Minggu, 15 April 2018

Dilema Implementasi Demokrasi: Antara Demokrasi Pancasila dan Demokrasi Liberal


Oleh  Akhmad Zamroni

Sumber: alidzakyalarief.com


Secara konstitusional Indonesia mendeklarasikan diri sebagai negara demokrasi –– hal ini dituangkan melalui UUD 1945 Pasal 1 Ayat (2) yang menyatakan bahwa kedaulatan negara Indonesia berada di tangan rakyat. Sebagaimana diklaim secara ideologis-politis, demokrasi yang dianut di Indonesia adalah demokrasi Pancasila. Sebagai sistem politik, sistem ketatanegaraan, atau sistem pemerintahan, demokrasi Pancasila relevan dengan kehidupan sosial, nilai-nilai budaya, dan sejarah bangsa Indonesia. Demokrasi Pancasila juga sejalan dengan karakter bangsa Indonesia yang lebih mengutamakan gotong royong, kekeluargaan, dan musyawarah.
Apabila nilai-nilai dan prinsip-prinsip demokrasi Pancasila secara konkret dan konsisten diimplementasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, tujuan hidup bernegara Indonesia akan dapat dicapai dengan baik. Akan tetapi, bagaimanakah pelaksanaan nilai-nilai dan prinsip-prinsip demokrasi Pancasila dalam sistem ketatanegaraan Indonesia selama penyelenggaraan negara dipegang oleh pemerintah yang berkuasa? Apakah demokrasi Pancasila benar-benar diimplementasikan rezim Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi secara konkret dan konsekuen sesuai dengan nilai-nilai dan prinsip-prinsip dasarnya?
Sebagaimana rezim Orde Lama, pemerintahan Orde Baru memperlakukan demokrasi hanya sebagai slogan demi kepentingan dirinya. Implementasi demokrasi Pancasila oleh rezim Orde Baru mengalami penyimpangan. Dapat dikatakan, demokrasi Pancasila telah disalahgunakan oleh rezim Orde Baru untuk melanggengkan kekuasaan serta dijadikan perisai dari kritik dan tuntutan rakyat.
Selama pemerintahan Orde Baru demokrasi Pancasila hanya dijalankan secara singkat pada masa-masa awal sang rezim berkuasa. Setelah itu, demokrasi Pancasila disalahgunakan untuk propaganda dan pembenaran (justifikasi). Orde Baru gencar mengampanyekan demokrasi Pancasila sebagai program nasional yang harus mendapat dukungan dari seluruh unsur bangsa Indonesia. Akan tetapi di sisi berbeda, sikap dan perilaku para pemimpin dan tokoh Orde Baru tidak mencerminkan prinsip-prinsip dan nilai-nilai demokrasi Pancasila. Mereka juga hampir tidak pernah memberikan teladan konkret dalam menjalankan demokrasi Pancasila dalam praktik pemerintahan. Impresi yang muncul adalah demokrasi Pancasila dipublikasikan hanya untuk membenarkan penyelenggaraan Negara yang dipraktikkan Orde Baru, sedangkan implementasinya oleh para elite di pemerintahan sangatlah minim.
Sebagaimana pada zaman Orde Lama, pada zaman Orde Baru demokrasi mengalami reduksi dan manipulasi serta kedaulatan rakyat terisisihkan oleh sifat otoriter dan diktator presiden dan pemerintah. Prinsip-prinsip kebebasan dan persamaan tidak mendapatkan tempat yang selayaknya. Hal yang barangkali membedakan masa pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru adalah pada masa Orde Baru pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat berlangsung lebih masif, korupsi terjadi lebih luas dan mendalam, serta penyelewengan pemilihan umum (pemilu) berlangsung lebih sistematis. Terkait pemilu, Orde Baru memanfaatkannya bukan sebagai mekanisme demokrasi dan implementasi kedaulatan rakyat, tetapi menyalahgunakannya sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan.
Berbagai peyimpangan yang dilakukan Orde Baru mengakibatkan negara tergiring menuju krisis. Penyimpangan yang terus-menerus terjadi membawa negara pada puncak krisis multidimensi (moral, politik, hukum, ekonomi, dan sebagainya) yang tak terhindarkan. Pada tahun 1998, rezim Orde Baru akhirnya tumbang oleh gerakan reformasi yang dipelopori oleh mahasiswa.
Indonesia kemudian memasuki babak baru, yakni babak reformasi (era Reformasi). Era ini menjadi era pembaruan (reformasi) terhadap semua sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, khususnya bidang politik, hukum, dan ekonomi, yang mengalami krisis hebat akibat penyelewengan panjang (selama sekitar 30-an tahun) yang dilakukan Orde Baru. Muncul harapan besar bagi tumbuhnya kembali demokrasi sejati (demokrasi substansial) di Indonesia setelah puluhan tahun –– sejak berkuasanya rezim Orde Lama hingga Orde Baru –– nyaris hilang dari bumi Indonesia.
Guna menyemai dan menumbuhkan kembali demokrasi, langkah permulaan yang dilakukan adalah membenahi regulasi (peraturan perundang-undangan, termasuk konstitusi). UUD 1945 diamendemen sebanyak empat kali (tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002) serta undang-undang antidemokrasi peninggalan Orde Baru dicabut dan serangkaian undang-undang baru yang diharapkan dapat memperkuat pelaksanaan demokrasi dibuat dan diberlakukan. Melalui pembaruan konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang terkait, keran kebebasan dibuka lebar-lebar dan semangat persamaan (kesederajatan) warga negara diperkuat. Dengan landasan undang-undang baru pula, pemilihan umum (1999, 2004, 2009) diselenggarakan dengan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Sebagai hasilnya, demokrasi kembali mekar dan tumbuh subur di Indonesia. Seperti zaman tahun 1950-an, demokrasi menggeliat kuat serta dipraktikkan dengan gairah yang tinggi. Demam dan euforia demokrasi pun kembali muncul di pelosok-pelosok tanah air.
Namun, demokrasi yang bermekaran kemudian memicu munculnya dilema dan banyak pertanyaan. Pergantian dari era Orde Baru ke era Reformasi tampaknya melahirkan masa transisi yang menyebabkan implementasi demokrasi mengalami dilema. Secara ideologis konstitusional, demokrasi yang seharusnya dilaksanakan di Indonesia adalah demokrasi Pancasila, tetapi besarnya tuntutan akan kebebasan pada era Reformasi (akibat pada era Orde Baru kebebasan tersumbat) mengakibatkan implementasi demokrasi berlangsung agak di luar kendali.
Demokrasi yang dijalankan pada era Reformasi banyak dianggap lebih mengarah pada demokrasi liberal sebagaimana yang dipraktikkan pada awal tahun 1950-an. Gelagat praktik demokrasi liberal pada era Reformasi, antara lain, tampak pada banyaknya partisipasi partai politik (multipartai) dalam pemilu serta adanya polarisasi antara partai pemegang pemerintahan dan oposisi. Sementara itu, dalam proses pengambilan keputusan  lebih sering dipilih mekanisme pemungutan suara (voting) daripada musyawarah untuk mencapai mufakat.
Pendapat lain menyatakan bahwa demokrasi era Reformasi memang tidak menunjukkan nilai-nilai dan prinsip-prinsip demokrasi Pancasila, tetapi juga tidak sepenuhnya berciri demokrasi liberal. Hal ini terutama karena demokrasi era Reformasi masih diimplementasikan dalam bingkai sistem pemerintahan presidensial, bukan parlementer. Tidak seperti dalam sistem parlementer, dalam sistem presidensial, ekspresi dan implementasi kebebasan oleh kekuatan-kekuatan politik –– terutama oposisi di parlemen –– dianggap lebih moderat dan terkendali sehingga relatif lebih terhindar dari penggunaan kebebasan yang berlebihan dan keadaan tidak stabil.
Apabila pendapat terakhir itu benar, barangkali dapat ditarik kesimpulan bahwa demokrasi era Reformasi bukanlah bercorak demokrasi Pancasila dan bukan pula demokrasi liberal, melainkan campuran atau kombinasi dari keduanya. Apakah ini merupakan bentuk kerancuan demokrasi? Apakah demokrasi yang demikian dapat dibenarkan atau ditoleransi? Terlepas dari rancu atau tidak rancu serta benar atau salah, (pelaksanaan) demokrasi di Indonesia hingga saat ini tampaknya belum menemukan bentuknya yang jelas, mantap, dan final.
Sebagaimana yang terjadi di banyak negara berkembang, demokrasi di Indonesia akan terus mengalami dinamika (dan juga dialektika) seiring dengan perkembangan kehidupan masyarakat dan bangsa serta perubahan zaman. Kemapanan demokrasi di suatu negara akan selalu berkorelasi dengan kedewasaan dan kematangan sosiologis-psikologis masyarakatnya, selain juga dengan kesiapan kultural dan kesejahteraan ekonomi. Di tengah kehidupan masyarakat dan bangsa kita yang masih terus berkembang, demokrasi pun akan turut tumbuh dan berkembang di belakangnya. Dapat dikatakan, masyarakat dan bangsa kita saat ini sedang dalam taraf pendewasaan berdemokrasi. Jika kedewasaan masyarakat dan bangsa sudah terbentuk serta kesiapan kultural dan kesejahteraan ekonomi terwujud, kita bisa berharap demokrasi di Indonesia dapat tegak dalam bentuknya yang jelas, mantap, dan final.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar