Minggu, 15 April 2018

Implementasi dan Implikasi Demokrasi Terpimpin di Indonesia


Oleh  Akhmad Zamroni

Sumber: www.medcom.id

Keputusan Presiden Soekarno untuk menerbitkan Dekret 5 Juli 1959 menyebabkan kendali pemerintahan negara perlahan-lahan mengerucut ke tangannya. Tidak hanya kekuasaan pemerintahan, kekuasaan negara kemudian berada di tangan presiden. Ini mengakibatkan terjadinya ironi ketatanegaraan: konstitusi negara kembali ke UUD 1945 yang jelas-jelas mengamanatkan sistem ketatanegaraan menganut demokrasi (kedaulatan negara berada di tangan rakyat), tetapi praktiknya kedaulatan negara berada di tangan presiden.
Presiden Soekarno secara sepihak mengklaim pemerintahan yang dipimpinnya menganut sistem yang ia sebut sebagai “demokrasi terpimpin”. Ada anggapan bahwa demokrasi di Indonesia –– yang saat itu memang sedang dilanda kemelut –– tidak dapat dibiarkan berjalan apa adanya, melainkan membutuhkan kepemimpinan. Dan pemimpin yang mampu mengendalikan demokrasi yang dimaksud tak lain adalah sang presiden sendiri.
Demokrasi terpimpin mengasumsikan pemimpin –– dalam hal ini presiden –– memiliki hak atau wewenang untuk mengambil keputusan. Keadaan ini terutama berlaku manakala dalam penyelesaian persoalan kehidupan berbangsa dan bernegara tidak dapat dicapai kata sepakat atau mufakat. Dalam situasi dan kondisi seperti ini, presiden sebagai pemimpin (kepala pemerintahan dan kepala negara) diberi kewenangan untuk membuat dan memberlakukan kebijakan yang diperlukan.
Akan tetapi, gaya dan cara kepemimpinan yang akhirnya dilakukan presiden untuk mengendalikan pemerintahan dan negara tidak menunjukkan nilai-nilai dan prinsip-prinsip demokrasi. Di bawah sistem demokrasi ciptaan presiden ini (demokrasi terpimpin), tidak berlaku kebebasan serta persamaan hak dan kewajiban di antara warga negara. Di tingkat organisasi pemerintahan pusat juga tidak terjadi pembagian kekuasaan (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) yang lazim dan berimbang.
Masa berlakunya demokrasi terpimpin menjadi salah satu masa suram bagi (implementasi) demokrasi di Indonesia. Dapat dikatakan, Indonesia memasuki era demokrasi semu selama demokrasi terpimpin berlaku. Demokrasi hanya menjadi jargon, sementara implementasi pemerintahan negara yang sesungguhnya berlangsung dalam sistem yang berlawanan dengan demokrasi, yakni otoritarianisme. Demokrasi telah disalahgunakan (abuse of democracy) untuk kepentingan kekuasaan sang presiden.
Sebagai implikasinya, demokrasi tidak hanya menjadi berwajah semu, melainkan juga berwajah garang. Demokrasi semu (pseudo democracy) hanya menjadikan demokrasi sebagai lip services untuk mengelabui publik atau masyarakat. Disengaja atau tidak disengaja, demokrasi terpimpin telah menyebabkan nilai-nilai dan prinsip-prinsip demokrasi tertindas oleh kepemimpinan otoriter presiden.
Sistem demokrasi terpimpin tidak berimplikasi pada pembagian kekuasaan yang merata dan berimbang antara lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif untuk memperjuangkan kepentingan dan kesejahteraan rakyat sebagai pemilik sejati kedaulatan/kekuasaan negara. Sistem demokrasi terpimpin yang menekankan aspek kepemimpinan presiden dalam menjalankan “demokrasi” justru menyebabkan terjadinya penumpukan dan tersentralisasinya kekuasaan (kedaulatan) negara di tangan presiden seorang diri. Hal ini mengakibatkan terjadinya rentetan penyimpangan terhadap Pancasila dan UUD 1945.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar