Oleh Akhmad Zamroni
Kecerdasan otak manusia Sumber: Shutterstock |
Salah
satu ambisi besar para orang tua adalah memiliki anak yang cerdas dan pandai.
Para orang tua umumnya berambisi dapat memiliki anak yang cerdas dan, jika
memungkinkan, supercerdas alias jenius, karena anak yang demikian dianggap membanggakan
serta akan mengharumkan nama keluarga dan orang tua.
Keinginan
untuk memiliki anak yang cerdas secara intelektual sebenarnya hal yang lumrah
dan manusiawi. Namun, kecerdasan intelektual (IQ) yang tinggi atau kejeniusan tanpa
dibarengi bimbingan dan arahan agama yang benar (guna memberdayakan kecerdasan spiritual atau SQ) cenderung menjerumuskan orang pada kesesatan
yang mengerikan; yakni dapat mengakibatkan yang bersangkutan terseret menjadi
pribadi yang agnostik (meragukan keberadaan Tuhan) atau bahkan ateis (sama
sekali tidak percaya akan keberadaan Tuhan).
Orang Ber-IQ Tinggi
Cenderung Tidak Mempercayai Tuhan
Hasil
penelitian (studi) yang dilakukan Profesor Richard Lynn, guru besar psikologi
dari Universitas Ulster, Inggris, menunjukkan bahwa orang-orang dengan IQ (intelegent quotient –– kecerdasan
intelektual) lebih tinggi banyak yang tidak percaya kepada Tuhan. Menurut Richard
Lynn, keyakinan beragama telah mengalami penurunan pada abad ke-20. Hal ini
terjadi setidaknya di 137 negara di dunia.
Menurunnya
keyakinan beragama itu terkait langsung dengan meningkatnya kecerdasan
rata-rata. Dikatakan Lynn, kebanyakan anak SD percaya kepada Tuhan. Namun, begitu
mereka menginjak dewasa dan kecerdasan mereka meningkat, banyak yang mulai meragukan
keberadaan Tuhan.
Untuk
mendukung hasil penelitiannya, Lynn menyinggung hasil survei yang dilakukan
terhadap organisasi yang anggotanya merupakan orang-orang yang ber-IQ tinggi, seperti Royal Society (di Inggris) dan American
National Academy of Sciences (Amerika Serikat). Survei terhadap para anggota Royal
Society menunjukkan bahwa hanya 3,3 persen anggotanya yang percaya pada Tuhan
(sisanya yang 96,7% meragukan atau tidak mempercayai Tuhan). Adapun survei terhadap
para anggota American National Academy of Sciences memperlihatkan bahwa hanya 7
persen dari anggota organisasi ini yang percaya pada Tuhan.
Hasil riset lain oleh Miron Zuckerman dan Jordan Silberman (Universitas
Rochester, New York) serta Judith Hall (Universitas Northeastern, Boston) juga
menunjukkan bahwa makin cerdas seseorang, maka kepercayaannya kepada Tuhan
makin sedikit (rendah). “Mereka menemukan, ateisme tersebar luas di kalangan
orang-orang pintar,” tulis surat kabar Daily
Mail.
Hasil-hasil riset itu dikuatkan oleh penelitian Lewis Terman (Universitas
Stanford) terhadap 1.500 anak-anak berusia 10 tahun yang memiliki IQ lebih dari
135 di Amerika, Inggris, dan Kanada. Menurut riset yang hasilnya telah
diperiksa Robin Sears (Universitas Columbia) dan Michael McCullough (Universitas
Miami) ini, anak-anak cerdas ternyata kurang religius dibandingkan dengan anak
yang IQ-nya lebih rendah.
Orang Sangat Cerdas dan
Jenius Banyak yang Agnostik dan Ateis
Hasil-hasil riset tersebut kiranya bukan isapan
jempol belaka. Fakta mengenai banyaknya tokoh berotak sangat cerdas dan
supercerdas yang tidak mempercayai Tuhan turut mendukung hasil studi dan riset
di atas. Beberapa tokoh sains dan teknologi legendaris dunia dikenal sebagai
orang-orang yang meragukan keberadaan Tuhan dan sebagiannya lagi bahkan sama
sekali tidak mempercayai adanya Tuhan.
Albert Einstein, misalnya, fisikawan jenius penemu teori
relativitas, dikenal sebagai tokoh yang meragukan keberadaan Tuhan (agnostik).
Einstein tidak pernah menyatakan secara langsung bahwa dirinya seorang ateis, sementara
pernyataan-pernyataannya jelas menunjukkan bahwa ia kurang percaya dan kurang yakin
akan keberadaan Tuhan. Saat ditanya apakah ia percaya pada kehidupan setelah
mati, Einstein menjawab, "Tidak. Dan satu kehidupan sudah cukup bagi
saya."
Carl Sagan, fisikawan dan astronom Amerika yang dikenal sangat
cerdas dan pintar, kurang lebih juga sama dengan Einstein dalam soal
kepercayaan terhadap Tuhan dan kehidupan akhirat. Sagan juga terkenal sebagai ilmuwan
yang agnostik, yakni menganggap keberadaan Tuhan sebagai hal yang sulit untuk
dibuktikan.
Kasus terbaru yang paling populer adalah Stephen Hawking.
Fisikawan jenius asal Inggris yang meninggal dunia tanggal
14 Maret 2018 ini terang-terangan mengatakan bahwa dirinya
adalah seorang ateis. Ia tidak mempercayai adanya Tuhan serta menganggap surga
dan neraka hanyalah dongengan orang-orang yang takut akan kematian.
Masih ada sederet tokoh sains, filsafat, dan intelektual lain
ber-IQ tinggi yang meragukan Tuhan (agnostik)
atau tidak percaya pada Tuhan (ateis). Charles Darwin (pencetus teori evolusi),
Bertrand Russell (matematikawan dan filsuf Inggris), Rosalind Franklin (penemu
sinar X), Emile Durkheim (sosiolog Prancis), dan Milton Friedman (ahli ekonom dan
pemenang Hadiah Nobel Ekonomi) dikenal sebagai tokoh-tokoh cendekia yang
agnostik. Adapun Richard Dawkins (ahli biologi evolusioner), James Watson
(penemu struktur DNA), Daniel Dennett (filsuf Amerika), Samuel Harris (filsuf dan
neuroscientist Amerika), dan Jean-Paul
Sartre (sastrawan dan filsuf Pancis) merupakan tokoh-tokoh intelektual yang
ateis.
Di luar daftar nama tokoh itu, masih ada nama-nama tokoh terkenal
lain yang juga agnostik dan ateis, seperti Karl Marx (filsuf), Friedrich Nietzshe
(filsuf), Ludwig Feuerbach (filsuf), Friedrich Engels (filsuf), Marie Curie
(kimiawan), Sigmund Freud (pendiri psikoanalisis), Mark Twain (sastrawan),
Warren Buffett (pengusaha), Larry King (selebritis), Sean Penn (aktor), Brad
Pitt (aktor), Sting (musisi), Karl R. Popper (filsuf), Jawaharlal Nehru
(politisi), Bob Hawke (politisi), Helen Clark (politisi), Thomas Henry Huxley (ahli
biologi), dan Steve Wozniak (salah satu pendiri Apple Computer).
Kecerdasan yang Timpang
Keragu-raguan
dan ketidakpercayaan orang-orang sangat cerdas dan jenius akan keberadaan Tuhan
hampir selalu terjadi karena mereka terlalu terpaku pada penggunaan salah satu kecerdasan
otak saja, yakni kecerdasan intelektual (IQ= intelegent quotient ). Kecerdasan intelektual luar biasa yang
mereka miliki, sadar atau tidak sadar, mengakibatkan mereka menjadi saintis sentris, yakni terlalu memuja dan
mengagung-agungkan sains dan ilmu pengetahuan.
Sifat
sains yang logis, empiris, serta menuntut pengujian dan pembuktian secara kasat
(tampak) mata menyebabkan mereka dan para ilmuwan umumnya menuntut semua hal
harus diperlakukan dengan cara yang sama, yakni harus dapat diuji dan
dibuktikan melalui hubungan sebab-akibat secara fisik dan konkret (berwujud
nyata). Hal ini juga berlaku saat mereka memandang dan menilai keberadaan Tuhan.
Ketika
keberadaan Tuhan tidak bisa diuji dan dibuktikan secara fisik dan kasat mata
(karena dengan cara dan upaya apa pun, Tuhan memang tidak dapat dilihat oleh
indra mata manusia), maka mereka terjerumus pada kesimpulan (yang salah dan sesat)
bahwa keberadaan Tuhan sangat sulit atau tidak dapat dipercaya sebab wujud
keberadaan-Nya tidak bisa dibuktikan secara fisik dan nyata. Mereka pun membuat
pembelaan dan pembenaran atas kesimpulannya (bahwa Tuhan tidak ada) sepenuhnya hanya
dengan logika, metode, dan argumen sains yang sesungguhnya sangat terbatas
dalam memahami dan menyadari keberadaan Tuhan.
Menguji
dan membuktikan hal yang bersifat supernatural atau gaib (tak terlihat oleh
mata) dengan sains, dengan demikian, dapat dikatakan sebagai usaha yang ‘tidak
pada tempatnya’ dan, karena itu, sia-sia dan nihilis belaka. Sejenius apa pun
otak manusia serta secanggih apa pun metodologi dan argumen sains, tidak akan
mampu menjangkau dan membuktikan kebenaran hakiki yang bersifat supernatural
atau gaib. Ketika sains tidak mampu membuktikannya, maka dibuat kesimpulan penuh
keterpaksaan dan rekayasa bahwa kebenaran hakiki itu (keberadaan Tuhan) tidak
ada atau tidak terbukti.
Lain
halnya jika mereka (para ilmuwan dan saintis) mau dan mampu menggunakan kecerdasan
spiritualnya (SQ= spiritual quotient). Dengan kecerdasan spiritual, orang akan berusaha
mengetahui dan memahami hal-hal yang tak terlihat oleh mata
(metafisika/supernatural/gaib), termasuk keberadaan Tuhan, bukan dengan logika
dan akal sebab sehebat apa pun logika dan akal manusia tetap tidak akan dapat
menjangkau dan memahami dengan jitu/tepat hal-hal yang bersifat supernatural
atau gaib.
Jenis-jenis kecerdasan manusia Sumber: www//rumahinspirasi.com |
Dengan kecerdasan spiritual, orang akan tergerak untuk mendeteksi
hal-hal yang supernatural/gaib dengan naluri, hati nurani, dan semangat menemukan
nilai-nilai kebenaran secara rendah hati dan kesadaran akan adanya kekuatan dan
kekuasaan mahabesar yang mengatasi kehidupan manusia, makhluk hidup, dan alam
semesta. Melalui kecerdasan spiritual, manusia akan mampu merasakan, memahami,
menyadari, dan akhirnya mempercayai keberadaan Tuhan dan hal-hal tak kasat mata
lain yang masih terkait dengan-Nya (seperti kehidupan sesudah mati, alam kubur,
surga, dan neraka).
Apakah
kecerdasan spiritual hanya melulu terkait dengan kemampuan memahami hal-hal
yang bersifat supernatural/gaib? Tentu saja tidak. Hal-hal konkret yang kasat
mata, seperti makhluk hidup, alam semesta, dan manusia itu sendiri justru
menjadi media yang menyadarkan manusia akan adanya kekuatan dan kekuasaan yang mahabesar.
Kehidupan manusia dan makhluk hidup serta alam semesta yang berlangsung
teratur, sistematis, dan sempurna, bagi orang yang mau dan mampu menggunakan
kecerdasan spiritualnya, bukanlah hal yang kebetulan, melainkan merupakan hasil
kreasi Zat Yang Maha Pencipta. Teraturnya kehidupan di alam semesta seisinya
bukan semata-mata karena berlakunya hukum alam, tetapi hukum alam itu sendiri
dapat berlangsung teratur karena dikreasi dan dikendalikan oleh Zat Yang
Mahabesar, Mahakuasa, dan Mahasempurna, yakni Tuhan (Allah swt.).
Orang yang mampu menggunakan kecerdasan spiritualnya juga relatif
tidak akan kesulitan dalam memahami keberadaan Tuhan melalui sejarah kehadiran
agama dan kehidupan para nabi. Melalui kecerdasan spiritual, keberadaan Tuhan
akan mudah dicerna dan dipercaya sebab kehadiran agama serta kesaksian dan
pernyataan para nabi dengan gamblang menunjukkan keberadaan dan kekuasaan
Tuhan. Dengan kecerdasan, kejujuran, serta perilaku dan akhlak mulianya yang
tak terbantahkan, para nabi, seperti Nuh, Ibrahim, Ismail, Sulaiman, Harun, Musa,
Isa, Muhammad, dan sebagainya dengan sangat jelas memberikan pernyataan bahwa
keberadaan Tuhan merupakan hal yang benar, pasti, dan mutlak (absolut).
Sebagaimana yang tercantum dalam sejarah dan kitab suci agama-agama samawi,
tujuan utama kehadiran para nabi (rasul) di bumi tidak lain adalah membawa misi
Tuhan guna mengajak manusia untuk percaya dan beribadah kepada Tuhan Yang Maha
Esa (selain tentunya berbuat baik terhadap sesama manusia dan lingkungan hidup).
Mendayagunakan Kecerdasan
Spiritual
Salah
satu hal aneh dan menggelikan yang dijumpai pada pemikiran para tokoh jenius
adalah mereka kadang memiliki kepercayaan berstandar ganda yang ambigu. Mereka
tidak percaya pada Tuhan yang bersifat tak kasat mata, tetapi malah percaya
pada figur tak kasat mata lain yang jauh lebih tidak masuk akal. Misalnya fisikawan
Stephen Hawking, ia sama sekali tidak mempercayai adanya Tuhan, tetapi justru percaya
pada keberadaan alien, semacam makhluk (yang dianggap berasal) dari luar
angkasa atau dari luar bumi, padahal Hawking tak pernah melihat alien dengan
matanya sendiri serta selama hidupnya tidak pernah pula mampu membuktikan
keberadaan alien dengan sains yang diagung-agungkannya.
Tidak
sedikit pula ilmuwan lain yang memiliki pandangan serupa dengan Stephen Hawking
dalam menghadapi fenomena alien walaupun bukti-bukti ilmiah (sains) tidak
pernah menunjukkan bahwa alien itu benar-benar ada -- belakangan, tahun 2018
lalu, para ilmuwan dari Universitas Oxford justru membuat pernyataan bahwa “alien
tidak ada”. Bagi sebagian besar orang normal,
keberadaan Tuhan jelas jauh lebih masuk akal dibandingkan dengan alien. Alien
lebih merupakan sosok fiktif hasil imajinasi pengarang cerita ilmiah (sciene fiction) atau rekaan para ilmuwan.
Tidak
percaya pada keberadaan Tuhan di sisi satu dan percaya pada keberadaan alien di
sisi lain menunjukkan subjektif dan kacau-balaunya pemikiran banyak ilmuwan dan
pemuja sains akibat terlalu bersandar pada kecerdasan
intelektual (IQ) dan mengabaikan kecerdasan spiritual (SQ). Hal itu
sekaligus juga memperlihatkan bahwa pendapat dan pernyataan mereka (dalam kontroversi
Tuhan dan alien) cacat dan tidak bisa dipertanggungjawabkan sehingga tidak
dapat dijadikan sandaran dan pegangan ilmiah.
Kontradiksi tersebut menjadi penanda tidak cukup dan tidak
validnya kecerdasan intelektual (IQ) untuk menganalisis dan manilai keberadaan
hal-hal yang bersifat metafisika, supernatural, atau gaib. Kecerdasan spiritual
(SQ) menjadi pengganti yang lebih kredibel untuk keperluan itu. Kombinasi
Kecerdasan spiritual (SQ) dan kecerdasan intelektual (IQ) akan menjadi solusi
yang lebih jitu dan efektif dalam menilai dan menyimpulkan keberadaan hal-hal
supernatural atau gaib (terutama Tuhan).
Einstein, Sagan, Hawking, dan orang-orang jenius lain yang
meragukan dan tidak percaya pada Tuhan telah meninggal dunia. Setelah “hidup”
di alam baka atau kubur (barzakh),
kini mereka pasti tahu persis bagaimana fakta yang sesungguhnya tentang Tuhan,
kehidupan setelah mati, serta surga dan neraka karena mereka telah dipertemukan
dengan kehidupan sejati (hakiki) yang sebenar-benarnya. Terlepas dari jasa-jasa
besar mereka terhadap ilmu pengetahuan dan kehidupan manusia, mereka juga
akhirnya paham bahwa kecerdasan luar biasa dan kejeniusan mereka menjadi kurang
bermakna dan bahkan menjadi malapetaka yang tak terperikan bagi diri mereka
sendiri akibat kejeniusan itu menjerumuskan mereka pada ketidakpercayaan
terhadap Zat Mahabesar dan Mahakuasa yang menciptakan mereka.
Sumber
Rujukan
2.
https://id.wikipedia.org/wiki/Indonesian_Atheists
7.
https://www.merdeka.com/dunia/penelitian-sebut-ateis-lebih-cerdas-ketimbang-orang-beragama.html
9.
https://www.merdeka.com/khas/kumpulan-penolak-tuhan-komunitas-ateis-2.html