung kelemahan. Dengan kata lain, demokrasi yang
dipuja-puja dan dianggap sebagai sitem politik dan kehidupan yang paling baik
tetap saja dapat mengalami anomali.
Terlepas dari masalah keteledoran Partai Republik
untuk meloloskan dia menjadi kandidat presiden, kasus Trump dengan telak
memperlihatkan ketidakakuratan dan ketidakcanggihan sistem demokrasi dalam
melakukan seleksi calon pemimpin. Kelemahan ini agaknya bermula dari rekrutmen
calon pemimpin yang tidak tepat akibat subjektivitas berlebihan yang terjadi
pada partai politik dan massa pendukung kandidat. Partai politik tempat Trump
bernaung, yakni Partai Republik, serta massa pendukungnya, walaupun hidup di
negeri yang demokrasinya sudah sangat mapan, tampaknya kali ini tidak mampu
melepaskan diri dari primordialisme sempit sehingga tokoh yang berkarakter
rasis dan tidak menghargai HAM seperti Trump tetap saja mereka dukung. Dan
terlepas dari persoalan money politics
yang bisa saja terjadi, mereka yang memiliki kepentingan untuk mengutamakan
kelompok ras atau agamanya menganggap Trump sebagai orang yang tepat untuk
dijadikan amunisi sekaligus meriam perjuangan.
Sumber: bloodyrubbish.com |
Adapun perihal rumor intervensi Rusia dalam
pemilihan presiden AS yang, konon dengan retasannya mampu “memenangkan” Trump
sebagai presiden, masih menjadi tanda tanya besar serta kemungkinannya menjadi
faktor penentu utama kemenangan Trump tidaklah signifikan. Melalui retasannya
ke sistem IT pemilihan presiden AS, mungkinkah Rusia mampu memobilisasi rakyat
AS untuk memilih Trump? Mungkinkah rakyat AS demikian gampangnya dibodohi oleh
Rusia? Mungkin saja itu terjadi, tetapi jika rakyat AS sejak semula dan pada
dasarnya menghendaki pemimpin yang demokratis, toleran, dan tidak
diskriminatif, usaha apa pun untuk mengalihakan atau memanipulasi aspirasi
mereka tetap saja akan gagal dan mereka tentu tidak akan memilih Trump. Namun,
kenyataannya Trump menjadi pemenang sehingga menjadi sulit untuk ditampik bahwa
aspirasi sebagian warga AS telah terkontaminasi oleh subjektivitas dan
primordialisme.
Hal itu membuktikan bahwa demokrasi yang tidak
didukung oleh objektivitas dan toleransi dapat mengalami blunder dan anomali. Sebagai sistem, demokrasi jelas sangat baik
untuk mewadahi kepentingan dan nasib semua suku, ras, penganut agama, dan semua
kelompok manusia karena demokrasi mengharuskan adanya persamaan hak dan
kewajiban untuk semua urusan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara. Namun, demokrasi hanyalah sebuah sistem yang dijalankan oleh
sekumpulan manusia, yang jika sebagian dari kumpulan manusia itu keliru
(subjektif, intoleran, diskriminatif, dan sejenisnya) dalam bersikap,
berperilaku, dan mengambil kebijakan, demokrasi bisa menjadi bumerang yang
berbahaya. Demokrasi yang dijalankan dengan cara demikian dapat menjelma
menjadi otoritarianisme yang menindas dan destruktif.
Dan kini, hipotesis itu mulai memperlihatkan
kebenarannya melalui perilaku kekuasaan Trump. Perkembangan terakhir (akhir Mei
2017) menunjukkan, Trump dengan jelas memperlihatkan sifat tangan besi dan
otoriternya. Ia dengan sewenang-wenang memecat Direktur FBI, James Comey, yang
tengah menyelidiki kemungkinan tim kampanye Trump menjalin hubungan dengan
pihak Rusia selama masa kampanye pemilihan presiden serta menginvestigasi kasus
orang terdekat Trump, yakni Michael Flynn (Penasihat Keamanan Nasional), yang terbukti
berbohong kepada Mike Pence (Wakil Presiden) dan diduga melakukan pertemuan
rahasia dengan intelijen Turki. Terakhir, Trump juga diduga kuat membocorkan
informasi sangat rahasia dan sensitif milik AS kepada Rusia.
Kini pertanyaan lain muncul: mungkinkah Trump
tergusur dari jabatannya sebagai presiden dan demokrasi akan kembali pulih di
AS? Jika demokrasi menemukan bentuknya kembali yang murni dan utuh di AS,
kepemimpinan dan sepak terjang Trump tentunya akan segera berakhir. Demokrasi
tidak bisa berjalan beriringan dengan kepemimpinan yang otoriter. Demokrasi di
AS bisa saja tetap berjalan dengan baik selama Trump menjadi presiden sampai
masa jabatannya habis, tetapi syarat utamanya: ia harus meninggalkan sikap
rasis, intoleran, dan diskriminatifnya. Namun, mungkinkah itu terjadi? Wallahu a’lam bissawab.
kemenangan Trump tdk bisa dilepaskan dari slogannya yg begitu populis: it make will great again. karena itu, segala kebijakannya akan bertumpu pada slogannya tersebut. apalagi pendukung trump adalah org2 kalah dlm sistem ekonomi AS, spt buruh2 kasar dan org yg tdk lulus sarjana kmd bekerja sbg buruh kasar jg. Trump sendiri pada saat kampanye jg sdh menyatakan dirinya sebagai pembela mereka. situasi ini spt cek kosongan yg diberikan pendukung Trump kepada Trump sendiri, termasuk utk berbuat semau gue. salah satu kelompok pemilih Trump yg besar adalah kelompok religius. Baik buruh maupun kelompok religius bisa bekerja sama, mgkn kaum religius mengampanyekam jika kamu plh Hillary, kamu akan semakin terjepit dan Hillary tdk menjanjikan surga buat anda. bagi org indonesia, terutama yg pemilih rasional, kemenangan Trump memang mengejutkan. lebih baiknya, jika ada pemilu, para pemilih sebaiknya memperhatikan calon yg bicara ttg hidup di dunia akan seindah di surga bisa jadi terpilih jadi pemimpin kita pada masa depan.
BalasHapus