Oleh Akhmad Zamroni
RUU Haluan Ideologi Pancasila yang kontroversial (Sumber: https://www.klikwarta.com) |
Rancangan
Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) yang diusulkan DPR memicu
reaksi keras dari banyak kalangan begitu di-floor-kan
untuk dibahas dengan pemerintah. Dari ormas Islam (NU, Muhammadiyah, bahkan
FPI), MUI, hingga para akademisi menyatakan penolakannya terhadap RUU HIP. Selain
tidak urgen di tengah upaya mengatasi pandemi Covid-19, RUU ini juga dianggap
bermasalah dari segi substansi.
Seorang
akademisi hukum menilai pasal-pasal dalam RUU HIP tidak lazim karena banyak
yang hanya bersifat pernyataan, definisi, dan political statement, padahal norma hukum (UU) biasanya mengatur
perilaku dan kelembagaan. Seorang pakar hukum tata negara mempermasalahkan banyaknya
pasal RUU HIP yang bersifat multitafsir serta pasal yang memungkinkan Pancasila
diperas menjadi tiga sila kemudian diperas lagi hanya menjadi satu sila. Dari
internal DPR, setidaknya ada dua fraksi yang keberatan terhadap RUU ini karena
tidak menyertakan TAP XXV/MPRS/1966 sebagai konsiderans.
Sebagaimana
tertera pada draf yang beredar, RUU HIP memuat beberapa hal kontroversial yang mengundang
complain dari banyak kalangan. Salah satu klausulnya menyatakan,
ciri pokok Pancasila adalah trisila yang terdiri atas sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi,
serta ketuhanan yang berkebudayaan (Pasal 7 Ayat [2]). Adapun trisila masih dielaborasi
lagi dengan pernyataan terkristalisasi dalam ekasila, yaitu gotong royong
(Pasal 7 Ayat [3]).
Memeras
atau mengkristalisasi Pancasila (yang sejatinya telah disepakati terdiri atas
lima sila) menjadi tiga sila (trisila) dan kemudian memadatkannya lagi hanya
menjadi satu sila (ekasila) dengan redaksional yang sangat singkat, yakni
gotong royong, terasa bertentangan dengan logika dan prinsip-prinsip penyusunan
dasar negara. Terlepas dari ihwal tokoh yang pertama mencetuskannya — gagasan “Trisila”
dan "Ekasila" pertama disampaikan Bung Karno dalam sidang Badan
Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI) pada 1 Juni 1945 — ide itu
tidak operasional dan tidak kompatibel sebagai klausul/deklarasi dasar negara. Frasa
‘gotong royong’ terlalu ringkas, ambigu, minimalis, dan multitafsir sebagai
dasar negara.
Dengan substansi
yang tidak operasional dan tidak kompatibel, ekasila (gotong royong) tidak memadai
sebagai dasar negara yang mengemban banyak fungsi: sebagai sumber dari segala
sumber hukum, pandangan hidup bangsa, kepribadian bangsa, ideologi bangsa, dan
sebagainya. Frasa ‘gotong royong’ tidak akan dapat merepresentasikan dan
merefleksikan beragamnya persoalan bangsa dan negara. Mustahil ekasila mampu
mengakomodasi kompleksitas problematika bangsa dan negara kecuali dilakukan
dengan jalan pemaksaan, manipulasi, dan tafsir-tafsir sepihak yang subjektif.
Di
tangan penguasa yang otoriter, hal itu dapat berdampak pada terjadinya tafsir
tunggal nilai-nilai Pancasila (versi kepentingan rezim) yang diintroduksi
kepada warga negara dengan cara propaganda. Seperti banyak terjadi pada era
Orde Lama dan Orde Baru, setiap penafsiran yang berbeda dengan versi rezim penguasa
dicurigai dan distigmatisasi sebagai tindakan subversif dan berusaha mengganti
dasar negara. Adapun tafsir tunggal itu sendiri pun banyak disalahgunakan untuk
menjustifikasi tindakan represif terhadap perbedaan tafsir dan kritik.
Substansi
dari tafsir tunggal nilai-nilai Pancasila akhirnya diinjeksikan ke dalam
kesadaran warga negara (rakyat) melalui program indoktrinasi. Tujuannya untuk
menanamkan citra palsu bahwa rezim penguasa merupakan penjaga dan pelestari
Pancasila sebagai dasar negara. Jika hal ini sukses dilakukan, akan terbentuk
ketertundukan dan kesetiaan warga negara terhadap rezim penguasa sehingga
tujuan pokok dari proyek ini, yakni melanggengkan kekuasaan, akan tercapai.
Set
Back
Ide
kristalisasi Pancasila menjadi trisila dan ekasila merupakan bagian dari
dinamika pemikiran para tokoh bangsa dalam merumuskan dasar negara bagi
Indonesia sebagai negara yang akan dan baru merdeka. Gagasan yang kebetulan
berasal dari Bung Karno itu muncul pada tahap-tahap awal sidang BPUPKI sekitar
Mei—Juni 1945 dalam pembentukan dasar negara. Ketika pada 18 Agustus 1945
dasar negara itu akhirnya disepakati terdiri atas lima sila (yang kemudian Bung
Karno sendiri mempopulerkannya dengan nama “Pancasila”) dan disahkan PPKI dalam
satu paket UUD 1945 sebagai konstitusi negara, maka dengan sendirinya trisila
dan ekasila sudah gugur dan kedaluwarsa sebagai ide dasar negara.
Trisila
dan ekasila sudah tidak berlaku lagi karena dasar negara yang kemudian menjadi
konsensus para tokoh pendiri negara (termasuk di dalamnya, tentu saja, Bung
Karno) terdiri atas ‘lima sila’ yang disebut Pancasila. Kelima sila secara
legal sudah sah dan final sebagai dasar negara karena tercantum dalam Pembukaan
UUD 1945 yang berkedudukan sebagai staatsfundamentalnorm
(norma hukum tertinggi yang menjadi dasar pembentukan konstitusi negara).
Sebagai dasar negara, lima sila itu sudah singkat, padat, dan merupakan wujud
dari kristalisasi ide-ide dalam pembentukan dasar negara, tetapi dianggap sudah
representatif untuk menjadi landasan dan pedoman hidup berbangsa dan bernegara masyarakat
Indonesia.
Pancasila
sesungguhnya tidak membutuhkan kristalisasi ke dalam bentuk yang lebih padat
lagi, melainkan justru memerlukan penjabaran lebih terperinci agar secara
operasional dapat menjadi landasan dan pedoman hidup bangsa dan negara
Indonesia. Oleh karenanya, secara terpisah dirumuskan batang tubuh UUD 1945
dalam bentuk pasal-pasal sebagai konstitusi negara. Lebih operasional lagi,
pasal-pasal UUD 1945 dijabarkan ke dalam berbagai peraturan perundang-undangan
yang berada di bawahnya secara hierarkis sampai pada peraturan yang paling
bawah.
Dengan
demikian, setiap upaya untuk mengkristalisasi Pancasila ke dalam bentuk yang
lebih singkat dan simpel — termasuk menjadikannya trisila dan ekasila —
merupakan tindakan yang ekstrakonstitusional. Hal itu merupakan perbuatan yang
ahistoris dan reduksi terhadap dasar negara yang sudah established, sah, dan final. Ironi ini dapat dikatakan sebagai langkah
mundur (set back) serta pengkhianatan
terhadap upaya para pendiri negara yang telah berjuang meraih kemerdekaan serta
membentuk negara Indonesia beserta kelengkapan yang diperlukannya (dasar negara
dan konstitusi).
Bahaya Menjadi Ideologi yang Tertutup
Sebagaimana
yang terefleksi dari kelima silanya, Pancasila memuat lima nilai substansial
sebagai landasan dan pedoman hidup berbangsa dan bernegara. Kelimanya adalah ketuhanan (sila pertama), kemanusiaan (sila kedua), persatuan (sila ketiga), kerakyatan/demokrasi (sila keempat), dan
keadilan sosial (sila kelima). Itulah
bentuk paling ringkas atau padat hasil kristalisasi jika hal itu memang penting
dilakukan sebagai penyederhanaan nilai-nlai Pancasila agar lebih operasional
sebagai dasar dan ideologi negara.
Itulah
upaya kristalisasi yang dilakukan secara linear menurut jumlah sila dan
substansi yang terkandung dalam setiap sila Pancasila. Di dalamnya tidak
terjadi peniadaan atau manipulasi kata kunci dengan pertimbangan dan
kepentingan tertentu, melainkan murni dilakukan berdasarkan keruntutan logika
dan common sense. Kristalisasi yang meniadakan
substansi dan kata kunci dari setiap sila dan apalagi dengan merumuskannya
ulang dengan frasa atau kata kunci baru yang sama sekali berbeda dapat
dikategorikan sebagai upaya subjektivikasi dan eksklusivikasi.
Ide
kristalisasi Pancasila menjadi trisila dan ekasila selain tidak kongruen dengan
nilai-nilai dasar Pancasila itu sendiri, juga akan mereduksi nilai-nilai
Pancasila sehingga rumusannya menjadi keluar dari konteks kabur. Eksistensi
nilai-nilai Pancasila pun kemudian menjadi sulit untuk diimplementasikan dalam
praktik kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dalam kondisi
demikian, Pancasila dapat jatuh menjadi ideologi yang beku, statis, dan
tertutup.
Dalam
ironi ini nilai-nilai Pancasila menjadi tidak mampu mengikuti dinamika
kehidupan bangsa Indonesia dan perkembangan zaman. Hal ini menjadi kebalikan
dari keadaan yang diidam-idamkan para pendiri negara dan diekspektasi bangsa
Indonesia bahwa Pancasila dapat menjadi ideologi yang dinamis dan terbuka
sehingga sampai kapan pun nilai-nilainya tetap sejalan dengan perkembangan
zaman dan kehidupan bangsa Indonesia. Hal ini akan terasa sebagai musibah yang
tragis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Allahu a’lam bissawaab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar