Senin, 06 Juli 2020

RUU HIP serta Bahaya Pancasila Menjadi Ideologi yang Statis dan Tertutup

Oleh Akhmad Zamroni

RUU Haluan Ideologi Pancasila yang kontroversial (Sumber: https://www.klikwarta.com)


Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) yang diusulkan DPR memicu reaksi keras dari banyak kalangan begitu di-floor-kan untuk dibahas dengan pemerintah. Dari ormas Islam (NU, Muhammadiyah, bahkan FPI), MUI, hingga para akademisi menyatakan penolakannya terhadap RUU HIP. Selain tidak urgen di tengah upaya mengatasi pandemi Covid-19, RUU ini juga dianggap bermasalah dari segi substansi.

Seorang akademisi hukum menilai pasal-pasal dalam RUU HIP tidak lazim karena banyak yang hanya bersifat pernyataan, definisi, dan political statement, padahal norma hukum (UU) biasanya mengatur perilaku dan kelembagaan. Seorang pakar hukum tata negara mempermasalahkan banyaknya pasal RUU HIP yang bersifat multitafsir serta pasal yang memungkinkan Pancasila diperas menjadi tiga sila kemudian diperas lagi hanya menjadi satu sila. Dari internal DPR, setidaknya ada dua fraksi yang keberatan terhadap RUU ini karena tidak menyertakan TAP XXV/MPRS/1966 sebagai konsiderans.

Sebagaimana tertera pada draf yang beredar, RUU HIP memuat beberapa hal kontroversial yang mengundang complain  dari banyak kalangan. Salah satu klausulnya menyatakan, ciri pokok Pancasila adalah trisila yang terdiri atas sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, serta ketuhanan yang berkebudayaan (Pasal 7 Ayat [2]). Adapun trisila masih dielaborasi lagi dengan pernyataan terkristalisasi dalam ekasila, yaitu gotong royong (Pasal 7 Ayat [3]).

Memeras atau mengkristalisasi Pancasila (yang sejatinya telah disepakati terdiri atas lima sila) menjadi tiga sila (trisila) dan kemudian memadatkannya lagi hanya menjadi satu sila (ekasila) dengan redaksional yang sangat singkat, yakni gotong royong, terasa bertentangan dengan logika dan prinsip-prinsip penyusunan dasar negara. Terlepas dari ihwal tokoh yang pertama mencetuskannya — gagasan “Trisila” dan "Ekasila" pertama disampaikan Bung Karno dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI) pada 1 Juni 1945 — ide itu tidak operasional dan tidak kompatibel sebagai klausul/deklarasi dasar negara. Frasa ‘gotong royong’ terlalu ringkas, ambigu, minimalis, dan multitafsir sebagai dasar negara.

Dengan substansi yang tidak operasional dan tidak kompatibel, ekasila (gotong royong) tidak memadai sebagai dasar negara yang mengemban banyak fungsi: sebagai sumber dari segala sumber hukum, pandangan hidup bangsa, kepribadian bangsa, ideologi bangsa, dan sebagainya. Frasa ‘gotong royong’ tidak akan dapat merepresentasikan dan merefleksikan beragamnya persoalan bangsa dan negara. Mustahil ekasila mampu mengakomodasi kompleksitas problematika bangsa dan negara kecuali dilakukan dengan jalan pemaksaan, manipulasi, dan tafsir-tafsir sepihak yang subjektif.

Di tangan penguasa yang otoriter, hal itu dapat berdampak pada terjadinya tafsir tunggal nilai-nilai Pancasila (versi kepentingan rezim) yang diintroduksi kepada warga negara dengan cara propaganda. Seperti banyak terjadi pada era Orde Lama dan Orde Baru, setiap penafsiran yang berbeda dengan versi rezim penguasa dicurigai dan distigmatisasi sebagai tindakan subversif dan berusaha mengganti dasar negara. Adapun tafsir tunggal itu sendiri pun banyak disalahgunakan untuk menjustifikasi tindakan represif terhadap perbedaan tafsir dan kritik.

Substansi dari tafsir tunggal nilai-nilai Pancasila akhirnya diinjeksikan ke dalam kesadaran warga negara (rakyat) melalui program indoktrinasi. Tujuannya untuk menanamkan citra palsu bahwa rezim penguasa merupakan penjaga dan pelestari Pancasila sebagai dasar negara. Jika hal ini sukses dilakukan, akan terbentuk ketertundukan dan kesetiaan warga negara terhadap rezim penguasa sehingga tujuan pokok dari proyek ini, yakni melanggengkan kekuasaan, akan tercapai.

Set Back

Ide kristalisasi Pancasila menjadi trisila dan ekasila merupakan bagian dari dinamika pemikiran para tokoh bangsa dalam merumuskan dasar negara bagi Indonesia sebagai negara yang akan dan baru merdeka. Gagasan yang kebetulan berasal dari Bung Karno itu muncul pada tahap-tahap awal sidang BPUPKI sekitar Mei­—Juni 1945 dalam pembentukan dasar negara. Ketika pada 18 Agustus 1945 dasar negara itu akhirnya disepakati terdiri atas lima sila (yang kemudian Bung Karno sendiri mempopulerkannya dengan nama “Pancasila”) dan disahkan PPKI dalam satu paket UUD 1945 sebagai konstitusi negara, maka dengan sendirinya trisila dan ekasila sudah gugur dan kedaluwarsa sebagai ide dasar negara.

Trisila dan ekasila sudah tidak berlaku lagi karena dasar negara yang kemudian menjadi konsensus para tokoh pendiri negara (termasuk di dalamnya, tentu saja, Bung Karno) terdiri atas ‘lima sila’ yang disebut Pancasila. Kelima sila secara legal sudah sah dan final sebagai dasar negara karena tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 yang berkedudukan sebagai staatsfundamentalnorm (norma hukum tertinggi yang menjadi dasar pembentukan konstitusi negara). Sebagai dasar negara, lima sila itu sudah singkat, padat, dan merupakan wujud dari kristalisasi ide-ide dalam pembentukan dasar negara, tetapi dianggap sudah representatif untuk menjadi landasan dan pedoman hidup berbangsa dan bernegara masyarakat Indonesia.

Pancasila sesungguhnya tidak membutuhkan kristalisasi ke dalam bentuk yang lebih padat lagi, melainkan justru memerlukan penjabaran lebih terperinci agar secara operasional dapat menjadi landasan dan pedoman hidup bangsa dan negara Indonesia. Oleh karenanya, secara terpisah dirumuskan batang tubuh UUD 1945 dalam bentuk pasal-pasal sebagai konstitusi negara. Lebih operasional lagi, pasal-pasal UUD 1945 dijabarkan ke dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang berada di bawahnya secara hierarkis sampai pada peraturan yang paling bawah.

Dengan demikian, setiap upaya untuk mengkristalisasi Pancasila ke dalam bentuk yang lebih singkat dan simpel — termasuk menjadikannya trisila dan ekasila — merupakan tindakan yang ekstrakonstitusional. Hal itu merupakan perbuatan yang ahistoris dan reduksi terhadap dasar negara yang sudah established, sah, dan final. Ironi ini dapat dikatakan sebagai langkah mundur (set back) serta pengkhianatan terhadap upaya para pendiri negara yang telah berjuang meraih kemerdekaan serta membentuk negara Indonesia beserta kelengkapan yang diperlukannya (dasar negara dan konstitusi).

Bahaya Menjadi Ideologi  yang Tertutup

Sebagaimana yang terefleksi dari kelima silanya, Pancasila memuat lima nilai substansial sebagai landasan dan pedoman hidup berbangsa dan bernegara. Kelimanya adalah ketuhanan (sila pertama), kemanusiaan (sila kedua), persatuan (sila ketiga), kerakyatan/demokrasi (sila keempat), dan keadilan sosial (sila kelima). Itulah bentuk paling ringkas atau padat hasil kristalisasi jika hal itu memang penting dilakukan sebagai penyederhanaan nilai-nlai Pancasila agar lebih operasional sebagai dasar dan ideologi negara.

Itulah upaya kristalisasi yang dilakukan secara linear menurut jumlah sila dan substansi yang terkandung dalam setiap sila Pancasila. Di dalamnya tidak terjadi peniadaan atau manipulasi kata kunci dengan pertimbangan dan kepentingan tertentu, melainkan murni dilakukan berdasarkan keruntutan logika dan common  sense. Kristalisasi yang meniadakan substansi dan kata kunci dari setiap sila dan apalagi dengan merumuskannya ulang dengan frasa atau kata kunci baru yang sama sekali berbeda dapat dikategorikan sebagai upaya subjektivikasi dan eksklusivikasi.

Ide kristalisasi Pancasila menjadi trisila dan ekasila selain tidak kongruen dengan nilai-nilai dasar Pancasila itu sendiri, juga akan mereduksi nilai-nilai Pancasila sehingga rumusannya menjadi keluar dari konteks kabur. Eksistensi nilai-nilai Pancasila pun kemudian menjadi sulit untuk diimplementasikan dalam praktik kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dalam kondisi demikian, Pancasila dapat jatuh menjadi ideologi yang beku, statis, dan tertutup.

Dalam ironi ini nilai-nilai Pancasila menjadi tidak mampu mengikuti dinamika kehidupan bangsa Indonesia dan perkembangan zaman. Hal ini menjadi kebalikan dari keadaan yang diidam-idamkan para pendiri negara dan diekspektasi bangsa Indonesia bahwa Pancasila dapat menjadi ideologi yang dinamis dan terbuka sehingga sampai kapan pun nilai-nilainya tetap sejalan dengan perkembangan zaman dan kehidupan bangsa Indonesia. Hal ini akan terasa sebagai musibah yang tragis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Allahu a’lam bissawaab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar