Oleh Akhmad Zamroni
Sumber: myeatandtravelstory.files.wordpress.com |
Gerakan 30 September (G-30-S) dapat dikatakan merupakan
pemberontakan yang paling mengguncang dan paling kontroversial dalam sejarah
Indonesia modern. Secara keseluruhan, pemberontakan ini ––beserta semua dampak
dan implikasinya –– menjadi gerakan pemberontakan yang paling banyak memakan
korban jiwa. Tidak kurang dari tujuh orang perwira ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia;
sekarang Tentara Nasional Indonesia [TNI]) gugur, sementara ribuan warga
masyarakat juga turut kehilangan nyawa akibat pemberontakan ini. Adapun dari
sisi pelaku pemberontakan, terjadi pro dan kontra yang cukup tajam di kalangan
ahli sejarah dan masyarakat awam. Ada beberapa versi mengenai pelaku pemberontakan
30 September. Salah satu versi menyatakan bahwa pemberontakan yang terjadi pada
tanggal 30 September 1965 tersebut –– sehingga disebut G-30-S –– didalangi oleh dinas intelijen Amerika
Serikat, CIA (Central Intelligence Agency). Versi lainnya menyatakan bahwa
dalang sekaligus pelaku pemberontakan tersebut tidak lain adalah PKI (Partai
Komunis Indonesia).
Dari kedua versi tersebut ––
juga versi-versi lain yang beredar –– sebagian besar sejarawan dan masyarakat
Indonesia tampaknya lebih percaya dan yakin bahwa otak dan pelaku gerakan 30 September adalah PKI. Hal ini
terutama didasarkan pada penuturan para saksi dan pelaku sejarah di sekitar
peristiwa G-30-S yang terjadi pada tahun 1965. Namun,
situasi dan kondisi secara keseluruhan pada saat itu memang rumit, kacau, dan
tak menentu sehingga cukup sulit untuk membuat kesimpulan yang pasti dan valid.
Sementara itu, kalangan yang lebih mempercayai bahwa dalang G-30-S adalah CIA juga memiliki
alasan-alasan tersendiri.
Sumber-sumber sejarah (pustaka
dan ahli sejarah) yang lebih percaya
bahwa pemberontakan didalangi PKI menilai, gerakan 30 September merupakan upaya
sistematis PKI untuk melakukan makar dan kudeta dalam rangka menjadikan
Indonesia sebagai negara komunis. PKI dianggap secara sengaja melakukan
serangkaian aksi untuk merebut kekuasaan atau menggulingkan pemerintahan dalam
upaya mengganti dasar dan ideologi negara Indonesia Pancasila dengan ideologi
yang mereka anut, yakni komunisme (atau Marxisme). Mereka menghalalkan dan melakukan
segala cara untuk mewujudkan ambisinya. Cara atau metode yang mereka tempuh
bermacam-macam: dari demonstrasi, provokasi, agitasi, menyebarkan isu dan fitnah,
hingga menculik dan membunuh perwira menengah dan tinggi Angkatan Darat ABRI.
Adapun sumber sejarah yang
lebih mempercayai CIA sebagai otak pemberontakan menilai bahwa keterlibatan CIA
dalam gerakan 30 September merupakan bagian dari upaya Amerika
Serikat untuk membendung penyebaran komunisme di Indonesia. Menurut sumber ini,
Amerika Serikat berkepentingan untuk
menghentikan ekspansi (penyebaran) komunisme di Indonesia khususnya dan di
dunia internasional umumnya karena komunisme merupakan musuh utama ideologi Amerika
Serikat (AS dan negara-negara Barat umumnya menganut ideologi
kapitalisme/liberalisme). Seperti diketahui, pada masa-masa menjelang pecahnya
pemberontakan G-30-S (sekitar awal 1960-an), pemerintah
Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno terkenal sangat anti-Barat (antikapitalisme) dan sebaliknya
dekat dengan negara-negara komunis (terutama Uni Soviet dan Republik Rakyat
Cina) sehingga Amerika Serikat merasa perlu melakukan tindakan
yang diperlukan, yakni kudeta. Di sisi lain, untuk menghentikan dan
menghancurkan komunisme di Indonesia, Amerika
Serikat melalui CIA membuat skenario bahwa kudeta itu seolah-olah justru
dilakukan oleh PKI sehingga kemudian ada alasan yang kuat (bagi rakyat dan
pemerintah Indonesia) untuk menghancurkan PKI dan menjadikannya sebagai partai
politik atau organisasi yang terlarang.
Terlepas dari perbedaan
pandangan dan kontroversi tentang pelaku G-30-S yang hingga kini tak berkesudahan
tersebut, fakta menunjukkan bahwa pemberontakan G-30-S memang benar-benar telah terjadi.
Dalam lembaran sejarah bangsa dan negara Indonesia, pemberontakan G-30-S menjadi tragedi memilukan yang tak
akan terlupakan. Sejak Indonesia merdeka tahun 1945, G-30-S merupakan gerakan makar dan kudeta
yang paling mengguncang kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Hal ini karena
selain menimbulkan korban jiwa yang besar di kalangan sipil dan militer,
pemberontakan G-30-S juga terjadi di dekat pusat-pusat
kekuasaan atau pemerintahan negara sehingga sempat membuat pemerintahan menjadi
goyah serta masyarakat mengalami kepanikan dan kekacauan luar biasa.
Sumber: asopi.files.wordpress.com |
Akibat kepanikan dan kemarahan, sebagian masyarakat secara spontan mengambil tindakan sendiri dengan melakukan serangan balik terhadap para simpatisan dan pengikut PKI. Adapun pemerintah dan ABRI –– dengan didasari rasa tanggung jawab untuk mempertahankan keutuhan bangsa dan negara –– juga mengambil sejumlah tindakan hukum terhadap para tokoh dan pemimpin PKI. Pandangan umum ketika itu memang menilai bahwa dalang di balik pemberontakan 30 September adalah PKI berikut organ-organnya sehingga merekalah yang dijadikan sasaran kemarahan dan tindakan hukum. Akibat kemarahan dan serangan balik masyarakat, diperkirakan ribuan pengikut dan simpatisan PKI meninggal dunia, sementara sebagian tokoh dan pemimpin PKI dijatuhi hukuman mati dan seumur hidup oleh pemerintah. Namun, penting untuk diingat bahwa selama pergolakan peristiwa G-30-S terjadi, tidak sedikit pula warga masyarakat yang antikomunis dan anti-PKI serta mereka yang awam dan tidak mengerti masalah politik kehilangan nyawa akibat tindak kekerasan yang dilakukan para pengikut dan simpatisan PKI.
Pemberontakan G-30-S diawali dengan memanasnya suhu
politik Indonesia akibat perbedaan pandangan dan konflik internal di tubuh
pemerintahan, ABRI (terutama Angkatan Darat), partai
politik, sastrawan, seniman, dan masyarakat. Pemerintahan di bawah Presiden
Soekarno, selain lebih condong ke blok komunis (Uni Soviet dan RRC), di dalam
negeri juga tampak memberi angin kepada PKI dengan, di antaranya, mengeluarkan
ide Nasakom (nasionalis, agama, dan komunis) –– suatu hal yang sebenarnya mendapat
tentangan keras dari para tokoh dan masyarakat. Akibat ide Nasakom, PKI kian
memiliki pengaruh kuat serta menjadi kekuatan politik besar yang paling gencar
melakukan manuver. Manuver PKI yang menonjol, antara lain, mendesakkan dibentuknya
Angkatan Kelima (terdiri atas kaum buruh dan petani yang dipersenjatai), membentuk
Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat; beranggotakan sastrawan, seniman, dan
cendekiawan yang berhaluan kiri), dan mengusulkan pembubaran partai-partai
politik tertentu yang memiliki sikap kritis dan anti terhadap komunisme dan
PKI.
PKI terus berusaha menanamkan
pengaruhnya ke hampir semua lini: pemerintah, ABRI, sastrawan, seniman, cendekiawan, dan
masyarakat luas. Akibatnya, banyak lembaga negara, organisasi, dan masyarakat
terbelah-belah antara yang pro-PKI dan anti-PKI serta dilanda sikap saling
curiga. Di kemudian hari diketahui, sebagian pejabat pemerintah dan ABRI, sastrawan, seniman, dan cendekiawan
merupakan pengikut PKI.
Memasuki bulan Mei 1965, suhu
politik kian memanas akibat beredarnya desas-desus yang disebarkan oleh PKI
tentang pembentukan Dewan Jenderal di tubuh Angkatan Darat ABRI. Informasi ini, menurut beberapa
sumber, berasal dari dokumen yang ditemukan di kediaman Gilchrist, Duta Besar
Inggris untuk Indonesia. Menurut informasi yang tidak jelas kebenarannya, Dewan
Jenderal beranggotakan para perwira AD ABRI yang berencana melakukan kudeta
melalui aksi militer, tetapi AD membantahnya dengan keras serta sebaliknya
menuding PKI-lah yang sebenarnya hendak melakukan perebutan kekuasaan. Secara
resmi, pada tanggal 27 September 1965, AD juga mengumumkan penolakan terhadap
pemberlakuan prinsip Nasakom di jajaran ABRI dan pembentukan Angkatan Kelima yang
diusulkan oleh PKI. Hal ini membuat persaingan dan ketegangan antara AD dan PKI
berubah menjadi permusuhan politik antara keduanya.
Sumber: upload.wikimedia.org, 2.bp.blogspot.com, cdn0-a.production.liputan6.static6.com |
Suhu tinggi politik kemudian
berkembang menjadi krisis politik ketika pada tanggal 30 September 1965 malam
hari hingga tanggal 1 Oktober 1965 dini hari terjadi penculikan dan pembunuhan
terhadap sejumlah perwira tinggi dan menengah AD serta seorang polisi. Para
perwira AD dan polisi yang menjadi korban pembunuhan ini adalah Letjen Ahmad
Yani, Mayjen R. Soeprapto, Mayjen M.T. Haryono, Mayjen S. Parman, Brigjen D.I.
Pandjaitan, Brigjen Soetoyo Siswomiharjo, Kolonel Katamso, Letkol Soegiyono,
dan Lettu Piere A. Tendean, dan AIP Karel Satsuit Tubun. Pelaku penculikan dan
pembunuhan diduga kuat adalah pasukan sempalan AD yang telah menjadi pengikut dan
simpatisan PKI. Komandan lapangan yang memimpin operasi berdarah ini diduga
adalah Letkol Untung (komandan Batalion I Pasukan Pengawal Presiden
Cakrabirawa), sedangkan otak gerakan adalah para pemimpin PKI, seperti D.N.
Aidit dan Kamaruzaman. Tokoh-tokoh lain yang secara langsung atau tidak langsung
juga diduga terlibat atau setidaknya turut menjadi pengikut dan pejabat penting
PKI, antara lain, Dr. Soebandrio (wakil perdana menteri I), Dr. Chaerul Saleh
(wakil perdana menteri III), Oei Tjoe Tat (menteri Kabinet Dwikora), Marsma
Omar Dhani (AU ABRI), Brigjen Soeparjo (AD ABRI), Kol. Latief (ABRI), Kol. Soenardi (AL ABRI), dan Kol. Anwar (Polri).
Melihat
keadaan demikian chaos dan kritis, banyak tokoh dan warga masyarakat
mendesak pemerintah untuk secepatnya mengambil tindakan. Pemerintah melalui ABRI bersama rakyat kemudian melakukan
operasi penumpasan. Dalam waktu yang relatif singkat, pemimpin tertinggi PKI,
D.N. Aidit, serta beberapa tokoh PKI, seperti Kamaruzaman, Soebandrio, Omar
Dhani, Kolonel Latief, dan Letkol Untung, dapat ditangkap. Sebagian dieksekusi
pada saat penangkapan, sebagian lagi dijatuhi hukuman mati dan seumur hidup.
Pada tahun 1966, pemerintah kemudian membubarkan PKI serta mengumumkannya
sebagai partai terlarang di Indonesia.