Minggu, 15 April 2018

Dari Sistem Demokrasi Terpimpin ke Sistem Demokrasi Pancasila


Oleh  Akhmad Zamroni

Sumber: belapendidikan.com

Pada tahun 1950-an, model atau sistem demokrasi yang dianut di Indonesia adalah demokrasi liberal atau demokrasi parlementer. Akibat belum memadainya infrastruktur politik dan sangat minimnya pengalaman berdemokrasi, pelaksanaan demokrasi liberal menimbulkan kekacauan dan ketidakstabilan kehidupan berbangsa dan bernegara yang berkepanjangan. Hal ini mengakibatkan Presiden Soekarno mengeluarkan Dekret Presiden 5 Juli 1959.
Isi Dekret Presiden 5 Juli 1959 adalah pembubaran Konstituante, pemberlakuan kembali UUD 1945 (untuk menggantikan UUDS 1950), serta pembentukan MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara) dan DPAS (Dewan Pertimbangan Agung Sementara). Dalam perkembangannya, Dekret 5 Juli 1959 menjadi penanda berakhirnya demokrasi liberal dalam sistem ketatanegaraan atau sistem politik di Indonesia. Setelah dekret itu berlaku, model demokrasi yang dijalankan oleh pemerintahan Presiden Soekarno adalah demokrasi terpimpin.
Sistem demokrasi terpimpin yang dijalankan Presiden Soekarno tidak membawa kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara Indonesia menjadi makin konstitusional, demokratis, adil, dan sejahtera. Hal ini terjadi karena sistem demokrasi terpimpin menyebabkan pemerintahan Presiden Soekarno justru mengabaikan nilai-nilai dan prinsip-prinsip demokrasi serta sebaliknya berubah menjadi otoriter dan antidemokrasi. Bahkan, sistem demokrasi terpimpin akhirnya menyebabkan terjadinya penumpukan dan tersentralisasinya kekuasaan (kedaulatan) negara di tangan presiden seorang diri.
Penumpukan dan tersentralisasinya kekuasaan di tangan presiden mengakibatkan terjadinya banyak sekali penyimpangan terhadap UUD 1945. Penyimpangan paling menonjol yang dilakukan oleh Presiden Soekarno adalah dikeluarkannya keputusan yang disebut “penetapan presiden” (atau penpres). Penpres dikeluarkan presiden tanpa melalui persetujuan DPR, tetapi dijadikan peraturan yang setara dengan undang-undang (UU).
Pemberlakuan penpres merupakan tindakan yang inkonstitusional karena penpres jelas sekali bertentangan dengan UUD 1945. Sebagai keputusan yang diberi kedudukan setingkat dengan undang-undang, penpres justru dibuat dan dikeluarkan presiden secara sepihak tanpa persetujuan DPR. Menurut ketentuan UUD 1945, undang-undang dibuat dan ditetapkan melalui persetujuan bersama antara presiden dan DPR. Dalam pada itu, penpres itu sendiri pun banyak yang di antaranya dikeluarkan untuk mengatur hal-hal yang berada di luar kewenangan presiden. Misalnya, dikeluarkan untuk membentuk MPRS (Penpres No. 2/1959), membentuk DPAS (Penpres No. 3/1959), membubarkan partai politik (Penpres No. 7/1959), dan membubarkan DPR (Penpres No. 3/1960).
Akibat terlalu besarnya kekuasaan dan otoriternya presiden, lembaga-lembaga tinggi negara –– terutama MPRS, DPR, dan DPAS –– juga mengalami krisis fungsi dan kedudukan. Pembentukan ketiga lembaga negara tersebut dilakukan dengan penpres serta keanggotaannya pun ditunjuk atau dipilih oleh presiden sehingga ketiganya praktis berada di bawah kendali presiden. Keputusan-keputusan ketiga lembaga tersebut juga lebih banyak dikeluarkan untuk mendukung kepentingan presiden serta memperkuat kedudukan presiden, bukan untuk memperjuangkan aspirasi dan kepentingan rakyat sebagai pemilik kedaulatan negara. Sebagai contoh, salah satu ketetapan MPRS (Tap No. III/MPRS/1963) dikeluarkan untuk mengangkat Soekarno sebagai presiden seumur hidup.
Penyimpangan-penyimpangan tersebut menunjukkan dengan gamblang bahwa demokrasi sebagai sistem ketatanegaraan sama sekali tidak berjalan serta pengelolaan pemerintahan berlangsung secara inkonstitusional. Akibatnya, kehidupan berbangsa dan bernegara mengalami kekacauan. Krisis politik, hukum, ekonomi, dan sosial pun kemudian tidak dapat dihindarkan. Dan akibat desakan rakyat yang dipelopori oleh mahasiswa dan pelajar, pada paruh kedua dasawarsa 1960-an, pemerintahan Presiden Soekarno –– yang populer dengan sebutan pemerintahan Orde Lama –– akhirnya runtuh. Sebagai gantinya, pemerintahan baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto tampil memegang tampuk kekuasaan.
Pemerintahan Presiden Soeharto meneruskan kendali kehidupan berbangsa dan bernegara dengan tekad melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 dengan murni dan konsekuen. Sebagai bagian yang tak terpisahkan dari konstitusi, demokrasi pun hendak kembali ditumbuhkembangkan sejalan dengan nilai-nilai dasar negara, Pancasila. Sebagai bentuk pelaksanaan kedaulatan rakyat, demokrasi hendak dijalankan dengan berlandaskan pada nilai-nilai yang terkandung dalam sila Pancasila. Maka, demokrasi yang kemudian hendak dilaksanakan itu mendapat sebutan “demokrasi Pancasila”.
Melalui Tap MPRS No. XXXVII/1968 dan diperkuat dengan Tap MPR No. I/1978, demokrasi Pancasila dijadikan sistem ketatanegaraan untuk menjalankan roda pemerintahan. Pemerintahan Presiden Soeharto –– yang mengklaim diri sebagai pemerintahan Orde Baru –– bertekad melaksanakan demokrasi Pancasila sebagai koreksi atas sistem demokrasi (terpimpin) yang dijalankan oleh pemerintahan Orde Lama. Demokrasi Pancasila dianggap lebih sesuai dengan dasar negara dan konstitusi sehingga lebih menjamin pelaksanaan kedaulatan rakyat.
Pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto sendiri akhirnya juga menjelma menjadi pemerintahan yang otoriter serta masif dalam melakukan korupsi dan pelanggaran berat hak asasi manusia. Namun, terlepas dari hal itu, sistem demokrasi Pancasila merupakan model demokrasi khas Indonesia yang lebih sesuai dengan karakteristik, kultur, ideologi, dan filosofi bangsa Indonesia. Substansi demokrasi Pancasila, selain berkorelasi dengan ideologi dan dasar negara (Pancasila) serta konstitusi negara (UUD 1945), juga berelevansi dengan kebudayaan dan kehidupan sosial masyarakat Indonesia jauh sebelum negara Indonesia terbentuk.
Pelaksanaan demokrasi Pancasila dilandasi oleh asas gotong royong dan kekeluargaan serta pengamalan sila-sila dalam Pancasila. Menurut sistem ini, pengambilan keputusan dilakukan semaksimal mungkin melalui musyawarah dalam upaya mencapai mufakat. Jika dengan cara ini keputusan tidak dapat diambil, dapat dilakukan pemungutan suara (voting) dengan keputusan akhir didasarkan pada suara terbanyak. Adapun keputusan yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan serta tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.
Demokrasi Pancasila menempatkan kepentingan bangsa dan negara serta hak warga negara pada kedudukan yang tinggi. Berdasarkan demokrasi Pancasila, kepentingan umum lebih diutamakan daripada kepentingan individu dan golongan. Pelaksanaan demokrasi Pancasila merupakan bentuk pengakuan terhadap hak asasi manusia sekaligus hak demokrasi warga negara (rakyat). Lebih khusus dan terperinci, demokrasi Pancasila memilili ciri-ciri sebagai berikut.
Sistem demokrasi Pancasila tidak jauh berbeda dengan sistem demokrasi pada umumnya dalam menempatkan rakyat. Demokrasi Pancasila tetap memposisikan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dalam negara. Aspirasi dan kepentingan rakyat menjadi dasar bagi pelaksanaan pemerintahan negara.
Demokrasi Pancasila menggunakan sistem perwakilan. Kedaulatan rakyat dilaksanakan melalui wakil-wakil rakyat yang duduk dalam lembaga perwakilan (MPR, DPR, dan DPD). Melalui para wakilnya di lembaga perwakilan, rakyat juga ikut serta dan mengawasi jalannya pemerintahan.
Dalam pengambilan keputusan, demokrasi Pancasila lebih mengutamakan musyawarah, sedangkan voting dijadikan jalan terakhir. Inilah ciri yang paling membedakan demokrasi Pancasila dengan sistem demokrasi pada umumnya. Musyawarah yang dilakukan dengan tenang, santun, argumentatif, dan dilandasi iktikad baik akan menghasilkan keputusan konkret dalam berbagai bentuk, seperti undang-undang, konsensus politik, dan umpan balik yang efektif. Keputusan seperti ini dapat menjadi masukan bagi pemerintah dalam penyempurnaan pelaksanaan undang-undang dan kebijakan lain serta bagi pemeliharaan kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih sehat, dinamis, dan bermartabat.
Bagaimanakah pula kaitan demokrasi Pancasila dengan nilai-nilai Pancasila?  Substansi atau inti demokrasi Pancasila diinspirasi oleh nilai-nilai Pancasila yang bersifat satu kesatuan yang tak terpisahkan. Itulah sebabnya, demokrasi Pancasila dilandasi prinsip-prinsip demokrasi yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat dan kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Berikut ini dijelaskan kaitan antara demokrasi Pancasila dengan sila-sila yang terdapat dalam Pancasila.
1.  Demokrasi Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
Sistem demokrasi Pancasila tidaklah bersifat ateistis (anti-Tuhan). Demokrasi Pancasila menganut mekanisme dimensi ganda pada manusia, yakni homo individualis  dan homo religius. Dimensi religius mengandung pengertian bahwa pelaksana demokrasi harus mampu mempertanggungjawabkan seluruh sikap dan perbuatannya kapada Tuhan. Dalam demokrasi Pancasila, sikap dan perilaku saling menghargai di antara umat beragama hendak diwujudkan.
2.  Demokrasi Berdasarkan Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
Demokrasi Pancasila mengarahkan semua individu untuk memperlakukan sesama sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai manusia. Pemaksaan, penindasan, dan segala bentuk pelanggaran hak asasi yang lain hendak dihindarkan. Hal ini sejalan dengan prinsip dasar demokrasi umumnya yang memberi jaminan terhadap perlindungan dan penegakan hak asasi manusia.
3.  Demokrasi Berdasarkan Persatuan Indonesia
Demokrasi Pancasila mengarahkan semua warga negara untuk menjaga dan memperkuat persatuan di sisi satu serta menghindari pertentangan dan perpecahan di sisi lain. Pertentangan dan perpecahan dapat menyebabkan terjadinya penindasan. Dalam demokrasi Pancasila, desentralisasi diterapkan dengan prinsip dan bingkai kesatuan dan persatuan. Daerah-daerah tidak dibenarkan saling bertentangan, melainkan harus bersatu untuk mengusahakan tercapainya tujuan hidup bernegara.
4.  Demokrasi Berdasarkan Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan
Demokrasi Pancasila memiliki landasan utama kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Demokrasi Pancasila merupakan wujud kedaulatan rakyat, sedangkan pelaksanaan kedaulatan tersebut dilakukan melalui sistem perwakilan. Adapun melalui lembaga perwakilan selalu diutamakan adanya musyawarah (daripada voting) dalam setiap pengambilan keputusan.
5.  Demokrasi Berdasarkan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Pelaksanaan demokrasi Pancasila selalu diupayakan dengan memperhatikan kesejahteraan rakyat Indonesia. Sistem demokrasi Pancasila tidak hanya dilaksanakan melalui kampanye dan pemilihan umum. Pelaksanaan demokrasi Pancasila berorientasi pada dua fungsi, yakni menyejahterakan kehidupan politik dan kehidupan ekonomi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar