Oleh Akhmad Zamroni
Sumber: Hasan Al Habshy-detik.com |
Sepuluh bulan lebih telah berlalu (terhitung sejak 11 April 2017) kasus teror
penyiraman air keras ke wajah dan mata penyidik KPK, Novel Baswedan, tidak kunjung dapat
diungkap oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri). Beberapa barang bukti, di antaranya mug atau cangkir yang digunakan untuk melakukan penyiraman dan rekaman CCTV, telah diserahkan
pihak keluarga Novel kepada Polri serta beberapa orang pun telah memberikan
kesaksian. Akan tetapi, dengan alat
bukti dan kesaksian yang sesungguhnya sudah cukup itu, Polri tetap saja mengalami
kesulitan untuk mengungkap kasusnya.
Sementara itu, sembari menahan
penderitaan karena belum bisa menggunakan kedua matanya seperti semula, Novel beberapa kali menyatakan bahwa seorang perwira tinggi (jenderal) Polri yang masih aktif terlibat dalam
teror dan penyerangan terhadap dirinya. Pernyataannya
itu, menurut Novel, didasarkan pada informasi dari sumber yang sangat terpercaya. Peran dan keterlibatan
sang jenderal membuat Novel sangat
meragukan bahwa Polri akan menangani kasus teror terhadap dirinya dengan serius, objektif,
profesional, dan adil. Ia pun kemudian sangat mengharapkan Presiden Jokowi membentuk tim
gabungan pencari fakta yang independen untuk mengungkap dan
menuntaskan kasusnya.
·
Pertanggungjawaban Presiden
Dirunut secara bottom-up, kasus teror
terhadap Novel tidaklah sepenuhnya menjadi tanggung jawab Polri, tetapi juga
tanggung jawab Joko Widodo selaku kepala pemerintahan yang membawahkan Polri.
Di dalam sistem pemerintahan presidensial, selain memimpin para menteri, TNI,
dan Kejaksaan Agung, presiden juga memimpin (mengepalai) Polri. Karena itulah, tuntutan
untuk menyelesaikan dan menuntaskan kasus Novel yang mandek di tangan Polri juga
diarahkan kepada Presiden Jokowi. Desakan untuk segera mengungkap dan
menuntaskan kasus tersebut tidak hanya ditujukan kepada Polri, melainkan juga kepada
pemimpin pemerintahan tertinggi di negeri ini, yakni Presiden Jokowi.
Ketidakjelasan penyelesaian kasus Novel oleh Polri di tengah tersedianya
cukup bukti dan saksi menunjukkan adanya ganjalan dan kendala besar dalam
menuntaskan kasus ini. Polri terasa sekali mengalami hambatan internal dalam
melakukan penyelidikan atau pengusutan. Oleh sebab itulah, diperlukan
kepedulian dan inisiatif Jokowi selaku presiden RI dalam turut menangani dan
mengungkap kasus ini. Berlarut-larutnya penanganan kasus Novel oleh Polri di
tengah tersedianya barang bukti dan kesaksian yang cukup menunjukkan besarnya
kesulitan dan kendala itu sehingga diperlukan kepedulian dan inisiatif Jokowi
selaku presiden RI.
Presiden Jokowi harus memberikan perhatian serius dan mengambil langkah
nyata untuk mengungkap dan menuntaskan kasus Novel. Paling tidak, ada dua cara
yang dapat dilakukan Jokowi untuk menuntaskan kasus ini. Pertama, manakala Jokowi menganggap Polri masih mampu
menyelesaikannya, ia harus mengeluarkan instruksi kepada pemimpin Polri, yakni
Kapolri, untuk segera menuntaskan kasus tersebut. Kedua, manakala ia
memandang Polri sudah tidak mampu lagi menangani dan menyelesaikannya secara
profesional dan objektif, Jokowi harus memberikan sanksi kepada jajaran Polri serta
segera membentuk tim gabungan pencari fakta independen.
Instruksi Jokowi kepada Polri dan Kapolri merupakan keharusan yang tak bisa
ditunda-tunda lagi. Kasus Novel bukanlah kasus ringan dan remeh. Ada dua hal
yang menjadikan kasus ini memiliki bobot yang tinggi sehingga presiden Jokowi
harus turut ambil bagian di dalamnya. Pertama,
akibat teror yang dialamainya, Novel terancam mengalami cacat (kebutaan)
permanen seumur hidup dan, kedua,
kasusnya secara langsung menyangkut upaya pemberantasn korupsi sebagai
kejahatan yang di Indonesia sudah dikategorikan sebagai kejahatan yang luar
biasa (extraordinary crime).
Jokowi bertanggung jawab untuk menyelesaikan kasus Novel melalui Kapolri
dan jajarannya karena sebagai kepala pemerintahan, ia berkewajiban
menyelesaikan permasalahan hukum yang muncul dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Dari aspek konstitusional, Jokowi wajib menyelesaikan
kasus hukum Novel, tetapi secara operasional ia tidak harus melakukannya
langsung dengan tangannya sendiri, tetapi melalui pembantu dan bawahannya yang menangani
bidang hukum dan keamanan, yakni Polri.
Oleh karena itulah, sangat dibutuhkan instruksi
Jokowi kepada Kapolri sebagai realisasi atau implementasi pelaksanaan tugas,
tanggung jawab, dan kewajibannya dalam mengatasi masalah hukum dan keamanan
nasional. Instruksi yang diberikannya kepada Kapolri harus merupakan perintah tegas untuk bekerja secara profesional mengungkap
kasus teror terhadap Novel serta menangkap otak dan pelaku yang sebenarnya
tanpa melalui rekayasa. Jokowi juga harus memberikan deadline
(batas waktu) kepada Kapolri dalam mengungkap kasus tersebut. Apabila sampai deadline yang ditentukan Polri tidak
mampu melaksanakan tugas pengusutan dan pengungkapan kasus Novel, maka sebagai
bentuk akuntabilitas presiden kepada rakyat Indonesia (sebagai pemegang tertinggi
kedaulatan negara), Jokowi tanpa ragu-ragu harus memberikan sanksi yang tegas
dan nyata kepada Kapolri beserta jajarannya.
·
Antara Instruksi dan Intervensi
Dalam konteks pengusutan dan penuntasan kasus Novel, presiden dan publik
perlu membedakan dengan tegas antara instruksi dan intervensi. Instruksi adalah
perintah kepada
bawahan untuk menjalankan tugas, tanggung jawab, dan kewajiban sebagaimana
mestinya. Instruksi atasan kepada bawahan adalah hal yang
lazim dan bahkan merupakan kewajiban seorang pemimpin kepada bawahan untuk menjalankan tugas
dan pekerjaannya dengan baik. Instruksi menjadi bagian tak terpisahkan dari
kepemimpinan dan manajerial organisasi, termasuk negara dan pemerintahan.
Instruksi sangat berbeda dengan intervensi.
Keduanya seringkali diartikan secara kacau dan keliru oleh publik terkait
dengan interaksi antara pemimpin dan bawahan di lingkungan pemerintahan. Instruksi
merupakan perintah untuk melakukan tugas atau pekerjaan dengan prosedur baku
yang sudah ditetapkan guna mendapatkan hasil yang sebaik-baiknya. Adapun intervensi
adalah tindakan mencampuri dan mengendalikan pelaksanaan tugas dan pekerjaan
bawahan sesuai dengan keinginan pribadi atasan sehingga hasil yang diperoleh sejalan
dengan selera dan kepentingan sang atasan.
Berkaitan dengan penuntasan kasus Novel, selama perintah Jokowi kepada
Kapolri dimaksudkan untuk membuahkan hasil penyelidikan dan penyidikan yang
objektif sesuai dengan tatacara baku yang berlaku, perintah itu merupakan murni
instruksi yang sudah semestinya diberikan oleh Jokowi. Akan tetapi, jika yang
dilakukan Jokowi adalah mengendalikan penyelidikan dan penyidikan agar
diperoleh hasil sesuai dengan kepentingan sang presiden dan kelompoknya, hal
itu jelas merupakan intervensi yang harus dihindari. Instruksi dan intervensi,
masing-masing telah jelas batasan dan karakteristiknya sehingga sebenarnya
mudah untuk dibedakan sekaligus dipraktikkan dalam organisasi dan pemerintahan.
Kembali pada pengungkapan dan penuntasan kasus Novel, jika semua mekanisme
instruksi yang telah diberikan Jokowi kepada kapolri tidak mampu membuat Polri
mengungkap dan menuntaskan kasus Novel dengan profesional dan objektif, maka tidak
dapat dielakkan lagi, Jokowi harus membentuk tim gabungan pencari fakta (TGPF)
yang independen. Seraya tetap melakukan evaluasi dan memberikan sanksi kepada
jajaran Polri karena tidak mampu menjalankan tugas penegakan hukum dengan
objektif dan profesional dalam kasus Novel, Presiden Jokowi membetuk TGPF yang
beranggotakan para tokoh dan pakar yang independen, berintegritas, dan
berkomitmen tinggi dalam penegakan hukum. Hal ini perlu dilakukan Jokowi
sebagai bentuk akuntabiltas (pertanggungjawaban) selaku presiden kepada rakyat Indonesia
dalam penegakan hukum.
Dalam pada itu, selain sebagai bentuk pertanggungjawaban selaku kepala
pemerintahan, pemberian sanksi presiden kepada Polri dilakukan untuk memulihkan
dan mengembalikan Polri sebagai institusi penegak hukum; penjaga keamanan dan
ketertiban; serta pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat. Jika Polri tidak
mampu melakukan tugas dan tanggung jawab itu, apalagi jika di dalamnya ada
latar belakang interest pribadi atau
konflik kepentingan, maka Polri layak untuk dievaluasi dan dijatuhi sanksi.
Seperti yang seringkali digembar-gemborkan oleh Polri sendiri, di negeri ini
tidak ada pribadi dan institusi yang kebal hukum, tak terkecuali Polri.