Oleh Akhmad Zamroni
Sumber: www.medcom.id |
Keputusan Presiden Soekarno untuk menerbitkan Dekret 5 Juli 1959 menyebabkan
kendali pemerintahan negara perlahan-lahan mengerucut ke tangannya. Tidak hanya kekuasaan
pemerintahan, kekuasaan negara kemudian berada di tangan presiden. Ini mengakibatkan
terjadinya ironi ketatanegaraan: konstitusi negara kembali ke UUD 1945 yang jelas-jelas
mengamanatkan sistem ketatanegaraan menganut demokrasi (kedaulatan negara
berada di tangan rakyat), tetapi praktiknya kedaulatan negara berada di tangan
presiden.
Presiden
Soekarno secara sepihak mengklaim
pemerintahan yang dipimpinnya menganut sistem yang ia sebut sebagai
“demokrasi terpimpin”. Ada anggapan bahwa demokrasi di Indonesia –– yang saat
itu memang sedang dilanda kemelut –– tidak dapat dibiarkan berjalan apa adanya,
melainkan membutuhkan kepemimpinan. Dan pemimpin yang mampu mengendalikan
demokrasi yang dimaksud tak lain adalah sang presiden sendiri.
Demokrasi
terpimpin mengasumsikan pemimpin –– dalam hal ini presiden –– memiliki hak atau wewenang untuk mengambil
keputusan. Keadaan ini terutama
berlaku manakala dalam
penyelesaian persoalan kehidupan berbangsa dan bernegara tidak dapat dicapai
kata sepakat atau mufakat. Dalam situasi dan kondisi seperti ini, presiden
sebagai pemimpin (kepala pemerintahan dan kepala negara) diberi kewenangan
untuk membuat dan memberlakukan kebijakan yang diperlukan.
Akan tetapi, gaya dan cara kepemimpinan yang akhirnya dilakukan
presiden untuk mengendalikan pemerintahan dan negara tidak menunjukkan
nilai-nilai dan prinsip-prinsip demokrasi. Di bawah sistem demokrasi ciptaan
presiden ini (demokrasi terpimpin), tidak berlaku kebebasan serta persamaan hak
dan kewajiban di antara warga negara. Di tingkat
organisasi pemerintahan pusat juga tidak
terjadi pembagian kekuasaan (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) yang lazim
dan berimbang.
Masa berlakunya demokrasi
terpimpin menjadi salah satu masa suram bagi (implementasi) demokrasi di
Indonesia. Dapat dikatakan, Indonesia
memasuki era demokrasi semu selama demokrasi terpimpin berlaku. Demokrasi
hanya menjadi jargon, sementara implementasi pemerintahan negara yang sesungguhnya
berlangsung dalam sistem yang berlawanan dengan demokrasi, yakni
otoritarianisme. Demokrasi telah disalahgunakan (abuse of democracy) untuk
kepentingan kekuasaan sang presiden.
Sebagai implikasinya, demokrasi tidak hanya menjadi berwajah semu,
melainkan juga berwajah garang. Demokrasi semu (pseudo democracy) hanya menjadikan demokrasi sebagai lip services untuk mengelabui publik
atau masyarakat. Disengaja atau tidak disengaja, demokrasi terpimpin telah
menyebabkan nilai-nilai dan prinsip-prinsip demokrasi tertindas oleh
kepemimpinan otoriter presiden.
Sistem demokrasi terpimpin tidak berimplikasi pada pembagian kekuasaan yang
merata dan berimbang antara lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif untuk
memperjuangkan kepentingan dan kesejahteraan rakyat sebagai pemilik sejati
kedaulatan/kekuasaan negara. Sistem demokrasi terpimpin yang menekankan aspek
kepemimpinan presiden dalam menjalankan “demokrasi” justru menyebabkan
terjadinya penumpukan dan tersentralisasinya kekuasaan (kedaulatan) negara di
tangan presiden seorang diri. Hal ini mengakibatkan terjadinya rentetan penyimpangan
terhadap Pancasila dan UUD 1945.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar