Minggu, 18 Februari 2018

Antara Instruksi dan Intervensi Jokowi dalam Mengungkap dan Menuntaskan Kasus Novel Baswedan


Oleh Akhmad Zamroni

Sumber: Hasan Al Habshy-detik.com

Sepuluh bulan lebih telah berlalu (terhitung sejak 11 April 2017) kasus teror penyiraman air keras ke wajah dan mata penyidik KPK, Novel Baswedan, tidak kunjung dapat diungkap oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri). Beberapa barang bukti, di antaranya mug atau cangkir yang digunakan untuk melakukan penyiraman dan rekaman CCTV, telah diserahkan pihak keluarga Novel kepada Polri serta beberapa orang pun telah memberikan kesaksian. Akan tetapi, dengan alat bukti dan kesaksian yang sesungguhnya sudah cukup itu, Polri tetap saja mengalami kesulitan untuk mengungkap kasusnya.

Sementara itu, sembari menahan penderitaan karena belum bisa menggunakan kedua matanya seperti semula, Novel beberapa kali menyatakan bahwa seorang perwira tinggi (jenderal) Polri yang masih aktif terlibat dalam teror dan penyerangan terhadap dirinya. Pernyataannya itu, menurut Novel, didasarkan pada informasi dari sumber yang sangat terpercaya. Peran dan keterlibatan sang jenderal membuat Novel sangat meragukan bahwa Polri akan menangani kasus teror terhadap dirinya dengan serius, objektif, profesional, dan adil. Ia pun kemudian sangat mengharapkan Presiden Jokowi membentuk tim gabungan pencari fakta yang independen untuk mengungkap dan menuntaskan kasusnya.
·          Pertanggungjawaban Presiden
Dirunut secara bottom-up, kasus teror terhadap Novel tidaklah sepenuhnya menjadi tanggung jawab Polri, tetapi juga tanggung jawab Joko Widodo selaku kepala pemerintahan yang membawahkan Polri.  Di dalam sistem pemerintahan presidensial, selain memimpin para menteri, TNI, dan Kejaksaan Agung, presiden juga memimpin (mengepalai) Polri. Karena itulah, tuntutan untuk menyelesaikan dan menuntaskan kasus Novel yang mandek di tangan Polri juga diarahkan kepada Presiden Jokowi. Desakan untuk segera mengungkap dan menuntaskan kasus tersebut tidak hanya ditujukan kepada Polri, melainkan juga kepada pemimpin pemerintahan tertinggi di negeri ini, yakni Presiden Jokowi.

Ketidakjelasan penyelesaian kasus Novel oleh Polri di tengah tersedianya cukup bukti dan saksi menunjukkan adanya ganjalan dan kendala besar dalam menuntaskan kasus ini. Polri terasa sekali mengalami hambatan internal dalam melakukan penyelidikan atau pengusutan. Oleh sebab itulah, diperlukan kepedulian dan inisiatif Jokowi selaku presiden RI dalam turut menangani dan mengungkap kasus ini. Berlarut-larutnya penanganan kasus Novel oleh Polri di tengah tersedianya barang bukti dan kesaksian yang cukup menunjukkan besarnya kesulitan dan kendala itu sehingga diperlukan kepedulian dan inisiatif Jokowi selaku presiden RI.

Presiden Jokowi harus memberikan perhatian serius dan mengambil langkah nyata untuk mengungkap dan menuntaskan kasus Novel. Paling tidak, ada dua cara yang dapat dilakukan Jokowi untuk menuntaskan kasus ini. Pertama, manakala Jokowi menganggap Polri masih mampu menyelesaikannya, ia harus mengeluarkan instruksi kepada pemimpin Polri, yakni Kapolri, untuk segera menuntaskan kasus tersebut. Kedua, manakala ia memandang Polri sudah tidak mampu lagi menangani dan menyelesaikannya secara profesional dan objektif, Jokowi harus memberikan sanksi kepada jajaran Polri serta segera membentuk tim gabungan pencari fakta independen.

Instruksi Jokowi kepada Polri dan Kapolri merupakan keharusan yang tak bisa ditunda-tunda lagi. Kasus Novel bukanlah kasus ringan dan remeh. Ada dua hal yang menjadikan kasus ini memiliki bobot yang tinggi sehingga presiden Jokowi harus turut ambil bagian di dalamnya. Pertama, akibat teror yang dialamainya, Novel terancam mengalami cacat (kebutaan) permanen seumur hidup dan, kedua, kasusnya secara langsung menyangkut upaya pemberantasn korupsi sebagai kejahatan yang di Indonesia sudah dikategorikan sebagai kejahatan yang luar biasa (extraordinary crime).

Jokowi bertanggung jawab untuk menyelesaikan kasus Novel melalui Kapolri dan jajarannya karena sebagai kepala pemerintahan, ia berkewajiban menyelesaikan permasalahan hukum yang muncul dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dari aspek konstitusional, Jokowi wajib menyelesaikan kasus hukum Novel, tetapi secara operasional ia tidak harus melakukannya langsung dengan tangannya sendiri, tetapi melalui pembantu dan bawahannya yang menangani bidang hukum dan keamanan, yakni Polri.

Oleh karena itulah, sangat dibutuhkan instruksi Jokowi kepada Kapolri sebagai realisasi atau implementasi pelaksanaan tugas, tanggung jawab, dan kewajibannya dalam mengatasi masalah hukum dan keamanan nasional. Instruksi yang diberikannya kepada Kapolri harus merupakan perintah tegas untuk bekerja secara profesional mengungkap kasus teror terhadap Novel serta menangkap otak dan pelaku yang sebenarnya tanpa melalui rekayasa.  Jokowi juga harus memberikan deadline (batas waktu) kepada Kapolri dalam mengungkap kasus tersebut. Apabila sampai deadline yang ditentukan Polri tidak mampu melaksanakan tugas pengusutan dan pengungkapan kasus Novel, maka sebagai bentuk akuntabilitas presiden kepada rakyat Indonesia (sebagai pemegang tertinggi kedaulatan negara), Jokowi tanpa ragu-ragu harus memberikan sanksi yang tegas dan nyata kepada Kapolri beserta jajarannya.
·          Antara Instruksi dan Intervensi
Dalam konteks pengusutan dan penuntasan kasus Novel, presiden dan publik perlu membedakan dengan tegas antara instruksi dan intervensi. Instruksi adalah perintah kepada bawahan untuk menjalankan tugas, tanggung jawab, dan kewajiban sebagaimana mestinya. Instruksi atasan kepada bawahan adalah hal yang lazim dan bahkan merupakan kewajiban seorang pemimpin kepada bawahan untuk menjalankan tugas dan pekerjaannya dengan baik. Instruksi menjadi bagian tak terpisahkan dari kepemimpinan dan manajerial organisasi, termasuk negara dan pemerintahan.

Instruksi sangat berbeda dengan intervensi. Keduanya seringkali diartikan secara kacau dan keliru oleh publik terkait dengan interaksi antara pemimpin dan bawahan di lingkungan pemerintahan. Instruksi merupakan perintah untuk melakukan tugas atau pekerjaan dengan prosedur baku yang sudah ditetapkan guna mendapatkan hasil yang sebaik-baiknya. Adapun intervensi adalah tindakan mencampuri dan mengendalikan pelaksanaan tugas dan pekerjaan bawahan sesuai dengan keinginan pribadi atasan sehingga hasil yang diperoleh sejalan dengan selera dan kepentingan sang atasan.

Berkaitan dengan penuntasan kasus Novel, selama perintah Jokowi kepada Kapolri dimaksudkan untuk membuahkan hasil penyelidikan dan penyidikan yang objektif sesuai dengan tatacara baku yang berlaku, perintah itu merupakan murni instruksi yang sudah semestinya diberikan oleh Jokowi. Akan tetapi, jika yang dilakukan Jokowi adalah mengendalikan penyelidikan dan penyidikan agar diperoleh hasil sesuai dengan kepentingan sang presiden dan kelompoknya, hal itu jelas merupakan intervensi yang harus dihindari. Instruksi dan intervensi, masing-masing telah jelas batasan dan karakteristiknya sehingga sebenarnya mudah untuk dibedakan sekaligus dipraktikkan dalam organisasi dan pemerintahan.

Kembali pada pengungkapan dan penuntasan kasus Novel, jika semua mekanisme instruksi yang telah diberikan Jokowi kepada kapolri tidak mampu membuat Polri mengungkap dan menuntaskan kasus Novel dengan profesional dan objektif, maka tidak dapat dielakkan lagi, Jokowi harus membentuk tim gabungan pencari fakta (TGPF) yang independen. Seraya tetap melakukan evaluasi dan memberikan sanksi kepada jajaran Polri karena tidak mampu menjalankan tugas penegakan hukum dengan objektif dan profesional dalam kasus Novel, Presiden Jokowi membetuk TGPF yang beranggotakan para tokoh dan pakar yang independen, berintegritas, dan berkomitmen tinggi dalam penegakan hukum. Hal ini perlu dilakukan Jokowi sebagai bentuk akuntabiltas (pertanggungjawaban) selaku presiden kepada rakyat Indonesia dalam penegakan hukum.

Dalam pada itu, selain sebagai bentuk pertanggungjawaban selaku kepala pemerintahan, pemberian sanksi presiden kepada Polri dilakukan untuk memulihkan dan mengembalikan Polri sebagai institusi penegak hukum; penjaga keamanan dan ketertiban; serta pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat. Jika Polri tidak mampu melakukan tugas dan tanggung jawab itu, apalagi jika di dalamnya ada latar belakang interest pribadi atau konflik kepentingan, maka Polri layak untuk dievaluasi dan dijatuhi sanksi. Seperti yang seringkali digembar-gemborkan oleh Polri sendiri, di negeri ini tidak ada pribadi dan institusi yang kebal hukum, tak terkecuali Polri.

Kamis, 15 Februari 2018

Mewaspadai Bahaya Metode Calistung dalam Pendidikan Anak Usia Dini

Oleh Akhmad Zamroni
Sumber: belajar123.com

       Kurang lebih dalam satu dasawarsa terakhir ini kesadaran masyarakat Indonesia akan pentingnya PAUD (pendidikan anak usia dini) kian tinggi. Kecenderungan positif ini, antara lain, ditandai oleh besarnya antusiasme keluarga-keluarga muda untuk menyekolahkan putra-putri mereka yang masih berusia di bawah tujuh tahun ke lembaga pendidikan play group (PG) dan taman kanak-kanak (TK). Untuk memanfaatkan tingginya antusiasme ini, banyak dibuka institusi pendidikan anak usia dini (PG dan TK) baru oleh swasta dan pemerintah.
       Akan tetapi, kesadaran dan antusiasme tinggi akan pentingnya pendidikan anak usia dini yang dibarengi banyaknya pendirian institusi PAUD baru di berbagai pelosok daerah tidak diiringi dengan pemahaman yang holistik dan benar mengenai PAUD. Pandangan dan gambaran tentang PAUD di mata publik masih relatif sama dengan pandangan dan gambaran mereka terhadap pendidikan pada umumnya. Peran dan fungsi PAUD dipandang sama dengan peran dan fungsi pendidikan pada umumnya, terutama pendidikan dasar, yaitu sebagai institusi pendidikan untuk mengajarkan keterampilan membaca, menulis, dan berhitung (calistung).
       Hal yang lebih ironis lagi, pandangan yang keliru tersebut tidak hanya tertanam pada para orang tua dan masyarakat awam, melainkan juga pada banyak sekali institusi dan pengajar (guru) PAUD serta birokrat bidang pendidikan terutama yang berada di tingkat bawah. Mereka umumnya berasumsi bahwa lembaga PAUD merupakan tempat pengajaran yang baik dan tepat untuk menanamkan kemampuan (kompetensi) anak dalam membaca, menulis, dan berhitung. Dengan anggapan umur 0–6 tahun merupakan usia emas (golden age), yakni saat otak anak berkembang sangat cepat dan tengah peka-pekanya menerima rangsangan, siswa PAUD, yang umumnya berusia 3–6 tahun, bahkan tidak jarang dipacu semaksimal mungkin oleh guru (dengan persetujuan dan dukungan orang tua) untuk secepat-cepatnya mampu menguasai keterampilan membaca, menulis, dan berhitung.
       Keinginan orang tua dan guru untuk melihat anak pandai membaca, menulis, dan berhitung dipengaruhi pula oleh kebanggaan dan kesuksesan semu. Banyak guru dan orang tua merasa bangga dan sukses manakala sebelum anak masuk SD, sudah pandai membaca, menulis, dan berhitung. Diperunyam lagi untuk melanjutkan pendidikan ke sekolah dasar anak biasanya disyaratkan untuk lulus tes membaca, menulis, dan berhitung, banyak orang tua dan guru makin yakin bahwa tuntutan anak usia dini untuk mampu membaca, menulis, dan berhitung  memang tidak salah. Sebuah kesalahan lain yang menambah buruknya keadaan: tidak sedikit SD negeri maupun swasta, termasuk yang favorit dan mahal, dalam penerimaan siswa baru memberlakukan tes membaca, menulis, dan berhitung.
·          Menyalahi Fitrah
       Aspek penting dan mendasar dalam pendidikan anak usia dini ialah aktivitas belajar-mengajar dilakukan dengan tidak menekankan kegiatan pokok ‘belajar’, melainkan ‘bermain’. Proses belajar untuk anak-anak peserta PAUD harus dilakukan dengan ‘menyenangkan’. Bermain adalah kegiatan yang paling menyenangkan untuk anak-anak usia dini  sehingga bentuk implementasi pengajaran yang paling tepat untuk mereka adalah ‘bermain sambil belajar’, bukan sebaliknya.
       Krusialnya kegiatan bermain dalam pendidikan anak usia dini dilandasi oleh faktor perkembangan mental dan kejiwaan anak. Mental dan kejiwaan anak usia dini (berumur 0–6 tahun) masih berada pada tahap perkembangan awal yang sangat sensitif dan rapuh. Hal ini menyebabkan mereka secara naluriah menjadi suka bermain sehingga pembelajaran yang relevan dengan potensi mereka adalah yang memberi keleluasaan mereka untuk melakukan berbagai bentuk permainan, bukan menuntut mereka untuk mempelajari terori-teori yang memberatkan.
       Oleh sebab itu, mengajar dan mendidik anak usia dini dengan lebih menekankan dan mengutamakan kegiatan belajar di sisi satu serta mengabaikan kegiatan bermain di sisi lain bertentangan dengan perkembangan mental dan kejiwaan anak. Memacu anak-anak play group dan TK untuk belajar membaca, menulis, dan berhitung (calistung) tidak hanya menyalahi fitrah, tetapi penuh risiko dan bahkan berbahaya. Hal ini dinilai para pakar pendidikan dan psikologi sebagai kesalahan yang dapat mengakibatkan anak mengalami gangguan potensi dan perilaku.
       Dengan kata lain, pengajaran membaca, menulis, dan berhitung untuk anak-anak usia dini (PAUD) akan menyesatkan. Metode atau model pembelajaran calistung untuk anak-anak PAUD merupakan bentuk “pemerkosaan” yang tidak kondusif bagi perkembangan mental dan jiwa anak. Mantan Direktur PAUD Ditjen PAUDNI Kemendikbud, Sudjarwo, menyatakan bahwa pengajaran membaca, menulis, dan berhitung untuk PAUD adalah berbahaya karena dapat menghambat perkembangan kecerdasan mental dan menyebabkan anak memiliki mental pemberontak (mental hectic).
·          Mengembalikan Fungsi PAUD
       Prof. Suyanto, mantan Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Kemendikbud, menyatakan, orang Indonesia umumnya miskin kreativitas karena otak kanannya mengalami kerusakan akibat ketika dalam usia dini mendapat pendidikan yang keliru (dipacu untuk mampu membaca, menulis, dan berhitung). Pendidikan dan pengajaran untuk anak usia dini sangat terkait dengan persoalan sumber daya manusia. Maraknya pengajaran membaca, menulis, dan berhitung di institusi PAUD jelas akan menghambat upaya menciptakan sumber daya manusia (SDM) Indonesia yang unggul dan kompetitif.
       Penelitian mutakhir menunjukkan bahwa investasi terbesar pendidikan manusia berada pada usia dini, yakni 0–6 tahun. Usia dini adalah saat yang paling krusial menjadi sasaran pendidikan bagi pembentukan kompetensi. Pakar perkembangan dan perilaku anak, Brazelton, mengatakan bahwa pengalaman anak pada bulan dan tahun awal kehidupannya sangat menentukan kompetensinya dalam menghadapi tantangan hidup serta menunjukkan semangat untuk belajar dan sukses dalam pekerjaannya.
       Oleh karena peran dan fungsinya yang penting untuk pembentukan kompetensi dan penciptaan SDM yang unggul, PAUD harus dijalankan dengan cara yang benar. Pengajaran membaca, menulis, dan berhitung di institusi-institusi PAUD harus diakhiri. Pendidikan anak usia dini wajib dikembalikan pada fungsi pokoknya sebagai pendidikan yang lebih menekankan dan mengutamakan kegiatan bermain dan bukan kegiatan belajar dengan moto bermain sambil belajar.

Selasa, 13 Februari 2018

Sudah Saatnya Diberlakukan Hukuman Mati untuk Pelaku Korupsi

Oleh Akhmad Zamroni

Sumber: image.vikatan.com

       Hukuman mati di Indonesia hingga kini masih menjadi pro kontra yang tak berkesudahan. Banyak aktivis hak asasi manusia (HAM) menentang hukuman mati karena dianggap bertentangan dengan nilai-nilai humanisme (kemanusiaan). Namun, seperti yang ditunjukkan oleh banyak survei media, tidak sedikit pula masyarakat Indonesia yang mendukung keberadaan dan pelaksanaan hukuman mati untuk para pelaku kejahatan tertentu, seperti pelaku penyalahgunaan narkoba, korupsi, dan terorisme.
       Di Indonesia penyalahgunaan narkoba, korupsi, dan terorisme selama ini memang sudah dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Kejahatan luar biasa merupakan kejahatan yang berdampak luas, mendalam, sistemik, dan dapat membahayakan eksistensi dan kelangsungan bangsa dan negara sehingga para pelakunya dikenai ancaman hukuman maksimal berupa hukuman mati. Namun, kendatipun penyalahgunaan narkoba, korupsi, dan terorisme digolongkan sebagai kejahatan luar biasa, penerapan hukuman bagi para pelakunya dinilai masih mengalami ketimpangan atau kesenjangan.
       Terorisme, penyalahgunaan narkoba, dan korupsi sama-sama digolongkan sebagai kejahatan luar biasa, tetapi kenyataannya baru pelaku kejahatan terorisme dan penyalahgunaan narkoba saja yang mendapat vonis dan menjalani hukuman mati. Para pelaku kejahatan korupsi (koruptor) masih terbebas dari hukuman mati. Jangankan divonis dan dieksekusi mati, para pelaku kejahatan korupsi banyak yang justru mendapat hukuman yang relatif ringan, rata-rata jauh lebih ringan dibandingkan hukuman bagi para pelaku terorisme dan penyalahgunaan narkoba. Dalam banyak kasus, para koruptor bahkan mendapatkan hukuman yang lebih ringan daripada hukuman untuk para pelaku kejahatan biasa, seperti perampokan, pembunuhan, dan pemerkosaan.

·          Ketidakadilan Hukum dalam Penanganan Kejahatan Luar Biasa
       Ketimpangan itu menunjukkan bahwa pemberian nama/istilah (nomenklatur) dan penggolongan kejahatan di Indonesia masih sangat jauh dari pelaksanaan yang konsisten dan berkeadilan. Nama atau istilah yang diberikan untuk jenis kejahatan luar biasa tidak sesuai dengan hukuman yang diberikan. Pemberian hukuman kepada pelaku terorisme dan penyalahgunaan narkoba di sisi satu dan kepada pelaku korupsi di sisi lain terasa sangat diskriminatif dan tidak adil: banyak pelaku penyalahgunaan narkoba dan terorisme divonis dan dijatuhi hukuman maksimal (hukuman mati), sedangkan pelaku korupsi tidak atau belum satu pun yang memperoleh hukuman yang sama.
       Hal itu menunjukkan adanya ironi besar dan aneh dalam upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan luar biasa di Indonesia. Kejahatan luar biasa dinilai dapat menimbulkan dampak yang hebat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, tetapi penanganan hukumnya dilakukan secara berbeda-beda, terutama dalam memberikan hukuman kepada para pelakunya. Khusus untuk korupsi, secara istilah telah digolongkan sebagai kejahatan luar biasa, tetapi praktik dan implementasi hukumnya menunjukkan dengan sangat gamblang bahwa korupsi tak lebih dari kejahatan biasa. Ini artinya, penggolongan korupsi sebagai kejahatan luar biasa cenderung sebatas lip service (pemanis bibir) saja, yang implementasinya telah menyebabkan diskriminasi dan ketidakadilan.

·          Eksekusi Mati untuk Koruptor
       Pelaku kejahatan korupsi di Indonesia sudah lebih dari layak untuk diganjar dengan hukuman mati. Para pelaku korupsi yang terbukti melakukan korupsi dalam jumlah minimal tertentu pantas untuk dihukum mati seperti yang selama ini dialami para pelaku penyalahgunaan narkoba dan terorisme. Sudah sangat gamblang bahwa korupsi termasuk kejahatan luar biasa (extraordinary crime) sehingga hukuman bagi para pelakunya juga tidak bisa lagi diberikan dalam bentuk hukuman yang biasa.
       Sebagai kejahatan luar biasa, korupsi harus diberantas dengan cara-cara yang luar biasa, antara lain, dengan pemberian hukuman yang luar biasa pula, yakni eksekusi mati. UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi –– Pasal 2 Ayat (2) –– dengan jelas dan eksplisit menjadikan hukuman mati sebagai vonis maksimal bagi koruptor. Undang-undang ini, di antaranya, menyebutkan bahwa korupsi yang dilakukan ketika negara tengah mengalami krisis ekonomi dan moneter, bencana alam nasional, dan kerusuhan/krisis sosial, pelakunya dapat dijatuhi hukuman mati.
Korupsi juga telah menimbulkan dampak destruktif yang hebat dari segi ekonomi dan sosial sehingga para koruptor pantas dihukum mati. Korupsi menyebabkan terjadinya kesenjangan dan krisis ekonomi parah sebagaimana yang terjadi pada tahun 1997/1998 silam sehingga memicu munculnya gerakan reformasi yang meruntuhkan rezim Orde Baru yang sangat korup. Korupsi juga menjadi salah satu penyebab utama maraknya ketidakadilan sosial akut yang memicu frustrasi, kemarahan, demonstrasi masif, kerusuhan sosial, konflik, serta disintegrasi bangsa seperti yang terjadi pada masa-masa genting tahun 1998–2000.