Sumber: http www.publicseminar.org |
Implementasi atau penerapan demokrasi tidak lepas
dari asumsi bahwa demokrasi merupakan sistem politik atau ketatanegaraan yang
baik, yang dianggap akan membawa banyak hal positif. Ilmuwan politik dari Harvard
University, Samuel Huntington, mengemukakan perihal terjadinya tiga gelombang
demokrasi dalam kehidupan ketatanegaraan di berbagai negara. Gelombang pertama
demokrasi terjadi dalam Revolusi Prancis dan Revolusi Amerika, yang ditandai
perluasan hak untuk memilih (1828–1926). Gelombang demokrasi kedua muncul pada
masa Perang Dunia II dan sesudahnya akibat pendudukan Sekutu yang merangsang
terbentuknya pranata-pranata baru (1943–1962). Gelombang demokrasi ketiga
muncul dengan ditandai banyaknya negara di dunia yang memilih demokrasi sebagai
sistem politik (1974–... ).
Namun, sejarah pelaksanaan demokrasi sesungguhnya
sudah dimulai jauh sebelum periode yang dikemukakan oleh Huntington. Gelombang
demokrasi seperti yang dikemukakan Huntington tersebut merupakan pelaksanaan
demokrasi dalam bentuknya yang modern dan kompleks. Adapun demokrasi dalam
bentuknya yang sederhana telah dipraktikkan sejak zaman Yunani kuno pada masa
sebelum Masehi.
Awal implementasi sistem demokrasi dilakukan di
Yunani pada abad VI sampai dengan abad III sebelum Masehi. Implementasi demokrasi
ketika itu dilandasi oleh gagasan mengenai demokrasi dari kebudayaan Yunani
kuno. Bentuk atau model demokrasi yang dianut adalah demokrasi langsung (direct democracy), yang diterapkan
secara terbatas di suatu tempat yang disebut negara-kota (city-state), yakni semacam negara kecil yang wilayahnya hanya
sebatas satu kota.
Demokrasi langsung adalah bentuk pemerintahan
yang pengambilan keputusan atau kebijakan politiknya dilakukan secara langsung
oleh seluruh warga negara (rakyat) yang bertindak berdasarkan prinsip dan
prosedur mayoritas. Demokrasi langsung dapat dilaksanakan secara efektif di
Yunani ketika itu karena situasi dan kondisi kehidupan masih sederhana, wilayah
pemberlakuannya terbatas (negara yang terdiri atas kota dan wilayah sekitar),
serta jumlah penduduknya sedikit (sekitar 300.000 warga dalam satu
negara-kota). Demokrasi langsung juga dapat dilaksanakan secara baik karena
ketentuan-ketentuan demokrasi hanya berlaku untuk warga negara yang resmi, yang
hanya merupakan bagian kecil dari penduduk –– demokrasi tidak berlaku bagi kalangan
budak belian dan pedagang asing (yang merupakan mayoritas dalam komposisi
penduduk).
Sistem demokrasi Yunani berangsur-angsur meredup
dan lenyap dari sistem politik dan kehidupan dunia Barat setelah bangsa Romawi
–– yang masih mengadopsi sistem demokrasi Yunani –– ditaklukkan oleh suku-suku
bangsa Eropa Barat serta Benua Eropa memasuki Abad Pertengahan (tahun
600–1400). Abad Pertengahan kerapkali diidentikkan dengan abad kegelapan.
Struktur sosial pada masa itu bersifat feodalistik, kehidupan masyarakat dan
spiritual dikuasai oleh Paus dan para pejabat agama, serta keadaan politik
diwarnai oleh perebutan kekuasaan di antara para bangsawan.
Gagasan dan pelaksanaan demokrasi mulai
memperlihatkan denyutnya kembali setelah muncul dokumen Magna Charta pada tahun 1215
di Inggris. Dokumen ini dibuat untuk di sisi satu membatasi hak-hak atau
wewenang raja (Raja John di Inggris) serta mengakui dan menjamin beberapa hak
dan privileges bawahan raja (kaum
bangsawan) di sisi lain. Dengan sifatnya yang demikian, Magna Charta menjadi tonggak bangkitnya kembali gagasan dan
pelaksanaan demokrasi.
Munculnya Renaissance (tahun
1350–1600) dan Reformasi (1500–1650) memperkuat bangkitnya demokrasi.
Renaissance, yang terutama muncul di Eropa Selatan (khususnya Italia),
merupakan zaman bangkitnya minat dan perhatian terhadap kesusastraan klasik
(Yunani kuno), berkembangnya kesenian dan kesusastraan baru, serta tumbuhnya
ilmu pengetahuan modern yang selama Abad Pertengahan terpinggirkan. Sementara
itu, Reformasi merupakan gerakan pembaruan yang memperoleh banyak dukungan di
Eropa Utara (Jerman, Swis, dan sebagainya).
Pada Abad Pertengahan perhatian masyarakat Eropa terpaku
hanya pada masalah-masalah keagamaan dan fatwa para pemimpin gereja. Akan
tetapi, berkat Renaissance, perhatian masyarakat Eropa menjadi tertuju pada masalah
keduniawian serta gagasan baru pun banyak bermunculan. Dalam pada itu,
Reformasi dan konflik agama yang terjadi kemudian menyebabkan masyarakat terbebas
dari dominasi gereja dalam bidang spiritual, sosial, dan politik. Hal ini
menyebabkan adanya pemisahan antara gereja dan negara. Ketika itu sangat kuat
muncul ide tentang pentingnya kebebasan beragama serta pemisahan yang tegas
antara masalah-masalah agama dan keduniawian, khususnya dalam bidang ketatanegaraan
atau pemerintahan.
Renaissance dan Reformasi selanjutnya mengantarkan
masyarakat Eropa (Eropa Barat) pada apa yang disebut Aufklarung dan rasionalisme. Aufklarung
adalah gerakan yang menekankan penggunaan akal budi, menganjurkan sikap kritis
dalam pemikiran, dan mendorong penyelidikan segala sesuatu di alam sekitar, sedangkan
rasionalisme merupakan gerakan yang lebih mengutamakan akal. Keduanya memicu
kehendak untuk membebaskan pikiran masyarakat dari batas-batas yang ditentukan
oleh gereja serta mendasarkan pemikiran sepenuhnya pada akal atau rasio.
Kebebasan berpikir melapangkan jalan untuk
memperluas ide dalam bidang politik atau pemerintahan. Dari sini tercetuslah ide
bahwa masyarakat memiliki hak-hak politik yang tidak dapat dimanipulasi oleh
raja. Raja yang ketika itu memiliki kekuasaan absolut (mutlak/tak terbatas)
mendapat kecaman dan tekanan yang gencar. Kritik terhadap absolutisme raja
mendapat dukungan masif dari kalangan kelas menengah.
Timbulnya ide atau teori kontrak sosial makin mempertegas
pemahaman dan kesadaran bahwa kekuasaan raja tidak absolut dan masyarakat
(rakyat) memiliki hak-hak politik yang wajib dihormati. Ide kontrak sosial (yang,
antara lain, muncul dari pemikiran John Locke dan Montesquieu) menyatakan bahwa
hubungan antara raja dan rakyat dilandasi oleh sebuah kontrak yang klausul- klausulnya
mengikat serta harus dipatuhi oleh kedua belah pihak. Kontrak sosial menetapkan
bahwa raja diberi kekuasaan oleh rakyat untuk mewujudkan ketertiban dan
menciptakan kondisi yang memungkinkan rakyat dapat menikmati dan melaksanakan
hak-hak alamiahnya (natural rights)
dengan aman, sedangkan rakyat wajib mematuhi pemerintahan raja sejauh hak-hak
alamiah rakyat mendapat jaminan yang semestinya dari raja.
Ide bahwa rakyat memiliki hak-hak politik memicu
terjadinya Revolusi Prancis pada akhir abad XVIII dan Revolusi Amerika pada
abad XVIII. Kedua revolusi ini ditandai oleh gerakan perlawanan rakyat terhadap
kekuasaan raja yang mutlak. Tumbangnya kekuasaan raja yang absolut membuat
implementasi demokrasi menemukan bentuknya kembali. Dan, sebagai akibat
perkembangan berbagai bidang kehidupan, sistem demokrasi yang dianut tidak lagi
murni atau sepenuhnya demokrasi langsung (seperti zaman Yunani kuno), melainkan
kian mengarah pada demokrasi perwakilan.
Gagasan dan implementasi demokrasi makin
menemukan bentuknya yang nyata sebagai program dan sistem politik
(pemerintahan/ketatanegaraan) pada akhir abad XIX. Memasuki pertengahan abad
XX, seusai berakhirnya Perang Dunia II dan banyaknya negara yang bebas dari kolonialisme
dan imperialisme, demokrasi mulai mengambil peranan yang signifikan sebagai
sistem pemerintahan dan ketatanegaraan. Dan memasuki awal abad XXI saat ini,
demokrasi telah menjadi sistem pemerintahan (dan juga sistem kehidupan) yang sangat digandrungi oleh masyarakat di berbagai belahan
dunia.
Mungkin
dapat dikatakan bahwa pada abad XXI dunia dilanda demam demokrasi sehingga abad
XXI kerap disebut sebagai abad demokrasi –– selain juga abad hak asasi manusia.
Seiring dengan makin tumbuhnya kesadaran mengenai hak-hak asasi manusia serta urgennya
perdamaian dan kesejahteraan, implementasi demokrasi juga kian menjadi tuntutan
yang serius. Implementasi demokrasi bahkan manjadi prasyarat bagi pelaksanaan program-program
lain. Bantuan dan kerja sama internasional, misalnya, pada abad XXI sekarang ini
hampir selalu direalisasi dengan syarat demokrasi, yakni kerja sama akan
dilakukan dan bantuan kepada suatu negara akan diberikan jika negara yang
bersangkutan mampu membuktikan diri telah melaksanakan demokrasi dengan baik
dan benar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar