Oleh Akhmad Zamroni
Palu hakim di pengadilan (Sumber: http://www.newtapanuli.com) |
Apa yang diidealkan
memang tidak selalu terwujud secara konkret dalam realitas kehidupan. Hukum
sebagai pengatur utama kehidupan yang mampu mendatangkan keadilan dan kebenaran
di negara kita ternyata masih sebatas idealisme yang sulit diwujudkan. Hukum
sebagai panglima dalam mengatur tata kehidupan kiranya masih sebatas kata-kata
yang belum meresap dalam bentuk tindakan nyata dalam praktik kehidupan
sehari-hari kita.
Taat dan tertib hukum belum menjadi
sikap dan perilaku yang membudaya dan mengakar kuat dalam kehidupan masyarakat
kita. Sejak negara kita terbentuk melalui Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus
1945, pasang surut kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara kita masih
lebih banyak diwarnai keengganan untuk secara penuh tunduk dan melaksanakan
hukum. Tidak kurang, hal ini terjadi di kalangan pemerintah, para tokoh, para
pemimpin, dan bahkan aparat penegak hukum sendiri. Pada masa pemerintahan Orde
Lama –– masa awal berdirinya negara Indonesia –– pemerintahan dijalankan secara
otoriter dan penuh pelanggaran terhadap Pancasila dan UUD 1945, terutama
setelah berlakunya Dekret Presiden 5 Juli 1959. Pada masa Orde Baru –– yang
semula bertekad untuk mengoreksi kesalahan rezim Orde Lama –– pemerintahan
bahkan dijalankan dengan lebih otoriter serta sarat dengan pelanggaran hukum,
demokrasi, dan hak asasi manusia. Dan kini, pada era reformasi –– yang semula
lagi-lagi dimaksudkan untuk mengoreksi kesalahan rezim-rezim sebelumnya (Orde
Lama dan Orde Baru) –– pelanggaran hukum masih tetap saja menjadi peristiwa dan
pemandangan yang sangat sering kita jumpai.
·
Inkonsistensi
Penegakan Hukum
Perkembangan setelah reformasi bahkan
memperlihatkan bahwa upaya penegakan hukum di negara kita mengalami masalah
yang sangat serius. Selama sekitar dua dasawarsa (1999-2019) upaya penegakan
hukum seperti mengalami deadlock (jalan buntu). Banyak sekali kasus
pelanggaran hukum baik di daerah-daerah maupun di pusat tidak diselesaikan
sebagaimana mestinya.
Kecenderungan yang
menonjol adalah banyak kasus pidana diselesaikan secara diskriminatif atau
tebang pilih. Tidak sedikit fakta menunjukkan, hukum diberlakukan secara
konsisten hanya pada kalangan masyarakat lapisan bawah yang miskin, bodoh, dan
tidak memiliki akses kekuasaan. Para pelaku tindak pidana kecil-kecilan, yang
melakukan kejahatan karena terpaksa dan faktor kemiskinan –– seperti mencuri
beberapa butir buah cokelat dan semangka –– diproses hukum dan dijatuhi hukuman
sesuai aturan, sementara para pelaku tindak pidana besar, yang melakukan
kejahatan karena sifat rakus dan serakah –– seperti penyalahgunaan kekuasaan
atau wewenang (abuse of power) dan korupsi miliaran atau triliunan
rupiah –– banyak yang dibiarkan menghirup udara bebas atau diproses dan
dijatuhi hukuman di bawah standar (sangat ringan).
·
Mafia
Hukum
Grafik upaya
penegakan hukum dalam beberapa tahun ini makin menunjukkan gejala kemerosotan
yang ironis, parah, dan “gila” setelah ditemukan kasus-kasus pelanggaran hukum
yang hampir-hampir tak masuk akal, yakni banyaknya petinggi aparat penegak
hukum –– hakim, jaksa, dan polisi –– yang menjadi pelaku pelanggaran hukum yang
serius (korupsi, manipulasi, penyalahgunaan wewenang, penyalahgunaan narkoba,
pungutan liar, dan sebagainya). Mencuatnya kasus-kasus ini menimbulkan dugaan
kuat bahwa upaya penegakan hukum di Indonesia saat ini justru dikendalikan atau
setidaknya dihambat oleh jaringan yang disebut ‘mafia hukum’. Mereka yang masuk
dan mengendalikan jaringan ini bukan kalangan masyarakat awam biasa, melainkan
justru para aparat penegak hukum yang sangat paham akan hukum serta memiliki
kedudukan yang penting dalam jajaran korp aparat penegak hukum. Sementara itu,
dalam bidang fiskal (perpajakan) muncul pula dugaan kuat ihwal adanya ‘mafia
pajak’ yang beroperasi untuk mengeruk keuntungan dengan cara-cara ilegal.
Dugaan kuat tentang keberadaan ‘mafia
hukum’ kemudian menjadi makin menemukan kebenarannya setelah pemerintahan Susilo
Bambang Yudhoyono beberapa tahun lalu membentuk Satuan Tugas Pemberantasan
Mafia Hukum (Satgas Antimafia Hukum). Kebijakan SBY ini secara langsung
merupakan bentuk pengakuan akan ada, beroperasi, dan merajalelanya mafia hukum
dalam dunia hukum di Indonesia. Jika fenomena mafia hukum baru menjadi dugaan
atau gejala kecil, tentunya pembentukan Satgas Antimafia Hukum tidak perlu
dilakukan sebab upaya untuk mengatasinya cukup dilakukan dengan pemberlakuan
atau penegakan hukum secara normal/biasa saja. Akan tetapi, bahwa Satgas
Antimafia Hukum akhirnya dibentuk dengan kewenangan yang besar, tentunya keberadaan
dan sepak terjang mafia hukum memang sudah riil, kuat, dan melembaga serta sudah
pada taraf darurat dan dapat membahayakan keselamatan negara (jauh lebih serius
dari sekadar dugaan dan gejala kecil).
·
Alarm Bahaya
Penegakan Hukum
Dalam pada itu, pembentukan lembaga
dengan tugas khusus memberantas korupsi, yakni Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK), memperjelas fakta bahwa lembaga-lembaga penegak hukum reguler ––
kehakiman, kejaksaan, dan kepolisian –– memang sedang didera persoalan yang
serius. Pembentukan KPK dilakukan sebagai upaya darurat yang dilatarbelakangi
dua alasan atau pertimbangan pokok, yakni, pertama, karena lembaga-lembaga
penegak hukum reguler (dianggap) tidak berdaya dan gagal melakukan upaya
pemberantasan korupsi dan, kedua, karena korupsi (dianggap) sudah
menjelma menjadi kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Dengan
demikian menjadi lebih jelas bahwa pembentukan Satgas Antimafia Hukum dan KPK
menjadi pertanda kian kerasnya bunyi alarm bahaya dalam upaya penegakan hukum
di Indonesia. Upaya penegakan hukum menjadi sangat terhambat dan bahkan terasa
berbalik menjadi penghancuran hukum akibat lembaga penegak hukum reguler
sendiri didera penyakit yang akut dan sulit disembuhkan.
Keadaannya menjadi makin runyam
karena perilaku kurang taat dan tertib hukum juga banyak ditemui di luar
lembaga penegak hukum dan para aparat penegak hukum. Tidak hanya polisi, jaksa,
dan hakim, pengacara, pejabat tinggi di pusat dan daerah, serta para anggota
DPR dan DPRD pun banyak yang tersangkut kasus hukum. Umumnya mereka tersangkut
kasus pidana korupsi dan penyalahgunaan wewenang/jabatan. Pelanggaran hukum
yang terjadi memperlihatkan keruwetan yang sulit diurai atau lingkaran setan
yang sulit diputus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar