Oleh Akhmad Zamroni
Aksi menolak revisi UU KPK (Sumber: https://news.detik.com) |
Dua
keputusan itu sebagai berikut. Pertama,
DPR memutuskan untuk melakukan revisi terhadap undang-undang tentang KPK (UU Nomor
30 Tahun 2002). Kedua, DPR
mengharuskan para calon pimpinan KPK untuk menandatangani kontrak politik guna
menyetujui revisi terhadap undang-undang KPK saat menggelar fit and proper test untuk memilih pimpinan KPK periode 2019-2023.
Dari
segi regulasi dan administrasi hukum ketatanegaraan serta etika politik, kedua
langkah DPR tersebut sangat bermasalah atau bahkan mengalami cacat. Baik
keputusan untuk merevisi UU KPK maupun memberlakukan kontrak politik untuk
calon pimpinan KPK secara eksplisit cenderung dilakukan untuk kepentingan diri
sendiri DPR (dan partai politik) serta secara implisit mengandung agenda
terselubung yang gelap, eksklusif, dan jauh dari kepentingan masyarakat banyak
(rakyat).
Regulasi dan administrasi ketatanegaraan serta etika politik pertama yang dilanggar DPR terlihat jelas saat mereka mengambil keputusan untuk merevisi UU KPK melalui prosedur yang cepat, minimalis, dan kontra-akomodatif. Keputusan untuk merevisi UU KPK diambil melalui rapat paripurna yang berlangsung sangat cepat dan hanya dihadiri 77 anggota (sekitar 13,7 persen) dari 560 anggota DPR.
Regulasi dan administrasi ketatanegaraan serta etika politik pertama yang dilanggar DPR terlihat jelas saat mereka mengambil keputusan untuk merevisi UU KPK melalui prosedur yang cepat, minimalis, dan kontra-akomodatif. Keputusan untuk merevisi UU KPK diambil melalui rapat paripurna yang berlangsung sangat cepat dan hanya dihadiri 77 anggota (sekitar 13,7 persen) dari 560 anggota DPR.
Aksi mendukung KPK (Sumber: https://tirto.id) |
Pelanggaran kedua, DPR tidak memasukkan rencana revisi UU KPK dalam program legislasi nasional (prolegnas) maupun prolegnas prioritas. Sebagai konsekuensinya, rencana revisi UU KPK tidak memiliki kelayakan urgensi dan kematangan legislasi karena tidak mendapat persetujuan masyarakat luas melalui sosialisasi dan penjaringan aspirasi.
Pelanggaran
ketiga, DPR memberlakukan kontrak
politik secara sepihak kepada calon pimpinan lembaga negara (KPK) untuk urusan
dan kepentingan diri DPR sendiri. Tanpa melalui koordinasi dan persetujuan
masyarakat luas, DPR memberlakukan kontrak politik semata-mata untuk
menyukseskan agenda sempit politiknya (merevisi UU KPK). Hal ini menyebabkan personel-personel
yang terpilih menjadi pemimpin KPK cenderung yang mengikuti kehendak dan
kepentingan DPR, bukan yang memiliki integritas serta memiliki idealisme dan
agenda baku upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.
Ilegalitas yang
Telanjang
Semua
langkah yang dilakukan DPR dalam upaya merevisi UU KPK terlihat jelas sebagai
kebijakan yang tidak sah yang diambil secara terbuka di hadapan masyarakat
melalui prosedur ketatanegaraan yang tidak baku dan tidak benar. Tidak bisa
lain, impresi yang mencuat dari keputusan atau kebijakan itu adalah ilegalitas
yang telanjang sehingga mendapatkan penolakan kuat dari masyarakat luas.
Dengan
mempertimbangkan bahwa substansi revisi terhadap UU KPK yang direncanakan DPR
sendiri ternyata tidak bersifat memperkuat independensi dan kewenangan KPK,
melainkan justru melucuti, memperlemah, dan mengooptasinya, maka kian kuat dan
membesarlah penolakan terhadap langkah-langkah yang diambil DPR. Publik yang
kian cerdik serta makin melek konstitusi dan politik, sebagaimana yang dapat
kita saksikan sepekan terakhir ini, dapat merasakan adanya upaya
mendekonstruksi KPK secara sengaja melalui cara-cara di luar prosedur yang sah.
Kritik terhadap Presiden Joko Widodo yang mendukung revisi UU KPK (Sumber: https://www.republika.co.id) |
Apa yang dilakukan DPR itu merupakan anomali dan absurditas dalam ketatanegaraan kita umumnya dan upaya pemberantasan korupsi khususnya. Anomali dan absurditas ketatanegaraan dan upaya pemberantasan korupsi tidak akan menghasilkan apa-apa, kecuali kekacauan dan, cepat atau lambat, kehancuran sistem ketatanegaraan serta akan memperparah perilaku dan kebiasaan korupsi itu sendiri.
Ikhtiar ilegal yang dilandasi kepentingan sempit dan picik untuk memperbaiki upaya pemberantasan korupsi dan lembaga pengembannya (KPK) tidak akan pernah mampu menekan dan mengurangi korupsi, melainkan akan menambah dan menyuburkannya. Hal itu akan menyebabkan rusaknya regulasi, administrasi, dan lembaga antikorupsi di sisi satu serta menambah munculnya kantong-kantong korupsi baru dan memperkuat perilaku koruptif di sisi lain sehingga upaya pemberantasan korupsi tidak hanya akan sia-sia, melainkan juga akan terasa seperti memakan dirinya sendiri.