Oleh Akhmad Zamroni
Otak manusia Sumber: https://intisari.grid.id |
Memiliki
anak yang berotak sangat cerdas dan apalagi supercerdas (jenius) tentu sangat menyenangkan.
Itu merupakan keajaiban yang tidak dimiliki setiap orang atau keluarga. Anak
cerdas dan supercerdas dapat menghasilkan banyak prestasi besar yang fenomenal
sehingga dapat melambungkan orang tua dan keluarga ke puncak kebanggaan.
Namun, perlu diketahui, anak sangat cerdas dan
apalagi supercerdas juga dapat membawa efek samping yang tidak diduga-duga dan
berbahaya. Apa efek samping itu? Hasil-hasil riset mutakhir terhadap anak-anak
cerdas dan supercerdas serta fakta kehidupan para tokoh sangat cerdas dan
jenius menunjukkan bahwa kecerdasan luar biasa cenderung menyeret pemiliknya
pada sikap keragu-raguan dan ketidakpercayaan terhadap keberadaan Tuhan.
Saat
ini, sejalan dengan bertambah baiknya tingkat gizi, kian majunya teknologi
medis dan informatika, serta makin banyaknya pernikahan antaretnik dan antarras,
anak-anak Indonesia tidak sedikit yang memiliki kecerdasan berlevel tinggi;
sebagian bahkan dianggap jenius atau mendekati jenius. Ini berarti, jika
pendidikan dan bimbingan (terutama pengajaran agama) yang diberikan kepada
mereka salah atau tidak tepat, dapat terjadi bencana kemanusiaan dan keagamaan
yang menyedihkan, yakni setelah dewasa mereka dapat tersesat menjadi
orang-orang yang meragukan atau bahkan tidak percaya akan keberadaan Tuhan.
Sebagai
catatan, saat ini di Indonesia sudah berdiri (secara terselubung) beberapa
kelompok atau komunitas orang-orang agnostik
(meragukan keberadaan Tuhan) dan ateis (tidak mempercayai keberadaan
Tuhan sama sekali). Mereka lebih banyak bergerak dan berdiskusi melalui media
sosial Internet (terutama Facebook). Komunitas itu, misalnya, Indonesian Atheists (IA) yang beranggotakan
para ateis dan agnostik di Indonesia. Menurut Wikipedia, saat ini komunitas Indonesian
Atheists telah memiliki anggota sekitar 1.400 orang.
Ada
juga komunitas anonim yang beranggotakan orang-orang agnostik dan ateis, selain
orang-orang beragama yang liberal dan moderat. Mereka tidak berani menyebut
nama komunitasnya, tetapi mereka menyebut dirinya Free Thinker (orang-orang yang berpikir bebas dan independen). Masih
ada juga forum komunikasi dan komunitas yang disebut ABAM, singkatan dari Anda Bertanya Ateis Menjawab, yang pengasuh
atau administratornya merupakan orang-orang ateis. Sama seperti Indonesian
Atheists, Free Thinker dan ABAM juga banyak bergerak melalui media sosial di
Internet (terutama Facebook).
Menurut
salah seorang aktivis LSM, jumlah orang agnostik dan ateis di Indonesia saat
ini diperkirakan telah mencapai sekitar 10.000 hingga 15.000 orang. Itu baru
jumlah perkiraan yang terhimpun dalam komunitas (organisasi), sedangkan yang tersebar
di luar dan tidak tergabung dalam komunitas kemungkinan juga masih banyak.
Perlu
dicatat pula bahwa para anggota Indonesian Atheists dan Free Thinker serta
aktivis ABAM banyak di antaranya merupakan anak-anak muda berusia di bawah 40
tahun. Pendiri Indonesian Atheists, yakni pria bernama Karl Karnadi, merupakan
pemuda yang berusia 35 tahun dan saat mendirikan Indonesian Atheists pada 1 Oktober
2008 ia baru berusia sekitar 24 tahun.
Para
anggota Indonesian Atheists dan Free Thinker serta pengasuh ABAM awalnya adalah
anak-anak muda yang mempercayai keberadaan Tuhan. Sebelum menjadi agnostik dan
ateis, mereka menganut agama resmi (Islam, Kristen, Katolik, dan sebagainya)
serta taat beribadah berdasarkan ajaran agamanya masing-masing.
Hingga
kini belum diketahui dengan pasti tingkat kecerdasan intelektual (IQ) para
anggota Indonesian Atheists dan Free Thinker serta pengasuh ABAM. Namun,
berdasarkan pembicaraan di internet, mereka konon merupakan anak-anak muda yang
cerdas, kritis, dan gemar membaca buku (terutama bertema sains, politik, dan
filsafat).
Dengan
demikian, secara sepintas dapat terdeteksi pula bahwa kemunculan
komunitas-komunitas agnostik dan ateis tersebut terkait dengan tingkat
kecerdasan para anggotanya. Artinya, para anggota komunitas itu menjadi
agnostik dan ateis sedikit banyak karena dipengaruhi atau ditentukan oleh
kecerdasan yang mereka miliki.
Fenomena kecerdasan tinggi
yang dapat menjerumuskan seseorang pada agnotisisme dan ateisme di sisi satu
serta mulai bermunculannya komunitas orang-orang agnostik dan ateis di
Indonesia di sisi lain tentu menjadi kekhawatiran banyak kalangan. Masyarakat
Indonesia yang umumnya religius dan masih menjadikan agama sebagai pedoman
utama hidup menganggap sikap agnostik dan ateis sebagai aib yang harus
dihindari dan dijauhi karena merupakan bentuk dosa besar.
Dari segi hidup berbangsa dan bernegara, agnostisisme dan ateisme
juga (dianggap) bertentangan dengan dasar negara, Pancasila, dan konstitusi
negara, UUD 1945. Baik Pancasila maupun UUD 1945 menyatakan bahwa negara
Indonesia berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini mengandung
instruksi bahwa setiap warga negara Indonesia wajib percaya pada keberadaan
Tuhan Yang Mahakuasa dan Maha Pencipta serta menganut salah satu agama yang
diakui di Indonesia.
Sumber Rujukan
- https://id.wikipedia.org/wiki/Albert_Einstein
- https://id.wikipedia.org/wiki/Indonesian_Atheists
- https://id.wikipedia.org/wiki/Stephen_Hawking
- https://kumparan.com/kumparansains/benarkah-ateis-lebih-cerdas-dari-orang-beragama
- https://sains.kompas.com/read/2017/07/10/160700123/terungkap.alasan.orang.cerdas.cenderung.jadi.ateis?page=all
- https://tekno.tempo.co/read/504083/orang-cerdas-cenderung-jadi-ateis/full&view=ok
- https://www.merdeka.com/dunia/penelitian-sebut-ateis-lebih-cerdas-ketimbang-orang-beragama.html
- https://www.merdeka.com/khas/kami-tidak-percaya-tuhan-dalan-wujud-apapun-komunitas-ateis-5.html
- https://www.merdeka.com/khas/kumpulan-penolak-tuhan-komunitas-ateis-2.html
- 1https://www.merdeka.com/khas/tanpa-tuhan-di-negeri-beriman-komunitas-ateis-4.html
- https://www.suara.com/news/2019/07/10/080500/mereka-hidup-tanpa-tuhan-pengakuan-orang-orang-ateis-di-indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar