Oleh Akhmad Zamroni
Sumber: alidzakyalarief.com |
Secara konstitusional Indonesia mendeklarasikan
diri sebagai negara demokrasi –– hal ini dituangkan melalui UUD 1945 Pasal 1 Ayat
(2) yang menyatakan bahwa kedaulatan negara Indonesia berada di tangan rakyat. Sebagaimana diklaim secara ideologis-politis, demokrasi yang dianut di
Indonesia adalah demokrasi Pancasila. Sebagai sistem politik, sistem
ketatanegaraan, atau sistem pemerintahan,
demokrasi Pancasila relevan dengan kehidupan sosial, nilai-nilai budaya, dan sejarah bangsa Indonesia. Demokrasi Pancasila juga sejalan dengan karakter bangsa Indonesia yang
lebih mengutamakan gotong royong, kekeluargaan, dan musyawarah.
Apabila nilai-nilai dan
prinsip-prinsip demokrasi Pancasila secara konkret dan konsisten diimplementasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, tujuan
hidup bernegara Indonesia akan dapat dicapai dengan baik. Akan tetapi, bagaimanakah pelaksanaan nilai-nilai dan
prinsip-prinsip demokrasi Pancasila
dalam sistem ketatanegaraan Indonesia selama penyelenggaraan negara dipegang oleh pemerintah yang
berkuasa? Apakah demokrasi Pancasila benar-benar diimplementasikan rezim Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi secara konkret dan konsekuen sesuai dengan nilai-nilai dan prinsip-prinsip dasarnya?
Sebagaimana rezim Orde Lama, pemerintahan Orde Baru memperlakukan
demokrasi hanya sebagai slogan demi kepentingan dirinya. Implementasi demokrasi Pancasila oleh rezim Orde Baru mengalami penyimpangan. Dapat
dikatakan, demokrasi Pancasila telah
disalahgunakan oleh rezim Orde Baru untuk melanggengkan kekuasaan serta
dijadikan perisai dari kritik dan tuntutan rakyat.
Selama pemerintahan Orde Baru demokrasi Pancasila hanya dijalankan
secara singkat pada masa-masa awal sang rezim berkuasa. Setelah itu, demokrasi Pancasila disalahgunakan untuk propaganda
dan pembenaran (justifikasi). Orde Baru gencar mengampanyekan demokrasi Pancasila sebagai program nasional
yang harus mendapat dukungan dari seluruh unsur bangsa Indonesia. Akan tetapi di sisi berbeda, sikap dan perilaku para pemimpin dan tokoh Orde Baru tidak mencerminkan prinsip-prinsip dan nilai-nilai demokrasi Pancasila. Mereka juga hampir tidak pernah memberikan teladan konkret dalam
menjalankan demokrasi Pancasila dalam praktik pemerintahan.
Impresi yang muncul adalah
demokrasi Pancasila dipublikasikan hanya untuk membenarkan penyelenggaraan Negara yang dipraktikkan Orde Baru, sedangkan implementasinya oleh para
elite di pemerintahan sangatlah minim.
Sebagaimana pada zaman Orde Lama,
pada zaman Orde Baru demokrasi mengalami reduksi dan manipulasi serta kedaulatan rakyat terisisihkan oleh sifat otoriter
dan diktator presiden dan pemerintah. Prinsip-prinsip kebebasan dan persamaan
tidak mendapatkan tempat yang selayaknya. Hal yang barangkali membedakan masa pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru adalah pada masa
Orde Baru pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat berlangsung
lebih masif, korupsi terjadi lebih luas dan mendalam, serta penyelewengan pemilihan umum (pemilu) berlangsung lebih sistematis. Terkait pemilu,
Orde Baru memanfaatkannya bukan sebagai mekanisme demokrasi dan
implementasi kedaulatan rakyat, tetapi menyalahgunakannya
sebagai alat untuk
mempertahankan kekuasaan.
Berbagai peyimpangan yang dilakukan Orde Baru mengakibatkan negara tergiring menuju krisis. Penyimpangan yang terus-menerus terjadi membawa negara pada puncak krisis multidimensi (moral, politik, hukum,
ekonomi, dan sebagainya) yang tak terhindarkan. Pada
tahun 1998, rezim Orde Baru akhirnya tumbang oleh gerakan
reformasi yang dipelopori oleh mahasiswa.
Indonesia kemudian memasuki
babak baru, yakni babak reformasi (era Reformasi). Era ini menjadi era pembaruan (reformasi) terhadap semua sendi
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, khususnya bidang politik,
hukum, dan ekonomi, yang mengalami krisis hebat akibat
penyelewengan panjang (selama sekitar
30-an tahun) yang dilakukan Orde
Baru. Muncul harapan besar bagi tumbuhnya kembali demokrasi sejati (demokrasi
substansial) di Indonesia setelah puluhan tahun –– sejak berkuasanya rezim Orde Lama hingga Orde Baru –– nyaris hilang dari
bumi Indonesia.
Guna menyemai dan
menumbuhkan kembali demokrasi, langkah permulaan yang dilakukan adalah membenahi regulasi (peraturan perundang-undangan, termasuk
konstitusi). UUD 1945 diamendemen sebanyak empat kali (tahun 1999,
2000, 2001, dan 2002) serta undang-undang antidemokrasi peninggalan Orde Baru
dicabut dan serangkaian undang-undang baru yang diharapkan dapat memperkuat
pelaksanaan demokrasi dibuat dan diberlakukan. Melalui pembaruan konstitusi dan
peraturan perundang-undangan yang terkait, keran kebebasan dibuka lebar-lebar
dan semangat persamaan (kesederajatan) warga negara diperkuat. Dengan landasan
undang-undang baru pula, pemilihan umum (1999, 2004, 2009) diselenggarakan
dengan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Sebagai hasilnya, demokrasi kembali mekar dan tumbuh subur
di Indonesia. Seperti zaman tahun
1950-an, demokrasi menggeliat kuat serta dipraktikkan dengan gairah yang tinggi.
Demam dan euforia demokrasi pun kembali muncul di pelosok-pelosok tanah air.
Namun, demokrasi yang bermekaran kemudian memicu munculnya dilema dan banyak pertanyaan. Pergantian dari era Orde Baru ke era Reformasi tampaknya melahirkan
masa transisi yang menyebabkan implementasi demokrasi mengalami dilema. Secara
ideologis konstitusional, demokrasi yang seharusnya dilaksanakan di Indonesia
adalah demokrasi Pancasila, tetapi besarnya tuntutan akan kebebasan pada era
Reformasi (akibat pada era Orde Baru kebebasan tersumbat) mengakibatkan
implementasi demokrasi berlangsung agak di luar kendali.
Demokrasi yang dijalankan pada era Reformasi banyak dianggap lebih mengarah pada demokrasi liberal sebagaimana yang
dipraktikkan pada awal tahun 1950-an. Gelagat praktik
demokrasi liberal pada era Reformasi, antara lain, tampak
pada banyaknya partisipasi partai politik (multipartai) dalam pemilu serta
adanya polarisasi antara partai pemegang pemerintahan dan oposisi. Sementara itu, dalam proses pengambilan keputusan lebih sering dipilih mekanisme
pemungutan suara (voting) daripada
musyawarah untuk mencapai mufakat.
Pendapat lain menyatakan bahwa demokrasi era Reformasi
memang tidak menunjukkan nilai-nilai dan
prinsip-prinsip demokrasi Pancasila,
tetapi juga tidak sepenuhnya berciri demokrasi liberal. Hal ini terutama karena
demokrasi era Reformasi masih diimplementasikan dalam bingkai
sistem pemerintahan presidensial, bukan parlementer. Tidak seperti dalam
sistem parlementer, dalam sistem presidensial, ekspresi dan implementasi kebebasan oleh kekuatan-kekuatan politik –– terutama oposisi di parlemen –– dianggap lebih moderat dan terkendali sehingga relatif lebih
terhindar dari penggunaan kebebasan yang berlebihan dan keadaan tidak stabil.
Apabila pendapat terakhir itu benar, barangkali dapat ditarik kesimpulan bahwa demokrasi era Reformasi
bukanlah bercorak demokrasi Pancasila dan bukan pula demokrasi liberal,
melainkan campuran atau kombinasi dari keduanya. Apakah ini merupakan bentuk
kerancuan demokrasi? Apakah demokrasi yang demikian dapat dibenarkan atau
ditoleransi? Terlepas dari rancu atau tidak rancu serta benar atau salah,
(pelaksanaan) demokrasi di Indonesia hingga saat ini tampaknya belum menemukan
bentuknya yang jelas, mantap, dan final.
Sebagaimana yang terjadi di banyak negara berkembang, demokrasi di Indonesia akan terus mengalami dinamika (dan juga dialektika) seiring dengan perkembangan kehidupan masyarakat dan
bangsa serta perubahan zaman. Kemapanan demokrasi
di suatu negara akan selalu berkorelasi dengan kedewasaan dan kematangan sosiologis-psikologis masyarakatnya, selain juga dengan kesiapan kultural dan kesejahteraan ekonomi. Di tengah kehidupan masyarakat dan bangsa
kita yang masih terus berkembang, demokrasi pun akan turut tumbuh dan berkembang di belakangnya. Dapat dikatakan, masyarakat dan bangsa kita
saat ini sedang dalam taraf pendewasaan berdemokrasi. Jika kedewasaan
masyarakat dan bangsa sudah terbentuk serta kesiapan kultural dan kesejahteraan ekonomi terwujud, kita bisa berharap demokrasi di
Indonesia dapat tegak dalam
bentuknya yang jelas, mantap, dan final.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar