Sabtu, 01 Juli 2017

Munir Said Thalib, Aktivis HAM Indonesia Berkelas Dunia

Oleh Akhmad Zamroni

Sumber: kintakun-collection.co.id
Munir memiliki nama lengkap Munir Said Thalib. Lelaki keturunan Arab ini lahir di Malang, Jawa Timur, pada 8 Desember 1965, dan meninggal dunia pada 7 September 2004 dalam perjalanan dari Jakarta ke Amsterdam, Belanda. Munir adalah anak keenam dari tujuh bersaudara. Munir beristrikan Suciwati, wanita Jawa yang pernah ia advokasi dalam sebuah sengketa perburuhan. Pernikahan kedua sejoli ini menghasilkan dua orang putra.
Munir menyelesaikan pendidikan sarjananya (S-1) di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang. Munir aktif berorganisasi semenjak di bangku kuliah. Selama kuliah, ia menjadi ketua Senat Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Brawijaya dan aktif dalam HMI (Himpunan Mahasiswa Islam). Munir juga menjadi Sekretaris Tim Pencari Fakta Forum Indonesia Damai serta sekretaris Al-Irsyad Kabupaten Malang (1988).
Kepedulian Munir pada masalah-masalah kemanusiaan membawanya pada gerakan memperjuangkan perbaikan  HAM (hak asasi manusia) di Indonesia. Sebagian besar waktu hidupnya kemudian ia curahkan untuk melakukan upaya pendampingan dan advokasi para korban pelanggaran HAM serta kampanye perlindungan, penegakan, dan pemajuan HAM. Untuk menunjang perjuangannya, Munir bergabung dengan organisasi-organisasi advokasi hukum dan HAM, seperti Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI, 1996-1998) dan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras, 1998-2001). Jabatan terakhirnya, sebelum meninggl, adalah Direktur Eksekutif Lembaga Pemantau Hak Asasi Manusia Indonesia Imparsial.
A.     Pejuang dan Pahlawan HAM
Nama Munir mulai populer sebagai aktivis pembela HAM pada paruh kedua dasawarsa 1990-an. Di tengah kehidupan yang represif akibat perilaku rezim Orde Baru yang otoriter, Munir menjadi kuasa hukum beberapa tokoh yang terkenal kritis dan vokal terhadap Orde Baru, seperti George Aditjondro, Muchtar Pakpahan, Sri Bintang Pamungkas, dan Coen Husen Pontoh. Ia juga memberikan advokasi hukum untuk masyarakat Tanjungpriok, Jakarta, dan masyarakat Nipah, Madura, yang menjadi korban penindasan militer Orde Baru.
Popularitas Munir kian meroket setelah pada kurun waktu 1997­­­­­­­­-1998 ia menjadi kuasa hukum untuk 24 orang aktivis prodemokrasi dan proreformasi. Ke-24 aktivis tersebut merupakan korban penculikan, penyekapan, penyiksaan, dan penghilangan paksa yang dilakukan oleh militer Orde Baru -- sebagian dari korban dapat diselamatkan, tetapi sebagian besarnya hingga saat ini hilang dan tak diketahui nasibnya. Ketika itu, Munir menjadi pembela dan pejuang HAM yang paling vokal dan menonjol.
Sebagai koordinator Kontras, pada saat itu Munir gigih memperjuangkan nasib para aktivis prodemokrasi dan proreformasi. Di tengah ketakutan akut untuk melakukan koreksi dan kritik terhadap kesewenang-wenangan rezim Orde Baru, Munir berani melakukan pendampingan dan pembelaan kepada para korban penindasan rezim Orde Baru. Dengan konsisten dan tanpa rasa takut, ia mempertanyakan keberadaan dan nasib para korban serta meminta keadilan kepada rezim Orde Baru. Munir juga tidak jarang melakukan kritik terhadap kebijakan-kebijakan Orde Baru yang melanggar hak asasi manusia (HAM).
Keberanian Munir berhadapan dengan rezim Orde Baru dalam urusan HAM menyebabkan dirinya menjadi target ancaman dan teror. Teror menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam menjalankan tugas penegakan dan pembelaan HAM yang ia lakukan. Namun, ia sudah kebal dengan teror; ia tetap konsisten melakukan advokasi dan pendampingan kepada para korban pelanggaran HAM sebagai bagian upaya perlindungan dan penegakan HAM di Indonesia.
Sumber: klikkabar.com
Munir terus berjuang melawan penindasan dan pelanggaran HAM sampai ajal menjemput-nya pada 7 September 2004. Munir berpulang akibat pembunuhan. Dalam perjalanan udara Jakarta­­­­­­-Amsterdam untuk meneruskan studi pascasarjana dalam ilmu hukum di Belanda, ia diracun dengan arsenik. Hasil penyelidikan dan visum kepolisian Belanda serta sidang pengadilan memastikan, kematian Munir disebabkan oleh arsenik yang dicampurkan ke dalam makanan yang dihidangkan kepadanya di dalam pesawat.
Sulit dipungkiri, kematian Munir ada hubungannya dengan upaya-upaya perlindungan dan penegakan HAM yang dilancarkannya. Publik yakin, pembunuhan terhadap Munir diakibatkan oleh perjuangannya yang tak kenal lelah dan takut dalam melawan pelanggaran HAM. Dalang pembunuhan diduga kuat adalah oknum mantan petinggi militer Orde Baru.
B.     Aktivis HAM Kelas Dunia
Munir adalah aktivis HAM dengan integritas, konsistensi, dan dedikasi sangat tinggi yang sulit dicari tandingannya di Indonesia, tetapi hidupnya sarat dengan kesederhanaan. Ia tak pernah kehilangan komitmen untuk mendampingi dan membela orang-orang yang hak-haknya tertindas dan terzalimi. Ia tidak terlalu memikirkan materi, jabatan, dan fasilitas.
Saat mendapatkan hadiah 500 juta rupiah sebagai penerima The Right Livelihood Award, Munir tidak menggunakan semuanya untuk kepentingan sendiri, tetapi menyumbangkan sebagiannya untuk Kontras (lembaga yang membesarkan namanya), serta sebagian lagi diserahkan kepada ibundanya. Munir tidak tergoda untuk hidup mewah. Ia berangkat dan pulang kerja dengan menggunakan sepeda motor. Munir termasuk tokoh Indonesia yang kehebatannya diakui banyak pihak, tetapi tetap hidup dalam kebersahajaan sehingga ia sering dikategorikan sebagai tokoh dan aktivis HAM kelas dunia.

Sumber: panel.mustangcorps.com

Munir sudah tiada, tetapi namanya sudah lekat dengan upaya perlindungan dan penegakan HAM di Indonesia. Hingga saat ini, dapat dikatakan, Munir merupakan ikon utama gerakan perlawanan terhadap pelanggaran HAM di Indonesia. Munir dinilai sangat berjasa dalam upaya perlindungan, penegakan, dan pemajuan HAM di Indonesia.
Atas jasa-jasanya, Munir dianugerahi berbagai penghargaan. Pusat Studi HAM menetapkan Munir dan Kontras sebagai penerima Yap Thiam Hien Award untuk tahun 1998, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) memberinya penghargaan Suardi Tasrif Awards (1998). Majalah Ummat menobatkannya sebagai Man of The Year 1998 adapun majalah Asiaweek menganugerahinya penghargaan As Leader for the Millennium (Pemimpin Politik Muda Asia pada Milenium Baru, 1999). Sebuah organisasi dari Swedia menganugerahi Munir Right Livelihood Award 2000 (Alternative Nobel Prizes) untuk pengabdian bidang kemajuan HAM dan kontrol sipil terhadap militer serta Unesco (PBB) memberinya penghargaan Mandanjeet Sing Prize  atas jasanya mempromosikan toleransi dan anti kekerasan (2000).



Tidak ada komentar:

Posting Komentar