Oleh Akhmad Zamroni
|
Garuda Pancasila Garuda (https://nasional.kompas.com-Syifa Nuri Khairunnisa) |
Pancasila
sebagai dasar negara disepakati secara
nasional sehari setelah kemerdekaan
Indonesia diproklamasikan. Tepat dan resminya, Pancasila ditetapkan menjadi
dasar negara pada tanggal 18 Agustus
1945, bersamaan dengan ditetapkannya Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 sebagai undang-undang dasar atau konstitusi negara oleh Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Seperti kita ketahui, dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terdapat Pembukaan (Preambule) yang menyebutkan negara
Indonesia didasarkan pada lima hal (sila).
Penetapan
Pancasila sebagai dasar negara dilakukan dengan pertimbangan yang matang oleh
para tokoh dan pemimpin bangsa Indonesia yang tergabung dalam BPUPKI dan PPKI. Pertimbangan utamanya
adalah Pancasila merupakan kumpulan nilai yang khas milik bangsa
Indonesia. Artinya, sila-sila yang terdapat di dalam Pancasila bersumber dari
kehidupan dan kepribadian asli bangsa Indonesia, yang telah menyatu sejak zaman
dahulu, jauh sebelum Indonesia merdeka dan sebelum Pancasila itu sendiri
ditetapkan sebagai dasar negara.
Lalu,
bagaimanakah sesungguhnya sejarah dan proses perumusan Pancasila menjadi dasar
negara? Apa dan bagaimana dinamika yang terjadi dalam keseluruhan sejarah dan
proses perumusan Pancasila menjadi dasar negara? Siapa sajakah tokoh-tokoh yang
berperan dalam proses perumusan tersebut? Kegiatan perumusan dasar negara tentu
merupakan peristiwa dan proses yang sangat krusial bagi sebuah negara karena
hal itu akan sangat menentukan nasib, kelangsungan hidup, dan masa depan negara
yang bersangkutan. Oleh karena begitu penting dan krusialnya, proses tersebut
tidak jarang diwarnai oleh tarik-menarik kepentingan antarpihak (individu dan
golongan) yang terlibat di dalamnya. Namun, apakah proses perumusan Pancasila
menjadi dasar negara diwarnai oleh dinamika semacam itu ataukah sebaliknya?
Untuk
mengetahui hal itu lebih jelas, kita telusuri kembali sejarah perumusan
Pancasila yang dilakukan oleh para tokon pendiri negara. Para pendiri negara
tidak lain adalah tokoh-tokoh pejuang bangsa kita yang mempelopori upaya
penggalian nilai dan moral untuk dijadikan dasar negara. Dasar negara menjadi
landasan pokok bagi pembentukan negara yang akan dilakukan setelah berakhirnya
penjajahan dan diraihnya kemerdekaan.
Upaya
perumusan dasar negara kita sangat terkait dengan saat-saat krusial menjelang
tamatnya imperialisme bangsa asing terhadap bangsa kita. Menjelang berakhirnya
penjajahan Jepang di Indonesia, dibentuk sebuah badan atau lembaga yang
memiliki tugas dan tanggung jawab utama mempersiapkan kemerdekaan bangsa
Indonesia. Badan inilah yang kemudian menjadi tempat penggodokan dan perumusan
Pancasila sebagai dasar negara.
A. Pembentukan BPUPKI
Pada
awal tahun 1940-an, kehadiran Jepang sebagai imperialis di kawasan Asia Pasifik
dan Asia Tenggara cukup perkasa. Melalui serangan mendadak dan mematikan
terhadap pangkalan militer Pearl Harbour di Samudra Pasifik, mereka sempat
membuat Amerika Serikat (pemilik Pearl Harbour) goyah dan kelabakan. Akan
tetapi, keperkasaan Jepang tidak berlangsung lama. Memasuki pertengahan tahun
1940-an, kekuatan dan kedudukan Jepang mulai goyah. Di berbagai pertempuran di
kawasan Pasifik, Jepang mengalami kekalahan telak dari Sekutu yang dipimpin
Amerika Serikat.
Kegoyahan
Jepang berimbas pada kedudukan dan keberadaannya di Indonesia. Melalui pergulatan
dilematis antara ingin mendapatkan dukungan dari rakyat Indonesia (dalam
menghadapi Sekutu) atau memberikan kemerdekaan kepada Indonesia, Jepang
akhirnya memutuskan untuk membentuk badan yang diberi tugas mempersiapkan
kemerdekaan Indonesia. Pada akhir April 1945, tepatnya tanggal 29 April (sumber
lain menyebut tanggal 28 April), pemerintah pendudukan Jepang di Indonesia
akhirnya membentuk Dokuritsu Junbi
Cosakai, yakni Badan Penyelidik
Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Tujuan pembentukan badan
ini ialah menyelidiki dan mempelajari hal-hal penting yang berkaitan dengan
upaya pembentukan negara Indonesia merdeka. Radjiman Wedyodiningrat ditunjuk
dan diangkat menjadi ketua BPUPKI, sedangkan Pandji Soeroso diangkat menjadi
wakil ketua.
|
Radjiman (kanan) dan Pandji Soeroso (kiri) (https://direktoratk2krs.kemsos.go.id-IKPNI-https://www.minews.id) |
BPUPKI
beranggotakan 62 orang. Mengenai jumlah anggota BPUPKI beberapa sumber sejarah
menyebutnya secara berbeda-beda; ada yang menyebut 60 orang, 61 orang, bahkan 67 orang dan 71 orang.
Namun, yang jelas, para anggota BPUPKI terdiri atas tokoh-tokoh pergerakan
nasional dari berbagai daerah, aliran, dan etnik (Indonesia asli, Arab,
Tionghoa, dan Eropa). Nama-nama anggota
BPUPKI selengkapnya dapat dilihat dalam daftar berikut ini.
1. K.R.T.
Radjiman Wedyodiningrat (Ketua/anggota)
2. Pandji Soeroso (Wakil Ketua/anggota)
3. Ki Hadjar Dewantara (Anggota)
4. Ki Bagoes Hadikoesoemo (Anggota)
5. H. Agus Salim (Anggota)
6. Soekarno (Anggota)
7. Mohammad Hatta (Anggota)
8. Muhammad Yamin (Anggota)
9. Soepomo (Anggota)
10. K.H. Masykur (Anggota)
11. R. Otto Iskandardinata (Anggota)
12. A. Soebardjo (Anggota)
13. A.A. Maramis (Anggota)
14. K.H.A. Wachid Hasyim (Anggota)
15. K.H.M. Mansyur (Anggota)
16. Koesoema Atmadja (Anggota)
17. A.K. Muzakkir (Anggota)
18. Oei Tiang Tjoei (Anggota)
19. Oey Tjong Hauw (Anggota)
20. M. Soetardjo Kartohadikoesoemo (Anggota)
21. K.H. Abdulhalim (Anggota)
22. R. Soedirman (Anggota)
23. P.A. Djajadiningrat (Anggota)
24. R.A. Munandar (Anggota)
25. R.M. Margono (Anggota)
26. B.P.H. Bintoro (Anggota)
27. R. Roeseno (Anggota)
28. R. Pandji Singgih (Anggota)
29. B.P.H. Poeroebojo (Anggota)
30. Abdulrahim Pratalykrama (Anggota)
31. Ny. Maria Ulfah Santosa (Anggota)
32. R.M.T.A. Soerjo (Anggota)
33. R. Roeslan Wongsokoesoemo (Anggota)
34. R. Soesanto Tirtoprodjo (Anggota)
35. Ny. Soenarjo Mangoenpoespito (Anggota)
36. R. Boentaran Martoatmodjo (Anggota)
37. Liem Koen Hian (Anggota)
38. R. Latuharhary (Anggota)
39. R. Hendromartono (Anggota)
40. Soekardjo Wirjopranoto (Anggota)
41. R.A.A. Wiranatakoesoema (Anggota)
42. H. Ah. Sanoesi (Anggota)
43. A.M. Dasaad (Anggota)
44. Tan Ing Hoa (Anggota)
45. R.M.P. Soerachman Tjokrodisoerjo (Anggota)
46. R.A.A. Soemitro Kolopaking (Anggota)
47. K.R.M.T.H. Woerjaningrat (Anggota)
48. R.D. Asikin Widjajakoesoema (Anggota)
49. Abikoesno Tjokrosoejoso (Anggota)
50. Parada Harahap (Anggota)
51. R.M. Sartono (Anggota)
52. K.R.M.A. Sosrodiningrat (Anggota)
53. Soewandi (Anggota)
54. H. Aris (Anggota)
55. P.F. Dahler (Anggota)
56. Soekiman (Anggota)
57. K.R.M.T. Wongsonegoro (Anggota)
58. A. Baswedan (Anggota)
59. Abdul Kadir (Anggota)
60. Samsi (Anggota)
61. R. Samsoedin (Anggota)
62. R. Sastromuljono (Anggota)
B. Peran Para Pendiri Negara dalam Perumusan Dasar Negara
Setelah
sekitar satu bulan terbentuk, BPUPKI segera menggelar sidang. Tercatat BPUPKI
dua kali mengadakan sidang. Sidang pertama digelar pada tanggal 29 Mei–1 Juni 1945,
sedangkan sidang kedua digelar pada tanggal 10–17 Juli 1945. Pada sidang pertama itulah para
anggota BPUPKI membahas pembentukan dasar negara.
Dalam
sidang pertama, pembahasan dasar negara dipandang perlu dilakukan karena dasar
negara akan menjadi jiwa (menjiwai) undang-undang dasar (konstitusi) yang akan
dibentuk pada sidang selanjutnya (sidang kedua). Dalam sidang ini, para anggota
BPUPKI mengambil peranan yang penting dalam perumusan dasar negara. Dan, di
antara para anggota yang jumlahnya puluhan, beberapa orang tokoh memegang
peranan kunci karena gagasan-gagasannya dalam perumusan dasar negara.
|
Sidang BPUPKI 29 Mei-1 Juni 1945 (http://tugino230171.files.wordpress.com-https://id.wikipedia.org) |
Tiga
orang tokoh tercatat memberikan gagasan-gagsannya yang cemerlang tentang
nilai-nilai yang dapat dijadikan sumber atau rujukan untuk merumuskan dasar
negara. Mereka adalah Muhammad Yamin, Soepomo,
dan Soekarno. Dalam sidang pertama, yang berlangsung selama tiga hari itu,
mereka mengemukakan pandangan-pandangannya seputar dasar negara. Berikut ini
dipaparkan pandangan-pandangan ketiga tokoh tersebut.
1. Dalam sidang hari pertama pada tanggal 29 Mei
1945, Muhammad Yamin melalui pidatonya menyampaikan lima butir pokok pikiran
yang disebutnya sebagai “Lima Asas Dasar Negara Kebangsaan Republik
Indonesia”. Kelima asas yang dikemukakan ahli hukum yang juga dikenal
sebagai sastrawan ini adalah (1) peri kebangsaan, (2) peri kemanusiaan, (3)
peri ketuhanan, (4) peri kerakyatan, dan (5) kesejahteraan rakyat.
2. Dalam sidang tanggal 31 Mei 1945, giliran Soepomo tampil menyampaikan pandangan-pandangannya.
Ahli hukum tata negara ini menyampaikan lima prinsip dasar negara yang
dinamakan sebagai “Dasar Negara Indonesia Merdeka”. Kelima prinsip itu ialah
(a) persatuan, (b) kekeluargaan, (c) keseimbangan lahir-batin, (d) musyawarah,
dan (e) keadilan rakyat. Sumber lain
menyebutkan, hal pokok yang disampaikan Soepomo adalah perlunya dibentuk negara
integralistik yang berdasarkan (a) paham negara persatuan, (b) perhubungan
negara dan agama, (c) sistem badan permusyawaratan, (d) sosialisme negara, dan
(e) hubungan antarbangsa.
3. Adapun dalam sidang tanggal 1 Juni 1945, lewat
pidatonya, Soekarno juga menyampaikan lima pokok pikiran. Kelimanya ialah (a)
kebangsaan Indonesia, (b) internasionalisme atau peri kemanusiaan, (c) mufakat
atau demokrasi, (d) kesejahteraan sosial, dan (e) Ketuhanan Yang Maha Esa. Atas
saran seorang ahli bahasa, melalui pidatonya Soekarno menamakan lima hal
tersebut sebagai “Pancasila”.
Sembari
menunggu digelarnya sidang kedua, seusai sidang pertama BPUPKI tersebut,
dibentuk sebuah panitia kecil. Panitia ini beranggotakan sembilan orang
sehingga diberi nama “Panitia Sembilan”.
Panitia yang diketuai Soekarno ini beranggotakan Mohammad Hatta, Agus
Salim, Wachid Hasyim, A.A. Maramis, Achmad Soebardjo, Abdulkahar Muzakkir,
Abikoesno Tjokrosoejoso, dan Muhammad Yamin.
|
Panitia Sembilan BPUPKI (https://www.faktatokoh.com) |
Setelah
melalui serangkaian pertemuan dan pembicaraan intensif, pada tanggal 22 Juni, Panitia
Sembilan menghasilkan sebuah keputusan penting. Keputusan ini dituangkan ke
dalam sebuah dokumen yang dinamakan “Piagam Jakarta” (“Jakarta
Charter”). Dokumen ini akan dijadikan pendahuluan atau pembuka dalam
undang-undang dasar yang akan dibentuk kemudian. Dokumen berisi butir-butir
pemikiran yang terdiri atas empat alinea. Menurut dokumen ini, seperti tertuang
dalam alinea keempatnya, dasar negara Indonesia terdiri atas lima aspek sebagai
berikut:
1. ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat
Islam bagi pemeluk-pemeluknya,
2. kemanusiaan yang adil dan beradab,
3. persatuan Indonesia,
4. kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dan
5. keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
|
Salinan Piagam Jakarta atau Jakarta Charter (https://tajdid.id) |
Walaupun
bersifat sementara, rancangan pemikiran tersebut disepakati secara bulat oleh
semua anggota BPUPKI. Untuk selanjutnya, rancangan akan dimatangkan dalam
sidang kedua BPUPKI. Pada tanggal 10 Juli 1945, sidang kedua digelar dengan
agenda pokok membahas rancangan undang-undang dasar. Untuk keperluan ini, BPUPKI membentuk panitia
yang diberi nama Panitia Perancang dan kembali diketuai oleh Soekarno. Panitia Perancang
sepakat menjadikan dokumen Piagam Jakarta sebagai pembukaan (preambule) undang-undang dasar serta
kemudian melalui kelompok kerja yang diketuai oleh Soepomo, Panitia Perancang
berhasil menelurkan sebuah konsep undang-undang dasar.
Dalam
sidang BPUPKI tanggal 14 Juli 1945, Soekarno melaporkan hasil kerja Panitia
Perancang yang dipimpinnya. Laporan yang disampaikannya terdiri atas tiga hal
pokok. Ketiga hal pokok itu ialah sebagai berikut:
a. pernyataan Indonesia merdeka,
b. pembukaan undang-undang dasar, dan
c. undang-undang dasar (batang tubuh).
C. Pembentukan PPKI dan Kontroversi Seputar Rumusan Dasar Negara
(Piagam Jakarta)
Dengan
selesainya perumusan dasar negara dan undang-undang dasar (konstitusi), selesai
juga tugas dan tanggung jawab BPUPKI. Hasil kerja BPUPKI selanjutnya diserahkan
kepada pemerintah kolonial Jepang untuk ditindaklanjuti. Kemudian, BPUPKI pun pada tanggal 7 Agustus 1945 dibubarkan.
Pada
hari yang sama, Jepang mengumumkan akan dibentuknya badan baru pengganti
BPUPKI. Keputusan ini dikeluarkan oleh Jenderal Terauchi, panglima angkatan
bersenjata Jepang untuk Asia Tenggara. Pada tanggal 9 Agustus 1945, badan baru
itu dibentuk dengan nama Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau PPKI
(dalam bahasa Jepang disebut Dokuritsu
Junbi Iinkai). Pada hari itu juga (9 Agustus 1945) diangkat dan dilantik Soekarno
sebagai ketua PPKI serta Mohammad Hatta sebagai wakil ketua. Pelantikan
dilakukan oleh Jenderal Terauchi di Da Lat (Vietnam).
|
Soekarno-Hatta (pinterest.combaron andrie-ellevenphotowork) |
PPKI
diberi tugas dan tanggung jawab untuk menindaklanjuti hasil-hasil keputusan
BPUPKI. Ketika dibentuk, anggota PPKI berjumlah 21 orang. Namun, setelah Jepang
menyerah kepada Sekutu, jumlah anggotanya ditambah lagi dengan enam anggota baru sehingga jumlah
keseluruhannya menjadi 27 orang.
Penambahan
enam anggota baru dilakukan tanpa sepengetahuan Jepang dan sepenuhnya atas
inisiatif dan tanggung jawab ketua PPKI dengan dukungan para anggota.
Penambahan anggota dimaksudkan untuk mengubah PPKI menjadi badan nasional yang
lebih mencerminkan Indonesia dan tidak lagi sepenuhnya pemberian Jepang. Daftar
ke-27 anggota PPKI tersebut selengkapnya sebagai berikut (nama pada nomor 22–27
merupakan anggota baru).
1. Soekarno (Ketua/anggota)
2. Mohammad Hatta (Wakil
Ketua/anggota)
3. K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat (Anggota)
4. Soepomo (Anggota)
5. Bagoes Hadikoesoemo (Anggota)
6. Otto Iskandardinata (Anggota)
7. Kasman Singodimedjo (Anggota)
8. Achmad Soebardjo (Anggota)
9. Wachid Hasyim (Anggota)
10. Sam Ratulangi (Anggota)
11. Pandji Soeroso (Anggota)
12. Iwa Koesoema Soemantri (Anggota)
13. Sayuti Melik (Anggota)
14. J. Latuharhary (Anggota)
15. Ki Hadjar Dewantara (Anggota)
16. B.P.H. Poeroebojo (Anggota)
17. Pangeran Soerjohamidjojo (Anggota)
18. Soetardjo Kartohadikoesoemo (Anggota)
19. Abdul Kadir (Anggota)
20. Abdul Abbas (Anggota)
21. Mohammad Amir (Anggota)
22. Mohammad Hassan (Anggota)
23. Yap Tjwan Bing (Anggota)
24. Andi Pangeran (Anggota)
25. Hamdhani (Anggota)
26. I Gusti Ketut Pudja (Anggota)
27. Wiranatakoesoema (Anggota)
Setelah Jepang menyerah kepada
Sekutu, atas desakan para pemuda, pada tanggal 17 Agustus 1945 duet tokoh Soekarno-Hatta
memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Sehari kemudian, yakni tanggal 18
Agustus 1945, PPKI mengadakan sidang pleno. Sidang dipimpin Soekarno dan
Mohammad Hatta dengan dihadiri semua anggota. Menjelang sidang dimulai,
Soekarno dan Hatta meminta empat anggota PPKI dari kalangan Islam, yakni Wachid
Hasyim, Kasman Singodimedjo, Mohammad Hassan, dan Bagoes Hadikoesoemo, untuk
membahas persoalan atau kontroversi yang timbul pada rancangan pembukaan
undang-undang dasar yang diambil dari Piagam Jakarta.
|
Sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945 (Osman Ralliby-Dokumentasi Historica, Penerbit Bulan-Bintang, Djakarta) |
Persoalan
yang dimaksud menyangkut rumusan dasar negara butir pertama yang tercantum pada
alinea keempat pembukaan undang-undang dasar, yang berbunyi “Ketuhanan dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Rumusan ini menimbulkan keberatan di kalangan
tokoh-tokoh penganut agama non-Islam
serta tokoh dari Indonesia bagian Timur. Mereka yang merasa keberatan, antara
lain, Sam Ratulangi (wakil Sulawesi), Tadjoedin Noor dan Pangeran Noor (wakil
Kalimantan), I Ketut Pudja (wakil Nusa Tenggara), dan Latuharhary (wakil Maluku).
Menurut hemat mereka, rumusan itu kurang mencerminkan kemajemukan rakyat
Indonesia sebab hanya mewadahi kalangan Islam, sementara sebagian rakyat
Indonesia lain menganut agama yang berbeda.
Untuk
memenuhi instruksi pemimpin sidang, Wachid Hasyim, Kasman Singodimedjo,
Mohammad Hassan, dan Bagoes Hadikoesoemo kemudian menggelar rapat atau diskusi
terpisah dengan dipimpin oleh Hatta. Hanya dalam waktu kurang dari 20 menit mereka
akhirnya sepakat untuk mengubah rumusan yang bermasalah itu. Mereka setuju
untuk menghapus kata-kata “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya” dan menggantinya dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa”.