Senin, 18 Maret 2019

Tegar dan Percaya Diri Menghadapi Perdagangan Bebas

Oleh Akhmad Zamroni

Ilustrasi perdagangan bebas (free trade) (Sumber: https://jendelanasional.id)


    Sistem ekonomi yang berlaku luas secara internasional pada era global tidak lain adalah perdagangan bebas (free trade). Sitem ini menjadi pembicaraan hangat di kalangan para pemimpin negara-negara di dunia pada tahun 1990-an, kemudian sejak akhir tahun 1990-an mulai diberlakukan secara terbatas di beberapa kawasan dunia. Dan sekarang, saat kehidupan masyarakat internasional memasuki abad ke-21, sistem perdagangan bebas sudah diberlakukan secara luas di berbagai belahan dunia.
    Diberlakukannya sistem perdagangan bebas dapat dikatakan adalah cermin kemenangan kapitalisme atau liberalisme dalam perekonomian internasional. Sistem perdagangan bebas mirip dengan sistem kapitalisme, yakni sistem yang menekankan berlakunya persaingan bebas tanpa diikat banyak peraturan dalam bentuk pajak dan persyaratan administrasi lainnya. Sistem ini mengharuskan setiap negara dan para pelaku perdagangan benar-benar siap dalam menghadapi persaingan. Mereka dituntut dapat menghasilkan komoditas (barang atau jasa) berkualitas tinggi sehingga akan mampu bersaing dengan baik (kompetitif).
    Secara kompetisi atau dilihat dari segi persaingan, sistem perdagangan bebas sebenarnya memiliki sifat positif karena memacu setiap pelaku bisnis dan negara untuk meningkatkan kemampuannya dalam menghasilkan barang dan jasa yang berkualitas tinggi. Melalui perdagangan bebas, setiap negara dan pelaku bisnis diingatkan untuk memperbaiki keterampilan atau kecakapan dalam membuat produk. Akan tetapi, dari segi keadilan bisnis, perdagangan bebas dianggap kurang peduli terhadap nasib negara dan pelaku bisnis miskin dan terbelakang yang belum memiliki kemampuan bersaing secara bebas. Di satu sisi, perdagangan bebas dianggap lebih mengutamakan kepentingan negara dan pelaku bisnis besar dan kuat yang sudah mempunyai kemampuan bersaing yang tinggi, tetapi di sisi lain dipandang kurang memperhatikan kepentingan negara dan pelaku bisnis kecil dan lemah yang baru belajar melakukan persaingan secara bebas.
    Oleh sebab itu, sistem perdagangan bebas seringkali dikritik dan dianggap tidak adil. Oleh beberapa kalangan, sistem ini diperkirakan akan mengakibatkan terjadinya ketimpangan baru dalam perekonomian dunia. Negara dan pelaku bisnis yang besar dan kuat akan kian berjaya, sementara negara dan pelaku bisnis yang kecil dan lemah akan makin terpuruk. Bahkan, sistem perdagangan bebas dianggap dan dikhawatirkan akan melahirkan penjajahan gaya baru (neokolonialisme) oleh negara dan pelaku bisnis yang besar dan kuat terhadap negara dan pelaku bisnis yang kecil dan lemah.

Bongkar muat ekspor-impor (Antara-Rivan Awal Lingga)

    Sebagai negara yang turut terlibat dalam
perdagangan bebas, Indonesia tentu akan ikut terkena akibat-akibat yang mungkin timbul dari sistem ini. Cepat atau lambat, langsung atau tidak langsung, Indonesia akan ikut terkena dampak-dampaknya. Dalam beberapa tahun terakhir ini saja, misalnya, akibat berlakunya sistem perdagangan bebas, pasar barang dan jasa di negara kita banyak dibanjiri produk impor dari berbagai negara lain. Hal ini menyebabkan terdesaknya produk-produk barang dan jasa dari dalam negeri.
    Akan tetapi, terhadap keadaan itu kita harus tetap tegar dan percaya diri akan masa depan produksi (barang dan jasa) dalam negeri. Kekhawatiran yang sempat muncul mengenai kelangsungan hidup dunia usaha di dalam negeri akibat berlakunya sistem perdagangan bebas, sebaiknya tidak dibesar-besarkan hingga berkembang menjadi kepanikan yang dapat menyebabkan terjadinya kemelut dan krisis. Kekhawatiran harus diredam dengan sikap tenang dan pikiran positif bahwa dalam menghasilkan produk kita sesungguhnya memiliki kemampuan bersaing yang cukup baik.
    Hal yang dapat kita jadikan pegangan adalah fakta bahwa terutama barang-barang produksi Indonesia cukup laku dan diminati di pasar internasional. Selama ini, kita dapat mengekspor ke banyak negara berbagai jenis barang –– baik dalam bentuk bahan mentah maupun barang jadi –– seperti minyak mentah, gas alam, batu bara, timah, tekstil, garmen, mebel, kelapa sawit, karet, kayu lapis, kopi, dan ikan. Hal ini menunjukkan bahwa barang-barang produksi Indonesia sesungguhnya mampu bersaing dengan barang produksi negara-negara lain.
    Anggapan bahwa barang dan jasa produk Indonesia kurang berkualitas sebenarnya lebih merupakan anggapan yang dihinggapi “penyakit” inferior dan rendah diri. Anggapan ini dapat dikatakan sebagai ironi yang memprihatinkan sebab justru muncul dari kalangan masyarakat kita sendiri dan tidak dari kalangan internasional. Beberapa kalangan di negara kita gemar menggunakan barang dan jasa produksi luar negeri karena menganggap barang dan jasa produksi Indonesia tidak berkualitas, padahal faktanya barang dan jasa produksi Indonesia dibeli dan digunakan oleh masyarakat dari berbagai negara di dunia.
    Oleh sebab itu, terkait dengan berlakunya sistem perdagangan bebas, kiranya kita harus berpikir dan mengkaji ulang mengenai keberadaan barang dan jasa produksi kita sendiri. Kegemaran menggunakan barang dan jasa produksi luar negeri dalam banyak kasus sebenarnya lebih merupakan sikap snobis yang harus ditinggalkan. Untuk menyelamatkan barang dan jasa produksi kita sendiri sekaligus menjaga kemampuan bersaing dalam perdagangan bebas serta menunjukkan kecintaan terhadap bangsa dan negara, kita harus senantiasa lebih memilih memakai barang dan jasa produksi dalam negeri daripada produksi luar negari. Kita harus sadar serta bersikap percaya diri dan realistis bahwa barang dan jasa produksi Indonesia yang kita pakai sebenarnya menunjukkan kelayakan untuk dikonsumsi karena memang memiliki kualitas yang memadai (karena di luar negeri pun banyak digunakan oleh warga asing).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar