Minggu, 08 April 2018

Implementasi Demokrasi di Indonesia

Oleh Akhmad Zamroni


Sumber: www.koran-jakarta.com


Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 1 Ayat (2) menyatakan bahwa kedaulatan negara Indonesia berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang dasar. Rumusan ini menunjukkan bahwa negara Indonesia merupakan negara demokrasi. Substansi demokrasi adalah “kedaulatan rakyat” sehingga negara yang menempatkan kedaulatan di tangan rakyat –– seperti Indonesia –– dapat dikatakan merupakan negara demokrasi.
Akan tetapi, sebagai negara demokrasi, apakah negara kita sudah benar-benar menempatkan rakyat sebagai pemegang kedaulatan yang sejati. Sudahkan demokrasi dipraktikkan secara benar dalam pemerintahan dan ketatanegaraan kita? Apakah demokrasi sebagai sistem pemerintahan dan ketatanegaraan sudah diterapkan sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita? Apakah Indonesia sudah memperlihatkan ciri-ciri yang sejati sebagai negara demokrasi?
Dengan memperhatikan sejarah perjalanan kita sebagai bangsa dan negara, kita tidak dapat membuat generalisasi yang mutlak mengenai sudah atau belumnya negara kita menerapkan demokrasi dalam sistem ketatanegaraan. Sejak ditetapkannya UUD 1945 sebagai konstitusi negara pada tanggal 18 Agustus 1945, demokrasi menjadi sistem resmi yang dianut dalam ketatanegaraan kita; hal ini karena UUD 1945 Pasal 1 Ayat (2) sendiri memang menyebutkannya demikian. Namun, dalam praktik berbangsa dan bernegara, penerapan demokrasi mengalami pasang surut atau fluktuasi.
Pada periode-periode awal kemerdekaan (utamanya tahun 1950-an), dapat dikatakan Indonesia benar-benar menerapkan demokrasi secara murni. Ketika itu, kehidupan demokrasi dalam pemerintahan dan ketatanegaraan kita begitu semarak dan bergairah. Akan tetapi, setelah keluarnya Dekret Presiden 5 Juli 1959, demokrasi perlahan-lahan mengalami kemunduran hingga kemudian lenyap dan digantikan otoritarianisme. Hal ini berlangsung sampai pemerintahan Orde Lama di bawah kepimpinanan Presiden Soekarno jatuh pada akhir tahun 1960-an.
Pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto yang mendapat giliran untuk mengendalikan kehidupan berbangsa dan bernegara selanjutnya serta bertekad mengoreksi kesalahan pemerintahan pendahulunya, ternyata malah lebih buruk lagi dalam memperlakukan dan memberlakukan demokrasi. Di bawah rezim Orde Baru, demokrasi hampir tidak pernah diberi kesempatan hidup dengan leluasa. Selama masa kekuasaan Orde Baru sekitar 32 tahun, rakyat Indonesia hanya dapat menikmati demokrasi dalam waktu yang sangat singkat, kurang lebih 4 atau 5 tahun pada masa-masa awal rezim Orde Baru memerintah.
Setelah rezim Orde Baru tumbang akibat krisis serta demonstrasi besar-besaran mahasiswa dan rakyat yang puluhan tahun hidup tertekan di bawah keotoriteran Orde Baru, muncul era reformasi (1998) yang membersitkan harapan baru akan tumbuhnya demokrasi yang lebih sejati dan mencerahkan. Kedatangan era reformasi memang membawa perubahan yang signifikan, salah satunya menyebabkan terbukanya kembali keran-keran demokrasi yang sebelumnya tersumbat. Namun, akibat euforia setelah lepas dari kekangan Orde Baru yang keras dan otoriter –– serta oleh akibat-akibat sosiologis dan psikologis yang lain –– demokrasi yang berkembang kemudian hampir tanpa kendali sehingga demokrasi pada era reformasi seringkali dianggap sebagai demokrasi yang terlalu liberal.
Demokrasi pada era reformasi tumbuh bersama dengan dibukanya keran kebebasan. Era reformasi sendiri kerapkali diidentikkan dengan era kebebasan dan demokrasi, yakni era dibukanya kebebasan dan demokrasi yang seluas-luasnya bagi masyarakat. Pada era reformasi kebebasan dan demokrasi menjadi idaman dan tuntutan kuat yang tidak dapat ditawar-tawar lagi akibat (sebelumnya) selama sekitar 32 tahun rakyat hidup dalam kekangan dan tekanan berat pemerintahan Orde Baru. Kebebasan dan demokrasi pada dasarnya memang saling terkait, tetapi penggunaan kebebasan untuk menggerakkan demokrasi pada era reformasi kiranya kurang dilakukan dengan proporsional dan elegan sehingga demokrasi yang dijalankan sering diwarnai intrik, konflik, dan kerusuhan.
Demokrasi dan kebebasan merupakan dua hal yang berkorelasi secara resiprokal, yakni saling berbalasan. Kebebasan menjadi salah satu syarat penting bagi demokrasi, sebaliknya demokrasi menjadi salah satu penentu bagi kebebasan. Untuk mewujudkan demokrasi, kita memerlukan adanya kebebasan, sedangkan untuk mendapatkan kebebasan itu sendiri kita membutuhkan kehidupan yang demokratis. Namun, jika kebebasan yang dimanfaatkan untuk menjalankan demokrasi adalah kebebasan yang tanpa batas dan tak terkontrol, demokrasi yang akan terwujud justru dapat bersifat kontraproduktif dan destruktif. Penyelewengan hukum, penyalahgunaan wewenang, konflik antarkelompok, kerusuhan sosial, dan perusakan fasilitas umum yang sering terjadi pada era reformasi saat ini merupakan contoh beberapa akibat dari bentuk demokrasi yang dijalankan dengan kebebasan yang tanpa batas dan tanpa kendali.
Tampaknya kita perlu melakukan peninjauan ulang terhadap demokrasi yang sedang kita jalankan saat ini. Kita perlu menengok kembali pengertian dan hakikat demokrasi secara tepat agar kita mendapatkan pemahaman yang tidak salah dan menyimpang tentang demokrasi. Pemahaman yang benar atas demokrasi sangat menentukan dalam upaya penerapan demokrasi sehingga demokrasi yang sesungguhnya memang bagus bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara kita benar-benar dapat memberikan manfaat positif yang konkret.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar