Yap Thiam Hien lahir di Kutaraja,
Banda Aceh, pada tanggal 25 Mei 1913. Ia adalah anak pertama dari tiga
bersaudara hasil pernikahan pasangan Yap Sin Eng dan Hwan Tjing Nio. Kakek buyut
Yap Thiam Hien berasal dari Provinsi Guangdong, Cina, yang bermigrasi ke Bangka
dan kemudian pindah ke Aceh.
Yap Thiam Hien mengawali
pendidikannya di Europesche Lagere School, Banda Aceh, kemudian
meneruskan ke MULO, Banda Aceh. Bersama adiknya, Thiam Bong, Thiam Hien
diboyong orang tuanya ke Batavia (Jakarta) pada tahun 1920-an. Pendidikannya
yang belum tamat di MULO Banda Aceh kemudian dilanjutkan di MULO Batavia.
Setamat MULO, ia meneruskan ke AMS Bandung dan Yogyakarta, mengambil jurusan
A-II program bahasa dan sastra Barat (tamat tahun 1933). Pada awal tahun 1946,
ia merantau ke Belanda dengan menjadi pekerja pada sebuah kapal pemulangan
orang-orang Belanda. Kesempatan ini kemudian ia manfaatkan untuk meneruskan
studi ke Fakultas Hukum Universitas Leiden, Belanda –– lulus dengan gelar Meester
de Rechten (Mr.).
Thiam Hien
mencari nafkah dengan berganti-ganti pekerjaan. Ia berturut-turut menjadi guru
di Chineesche Kweekschool, Jakarta; Chinese Zendingschool,
Cirebon; Tionghwa Hwee Kwan Holl, China School, Rembang; dan Christelijke
School, Batavia. Ia juga pernah bekerja sebagai pencari pelanggan telepon,
bekerja pada kantor asuransi di Jakarta (1938), dan menjadi pegawai Balai Harta
Peninggalan Departemen Kehakiman (1943). Setelah pada tahun 1950 menjadi
pengacara, lima tahun kemudian (1955), Thiam Hien menjadi anggota DPR dan
Konstituante.
· Dari
Feodal Menjadi Anti Penindasan
Sejak kecil, Thiam Hien sudah menjadi
anak yatim. Ibunya, Hwang Tjing Nio, meninggal dunia saat Thiam Hien berusia
sembilan tahun. Thiam Hien bersama dua adiknya kemudian diasuh oleh Sato
Nakashima, perempuan Jepang yang menjadi gundik kakek Thiam Hien. Kendatipun Thiam Hien
bersaudara bukan anak kandungnya, Sato memberikan sentuhan kemesraan dan kasih
sayang yang diperlukan ketiga anak itu –– suatu hal yang seringkali terabaikan
dalam keluarga Tionghoa ketika itu.
Sebelum diasuh Sato, Thiam Hien
bersaudara hidup dalam lingkungan keluarga yang sangat feodalistik. Namun,
lingkungan feodalistik masa kolonial yang lazim represif dan sarat
kesewenang-wenangan tidak membuat Thiam Hien larut menjadi pribadi feodal yang
suka menindas. Di tengah situasi dan kondisi kehidupan yang feodalistik, Thiam
Hien kecil yang masih dalam masa pertumbuhan justru menjadi seorang pemberontak
dan pembenci penindasan dan kesewenangan-wenangan.
Sentuhan kasih sayang Sato Nakashima
yang berperan sebagai ibu di sisi lain kiranya turut membentuk Thiam Hien
menjadi pribadi yang sensitif dalam soal kasih sayang dan penindasan. Dalam dua
hal ini, Thiam Hien rupanya tumbuh menjadi pribadi yang dikotomis: di sisi satu
menjadi pendamba kasih sayang dan di sisi lain menjadi pembenci penindasan.
Itulah sebabnya, setelah dewasa ia menjelma menjadi figur yang terobsesi oleh
keinginan untuk membela orang-orang yang hidupnya tertindas dan teraniaya.
· Mengabdi
untuk Keadilan dan Hak Asasi Manusia
Berbagai pekerjaan atau profesi telah
dijalani Thiam Hien semasa hidupnya. Sosoknya sebagai seorang pejuang keadilan
dan hak asasi manusia mulai menonjol setelah peraih gelar doktor honoris
causa bidang hukum ini menjadi
pengacara. Selama menjadi pengacara, Thiam Hien dikenal gigih melakukan
pembelaan terhadap orang-orang yang dalam pandangannya menjadi korban
ketidakadilan dan kesewenang-wenangan.
Thiam Hien mengawali profesi
pengacaranya pada sekitar tahun 1948–1949. Sebagai pengacara pemula, awalnya ia
berkiprah dengan menjadi pengacara orang-orang keturunan Tionghoa di Jakarta.
Namun, sejalan dengan makin banyaknya terjadi ketidakadilan dan
kesewenang-wenangan, ia mengembangkan perjuangannya dengan cakupan yang jauh
lebih luas dan kompleks dari sekadar membela orang-orang keturunan Tionghoa.
Pada tahun 1950, ia membuka kantor
pengacara bersama John Karwin, Mochtar Kusumaatmadja, dan Komar untuk
meneruskan perjuangannya membela para korban ketidakadilan dan
kesewenang-wenangan. Untuk makin memperkuat upaya penegakan keadilan dan hak
asasi manusia, bersama beberapa tokoh penting lain –– seperti H.J.C. Princen
dan Adnan Buyung Nasution –– ia mendirikan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia
(LBHI) serta turut mempelopori pendirian Peradin (Persatuan Advokat Indonesia).
Sebagai advokat pejuang, pada tahun 1970 ia mendirikan kantor pengacara
sendiri. Ia juga memperluas perjuangannya dengan menjadi anggota DPR dan
Konstituante setelah pemilu 1955.
Hampir seluruh atau sebagian besar
waktu hidup Thiam Hien selama menjadi advokat (pengacara), dihabiskannya untuk
berjuang di jalur penegakan dan pembelaan hak asasi manusia. Ia tidak saja
dikenal sebagai pemberani yang gigih, melainkan juga tanpa kompromi dalam
membela kaum miskin dan minoritas yang terpinggirkan. Sungguhpun pada awalnya
lebih condong pada pembelaan kalangan tertentu –– khususnya warga keturunan
Tionghoa –– ia kemudian juga konsisten dan tidak pandang bulu dalam berjuang menegakkan
keadilan dan hak asasi manusia.
Thiam Hien adalah seorang keturunan
Tionghoa dan pemeluk Kristen, tetapi sebagai pengacara ia melakukan pembelaan
terhadap para korban ketidakadilan dan kesewenang-wenangan dari luar etnik dan
agamanya. Ia tidak memilih dan membeda-bedakan kliennya. Dengan motonya yang
terkenal “Biarpun langit runtuh, keadilan harus tetap ditegakkan” (Fiat
justitia, ruat caelum), ia melakukan
pembelaan terhadap semua korban penindasan yang membutuhkan uluran tangannya.
Para pedagang Pasar Senen, Jakarta,
yang berasal dari berbagai suku dan agama serta menjadi korban penggusuran,
pernah ia bela dengan gigih di pengadilan. Pada masa Orde Lama, ia menulis
artikel persuasif yang isinya meminta pembebasan beberapa tokoh tahanan politik
korban kediktatoran Presiden Soekarno, seperti Mohammad Natsir, Mohammad Roem,
Sutan Syahrir, Mochtar Lubis, H.J.C. Princen, dan Soebadio. Sebagai pemeluk
Kristen taat yang antikomunis, Thiam Hien membela para tersangka pelaku G-30-S,
seperti Latief, Asep Suryawan, dan Oei Tjoe Tat. Pada peristiwa Malari
(Malapetaka Lima Belas Januari) tahun 1974, ia gigih membela para mahasiswa
hingga ia sendiri kemudian ditangkap dan ditahan. Masyarakat muslim
Tanjungpriok, Jakarta, yang menjadi korban penembakan massal militer rezim Orde
Baru tahun 1984 juga pernah ia bela.
Adapun
melalui jalur politik, Thiam Hien juga berjuang keras mewujudkan persamaan hak
warga negara tanpa memandang asal-usul. Sebagai politisi, namanya mencuat dalam
perdebatan konstitusi tahun 1959. Dalam kapasitas sebagai anggota Konstituante,
dengan vokal ia mempersoalkan Pasal 6 UUD 1945 yang dalam pandangannya bersifat
diskriminatif. Ia juga mempermasalahkan kedudukan presiden yang dianggapnya
terlalu kuat.
· Diabadikan
untuk Nama Penghargaan Hak Asasi Manusia
Yap Thiam Hien beristrikan Tan Gian
Khing Nio. Pernikahan mereka membuahkan dua orang anak. Istrinya yang bekerja
sebagai guru mendukung penuh usaha dan perjuangan Thiam Hien menegakkan
keadilan dan hak asasi manusia.
Thiam Hien mampu memanfaatkan dengan
baik dukungan istrinya itu. Setelah Thiam Hien meninggal dunia pada tanggal 25
April 1989, namanya melekat dalam ingatan banyak orang sebagai seorang pengabdi
hukum sekaligus pejuang keadilan dan hak asasi manusia. Bagi kalangan hukum
khususnya dan masyarakat umumnya, ia dianggap sebagai tokoh yang perilaku dan
perjuangannya menjadi sumber teladan dan inspirasi.
Thiam Hien dianggap berjasa dalam
upaya menghapuskan diskriminasi, ketidakadilan, dan penindasan. Bersama
beberapa tokoh lain, pengabdian dan perjuangannya dinilai banyak kalangan
sebagai tonggak dan rintisan penting bagi upaya penegakan hukum, keadilan, dan
hak asasi manusia. Untuk menghormati dan mengenang jasa-jasa perjuangannya yang
konsisten itu, nama Yap Thiam Hien diabadikan oleh Pusat Studi Hak Asasi
Manusia Indonesia menjadi nama penghargaan untuk perjuangan menegakkan hak
asasi manusia di Indonesia (Yap Thiam Hien Award).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar