Minggu, 30 April 2017

Sistem Hukum Indonesia

Oleh Akhmad Zamroni

Sumber: www.google.com

Sebagai negara hukum, Indonesia membuat dan menerapkan sistem hukum di seluruh wilayah negara. Sistem hukum tersebut merupakan keseluruhan elemen hukum nasional yang saling terkait dan saling mendukung, yang dibuat untuk mewujudkan ketertiban, keamanan, dan keadilan. Sistem hukum nasional juga diarahkan untuk mewujudkan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang sejahtera, bermartabat, dan beradab.


A.   Pengertian Sistem Hukum

Sistem adalah perangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu kesatuan atau totalitas. Sistem juga dapat diartikan sebagai susunan yang teratur dari sebuah pandangan, teori, asas, aturan, dan sebagainya (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2002: 1076). Faktor utama sistem ialah ‘terikat’ dan ‘saling mempengaruhi’. Unsur saling mempengaruhi berarti di dalam sistem ada unsur yang berjalan terus-menerus dan fleksibel (Zamroni dan Lukmono, 2011: 260).

Sistem merupakan totalitas yang bagian-bagiannya saling berhubungan. Sistem berorientasi pada tujuan; suatu sistem berinteraksi dengan sistem yang lebih besar, yakni lingkungannya; bekerjanya bagian-bagian dari suatu sistem menciptakan sesuatu yang berharga; serta setiap bagian harus sesuai satu sama lain dan ada kekuatan pemersatu yang mengikatnya (Rahardjo dalam Effendi, 2013: 2). Sistem juga dapat diartikan sebagai suatu keseluruhan kompleks yang terintegrasi, yang dicirikan oleh elemen-elemen yang saling berinteraksi, yang diarahkan pada pencapaian tujuan tertentu (Nisjar dan Winardi dalam Effendi, 2013: 2).

Dengan demikian, sistem hukum dapat definisikan sebagai perangkat kaidah atau peraturan beserta komponen-komponen pendukungnya yang tersusun atau terbentuk secara teratur dalam kesatuan yang saling berhubungan dan saling mempengaruhi. Sistem hukum tidak hanya terdiri atas kumpulan kaidah atau peraturan, melainkan juga komponen-komponen pelengkap lain yang menjadikan kumpulan kaidah tersebut dapat bekerja sebagaimana mestinya. Kumpulan kaidah berikut komponen-komponen pelengkapnya masing-masing memiliki kedudukan dan peran, tetapi sebagai rangkaian membentuk sebuah totalitas yang mampu memberikan fungsi secara kompak dan kolektif.

Sistem hukum dapat dikatakan merupakan kesatuan yang kompleks. Kompleksitasnya dapat dilihat tidak hanya dari fungsinya sebagai pengatur tingkah laku individu, melainkan juga pengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Semua negara dan bangsa memiliki sistem hukum dengan berbagai bentuk dan karakteristiknya masing-masing. Di negara yang mengklaim diri sebagai negara hukum, hukum nasional –– sebagai norma –– ditempatkan sebagai sistem yang tertinggi, yang mengatasi semua tata tertib, tradisi, dan berbagai peraturan organisasi dan golongan. Sebagai penjabaran dari konstitusi dan dasar negara, hukum nasional menjadi acuan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Sebagai pengatur tingkah laku individu dan masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, sistem hukum memiliki kompleksitas dan dinamika yang tinggi. 


B.   Sistem Hukum di Indonesia

Pada prinsipnya, sistem hukum merupakan sebuah struktur formal. Dalam konteks Indonesia, sistem hukum yang dimaksud adalah sistem hukum positif, yakni sistem hukum yang (sedang) berlaku di Indonesia. Sistem hukum Indonesia didasarkan pada Pancasila dan UUD 1945. Sebagai dasar negara, Pancasila merupakan sumber norma, nilai, dan kaidah bagi seluruh produk hukum dan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Selain merujuk pada nilai-nilai Pancasila, semua peraturan perundang-undangan juga harus didasarkan pada Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) sebagai konstitusi negara. Peraturan perundang-undangan merupakan penjabaran lebih lanjut dan lebih terperinci dari UUD 1945.

Sistem hukum nasional kita difungsikan untuk penegakan hukum dan keadilan yang dilakukan dengan berbagai mekanisme. Secara umum, mekanisme tersebut, antara lain, menyangkut pengaturan tata urutan peraturan perundang-undangan, pengaturan susunan (struktur) kelembagaan hukum, pengaturan materi hukum, dan penanaman budaya taat hukum.

1.    Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan

Negara kita memberlakukan berbagai per-aturan perundang-undangan untuk mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Peraturan-peraturan ini berisi ketentuan-ketentuan mengenai berbagai persoalan, seperti pertahanan dan keamanan, hak asasi manusia, perpajakan, pendidikan, ketenagakerjaan, pertanahan, pertanian, persaingan usaha, pers, dan penyiaran. Peraturan perundang-undangan yang berlaku memiliki kedudukan yang berbeda-beda karena lembaga pembuatnya serta ruang lingkup pemberlakuannya juga berbeda-beda.

Dengan demikian, peraturan perundang-undangan yang berlaku memiliki tingkatan yang tidak sama. Dengan kata lain, peraturan perundang-undangan tersusun dalam urut-
urutan yang teratur dari yang tertinggi hingga yang terendah. Oleh sebab itu, dalam sistem peraturan perundang-undangan nasional kita dikenal adanya istilah tata urutan peraturan perundang-undangan. 

Tata urutan peraturan perundang-undangan merupakan tingkatan atau penjenjangan jenis-jenis peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa peraturan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Hal ini berlaku secara urut dari yang terendah hingga yang tertinggi. Untuk mengatur dan menentukan tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia, dibuat undang-undang tersendiri, yakni UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Menurut undang-undang ini, jenis dan tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia sebagai berikut.
  •  Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Negara RI Tahun 1945),
  • ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR),
  • undang-undang (UU)/peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu),
  • peraturan pemerintah (PP),
  • peraturan presiden (perpres),
  • peraturan daerah (perda) provinsi, dan
  • peraturan daerah (perda) kabupaten/kota.

Berdasarkan tata urutan tersebut di atas,  Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD Negara RI Tahun 1945) memiliki kedudukan yang paling tinggi. Adapun peraturan daerah (perda) kabupaten/kota memiliki kedudukan yang paling rendah. Sementara itu, pembuatan semua peraturan perundang-undangan tersebut –– termasuk pembuatan atau amendemen undang-undang dasar –– harus bersumber pada Pancasila. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal  2 UU No. 12 Tahun 2011,  Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum negara.


a.    Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 (UUD 1945)
Undang-Undang Dasar 1945 adalah hukum dasar atau konstitusi negara yang menjadi sumber pembuatan semua peraturan perundang-undangan di Indonesia. Tap MPR, undang-undang (UU), peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu), peraturan pemerintah (PP), peraturan presiden (perpres), dan peraturan daerah (perda) harus dibuat berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam UUD 1945. Ketentuan di dalam semua peraturan perundang-undangan tersebut tidak boleh bertentangan dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam UUD 1945.
UUD 1945 dirumuskan oleh BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Rancangan dan rumusannya kemudian diperbaiki dan ditetapkan oleh PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) menjadi konstitusi negara. Jika dipandang perlu, UUD 1945 dapat diamendemen. Lembaga yang memiliki kewenangan untuk mengamendemen dan menetapkan hasilnya adalah MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat).


b.   Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat   (Tap MPR)
Dalam tata urutan peraturan perun-dang-undangan, ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR) dapat dikatakan timbul tenggelam. Sebelum UU No. 12/2011 berlaku, tata urutan peraturan perundang-undangan diatur dengan UU No. 10 Tahun 2004.  Menurut UU No. 10/2004, dalam tata urutan peraturan undang-undang di Indonesia tidak terdapat Tap MPR, padahal sebelumnya Tap MPR menjadi peraturan yang berkedudukan tinggi dan kuat. Setelah ditiadakan/dihapus (berdasarkan UU No. 10/2004), Tap MPR kembali dimunculkan melalui UU No. 12/2011. Tap MPR adalah peraturan yang dibuat oleh MPR. Peraturan ini dibuat untuk menjabarkan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam UUD 1945.


c.    Undang-Undang (UU)/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu)
Undang-undang adalah peraturan yang dibuat oleh DPR melalui persetujan bersama presiden. Undang-undang dibuat sebagai penjabaran dari UUD 1945 atau Tap MPR. Undang-undang dibuat untuk menindaklanjuti berbagai ketentuan atau untuk menjabarkan hal-hal yang belum diatur di dalam UUD 1945 atau Tap MPR. Adapun peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) adalah peraturan yang dibuat dan ditetapkan presiden dalam kedudukannya sebagai kepala negara tanpa lewat persetujuan DPR. Peraturan pemerintah pengganti undang-undang memiliki kedudukan yang sejajar dengan undang-undang. Isinya juga sama, yakni menindaklanjuti ketentuan-ketentuan atau menjabarkan hal-hal yang belum diatur  di dalam UUD 1945.
Peraturan pemerintah pengganti undang-undang dibuat, ditetapkan, dan diberlakukan dalam keadaan darurat atau genting yang bersifat mendesak atau memaksa. Biarpun dibuat presiden tanpa persetujuan DPR, pada waktu selanjutnya peraturan pemerintah pengganti undang-undang harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan berikutnya. Jika dalam persidangan berikut tidak mendapatkan persetujuan dari DPR, sebuah peraturan pemerintah pengganti undang-undang harus dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi.


d.   Peraturan Pemerintah (PP)
Peraturan pemerintah (PP) adalah peraturan yang dibuat dan ditetapkan presiden dalam kedudukannya sebagai kepala pemerintahan. Peraturan pemerintah dibuat dan ditetapkan untuk menindaklanjuti atau menjabarkan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam undang-undang. Dalam bahasa teknis perundang-undangan, disebutkan bahwa peraturan pemerintah dibuat untuk menjalankan undang-undang.


e.    Peraturan Presiden (Perpres)
Seperti halnya peraturan pemerintah, peraturan presiden (perpres) adalah peraturan yang dibuat dan ditetapkan oleh presiden. Namun, dalam urutan peraturan perundang-undangan, peraturan presiden memiliki kedudukan di bawah peraturan pemerintah. Peraturan presiden dibuat untuk menjabarkan ketentuan yang terdapat dalam undang-undang atau dapat pula untuk melaksanakan ketentuan yang terkandung dalam peraturan pemerintah.


f.    Peraturan Daerah (Perda)
Peraturan daerah (perda) ialah peraturan yang dibuat oleh DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) dengan persetujuan kepala daerah. Peraturan daerah dibuat dan diberlakukan untuk menindaklanjuti pelaksanaan otonomi daerah atau mewadahi kondisi-kondisi khusus di daerah. Peraturan daerah juga dapat dibuat untuk menjabarkan isi peraturan perundang-undangan yang berada di atasnya, seperti undang-undang, peraturan pemerintah, dan peraturan presiden.
Pembentukan peraturan daerah tergantung pada tingkatan daerah. Jika dibuat di tingkat provinsi, peraturan daerah dibuat oleh DPRD provinsi melalui persetujuan dengan gubernur. Jika dibuat di tingkat kabupaten, peraturan daerah dibuat DPRD kapubaten melalui persetujuan dengan bupati. Jika dibuat di tingkat kota, peraturan daerah dibuat oleh DPRD kota melalui persetujuan dengan walikota.


2.    Susunan Kelembagaan Hukum

Susunan atau struktur kelembagaan hukum menjadi bagian yang penting dalam sistem hukum nasional kita. Susunan kelembagaan hukum di negara kita dari waktu ke waktu mengalami perubahan sejalan dengan perkembangan berbagai bidang kehidupan, terutama bidang hukum dan politik. Perubahan kelembagaan hukum di negara kita tidak dapat dilepaskan dengan dinamika kehidupan masyarakat.

Susunan kelembagaan hukum turut menentukan pembentukan dan penyelenggaraan hukum. Lembaga peradilan, aparat penyelenggara hukum, tata cara penyelenggaraan hukum, dan sistem pengawasan penyelenggaraan hukum menjadi bagian dari struktur kelembagaan hukum yang keberadaan dan pelaksanaannya menentukan kemantapan sistem hukum nasional secara keseluruhan. Aspek-aspek itu saling terkait dan saling mendukung dalam sistem hukum.

Upaya pemantapan struktur kelembagaan hukum di Indonesia akan terus dilakukan sebagai bagian dari pembenahan dan pembangunan bidang hukum. Lebih spesifik, upaya itu dilakukan, antara lain, untuk merapikan koordinasi antarlembaga hukum serta menghindari terjadinya tumpang tindih wewenang dalam penanganan masalah-masalah hukum yang dapat mengakibatkan munculnya ketidakpastian hukum.



3.    Materi Hukum

Materi hukum terkait dengan isi atau substansi kaidah hukum. Materi hukum merupakan kaidah-kaidah hukum yang dituangkan menjadi serangkaian peraturan baik dalam bentuk tertulis maupun tidak tertulis. Setiap materi hukum yang dituangkan menjadi peraturan yang ditetapkan oleh negara (melalui lembaga yang berwenang), bersifat mengikat. Seluruh warga negara wajib tunduk dan mematuhinya; dalam arti, melaksanakan perintah-perintah yang ada di dalamnya serta meninggalkan larangan-larangannya.

Materi hukum sangat menentukan kemapanan dan kemantapan sistem hukum nasional kita. Keberadaannya menjadi pengatur langsung sikap dan perilaku seluruh elemen bangsa dan negara. Melalui pelaksanaan yang tegas, konsisten, konsekuen, dan tak diskriminatif oleh aparat, materi hukum berperan sangat penting dalam menciptakan ketertiban, keamanan, dan keadilan.

Terkait dengan materi hukum, sejak memasuki era reformasi tahun 1998, negara kita giat sekali melakukan pembenahan materi hukum yang terdapat dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Peraturan perundangan-undangan yang materinya bertentangan dengan semangat reformasi dan upaya penegakan keadilan, dicabut atau diperbarui. Sebaliknya, peratur-an perundang-undangan baru dengan materi yang reformatif, tak diskriminatif, tak represif, serta mendorong tumbuhnya kebebasan (yang bertanggung jawab), kesetaraan, semangat bersaing secara sehat, pemberdayaan masyarakat, dan terciptanya keadilan terus dibuat dan diberlakukan.


4.    Budaya Hukum

Budaya hukum terkait dengan kesadaran, sikap, dan perilaku hukum. Ketiga hal ini (kesadaran, sikap, dan perilaku hukum) mencerminkan (tertanam atau tidaknya) budaya hukum. Suatu masyarakat atau bangsa dikatakan memiliki budaya hukum (yang baik) jika memiliki kebiasaan yang kuat untuk senantiasa sadar akan pentingnya hukum serta bersikap dan berperilaku konsisten untuk patuh kepada hukum.

Ihwal budaya hukum ini kiranya masih menjadi persoalan yang tetap krusial di kalangan masyarakat dan bangsa kita. Di tengah situasi dan kondisi perekonomian dan sosial yang masih belum sepenuhnya pulih dari krisis, secara umum masyarakat kita hingga kini belum memiliki budaya hukum yang baik.  Hal ini tidak hanya terjadi di kalangan masyarakat bawah, melainkan juga di kalangan pejabat, politisi, dan bahkan aparat penegak hukum sendiri.

Hal itu ditandai dengan masih banyaknya terjadi tindak kejahatan dalam berbagai bentuk dengan pelaku yang beragam, dari masyarakat bawah hingga pejabat tinggi dan  aparat hukum. Adapun pelanggaran hukum yang banyak terjadi pun penyelesaiannya kurang mengutamakan asas kebenaran material dan rasa keadilan. Pemberlakuan hukum juga masih sangat sering dilakukan secara diskriminatif (pandang bulu). Banyak kasus pelanggaran hukum, seperti korupsi dan penyalahgunaan jabatan, dengan pelaku kalangan atas, berlangsung tanpa penyelesaian yang semestinya, sementara pelanggaran hukum kecil-kecilan –– misalnya, mencuri beberapa butir buah cokelat dan semangka –– yang pelakunya masyarakat kalangan bawah, diproses sesuai aturan dan para pelakunya benar-benar dijatuhi hukuman.

Hal itu jelas bertentangan dengan asas keadilan, asas semua orang memiliki kedudukan yang sama di depan hukum, serta asas mendapatkan perlakuan yang sama di depan hukum (right of legal equality). Lebih dari itu,  kasus-kasus itu akan sangat menghambat upaya penegakan hukum serta penanaman dan penguatan budaya hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Terhambatnya upaya penegakan hukum dan penanaman budaya hukum pada gilirannya akan sangat menyulitkan upaya pemantapan sistem hukum secara menyeluruh di negara kita.

Pemantapan sistem hukum akan berjalan kurang optimal tanpa dukungan kesadaran, sikap, dan perilaku taat hukum. Kiranya masalah penguatan budaya hukum masih menjadi pekerjaan dan tantangan besar bagi bangsa kita. Benar-benar diperlukan tekad dan kemauan yang sangat kuat untuk memiliki kesadaran hukum serta bersikap dan berperilaku patuh terhadap hukum melalui praktik yang konkret dalam kehidupan sehari-hari bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar