Minggu, 28 Mei 2017

Novel Baswedan, Pejuang Antikorupsi yang Tak Pernah Kehabisan Keberanian Membasmi Korupsi

Oleh Akhmad Zamroni

Sumber: i0.wp.com
Upaya pemberantasan korupsi di Indonesia jarang sekali menempatkan figur polisi sebagai tokoh gigih yang berjuang membasmi korupsi dengan tanpa pandang bulu di berbagai lini, termasuk terhadap institusinya sendiri. Institusi kepolisian justru sering menjadi sasaran pemberantasan korupsi karena selama puluhan tahun dianggap menjadi sarang korupsi yang kronis. Sejarah dan pengalaman berurusan dengan kepolisian beberapa tahun lalu (dari mengurus SIM, surat kehilangan barang, membayar pajak kendaraan bermotor, hingga tilang di jalan raya) menunjukkan bahwa institusi ini memang menjadi lahan subur bagi terjadinya korupsi (pungli, suap, dan sebagainya).
Namun, sejalan dengan upaya pembenahan dan pembersihan internal terhadap institusi kepolisian yang mulai membuahkan hasil positif, muncul figur-figur pejuang antikorupsi dari lembaga ini. Setelah dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 27 Desember 2002 silam, mulai mencuat nama-nama populer pejuang antikorupsi dari kalangan polisi, seperti Taufiequrachman Ruki (ketua KPK) dan Bibit Samad Rianto (wakil ketua KPK).  Keduanya gigih berjuang melakukan pemberantasan korupsi, termasuk terhadap institusinya sendiri, hingga Bibit Samad Rianto sempat mengalami percobaan kriminalisasi (dalam kasus yang dikenal sebagai “Cicak versus Buaya”).
Di tengah keraguan publik terhadap keseriusan pembenahan internal kepolisian, kembali institusi ini membuktikan masih mampu menghasilkan figur bersih dan berintegritas tinggi yang berjuang gigih memberantas korupsi. Setelah era Taufiequrachman Ruki dan Bibit Samad Rianto berakhir, muncul sang junior untuk meneruskan perjuangan pendahulunya. Dialah Novel Baswedan, seorang polisi muda yang keseriusan dan kegigihannya memberantas korupsi tidak diragukan lagi.
A.     Memiliki Darah Pejuang
Novel Baswedan lahir di Semarang, Jawa tengah, pada 22 Juni 1977. Novel menamatkan pendidikan menengahnya di SMA Negeri 2 Semarang dan menyelesaikan pendidikan tinggi kepolisiannya dari Akademi Kepolisian, Semarang (1998). Ia memiliki darah pejuang. Salah satu kakeknya, Abdurrahman Baswedan, adalah termasuk Founding Fathers (Bapak Pendiri Negara) yang tergabung dalam BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) serta menjadi Wakil Menteri Penerangan dalam Kabinet Sjahrir III
(2 Oktober 1946–27 Juni 1947).
Adapun salah satu saudara sepupu Novel, Anies Baswedan, merupakan salah satu tokoh muda Indonesia yang cukup menonjol. Anies pernah menjadi rektor Universitas Paramadina, Jakarta, serta Menteri Kebudayaan dan Pendidikan Dasar dan Menengah dalam Kabinet Kerja pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Mulai Oktober 2017, Anies bersama Sandiaga Uno, resmi akan memimpin pemerintahan DKI Jakarta sebagai gubernur-wakil gubernur setelah memenangkan Pilkada DKI 2017 dengan mengalahkan pasangan Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat dan Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni.
Novel Baswedan beristrikan Rina Emilda. Pasangan ini dikaruniai empat orang anak. Keluarga Novel dikenal sebagai keluarga yang taat beribadah. Menurut tetangganya, Novel  rajin menjalankan salat berjamaah di masjid, terutama saat salat Subuh.
Setahun setelah lulus dari Akademi Kepolisian, Novel ditugaskan di Polres Bengkulu. Pada tahun 2004, ia diangkat menjadi Kepala Satuan Reserse Kriminal (Kasat Reskrim) Polres Bengkulu dengan pangkat Komisaris. Ia bertugas di Bengkulu sampai dengan tahun 2005.

Dari Bengkulu, Novel dipromosikan ke Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Mabes Polri), Jakarta. Di sini ia ditempatkan di Badan Reserse Kriminal (Bareskrim), salah satu bagian yang strategis dalam pelaksanaan tugas dan wewenang Polri. Dengan reputasinya sebagai polisi yang bersih dan berintegritas, Novel mendapat tugas sebagai penyidik KPK pada tahun 2007, kemudian pada tahun 2014 secara resmi diangkat menjadi penyidik tetap KPK.
B.     Tak Menyerah oleh Teror dan Kriminalisasi
Di sinilah Novel memulai perjuangan serius dan kerasnya memberantas korupsi. Sebagai penyidik KPK, ia dihadapkan pada kasus-kasus korupsi besar yang melibatkan nama-nama besar dan terkenal dalam kelembagaan dan perpolitikan nasional. Namun, novel tidak gentar; ia lugas saja menjalakan tugas dan wewenangnya sebagai penyidik KPK.
Kelugasan dan sikap tanpa komprominya sebagai penyidik KPK menghasilkan serangkaian prestasi gemilang. Bersama timnya, Novel sukses menyeret para pelaku korupsi besar untuk menjalani persidangan tipikor (tindak pidana korupsi) serta menjadikan mereka sebagai terpidana yang harus menjalani hukuman kurungan dengan hidup di dalam penjara. Nama-nama besar dan populer yang berhasil dipidanakan dan dipenjarakannya, antara lain, Akil Mochtar (Ketua Mahkamah Konstitusi), Irjen Djoko Susilo (Kepala Korps Lalu Lintas Polri), Muhammad Nazaruddin (Bendahara Umum Partai Demokrat), dan Angelina Sondakh (anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrat).
Menyidik kasus korupsi besar yang pelakunya memiliki jabatan penting dan strategis bukanlah perkara gampang dan sederhana. Itu merupakan tugas sangat berat dan berisiko besar. Menjadi penyidik KPK konon sarat dengan teror, tetapi menyidik pelaku korupsi besar benar-benar membawa risiko berat yang nyata.
Saat melakukan penyidikan terhadap kasus korupsi simulator SIM dengan tersangka Djoko Susilo, Novel harus berkonfrontasi keras dengan bekas institusinya sendiri, Polri. Ketika penyidikan itu benar-benar ia lakukan bersama tim yang dipimpinnya, ia menerima risiko yang tidak ringan. Akibat keberanian dan ketidakkompromiannya dalam menyidik kasus ini, Novel mendapat serangan balik: pada Mei 2015 Novel ditangkap dengan tuduhan terlibat dalam penembakan terhadap tersangka pencuri sarang burung walet saat masih bertugas di Polres Bengkulu.

Sumber: news.liputan6.com
Penangkapan Novel oleh Polri serta merta mengundang protes keras dari masyarakat dan aktivis antikorupsi. Sebagaimana yang mencuat di media massa, masyarakat dan aktivis antikorupsi menilai peristiwa itu sebagai percobaan kriminalisasi terhadap Novel yang tengah gencar mengungkap kasus korupsi Djoko Susilo di tubuh Polri. Publik menganggapnya sebagai rekayasa belaka karena kasus sarang burung walet terjadi jauh pada tahun 2004, tetapi tuduhan terhadap Novel dilakukan pada tahun 2015 justru saat ia tengah menyidik kasus korupsi Djoko Susilo. Sidang etik Polri akhirnya menyimpulkan bahwa Novel Baswedan bukanlah pelaku penembakan terhadap tersangka pencuri burung walet seperti yang dituduhkan kepolisian.
Sejalan dengan belum berhentinya korupsi di Indonesia, Novel Baswedan juga tak pernah menghentikan langkah-langkah tegasnya dalam memberantas korupsi. Seusai kasus simulator SIM, Novel kembali mendapat tugas berat untuk mengusut kasus korupsi KTP elektronik (e-KTP) yang merugikan negara hingga lebih dari 2 triliun rupiah. Menyidik kasus korupsi yang diduga kuat melibatkan seorang petinggi DPR dan banyak anggota DPR dari berbagai fraksi (partai politik) ini penuh dengan risiko teror dan ancaman.
Dan benar, saat pengungkapan kasusnya baru menyeret dua pejabat Kementerian Dalam Negeri, seorang pengusaha, dan seorang anggota DPR, Novel Baswedan mengalami teror penyiraman air keras ke wajahnya, yang menyebabkan sebagian wajah dan kedua bola matanya mengalami luka serius hingga harus menjalani perawatan di rumah sakit Singapura. Publik umumnya menilai, teror ini terkait dengan upaya Novel menyidik dan mengungkap kasus korupsi e-KTP hingga tuntas.
Teror dan ancaman sudah menjadi bagian dari pekerjaan dan tugas Novel Baswedan. Selain pernah mengalami percobaan kriminalisasi, Novel juga seringkali mengalami serangan fisik. Beberapa kali ia ditabrak dengan kendaraan bermotor, tetapi tetap selamat. Saat ditanya tempo.co  apakah keberaniannya akan berubah setelah diserang air keras, Novel dengan tegas menjawab, "Insya Allah, tidak sama sekali.” Perihal keberanian dalam menjalankan tugas, ia menandaskan, “Berani itu tidak mengurangi umur, takut juga tidak menambah umur. Jadi, kita tidak boleh menyerah. Jangan memilih takut karena Anda akan menjadi orang yang tidak berguna.” (Tempo.co, 15 April 2017)
Korupsi di negeri ini memang hampir tak pernah sepi terjadi. Hingga era reformasi saat ini pun korupsi yang semula menjadi prioritas utama untuk dibasmi (bersama kolusi dan nepotisme), tetap saja terjadi. Namun, untungnya, Indonesia tak pernah kekurangan pribadi-pribadi berintegritas tinggi yang peduli dan gigih dalam melakukan upaya pemberantasan korupsi. Dan Novel Baswedan adalah salah satu contoh konkret pribadi yang tak kenal kata menyerah dalam menjalankan tugas memberantas korupsi.
Novel Baswedan tidak hanya masuk dalam jajaran penyidik terbaik yang dimiliki KPK hingga saat ini, melainkan juga salah satu pejuang pembasmi korupsi terbaik yang dimiliki Indonesia. Ia bukanlah sekadar aktivis antikorupsi yang melakukan upaya pemberantasan korupsi lewat kampanye atau opini verbal melalui berbagai forum dan media. Namun, ia adalah pejuang sejati antikorupsi yang melakukan upaya pemberantasan korupsi melalui penyidikan langsung terhadap kasus-kasus korupsi dengan tanpa pandang bulu dan tak kenal kompromi melalui jantung lembaga pemberantasan korupsi yang bernama KPK.




1 komentar: